Cerpen Syamsuwal Qomar: Mimpiku tentang Sekolah
Matahari belum lama terbit. Namun lalu lintas di perempatan jalan Pangeran Antasari sudah mulai memadat. Barisan mobil dan motor yang mesti berhenti, menunggu lampu merah, sudah mulai panjang. Dan seperti biasa, segerombol pengamen dan pengemis langsung merubung mereka. Seperti semut mengerubuti gula.Aku yang ikut mengemis mulai mengetuk jendela-jendela mobil terdekat. Menunggu tangan yang mengulurkan seribu atau dua rupiah. Tak peduli mereka melakukannya karena memang kasihan, takut, atau terganggu dengan kehadiranku. Yang penting, aku bisa mendapat duit dari mereka.
Entah kenapa, tiba-tiba ada suara ramai yang khas, menyeruak diantara hiruk pikuk suara motor dan mobil. Sesuatu yang merenggut perhatianku. Suara itu, tawa berderai anak-anak seumur diriku. Mereka yang bergerombol berjalan kaki bersama. Dengan baju putih dan bawahan biru tua yang bersih dan rapi.
Aku menatap mereka. Cemburu. Bukan kali ini saja aku melihat kelompok anak-anak sekolah seperti mereka lewat di depanku. Setiap hari aku melihatnya. Namun tak pernah aku bisa mengusir perasaan terasing, setiap kali mereka ada di sekitarku. Perasaan yang sering melemparkan ingatanku kekampung halamanku, tiga tahun tahun yang lalu.
***
“Aku tidak suka, bu!” Aku menjawab keras setelah ibu bertanya padaku.
“Memang kenapa to Gus? Paman Utuh itu sebenarnya baik. Meski orangnya agak keras.” Ibu menyahut cepat.
“Baik darimananya? Orang sekampung ini juga tahu bu! Dia itu suka berjudi. Suka sabung ayam pula!” Aku masih merangsek.
Ibu terdiam sebentar, lalu melanjutkan ucapannya, “Kamu tahu. Sejak bapak kamu meninggal, hidup kita makin kembang kempis. Ibu ini hanya buruh cuci. Tidak cukup memenuhi kebutuhan kita semua. Adikmu Rina, sebentar lagi masuk SD. Sementara kamu sudah kelas enam. Kamu mau melanjutkan ke SMP kan! Nah, kita butuh orang yang bisa membantu kita. Ibu yakin, Paman Utuh pasti akan berubah sesudah bersama ibu.”
Aku pun terdiam, kesal. Tapi bila ibu sudah berkata seperti itu. Aku bisa apa, selain menerima keputusannya. Dan benar dugaanku, Meski sudah mengawini ibu, Paman Utuh tetap suka berjudi. Tetap suka menyabung ayam. Meski ia masih lumayan rajin. Rela pergi bekerja pagi-pagi untuk menoreh karet. Namun kata ibu, gajinya itu juga habis untuk membayar utang-utangnya.
Aku mencoba terus bersabar. Sampai saat batasnya tiba. Waktu itu aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Paman Utuh malah menyuruhku berhenti sekolah. Katanya, bila aku melanjutkan SMP, akan banyak mengeluarkan duit. Aku membalasnya dengan keras, kalau semestinya, ia yang berhenti berjudi.
Saat itu juga, tangannya meninju mukaku dengan keras. Dan aku tak bisa lagi memaafkannya. Aku bangkit, mengemasi barang-barang yang kuperlukan. Mengambil tabungan pula yang selama ini susah payah kukumpulkan. Aku bergegas beranjak keluar dari rumah, diiringi suara teriakannya yang bercampur tangisan ibu dan adikku.
“Mau kemana kamu heh! Dasar anak sombong! Pemberontak! Kalau kamu mau sekolah? Pakai uang kamu sendiri! Kamu pikir gampang ngumpulin duit! Berani kamu minggat? Kamu kira gampang juga hidup sendiri! Awas kalau berani balik! Kutimpas kau! ”
Kemana aku pergi? Kepalaku tak bisa berpikir lebih jauh. Yang ada, aku hanya ingin pergi sejauh-jauhnya. Ada satu tempat yang sangat ingin kutuju. Tempat itu, Kota Banjarmasin. Ibukota propinsi Kalimantan Selatan. Tempat yang jaraknya lebih dari seratus kilometer dari kampungku.
Katanya itu kota besar. Kota dagang. Kota tempat kita bisa menemukan banyak pekerjaan. Aku ingin membuktikannya. Melihatnya sendiri. Mungkin ada pekerjaan yang bisa kulakukan di sana. Pekerjaan yang kelak bisa membuatku bersekolah dengan uangku sendiri.
***
“Gus.. Gus.. Ngamen Gus. Ngamen. Ingat setoran.” Udin, temanku yang sama hitam dan kurusnya denganku, menepuk-nepuk bahuku. Menjemputku kembali ke masa sekarang.
“Iya, iya Din. Ini lagi nunggu lampu merah!” Aku langsung menoleh ke arahnya, membuatnya menghentikan gerakan tangannya.
Udin menggeleng-gelengkan kepala. “Hmph.. Pasti kamu melamun soal sekolah lagi!”
“Nggak juga.”
“Apa lagi yang ada di kepala kamu selain itu? Kamu itu kalau ngomong soal apa aja. Pasti ujung-ujungnya kesana. Sekolah..sekolah..sekolah. Kalau bisa sekolah, coba kalau sekolah. Itu melulu!”
“Memang apa salahnya? Namanya juga keinginan toh. Terserah aku.” Aku menimpali.
“Ya..ya..ya. Terserah kamu. Tapi hmmm.. Aku jadi ingat. Ada yang mau kuceritakan..”
“Apa?” Aku spontan cepat bertanya.
“Kemarin waktu aku ngamen di siring Sudimampir. Ketemu anak-anak Sungai Jingah. Tahu kan daerah itu?”
Aku menganggukkan kepala.
“Nah. Kata mereka, anak-anak di sana sering ngumpul di rumah belajar atau apa itu, namanya. Aku nggak terlalu ngeh. Katanya sih, itu seperti sekolahan juga, tapi gratis Gus.”
Mataku membulat mendengar ucapan Udin. “Gratis, Din? Kok bisa?”
“Iya, sekolah buat pengamen dan pengemis kayak kita. Aduh, aku nggak ngerti gimana. Kalau mau, kamu datangin aja ke sana. Tapi tempatnya jauh loh, di samping Makam Surgi Mufti.”
Aku mengangguk-angguk, menimbang-nimbang rencana untuk pergi kesana.
***
Setelah perjalanan kaki yang cukup jauh, aku menghela nafas panjang. Di hadapanku sekarang, ada rumah sederhana, berbahan kayu dan bercat putih, dengan pintu yang masih terbuka. Dibagian atasnya terbentang spanduk bertuliskan “Rumah Belajar Surgi Mufti”.
Aku pun melangkah masuk ke dalam rumah, setelah meninggalkan sandal jepitku di terasnya. Menemui ruangan yang tidak begitu luas. Dengan banyak buku-buku di dalamnya. Tersusun rapi dalam beberapa rak. Juga ada dua papan tulis putih besar menempel di dindingnya.
“Mau apa dek?” Seorang wanita berjilbab, berusia sekitar tiga puluhan, menegurku. Ia duduk di belakang meja yang tepat berada di samping pintu masukku tadi.
Aku menatapnya sambil menjawab, “Katanya disini bisa sekolah gratis?”
Wanita itu tersenyum ramah. “Bisa. Nama kamu siapa dan asalnya dari mana?”
“Agus. Aku diamnya di Pasar Antasari.”
Wanita itu masih tersenyum ramah. Entah kenapa, sikapnya membuatku merasa nyaman. Seolah aku sudah kenal lama dengannya. Ia lalu berucap kembali, “Agus, umur kamu berapa dan keluarga kamu masih ada?”
“Umurku empat belas tahun. Aku lari dari kampung, di Pengaron.” Aku menjawab lugas.
Wanita itu lalu mengatupkan kedua telapak tangannya di mulut. Seolah merenungi jawabanku. Ia terdiam beberapa saat. Lalu bergerak, mengambil sebuah buku besar, mencatat sesuatu di dalamnya. Sesudah itu, ia menatapku penuh, berucap dengan nada menguatkan, “Agus. Kamu terlambat datang. Kelas belajarnya sudah selesai setengah jam tadi. Lain kali, kamu datangnya mesti lebih cepat. Dari jam tiga sampai jam lima ya? Ini kan sudah setengah enam.”
Aku menghembuskan nafas panjang, menjawab lirih, “Terus? Kapan aku boleh datang lagi?”
Wanita itu tersenyum lebar, nampak begitu sabar menghadapiku. “Kamu boleh datang kapan saja. Dari jam sembilan pagi sampai jam enam sore. Kamu bisa baca-baca buku di sini. Tapi kalau mau belajar, sekolah, jam tiga sampai jam lima baru ada gurunya.”
***
“Gus.. Gus. Kamu itu kalau ngemis yang bener! Masa ngemis sambil bawa-bawa buku. Pantes setoran kamu kurang terus!” Bos Halim membentakku.
“Gebukin aja bos!” Si Anui berteriak.
“Selesein aja bos!” Kijing ikut mengipasi.
Muka ku pucat berhadapan dengan bos Halim. Ini kedua kalinya setoranku kurang. Jangankan melunasi tunggakan setoran kemarin, setoran hari ini saja kurang.
Bos Halim kini berdiri, menjulang di depanku dengan mata yang masih melotot. Ia lalu merampas buku yang kupegang, melemparkannya jauh dan menempelengku dengan keras. Ia pun berkata nyaring sesudahnya, “Ingat! Ini terakhir setoran kamu kurang. Kalau besok masih kurang juga. Kupotong jari kamu!”
Bos Halim lalu berbalik pergi. Tapi centengnya, Anui mendaratkan tendangan di perutku, membuatku mengerang keras. Sakitnya sampai membuat mataku berkunang-kunang. Sementara si Kijing meludahi wajahku. “Makanya jadi anak jangan belagu!” Ia memaki sambil berlalu, mengikuti bosnya.
Di sekitarku, aku bisa melihat anak-anak lain hanya bisa berdiri mematung. Di antara mereka, aku bisa melihat Udin, yang menutup muka dengan kedua tangannya, takut melihat diriku. Ia sering mengingatkanku untuk jangan terlalu sering ke rumah belajar. Dan inilah akibatnya.
Memang, sejak mengetahui rumah belajar itu, hampir tiap hari aku ke sana. Entah kenapa, di rumah belajar itu aku merasa lebih hidup. Meski bukan seperti sekolah yang kuinginkan. Tapi aku benar-benar merasa senang ada di sana. Bisa membaca banyak buku, bisa mengetahui banyak hal dari guru-guru ku, bisa melihat senyum Mbak Niswah –wanita yang pertama kali menerimaku, yang mau meminjamiku buku selama beberapa hari untuk kubaca. Kadang ia memberiku uang lima sampai sepuluh ribu. Hingga bisa membantu setoranku.
Namun semuanya berubah jadi bencana. Sejak bos Halim menaikkan setoran jadi tiga puluh lima ribu. Aku dipaksa harus bekerja lebih keras. Namun, aku juga tidak rela melewatkan belajar di rumah belajar. Bagiku, Itu bukan hanya rumah belajar. Itu sudah seperti rumahku.
Aku serta merta bangkit berdiri. Dan mengambil keputusan yang sudah tak bisa kutawar lagi. Aku harus pergi dari tempat ini. Malam ini juga. Tekadku sudah bulat. Apapun resikonya. Sekalipun mampus. Biarlah aku mampus memperjuangkan mimpiku.
***
“Gus…Gus. Bangun Gus.” Sebuah suara yang kukenali membangunkanku. Aku pun membuka mata, merasa senang menemui sosok berjilbab di depanku. Hari ternyata sudah pagi. Serta merta aku menggeliat dan mencoba duduk dari kursi panjang yang kutiduri.
“Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa pipi kamu merah seperti itu?” Mbak Niswah bertanya sambil memegang wajahku.
“Aku kabur Mbak. Lari dari pasar. Aku udah nggak tahan Mbak, di sana. Aku mau tinggal di sini saja.” Aku berucap lancar pada mbak Niswah.
Mbak Niswah lalu diam, dalam waktu yang lama. Membuatku takut. Jangan-jangan ia akan mengusirku. Aku ingin bertanya, apakah aku salah dengan lari ke tempat ini. Namun sebelum aku berkata apa-apa, mbak Niswah sudah membuka mulut.
“Gus. Mbak itu senang dengan kamu. Kamu itu beda dengan anak-anak lainnya yang belajar disini. Kamu itu yang paling rajin. Paling pintar pula. Guru-guru kamu banyak yang bilang seperti itu. Makanya Mbak jadi punya ide. Mau mengusulkan kamu untuk diangkat jadi anak asuhnya Pak Surya.”
“Pak Surya itu siapa, mbak?” Aku bertanya sambil mengerutkan kening.
“Dia itu yang mendanai rumah belajar kita.” Mbak Niswah menjawab lembut.
Aku ternganga mendengar perkataannya. “Memang bisa Mbak?”
Mbak Niswah tersenyum, “Insya Allah bisa. Beliau itu punya jiwa sosial tinggi. Dan sangat senang pada anak yang rajin dan pintar seperti kamu. Ya sudah, begini saja. Untuk sementara, kamu boleh tinggal di sini dulu. Nanti Mbak bicara dengan Pak Surya. Kalau beliau mau menjadikan kamu anak asuh, kamu bukan hanya punya tempat tinggal. Tapi juga bisa melanjutkan sekolah.”
Aku menatap mbak Niswah dengan sungguh-sungguh. Lama rasanya. Hingga aku merasa, ada sesuatu yang keluar dari mataku. Buliran air yang turun merambati pipiku. Aku lalu meraih sesuatu yang kusimpan di balik punggungku. Buku yang dilempar bos Halim, yang kini kuserahkan ke padanya.
“Terima kasih Mbak.” Hanya ucapan itu yang keluar dari mulutku. Sementara buliran air itu turun semakin deras, membasahi pipiku.
Mbak Niswah menerima buku itu. Tersenyum hangat, seperti biasa, sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
***
Terkadang aku masih belum bisa mempercayainya, tapi inilah keadaanku sekarang. Aku mengusap lembut seragam putih yang kukenakan, sambil memperhatikan Pak Anang, guru Bahasa Indonesia-ku yang sedang memberikan contoh pada kami, bagaimana cara mendekalamasikan puisi tentang sekolah.
Mataku terasa basah. Hatiku tergetar setiap kali suaranya melengking keras, memberikan penekanan pada kata-kata yang tersusun indah. Begitu pula saat suaranya mengalun rendah, menyuarakan asa dan harapan. Membawaku pada kenangan-kenangan indah, saat bertemu Mbak Niswah dan Pak Surya.
Kenangan itu menghilang seiring selesainya deklamasi puisi Pak Anang. Kelas pun sempat hening sebentar, hingga kemudian, beberapa teman kelasku yang nampak takjub, bertepuk tangan sambil berdiri. Aku pun mengikuti mereka, sambil tersenyum lebar melihat Pak Anang yang membungkukkan badannya.
Tapi tepuk tangan ini bukan hanya untuknya, tapi juga untuk Mbak Niswah dan Pak Surya. Dua orang yang kini menjadi pelita hidupku. Dua orang yang mewujudkan mimpiku tentang sekolah.[]
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/syamsuwal-qomar/cerpen-sq-mimpiku-tentang-sekolah/10151580426224524
0 komentar: