Cerpen Ersis Warmansyah Abbas: Auman Pak Lurah
Dingin pagi menyapa pori-pori. Pergantian musim menjadi nyata. Bulan Juli musim panas menampakkan identiasnya. Pada bulan Agustus, ratig akan kering sempurna, tanaman perdu kekurangan asupan air, dan api panas bumi memicu ladang gambut membumihanguskan semuanya. Musim asap puncaknya.Pagi itu, entah karena kekacauan cuaca global, apa karena lobang ozon semakin menganga, atau pencairan es di Kutup Utara semakin menjadi, panas adalah penanda paling tegas Bumi Kahatulistiwa. Air sungai tak mengalir, bendungan kering, PLN, sebagaimana tradisinya, tidak mampu meproduksi listrik, byar pret. BBM ikut-ikutan bergabung menebar kesusahan. Nasib negara kaya raya di tangan pemimpin penikmat kekuasaan.
Ulau, termenung. Dinginnya udara yang menjilad tubuhnya tidak terasakan. Siraman AC ruangan pun tak membuat hatinya tenang. Ruang kerja Ulau, lurah Kali Dongok yang dingin ‘dibalut’ galau hatinya. Panas. Kelurahan Kali Dongok, bukannya melaju menggapai idaman, tetapi surut ke zaman purbakala; ketika kekuasaan, primus interpares maujud lebih sempurna. Kekuasaan menentukan segalanya.
“Begini, Pak Fuad”, kata Ulau semanis mungkin. “Saya minta maaf. Saya salah hitung. Saya akui. Saya melakukan kesalahan fatal”.
Fuad, satu-satunya sarjana pegawai kelurahan Kali Dongok, tidak paham kemana arah pembicaraan Ulau. Bahkan, kenapa dia dipanggil ke ruang Pak Lurah yang ber-AC saja susah dimengerti. Pikirannya dilanda galau, hukuman apa lagi yang akan ditimpakan Ulau. Bingungnya menjadi-jadi.
Dulu, ketika Ulau belum menjadi lurah, saat menjadi pengusaha kecil-kecilan, mengelola wantilan, mereka bersama-sama membesarkan usaha tersebut. Suatu kali, entah karena apa, sekembali dari kampung karena ayahnya meninggal, di meja kerjanya mendapatkan sepucuk surat: Pemberhentian sebagai staf pembukuan keuangan. Fuad berusaha menemui Ulau, tetapi tidak pernah kesampaian. Sebagai PNS yang berusaha di luar jam dinas, Ulau beralasan sibuk. Fuad tidak memaksa. Mengobat kekecewaannya dengan kuliah di FISIP mengambil jurusan administrasi pemerintahan.
Fuad tidak sendirian. Sumiyati yang mengurus administarsi, Fatun penjaga gawang produksi dihadiahi surat yang sama. Tanpa keterangan. Dan tentu, tanpa pesangon. Mereka bermaklum. Mana tahu Ulau bermaksud mengembangkan wantilan lebih serius. Terbukti. Wantilan berkembang pesat. Ulau berjaya secara finansial.
Suatu kali, Fuad, Sumiyati, dan Fatun diajak Hetexana membicarakan hal yang sama sekali di luar dugaan mereka; merancang Ulau menjadi lurah Kali Dongok. Ketiga mantan sekutu Ulau tercengang hampir tidak percaya. Hetexana berhasil meyakinan.
Begitulah. Dibawah kendali Hetexana mereka merencanakan pensuksesan Ulau menjadi Pak Lurah. Diakui, sifat kediktatoran Ulan menjadi pengendala. Namun, Hetexana sangat yakin, dan meyakinkan, kelurahan memerlukan lurah tipe Ulau. Punya modal, tegas, cerdas, dan berwawasan ke depan. Sekalipun, ya sekalipun tidak berpendidikan tinggi, plus pelit.
Alasan-alasan faktual Fuad, Sumiyati, dan Fatun, berhasil dipatahkan. Manusia itu berubah, kata ‘makelar’ cerdas tersebut. Saya jamin, Ulau tidak akan mengulang kelakukannya. Kita akan kawal pemajuan kelurahan. Kita tidak memerlukan apa-apa lagi, kita mampu hidup sendiri, tidak gila kekuasaan, tetapi punya ideologi, memajukan Kali Dongok. Ajaibnya, mereka bukan saja menghibahkan waktu dan enerji, bahkan finansial. Perjuangan memang tidak mengenal kegratisan.
Rencana berlaku sebagaimana direncanakan. Ulau terpilih menjadi lurah mengalahkan ‘anak asuhnya’ dengan selisih suara puluhan saja. Sebagai hadiah, Ulau menggelar pesta kemenangan. Makan sop kol bertandem kepiting rebus kesukaannya. Setelah itu semua selesai.
Hetexana mengambil jalan radikal. Berhenti menjadi pegawai kelurahan. Malu. Keyakinan yang meyakinkan terbukti tidak terbukti. Hetexana konsisten. Orang seperti Hetexana susah ditemui di jajaran elite kelurahan. Dia bangga miskin, asal punya prinsip.
Begitu kekuasaan dipagut Ulun, programnya memajukan Kali Dongok dikebut. Teman-temannya dari berbagai kelurahan seantero kecamatan direkrut. Tentu, yang terhebat menurut ‘seleranya’. Ketika Hetexana mengingatkan, dijawab Ulau setengah bengis: “Kebijakan pimpinan adalah hak preogratif. Tidak seorang pun berhak, kecuali saya”. Hetexana tahu posisi, dan karena kecewa, ya itu tadi, mundur. Malunya pada teman-teman hanya dapat dibayar dengan mundur. Titik.
Waktu berlalu. Para punggawa pilihan Ulau ternyata punya hidden agenda. Mereka berkreasi dengan cara sendiri, menancapkan sukses menanamkan kuku-kuku. Ujung-ujungnya, survey menunjukkan, popularitas ‘anak asuhnya’ mengalahkannya. Begitu hasil beberapa lembaga survey. Masa jabatan pertama Ulau tinggal dalam hitungan bulan. Anak asuhnya sibuk dengan agenda masing-masing. Ulau kesunyian di tengah keramaian pasukan bentukannya.
Ada memang yang setia mengikuti apa saja maunya. Apa saja gebrakannya diamini, yang penting ada tips. Barulah Ulau sadar, dalam perjuangan diperlukan mereka yang kritis, kritis dalam arti berorentasi tujuan. Bukan pada keuntungan sesaat atau demi melestarikan kekuasaan, atau mengambil keuntungan saja dari kekuasaan. Titik sasar aktivitas adalah tujuan.
Sudah tiga minggu Ulau mengurung diri di kamar. Cuti besar. Kelurahan dijalankan sekretaris lurah. Pilihan Ulau yang ternyata menjadi pesainynya untuk pemilihan lurah tahun ini. Semua pihak meramalkan, Ulau akan kalah. Sementara, para punggawanya hanya mampu yes men doang. Ulau gundah.
Ulau introsepkesi. Teringat kata-katanya: Kalian pendukung. Jangan kira saya sukses menjadi lurah karena usaha kalian. “Ah, saya keterlaluan”, renungnya. Muncul pikiran jernih, ketika akan menjadi lurah dulu, dia ragu. Dia heran, padahal merasa paling hebat, mengapa mereka yang bukan penjilad susah diajak diskusi. Ulau sadar, lebih senang mendengarkan pujian dari pikiran kritis atau yang berusasha meluruskan pikiran sesuai kondisi obyektif. Mereka tidak suka saya, mereka terlalu kritis, simpulnya. Tapi, dalam kesendirian, dalam penyelasan, makna kekritisan menampakkan kebenaran.
Ulau lupa, mereka bukan pendukung, tetapi yang mengusungnya menjadi lurah. Mereka bekerja tanpa dibayar, dan ketika berhasil dicuekin. Dia sadar … jangan-jangan, tanpa mereka memang tidak ada apa-apanya. Dendaan diri semakin menjadi, tindakan mencuekin para pengusung kesuksesan harus dibayar mahal. “Aku mengambil saja dari mereka sembari menusuk ulu hati mereka. Padahal, mereka tidak meminta apa-apa. Ih, aku ini memang dongok”, ingat diri menusuk-nusuk jantung pikirnya.
“Pak Fuad”, Ulau risau ketika Fuad tidak merespon bicaranya. Malahan melamun.
“Saya minta tolong. Kita harus ‘kembali’ melanjutkan … “.
Fuad tersadar dari lamunannya. Tangannya meraih tas lusuhnya. Dari dalamnya diambilnya tiga amplop berisi surat pengunduran dirinya, Sumiyati, dan Fatun sebagai pegawai kelurahan … Lalu, meninggalkan ruangan Pak Lurah tanpa permisi.
Setengah jam kemudian, pegawai kantor kelurahan Kali Dongok heboh. Ambulan membawa Ulau yang tidak sadarkan diri. Entah nyawanya akan berakhir, tidak seorang pun tahu. Ulau membawa raganya dalam kesadaran baru, dalam pingsan. Kesadaran yang terlambat. Auman terakhir Pak Lurah Ulau: Menyesali diri.
Kehidupan akan tetap bergulir selama manusia ada di muka Bumi ini. Ibarat ikan, beragam bentuk dan rasanya. Setiap ikan mempunyai jalan kehidupan sendiri. Ada yang mati karena usia, ada yang dimakan predator, atau di ujung belati nafsu manusia. Tidak seekor ikan pun dapat menentukan nasibnya.
***
Aku tertawa geli membaca cerpen satire tersebut. Remote control tugop ku pencet. Mati. Ah … aneh juga pengambaran kehidupan manusia masa lalu. Kami yang hidup di abad XXIII tidak mengenal apa itu cerpen.
Banzharbaro, Juli 29th, 2220.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 29 Juni 2008
https://cerpenborneo.wordpress.com/2012/05/12/ersis-warmansyah-abbas-indonesia-kalimantan-selatan/
0 komentar: