Cerpen Dewi Alfianti: Ujung Musim Penghujan Kali Ini Kiranya, Aku Pulang
Alun, surah ar-Rahman terdengar dari mushola seberang titian. Fa bi ayyi alaa i robbikuma tukadziban. Aku berangsur-angsur turun dari tempat tidur, saatnya bangun. Kubaca ulang surat itu, penerangan yang tak seberapa membuatku harus mendekatkan surat itu ke wajah. Sebenarnya siang tadi sudah kubaca, sesaat setelah tukang pos menyerahkannya. Namun, subuhlah, kupikir yang mampu mengendapkan makna lebih baik. Itu sebabnya kubaca ulang surat itu sekarang.Jogjakarta, 15 Januari 2008
Dik, bagaimana kabarnya?
Bulan seperti ini masih musim penghujan, bukan? Sudah begitu lama, apakah kampung kita masih seperti dulu? Apakah sungai tampak lebih lebar dari biasa? Apakah arus terasa lebih kuat? Apakah ada satu dua perahu yang hanyut karena arus pasang deras? Apakah titian depan rumah nyaris tenggelam? Kuingat ibumu selalu panik mengamankan ayam-ayam peliharaan kalian jika air pasang. Bagaimana asma Beliau? Di suratmu terakhir bulan lalu kau bilang asma ibumu tambah parah saja. Tapi bukankah di kampung kita udara selalu murni tanpa kotoran kecuali asap tungku-tungku kayu bakar atau asap dari tungku dalam perahu-perahu untuk mengusir nyamuk di subuh hari. Kenapa asmanya bisa tambah parah?
Dik, bagaimana niatmu untuk kuliah? Kuliahkan tak harus mengikut jejakku keluar pulau. Di Banjarmasin ada kampus yang bagus untuk dimasuki. Kalau tidak ingin kehilangan ilmu pesantrenmu, masuk saja ke kampus pendidikan agama.
Aku rindu padamu, Dik… Wajahmu saat terakhir ku pergi dua tahun lalu masih ada di kepalaku. Sayang sekali itu wajah sedih, kalau saja ingatan terakhirku tentang wajahmu adalah wajah seseorang yang tersenyum, hatiku akan merasa nyaman. Di perahu motor Paman Asan, tak berani kutarik kau naik ke batang tambatan perahu. Aku tak sanggup melihatmu tersedu di dalam jukung itu, menyiksa, apalagi harus benar-benar mengucapkan salam perpisahan. Aku selalu membicarakan ini ya Dik, terutama saat terakhir aku melihat wajahmu. Maafkan aku…
Aku masih terenyuh membaca surat itu, tapi sebelum sempat dikuasai emosi, kumasukkan surat itu ke laci meja yang di dalamnya terdapat tumpukan surat dari orang yang sama yang mengirimkan surat itu. Surah ar-Rahman masih tekun dibaca dari mushola, ku beranjak ke dapur, sambil berwudhu kuhela nafas panjang.
Pagi itu kudapati wanita itu sedang membersihkan ikan di dapur rumahnya. Rumah itu lengang. “Kak, suratnya datang lagi,” Kataku dengan nada berhati-hati. Wanita itu berhenti sebentar dari pekerjaannya, namun sebentar kemudian ia sudah menyibukkan diri kembali. “Sudah kau buang surat itu?” Wanita itu bicara pelan saja, namun aku merasa pertanyaan itu begitu menusuk. Kuberanjak dari duduk lalu melihat keluar pintu dapur, nun jauh di sana, sekumpulan pohon kelapa terkesiap di tingkap angin. “Kakak tahu, aku tak pernah membuang surat-surat itu. Surat itu akan kubalas, seperti biasa. Dengan atau tanpa mu.”
Wanita itu tampak tak acuh, wajahnya tak terlihat karena tunduk memperhatikan ikan yang dibersihkannya. “Dia menanyakan kabar ibu. Dia…Dia juga meminta kakak kuliah.” Kupandangi wanita yang menunduk itu, kakakku. Dia berhenti membersihkan ikan, lantas berdiri. “Cukup! Kakak mau beres-beres rumah. Kalau kau tak ada kerjaan, sebaiknya pulang saja, kakak sibuk.” Aku tak bicara sepatah katapun, langkah kaki ku tampak cukup tergesa meninggalkan rumah kakak.
Fiqah meneteskan airmata, airmata yang baru bisa keluar jika ia sendirian saja. Saat tak ada suami suami, saat anak-anaknya yang umur setahun tidur. Saat tak ada orang di rumahnya, Fiqah menangis tanpa suara.
Lelaki yang mengirim surat itu, kak Arfani, dialah alasan kenapa airmata Fiqah sampai jatuh. Dialah cinta yang Fiqah pendam dalam hati. Lelaki yang mempunyai cita-cita begitu tinggi. Lelaki yang akarnya pada kampung ini sudah tercerabut.
Kak Arfani, dia pemuda kampung Bararawa, kampung di sebelah kampungnya, Paminggir. Kampung-kampung yang terletak di pesisir sungai Barito, yang masuk di wilayah danau Panggang seperti Sapala, Bararawa, Paminggir, atau Paminggir Subarang dihubungkan dengan titian panjang yang membelah jalan desa-desa.
Fiqah tak mengerti kenapa kak Arfani bisa begitu berbeda dari teman-temannya, dari kebanyakan orang-orang di kampungnya. Padahal, Kak Arfani sama-sama dibesarkan di riuh jukung yang diturunkan usai subuh menuju hutan mencari ikan. Sama-sama terbiasa mandi bersama hadangan di sungai yang luas, sambil berteriak-teriak ramai. Tapi kenapa pikiran kak Arfani begitu luas menerabas ke depan?
Fiqah menyukai Kak Arfani sejak lama. Anak-anak perempuan, teman-temannya satu Tsanawiyah sering membicarakan kakak tingkat yang satu itu. Pintar, sholeh, anak kepala desa, dan yang paling penting untuk Fiqah, Kak Arfani begitu santun dan halus tutur katanya, seperti telah diajari tata karma dengan begitu baik. Fiqah mengetahui Kak Arfani menaruh hati padanya saat lelaki itu lulus Tsanawiyah. Saat itu kak Arfani mengiriminya surat, mengatakan kalau dia sebenarnya menyukai Fiqah, berniat menikahinya tapi ia juga ingin menggapai cita-citanya melanjutkan sekolah ke Banjarmasin.
Fiqah ingat saat itu wajahnya bersemu merah, senang sekaligus sedih. Orang tua Fiqah tak mengizinkannya ikut-ikutan Kak Arfani sekolah di Banjarmasin. Dia cuma diizinkan melanjutkan SMA di Amuntai setelah setahun, itupun setelah sedemikian gigihnya ia meyakinkan orang tua, terlebih ibunya bahwa melanjutkan sekolah adalah hal yang penting, bahkan untuk perempuan sekalipun.
Setelah Kak arfani lulus SMA, awalnya, rencana Fiqah, yang juga ternyata menjadi rencana orang tuanya, mereka berdua akan menikah. Tapi siapa sangka, Kak Arfani menolak itu dengan halus dan meminta Fiqah bersabar menunggu karena ingin melanjutkan kuliah dan tak tanggung-tanggung, ke tanah seberang, Jogjakarta. Empat tahun lalu, Fiqah masih ingat bagaimana lututnya gemetar melepas kepergian Kak Arfani. Remuk rasanya. Ia menghabiskan tiap malam meratapi kepergian Kak Arfani. Kak Arfani rutin mengirim surat, namun tetap saja tak cukup bisa membantu Fiqah bertahan.
Pertahanan Fiqah hancur saat ibunya memintanya menikah dengan Alfian, anak juragan kapal ikan di kampungnya. Semua alasan yang dikemukakan Fiqah dengan mudah ditangkis orang tuanya. Tak ada harapan lagi menunggu pemuda yang jauh tanpa kepastian yang jelas, sehebat apapun pemuda itu.
Muka bapakku tampak masam, karena arus yang terlalu kuat, keramba kami salah satu paring-nya rusak. Setelah selesai memperbaiki bapak bergumam, “Akan lebih parah jika Barito menguap.” Kupandangi bapak dari atas perahu bermotor atap ini. Tubuhnya separuhnya berada di dalam sungai, memperbaiki tempat memelihara ikan di tepi sungai itu. Untuk usianya, Bapak masih penuh tenaga. Sebenarnya, kuingin ikut Bapak bercebur, tapi ia tak mengisyaratkanku untuk membantunya. Bapak paling tidak suka pekerjaannya dicampuri, jadi kudiam saja. Pikiranku kembali pada surat kak Arfani yang dikirimkannya pada kakakku, Rafiqah.
Kak Arfani tak pernah tahu kalau Kak Fiqah sudah menikah, persis tiga bulan setelah kepergiannya kembali ke Jogja saat pulang lebaran dua tahun lalu. Tak ada yang memberi tahu Kak Arfani. Kak Fiqah telah meminta pada orang tua Kak Arfani untuk merahasiakan pernikahannya.
Namun, surat itu tetap saja datang secara berkala, tiap tengah bulan. Karena dialamatkan ke rumah kami dan semenjak menikah Kak Fiqah tinggal di rumah suaminya, akulah yang senantiasa menerima surat-surat Kak Arfani dua tahun ini. Selalu saja tersirat rasa rindu di surat itu, rindu pada Kak Fiqah dan rindu pada suasana daerah ini.
Bapak sudah naik ke perahu, perlahan kuhidupkan mesin. Perahu kami bergerak membelah sungai melewati tanduk dan punggung hadangan yang tersembul keluar dari dalam sungai, melewati kawanan enceng gondok yang segar seakan diberi ruang yang luas untuk hidup. Anak-anak berteriak di seberang sungai, bermain pancing di air. Suasana yang mudah dirindukan oleh siapa saja, apalagi orang seperti Kak Arfani.
Sejak kecil aku sudah mengagumi Kak Arfani. Aku ingin jadi lelaki seperti dia. Melintas batas cakrawala kampung kami, jauh melebihi Amuntai, Banjarmasin sekalipun. Dalam surat-suratnya dia bercerita tentang banyak hal, tentang dunia yang demikian cepat berubah tanpa kehilangan rasa rindunya pada kampung.
Kak Fiqah tak pernah mau membaca surat Kak Arfani setelah ia menikah. Ia perempuan setia, dan sepertinya sekarang ia belajar setia pada suaminya setelah bertahun-tahun setia pada Kak Arfani. Aku yang selalu membalas surat Kak Arfani karena dari dulu akulah juru tulis surat Kak Fiqah. Aku punya kemampuan membuat bagus kalimat, kata Kak Fiqah. Jika sekarang aku yang membalas surat Kak Arfani, takkan ada bedanya.
SMS itu masuk ke HP bapak pagi ini. Bapak menyerahkan HP padaku tanpa sepatah katapun. Dari Kak Arfani. Dia tak pernah meng-SMS sebelumnya. Aku pernah memberikannya nomor HP bapak. Tapi selama ini ia cuma menghubungi lewat surat. Tiba-tiba aku merasa kacau, tak karuan. Perlahan kubaca lagi pesan singkat di HP itu, aku berpegangan pada pinggiran kursi mencoba berdiri tegap. Di luar tercium bau ikan asin yang dijemur di pelataran. Dik. Mlm ini aku pakai pesawat ke Bjm. Bsok InsyaAllah sdh sampai rumah. Lusa aku ke rumhmu. Arfani.
***
Saat memasuki ruang tunggu bandara, jantungku berdegup kencang. Aku akan pulang, setelah dua tahun mengumpulkan keberanian, aku pulang. Bukan, bukan karena kali ini aku lebih berani, hanya saja aku memutuskan untuk meneruskan kebohonganku.
Pesan singkat itu masuk di ponselku sesaat sebelum aku memasuki pesawat. Dari istriku, Maya, dia menyuruhku cepat pulang. Ponsel kumatikan karena mesin pesawat sudah menderu. Kupandangi keluar jendela pesawat. Dengan cepat melintas wajah Rafiqah, gadis manis dari desa Paminggir, calon istriku. Terbayang pula riuh jukung, hadangan dan teriakan anak-anak di tepi sungai. Semua yang dulu milikku.
Aku menghela nafas. Aku telah mendapatkan kesempatan bekerja di Jakarta selepas wisuda, kesuksesan karena menikahi anak penjabat yang kebetulan tergila-gila padaku sejak lama. Kemapanan, aku telah mendapatkan itu semua. Tapi aku kehilangan lebih banyak lagi, kampungku dan Rafiqahku. Surat yang selalu kukirimkan padanya adalah pengkhianatan pada istriku, tapi menikahi Maya adalah kejahatan terbesar dalam hidup yang kulakukan pada Fiqah. Perlahan entah darimana, mengalir masuk sebuah lagu yang waktu anak-anak sering kudengar. Lagu yang yang kusuka entah untuk alasan apa. Tiba-tiba saja syair lagu itu terasa mengejekku, menyudutkanku.
Marinyut hati mun kaganangan/Kaganangan siang wan malam/Ma’ambung janji ka palaminan/Si jantung hati batulak madam/Kada kusangka kada kuduga/Tulak madam habar kadada/Kutakunakan kasini kasana/Amun buriniknya kadada jua
Rafiqah, aku pulang…sebentar saja, tapi aku benar-benar pulang. Lampu pesawat dimatikan menjelang lepas landas, tak ada yang melihat airmataku yang menetes perlahan.[]
Ditulis bersama lantunan lagu Michael Buble, ”Home”.
Sumber:
http://aukorganizer.blogspot.co.id/2009/05/ujung-musim-penghujan-kali-ini-kiranya.html
0 komentar: