Cerpen Sandi Firly: Van der Pijl
Entah. Ini cerita tentang diriku atau Van der Pijl, seorang Belanda yang namanya menjadi namaku, dan menjadi nama sebuah taman di kotaku.Di kotaku Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ada sebuah nama yang paling terkenal. Ialah namaku; Van der Pijl. Tapi bukan aku, hanya namanya saja sama denganku. Ia adalah sebuah taman kecil yang nyaman diteduhi pohon beringin tua, berada di tepi jalan utama kota berjarak sekitar 35 km dari ibu kota Banjarmasin. Atau bila kau turun dari pesawat di Bandar Udara Syamsudin Noor, kau hanya menempuh jarak sekitar 20 menit untuk sampai di taman tengah kota ini.
Orang-orang mungkin sudah melupakan hubungan diriku dengan taman yang namanya sama dengan namaku ini. Tapi tidak aku – kelak kau akan tahu mengapa taman ini begitu penting bagiku.
***
Pertama kali aku menyadari namaku berbeda dan terdengar asing ketika awal masuk Sekolah Dasar. Saat itu usiaku hampir tujuh tahun. Aku ingat, hari itu Senin di awal bulan Juni. Pagi pukul delapan, Ibu Guru Fatimah yang baru masuk kelas langsung menyapa dengan ucapan “Assalamu’alaikum” dan “Selamat pagi”. Setelah membuka sebuah map merah, sembari menyebarkan senyum ke seisi kelas, perempuan muda berjilbab itu mulai mengabsen satu per satu nama murid kelas 1 SD Cempaka, Kota Banjarbaru.
“Ahmad Zaki Yamani…”
“Ada, Bu…”
Satu per satu nama murid terus disebutkan. Setiap menyebut nama murid, Ibu Guru Fatimah menatap kepada si murid sembari tersenyum cerah.
“Muhammad Abduh…”
“Ada, Bu…”
“Muhammad Iqbal…”
“Ada, Bu…”
“Nurul Azizah..”
“Ada, Bu…”
Aku tidak tahu dan tidak paham bila absen nama berurutan sesuai abjad. Dan aku mulai gelisah dan cemas setelah tujuh lebih nama murid disebutkan, namaku tak kunjung juga dipanggil. Padahal aku sudah duduk di bangku paling depan, yang menurut pikiranku mestinya dipanggil paling awal. Bahkan, ketika seluruh nama teman sekelasku telah habis diabsen, namaku tak juga terdengar. Aku bertanya-tanya, sekaligus juga malu dan merasa terhina karena hanya seorang diri di kelas yang tak dipanggil namanya. Setelah nama “Udin Syamsudin”, kulihat Ibu Guru Fatimah sesaat terpaku menatap lembaran kertas dalam map merah. Tampak keraguan di wajahnya. Kemudian ia memandang murid-murid, lantas perlahan dan seolah tak yakin menyebutkan nama: “Van der Pijl…”
Mendengar namaku dipanggil dengan nada ragu, aku pun menjawab pelan dan kurang percaya diri. “A-ada, Bu…”
“Benar namamu Van der Pijl?” tanya Ibu Guru Fatimah lagi.
Terdengar cekikikan murid-murid.
“Nama saya Ivan, Bu..,” jawabku. Aku hanya tahu kedua orangtuaku memanggilku dengan nama itu. Juga teman-teman kecil di sekitar rumah.
Ibu Guru Fatimah hanya mengangguk-angguk. Aku tak mengerti apa maknanya. Yang aku tahu, nama panjangku memang terdengar aneh dibanding nama-nama murid lainnya. Dan yang menjadi pertanyaan besarku, mengapa ibuku memberi nama yang terdengar asing itu? Mengapa tidak menggunakan nama depan Muhammad, seperti kebanyakan suku Banjar di Kalimantan? Muhammad Ivan, misalnya? Bukankah keluargaku beragama Islam? Lagi pula, nama macam apa Van der Pijl itu?
Sepulang sekolah, aku hanya duduk termangu di depan rumah – sebenarnya lebih tepat disebut gubuk. Bangunan kecil dari susunan kayu-kayu sisa dan beratap rumbia itu hanya terdiri dari sebuah kamar tempat aku dan kedua orangtuaku tidur, sebuah dapur, dan ruang tamu yang hanya diisi dua bangku rotan reot yang ditemukan Bapak di tempat pembuangan sampah.
Hari pertama masuk sekolah kami pulang cepat. Hanya perkenalan. Sampai di rumah, matahari belum lewat titik puncaknya, dan itu berarti kedua orangtuaku masih berada di penambangan intan Cempaka bersama puluhan penambang lainnya. Tinggal di kawasan pertambangan yang gersang ini, tiap hari udara terasa gerah dan menyengat. Barangkali karena hamparan tanah kering yang saat tertimpa terik terasa menyilaukan mata.
Aku nyaris tertidur di tangga rumah ketika mengetahui kedua orangtuaku tiba.
“Bagaimana di sekolah, Ivan?” tanya Bapak sembari melepaskan topi lebar terbuat dari anyaman purun, yang juga diikuti Ibu.
“Biasa aja, Pak…,” jawabku malas. Aku masih dilanda perasaan tidak nyaman saat pengabsenan nama di kelas.
Setelah kedua orangtuaku membersihkan kaki dan tangan sisa-sisa lumpur berwarna kekuning-kuningan di penambangan, kami bersiap menyantap makan siang dengan lauk ikan kering. Tak ada yang lebih hemat selain ikan kering, hanya perlu seiris kecil sudah bisa menjadi teman nasi satu piring. Begitulah sebagian masyarakat Banjar yang kurang mampu menyiasati makan sehari-hari.
“Akhir-akhir ini semakin susah saja mendapatkan galuh, ya Bu,” ucap Bapak di sela menyuap nasi.
“Bukan hanya akhir-akhir ini saja, Pak. Sudah puluhan tahun kita menambang intan di Cempaka, hidup kita tidak juga berubah, begini-begini saja. Coba kalau kita dapat intan sebesar Intan Trisakti, pasti kita tidak hidup melarat terus seperti ini,” Ibu menjawab ketus setengah putus asa.
“Sepertinya setiap penambang intan tradisional seperti kita ini tidak akan pernah kaya, Bu,” Bapak menimpali. “Haji Madslam dan keluarganya yang menemukan Intan Trisakti di Cempaka tahun 1965 itu dulu kabarnya hanya diberangkatkan haji oleh Presiden Soekarno sebagai imbalan karena telah mempersembahkan intan itu kepada negara. Tak pernah terdengar kabar mereka menjadi kaya raya, sementara Intan Trisakti tak tahu dimana rimbanya hingga sekarang. Padahal, intan seberat 166,75 karat itu kalau dijual harganya bisa mencapai triliunan, bisa hidup kaya tujuh turunan.”
Ayah dan ibuku tertawa. Barangkali menertawakan hidup kami yang tak pernah beranjak dari kemiskinan, atau impian tentang Intan Trisakti, atau tentang hidup para pendulang itu sendiri.
Aku acuh tak acuh mendengarkan perbincangan mereka. Persoalan terpenting saat itu bagiku bukanlah perkara intan, tapi namaku: Van der Pijl.
“Makanya kamu harus sekolah yang rajin, Ivan,” ujar Ibu sembari melirik aku di sampingnya.
“Iya, agar tak menjadi seperti ibu bapakmu ini,” tambah Bapak. “Jadilah orang hebat seperti namamu itu, Van der Pijl!”
Seketika aku menghentikan suapan nasi, “Van der Pijl, itu nama siapa sebenarnya, Pak?” Aku bertanya penuh hasrat.
Seolah terjebak perangkap sendiri, Bapak kaget. Lelaki yang wajahnya jauh lebih tua dari usianya itu menatap ke mata Ibu, memberi isyarat meminta bantuan jawaban. Tapi Ibu yang ditatap dengan cepat sengaja mengalihkan pandangan dan menyantap makanan. “Yaahh…, pokoknya orang hebat lah,” jawab Bapak akhirnya. “Nanti kamu juga akan tahu. Pokoknya sekarang kamu harus belajar yang rajin, dan sekolah tinggi-tinggi. Jangan seperti Bapakmu ini yang SD saja tidak tamat. Ayo, cepat habiskan makananmu.”
Aku hanya melongo menatap mereka berdua yang tiba-tiba saja tidak memedulikan pertanyaan pentingku tentang namaku: Van der Pijl. Bukankah mereka sendiri yang memberi nama itu?
***
Jika saja kulitku putih, hidungku besar dan mancung, rambutku pirang, dan tubuhku tinggi, mungkin aku takkan mempersoalkan namaku Van der Pijl. Kenyataannya kulitku lebih tepat disebut coklat tua ketimbang kuning langsat, cuping hidungku lebar dan rendah mengingatkan orang pada buah jambu air, rambutku hitam kusam, dan tubuhku cenderung pendek, maka akan lebih tepat jika aku menyandang nama Anang atau Amat, nama orang Banjar kebanyakan.
Aku pernah merasa bangga lahir di daerah pertambangan Cempaka, karena di sinilah salah satu tempat intan-intan terbesar di dunia ditemukan. Aku sering melihat wisatawan lokal maupun asing mengunjungi kawasan pertambangan ini. Masyarakat di sini sadar, mereka hanya sekadar menjadi tontonan. Kunjungan wisatawan itu tak sedikit pun menggeser nasib mereka menjadi lebih baik.Terkadang para penambang terlihat malu-malu dipotret di saat melenggangkan linggangan sambil berendam di dalam air lumpur. Kadang aku bertanya, apa yang menarik dari lokasi penambangan ini, selain hanya menonton orang-orang kecil yang terkadang mempertaruhkan nyawanya di dalam lubang tambang. Atau mungkin karena di sinilah pertambangan intan tradisional terbesar di Indonesia?
Namun tetap saja namaku: Van der Pijl, yang menjadi pertanyaan besarku hingga aku berada di Sekolah Menengah Pertama. Seusia ini aku semakin penasaran dengan nama itu, yang rasanya sama sekali tidak cocok untuk diriku sebagai orang Banjar.
Beruntung, akhirnya aku mendapatkan sebuah kejelasan ketika guru sejarah kami Pak Abdul Karim menceritakan tentang Kota Banjarbaru dalam mata pelajaran muatan lokal.
Ketika Banjarmasin sebagai ibukota dihantui genangan air dan banjir sekitar tahun 1950-an, Gubernur Kalsel Dr Murdjani mengundang seorang arsitek kelahiran Brukel, Netherland, 23 Januari 1901 bernama Ir. Dick Andres Willem Van der Pijl menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kalimantan. Tugasnya mencari wilayah di tanah Kalimantan Selatan untuk menggantikan ibukota Banjarmasin.
Van der Pijl tak perlu melakukan perjalanan jauh dari Banjarmasin. Ketika ia sampai di sebuah dataran tinggi sekitar 35 Km dari Banjarmasin, tepatnya di Gunung Apam— yang saat itu menjadi tempat peristirahatan buruh yang pulang menambang di Cempaka, ia pun menunjuk wilayah ini tepat sebagai kota baru menggantikan Banjarmasin.
Sejak itulah dibikin masterplant kota. Hingga sekarang masih bisa dilihat bangunan-bangunan rancangan Van der Pijl, seperti Gedung Balaikota, kantor-kantor dinas, dan ruas-ruas jalan yang lebar diteduhi pohon-pohon besar di tengah kota. Van der Pijl sempat bertugas di Palangka Raya yang dulunya juga pernah dicanangkan menjadi ibukota Indonesia menggantikan Jakarta. Pensiun tahun 1961, Van der Pijl kembali ke Banjarbaru, kota yang dirancangnya, hingga akhirnya meninggal dunia pada September 1974, dan dimakamkan di pemakaman umum Kota Banjarbaru.
Dan untuk mengenang jasa Van der Pijl, dibuatlah sebuah taman di tengah kota dengan namanya.
Seisi kelas begitu kagum mendengarkan cerita tentang Van der Pijl. Namun kemudian buyar ketika kepala sekolah mendadak muncul di depan pintu. Sekilas ia langsung menatap kepadaku. Wajahnya muram. Ia kemudian berbisik kepada Pak Abdul Karim. Lalu keduanya menatap ke arahku.
Di depan rumah sudah penuh orang, sebagian besar mereka kukenal sebagai penambang di Cempaka. Melihat kehadiranku, mereka meminggir memberikan jalan agar aku bisa masuk.. Ibu sudah menanti di depan pintu. Matanya sembab. Aku langsung dipeluknya erat. “Bapakmu…,” ucapnya dalam isak tertahan. Tangisku pun pecah. Aku tak perlu bertanya. Aku sudah tahu pasti apa yang terjadi, meski saat di kelas Pak Kepala Sekolah dan Pak Abdul Karim hanya memintaku lekas pulang, dan aku diantar langsung Pak Kepala Sekolah dengan membonceng sepeda motor bututnya.
Aku nyaris tak bisa mengenali wajah bapakku yang masih berlumuran lumpur. Terbaring kaku di tengah rumah. Orang-orang kemudian membersihkan tubuhnya, dan menyembahyangkannya di musala dekat rumah. Menjelang Ashar, bapakku dikuburkan. Walau tak ada yang menceritakan persis bagaimana bapakku wafat, aku sudah bisa menebak kejadiannya; bapakku terbenam di dalam lumpur karena lubang tambang galian runtuh – seperti itulah kematian yang kerap menimpa para penambang di Cempaka. Sudah tak terhitung berapa banyak mereka yang tewas di dalam lubang-lubang kecil tambang yang runtuh.
Malam hari, usai Magrib, ibu menyerahkan sebuah map kusam dan lepek kepadaku. “Ibu kira inilah saatnya kamu mesti mengetahui. Bacalah apa yang ada di dalam map ini,” katanya pelan.
Malam itu aku tidak bisa tidur hingga pagi.
Di kepalaku, kata-kata di kliping koran dalam map terus terngiang-ngiang tanpa henti.
Seorang bayi laki-laki ditemukan di dalam kotak kardus, tergeletak di Taman Van der Pijl, Banjarbaru, Sabtu (16/10) malam lalu. Adalah sepasang suami istri, Aliansyah dan Fatimah, yang pertama kali mendengar tangis bayi itu dari dalam kardus yang diletakkan di bawah pohon beringin. Pasangan yang saat itu sedang berjalan-jalan di taman usai menyaksikan Orkes Dangdut di Lapangan Murdjani, tak jauh dari lokasi, lantas menghampiri. Mereka sontak kaget, karena benar ada bayi berbalut selimut di dalam kotak kardus. Orang-orang pun kemudian ramai merubungi mereka.
“Dan akhirnya kami bawa pulang. Kami berniat merawatnya,” ujar Aliansyah didampingi istrinya di rumah mereka di kawasan penambangan Cempaka, kemarin. Mereka mengaku sudah lima tahun menikah, dan belum juga dikaruniai anak.
Ditanya, akan diberi nama apa anak laki-laki yang mereka temukan, Aliansyah tersenyum. “Sejak pertama ditemukan orang-orang telah menyebutnya bayi Van der Pijl, karena ditemukan di Taman Van der Pijl. Jadi, bayi ini mungkin akan tetap kami beri nama Van der Pijl.”
***
Semenjak membaca kliping koran dalam map yang diserahkan ibu, aku kerap pergi ke taman itu. Di sana aku seolah bisa mendengarkan tangisan hari pertamaku berada di dunia ini. Barangkali juga nanti ada orang tua yang mengingat wajah bayi itu di wajahku ketika ia meletakkannya di bawah pohon beringin di malam 21 tahun silam.
Nah, bila kau berkunjung ke kotaku Banjarbaru, mampirlah ke taman di tengah kota. Mungkin kau akan menemuiku di sana.
Dan ingat, namaku Van der Pijl.[]
Sumber:
SKH Media Kalimantan, 2014
0 komentar: