Cerpen Hajriansyah: Kisah-Kisah Tukang Urut
Pagi ini aku memanggil Amang Masri ke rumah, karena Ewin sejak malam tadi tak membalas smsku. Badanku lelah, batuk menyerang tak sembuh-sembuh, dan sudah dua hari aku susah tidur. Sudah lama juga aku tak memanggilnya ke rumah, karena aku sudah terbiasa dengan mudah memanggil Ewin. Tak berselang lama biasanya, cukup dengan sms, Ewin akan datang ke rumah. Dulu sebelum memiliki sepeda motor ia rela naik ojek, kini tentu lebih cepat lagi. Tapi entah, sms terakhirku tak dibalasnya. Sebagai gantinya, aku memanggil tukung urut lamaku—Amang Masri—itu ke rumah, dan kebetulan ia belum ada panggilan lain.Pijatan keduanya berbeda, Ewin lebih lama dan biasanya itu di bagian betis. Entah kenapa ia suka berlama-lama di bagian itu, tapi memang setahuku di sanalah urat-urat bersilangan dan mudah sekali lintasan-lintasannya menjadi kacau—apalagi jika mengingat bahwa aku sering merasakan kepenatan yang sangat di sana. Aku lupa, apakah aku pernah menanyai Ewin kenapa ia suka berlama-lama mengurut di bagian itu, tapi andai pernah tentu ia akan menjawab seperti ini: banyak urat yang menumpuk di sini, begitu juga batu angin yang berkelindan di antara jaringan otot dan urat itu, dan jangan lupa di sinilah ulun banyak menemui sepilin rambut yang “mengganggu”. Ya, Ewin sangat enteng mengungkapkan “yang mengganggu” itu. Baginya, jalinan kegaiban dan yang nyata itu seterang kepang rambut anaknya. Berpilin tipis di tangan istrinya.
Istriku sudah menyiapkan minyak zaitun di lepekan keramik. Ia lupa, Amang Masri biasanya membawa pelancarnya sendiri, lain dengan Ewin. Maka, ketika Amang Masri mulai membuka tutup botolnya dan mengaduk isinya yang berwarna putih susu itu, istriku menarik lepek minyaknya, menggantinya dengan secangkir teh panas yang mengepul.
“Lama ya, tidak ke sini,” katanya seiring usapannya pada betisku.
“Ya, mang.”
“Sudah lebih setengah tahun, ya?”
“Mungkin.” Aku sengaja menjawabnya pendek, karena lebih ingin tidur.
***
Segulung benang kusut membawa kehidupan ke dalam jantung yang lemah. Iramanya tak teratur, dipompa terpotong-potong. Kelelahan…, kejenuhan…, membawa seseorang pada titik nadir yang rawan. Kuman dan bakteri menghisap daya hidup, membuat metabolisme hidup seseorang kacau. Sakit di beberapa anggota badan. Lemah dan terjungkal pada kepenatan. Istirahat yang terlampau sedikit membuat delusi mengambil sebagian pandangan orang yang jenius. Di titik itu mungkin kau ingin diurut.
Apalagi ketika flu menyerang. Seharian kau ingin memegang hidung saja rasanya. Denyar darah membuat gelombang di kepala. Pandanganmu tak jernih, terasa selalu ingin terjatuh. Dan ketika pijatan yang cukup kuat mengurut jalinan urat mengantar darah ke puncak jantung, lalu degupnya memukul balik memeratakan darah ke seluruh jaringannya di seantero tubuh, kau merasa ingin cepat tertidur. Benar-benar tertidur.
Cerita Ewin
Ulun dulu nakal. Perempuan, juga obat-obatan.
Kami punya band kecil, ulun pemetik melodi. Sesekali mencipta lagu. Kami rutin latihan di studio seminggu sekali. Pulang latihan kami mencari hiburan. Ya, ulun memang tak punya duit berlebih, tapi kawan yang anak pengusaha batu itu cukup royal membelanjakan uangnya untuk kawan-kawannya.
Malam Sabtu atau malam Minggu, sehabis latihan jam sepuluhan, kami biasa langsung naik ke Nasa. Kalau tidak karaoke, ya disko. Kalau karaoke atau disko, ya bertemu perempuan-perempuan. Dan setuntasnya, menjelang dinihari, tentu ada salah satunya yang bisa dibawa pulang. Entah ke rumah siapa, atau ke kamar yang disewakan Rio, yang jelas biasanya siang atau sore ulun baru pulang ke rumah.
Hari itu ulun “pulang” membawa Ria, lady escort yang menemani menyanyi yang disewakan Rio. Suaranya bagus, posturnya juga bagus. Tinggi semampai, putih mulus, bagian dada dan pinggangnya imbang. Sehampir sepertiga malam itu kami menyanyi tak sadar lingkungan. Lingkungan, toh, telah dibungkam oleh ruang gelap dan kedap suara. Yang ada hanya hingar bunyi soundsystem, warna-warni dari tivi sebesar ruangan kamarku, dan sentuhan-sentuhan sensitif yang menghentakkan denyar darah penuh irama. Ya, irama itu makin kencang ditingkahi pengaruh alkohol pada mata dan kepala, juga pengaruh ekstasi pada syaraf dan kesadaran. Dekapanku pada tubuh Ria sudah tak masuk akal lagi. Dalam kondisi normal, aku pria muda yang pemalu. Kulihat begitu juga pada yang lain, semuanya melepaskan ekspresi dan syahwatnya sedemikian rupa, di luar kebiasaannya.
Di kamar hotel, kami hanya berbaring saja. Ini juga di luar kebiasaan. Pengaruh alkohol dan obat-obatan begitu puncak malam ini, kesadaranku tinggal sekerjapan mata. Kusadari Ria di sampingku tak lebih kuat dariku. Sejak masuk kamar tadi, dia langsung menuju kamar mandi dan muntah habis di sana, lalu menjatuhkan badan di ranjang besar yang empuk dengan sebagian anggota tubuhnya menjuntai di tepi kasur. Sempat dua kali ia berlari kembali ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya lagi. Aku yang ingin menyentuhnya sedari tadi mengurungkan niat karena kasihan. Di samping itu juga, pandangan mata berkunang-kunang dan kepala yang berat mengurangi rasa berahiku yang ketika meninggalkan kamar bernyanyi tadi memuncak.
Mungkin kami sama-sama tertidur. Ketika kesadaranku setengah pulih, suara azan menyelusup lirih di antara masif tembok dan kaca yang mengelilingiku. Baru kali ini kudengar irama suara azan yang seburuk itu, tapi intonasi suara muazin pada beberapa titik kalimat seperti menarikku ke pengalaman kanak-kanak di pesantren dulu. Suara azan yang mengganggu tidur sebentar, menyeret kami yang lunglai untuk membersihkan sebagian anggota badan di pewudhuan, lalu duduk terhuyung-huyung di tengah irama pembacaan Qur’an menjelang subuh itu.
Ria bangun setelah lebih sejam aku bernostalgia dengan mata terbuka dan badan masih menempel di kasur yang mulai dingin. Kami sempat berciuman sebentar, ketika lirih suara azan itu kembali memasuki benakku, aku menampiknya. Aku katakan kepalaku masih terlalu pusing dan mungkin akan melakukannya lain kali saja, dan ia memahaminya. Ia meninggalkan kamar dan nomer hapenya, setelah membasuh muka dan sikat gigi, dan menghabiskan setengah botol air mineral di nakas depan ranjang besar.
Aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Sepenggal kenangan masa silam memukul bagian bawah tengkorakku dan menggerakkan sedikit kesadaran yang tak kupahami benar.
Seharian itu ulun mengurung diri di kamar, Kak, ai. Tidak tidur, juga tidak terjaga.
Entah bagaimana mulanya, bayangan glamour dan sensual yang masih membayang dari kesenangan yang tak tuntas tadi malam bergeser perlahan, ditutupi kenangan-kenangan, penggalan-penggalan ingatan. Wajah abah yang sudah lama tiada. Cerita-cerita kakek tentang orang alim, sungai dan buaya. Wajah-wajah di masa lalu terus bermunculan, kelindan keceriaan dan rasa kehilangan, dan tangis ibu! Berganti-ganti membayang, terus seperti itu, sampai kesadaranku berganti dan aku merasa perlu membuka jendela untuk menghirup udara yang lebih segar. Dan sekali lagi aku terpana, langit sudah teramat gelap. Suasana begitu sunyi, kecuali deram motor di depan gang di jalan sana. Aku keluar untuk mengambil sebotol air putih di dapur, tak kudengar suara dari gerak-gerik ibu, dan ketika mataku memandang ke belakang tawing halat aku pun makin bingung. Satu-satunya jam yang tak mati di rumah itu menunjukkan waktu pukul setengah dua. Dan tentu saja itu sudah dini hari.
Sehabis menenggak air putih, gelombang perasaan naik-turuni benakku kembali. Kali ini lebih dinamis, lalu ritmis, lalu aku menangis. Entah menangis untuk apa. Hingga suara azan subuh dari ujung gang kembali mengganggu kesadaranku, ulun angkat badan ulun yang berat dengan sedikit kesadaran yang tersisa. Ulun hendak tobat, setobat-tobatnya.
Ulun melangkah menuju ke belakang rumah. Masuk ke jamban yang mengapung, kubuang semua cairan di tubuh sebanyak yang dapat kubuang. Kubayangkan semua kekotoran di dalam tubuh yang dapat mencair dan melewati ginjal, ureter, kandung kemih, lewat batang zakar (uretra), kubuang semuanya. Hari masih gelap, kecuali fajar di cakrawala, dan kubenamkan tubuhku ke badan sungai. Aku hapus semua rasa takut akan tambun dan buaya, dengan tangan menekan ke atas ke ujung batang aku tenggelamkan diriku dan kubiarkan arus bawah yang deras menyapu semua kekotoran di badanku. Kurang lebih seperempat jam aku menahan napas di bawah batang, ketika kepalaku mulai goyang aku membuncah ke atas memecah gelombang dan mengangkat tubuhku dengan sisa tenaga.
Aku duduk di ujung batang. Kugosok sisa daki yang masih ada, lalu kusiram lagi dengan air yang dingin serupa salju. Lalu aku berwudhu.
Sehabis subuh, sepanjang wirid yang masih ulun ingat dan masih bisa baca, ulun kehilangan kesadaran diri. Sebelumnya ulun masih merasa, ulun muntah sebanyak-banyaknya dan masih sempat mendengar suara kaki ibu mengejar jatuhnya badan, sebelum akhirnya semuanya gelap.
***
Aku terkesiap dari lelap saat Amang Masri menekan lebih keras saraf lambung di telapak kakiku dengan alat bantu refleksi dari kayu, sebentuk yukibu. Itu semacam tanda agar aku membalikkan badan. Aku menelantangkan badan menghadapnya. Ia mengurut kedua sisi tulang kering betis dengan kombinasi ujung jari-jari dan bagian telapak tangannya, lalu memutar di sekitar mata kaki dan naik ke atas lagi. Ia juga menelusuri ruas-ruas jari dari pangkal hingga ke ujung jari.
“Tekalap tadi ulun mang, lah?”
“Iya.” Giliran dia yang singkat menjawabnya.
“Itulah yang dirasa nikmat saat diurut, mang. Tidur yang sebentar itu yang tidak mudah. Dan nyatanya, itu memberi kesegaran, pada mata juga pikiran.” Aku mencoba memancingnya dengan retorika yang sederhana.
“Seperti itulah kerja sistem saraf. Ada yang disadari dan ada yang tidak. Karena tubuh sering dipacu dengan kerja yang berlebihan, dan cara berpikir yang seringkali diporsir pula, lalu timbul kejenuhan. Kelelahan. Ketegangan.”
“Ya… ya, tegang mang, ya!”
“Makanya, mestinya harus diimbangi dengan peregangan-peregangan. Ya, kalau tidak dengan olahraga yang teratur dan seimbang dengan pola pacuan tubuh dan otak, ya dengan diurut secara berkala seperti ini.”
“Itulah mang, saya jarang olahraga. Bukannya malas, tapi masalah pengaturan waktu yang tidak teratur sebenarnya. Tapi ngomong-ngomong, pian paham jualah kerja sistem saraf manusia. Pernah belajar secara seriuskah, atau diajari di dalam mimpi? Atau, pian punya garis keturunan tukang urut, kah?” Aku mencoba memancing, dari mana pengetahuannya ini.
“Kombinasi.”
“Kombinasi bagaimana, maksudnya?”
“Mungkin aku punya garis keturunan tukang urut. Yang jelas, aku pernah dimimpi-i. Semacam dilajari. Kata orang-orang dulu, yang biasanya datang di dalam mimpi dan mengajari kita tentang sesuatu itu pasti seseorang yang punya hubungan darah dengan kita, dalam rentetan garis keturunan di atas atau sebelum kita. Secara fisik, aku memang tak jelas melihat wajahnya, tapi secara utuh keseluruhan ia memang berbentuk seperti kita, manusia. Penyampaian, kata-katanya, seperti tidak keluar dari mulutnya, tapi aku jelas mendengar suaranya. Dan, ia mengurutku, sambil sesekali berhenti pada titik tertentu di bagian tubuhku dan memberi tahu fungsi tekanan dan urutan pada bagian-bagian tertentu itu.”
“Kapan pian dimimpi-i seperti itu, mang?”
Ia lalu bercerita dengan antusias, sembari tangannya terus mengurut ke atas, menaiki bagian lengan dan pundakku.
Cerita Amang Masri
Aku dulu kuliah di Fakultas Tarbiyah, di IAIN. Aku datang dari Hulu Sungai, di Banjarmasin tinggal di rumah kost dekat kampus. Jelek-jelek begini, bapakku kepala madrasah ibtida’iyah di kampung kami, dan tentu saja ia ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang tinggi. Dengan kuliah pendidikan di IAIN, ia berharap setidaknya anaknya bisa meneruskan mimpinya memajukan pendidikan di kampung yang mayoritas orang-orangnya bekerja dagang.
Ya, orang-orang seumuranku waktu itu kebanyakan merantau ke tempat-tempat yang jauh, memiliri arus sungai. Awalnya mereka ikut keluarga atau tetangga sebagai jongos, entah di perahu-perahu dagang yang mengaluri sungai-sungai besar dan kecil di sepanjang tepian kalteng dan kaltim, atau di toko-toko pakaian di tengah kota Banjarmasin. Seperti mereka, aku juga merantau. Madam, istilahnya dalam bahasa kita. Hingga nanti kalau berhasil, pulang kembali ke kampung sebagai juragan yang akan membawa(h)i anak-anak kampung yang punya mimpi seperti mereka dulu. Atau, cukup tinggal di kota dan setiap tahun, menjelang lebaran, pulang berbagi sebahagian dari keuntungan yang mereka dapat di perantauan kepada kerabat dan kenalan yang kurang seberuntung mereka di kampung.
Namun tidak banyak yang seperti aku, sekolah. Atau lebih tepatnya kuliah. Sesekali bila pulang kampung, saat libur kuliah, aku diperbantukan mengajar di sekolah bapak.
Saat kuliah itulah, aku lupa pada tahun atau semester keberapa tepatnya, aku pertama kali bermimpi didatangi sosok yang mengurut tubuhku itu. Saat itu sepulang dari kampus, aku merasa capek sekali. Tidak tahu kenapa, apakah karena malam sebelumnya aku tidur terlalu tinggi malam, atau karena dosenku hari itu terlalu banyak menjejalkan tugas sesudah beberapa pertemuan ia absen, aku merasa benar-benar lelah. Tubuhku terasa pegal sepenuhnya, terutama di beberapa persendian dan sebagian leher. Sosok itu memijat dan mengurut pada beberapa bagian tubuhku, dan seakan kulihat jalur darah yang terang benderang. Susunan saraf dengan jalur-jalur urat menuju pusat saraf di kepala. Lapisan kulit, otot dan daging, hingga tulang-belulang tampak transparan. Sosok itu hanya mengurut saja, dan aku juga tak dapat berkata-kata. Sampai semuanya sempurna, aku lalu tak ingat apa-apa. Paginya aku bangun dengan kondisi badan yang prima, terasa segar dan bugar sekujur tubuhku.
Mimpi serupa itu terulang berkali-kali saat aku kelelahan dan merasakan sakit pada beberapa bagian tubuhku. Dan tepat sesudah kali keempat puluh, aku ingat betul hitungan kalinya, sosok itu bicara di dalam mimpiku. Ia menjelaskan semuanya sembari mengurut dan memijat. Sebelum semuanya kembali gelap, ia berkata, “cukuplah itu semua bagimu dariku. Tugasku selesai, sebagaimana orang-orang tua kita mengajariku.”
Aku menceritakan mimpi-mimpi ini kepada bapakku, ketika ia mengunjungiku di kost pada liburan sekolah. Ia diam sesaat, merenung sebentar, lalu mengatakan bahwa ia tak memahami hal-hal semacam ini. Kemudian ia bercerita padaku, bahwa ketika kakaknya yang paling tua—ia sendiri anak paling bungsu dari delapan bersaudara—aktif terlibat dalam gelombang aktivisme kemuhammadiyahan awal di Alabio, semua tradisi di dalam keluarga yang bersifat khurafat dilarangnya diteruskan oleh sesiapa pun anggota keluarganya. Maka, termasuk orang tuanya—kakekku, tidak lagi mewariskan cerita-cerita aneh yang bersifat klenik di keluarganya. Apalagi bapakku, ia benar-benar tak tahu ada cerita semacam mimpi-mimpi itu di keluarga kami, meski sebenarnya ia juga bukan seorang muhammadiyah tulen. Madrasah ibtida’iyah itu peninggalan kakaknya, yang diteruskan oleh bapakku.
Bapakku sendiri tidak menampik ceritaku tentang mimpi-mimpi itu. Ia bilang itu terpulang kepadaku, karena menurutnya aku cukup dewasa dan berpengetahuan dibanding dirinya. Ia sendiri tidak pernah kuliah sebagaimana yang kujalani saat itu, kecuali pernah sekolah guru agama dan kuliah-kuliah kemuhammadiyahan yang diberikan organisasi. Dan, ia-lah, bapakku, orang yang pertama kuurut sekujur badannya, ketika ia mengeluhkan rasa capeknya. Maklum, waktu itu, jalan dari Hulu Sungai ke Banjarmasin tidak sebaik sekarang, penuh lubang dan berbatu-batu hasil pengerasan jalan. Sementara angkutan serupa Mitsubishi Colt itu penumpangnya mesti berhimpitan, duduk tak nyaman selama empat-lima jam perjalanan.
Aku menawarinya untuk diurut, dan ia menerimanya dengan antusias. Hitung-hitung membuktikan ceritaku, katanya. Dan, ketika ia tertidur pulas di atas kasur yang diampar di atas lantai yang cukup untuk seorang saja, aku merebahkan badan di sisinya beralas tikar purun yang dibawanya dari kampung hari itu. Saat subuh aku bangun mendahuluinya. Itu tak seperti biasanya, di mana ia selalu mendahuluiku bangun untuk salat di sepertiga akhir malam. Aku membiarkannya, dan ketika ia bangun sesaat sesudah salam di tahiyat akhirku, ia menegurku kenapa tidak membangunkannya sebelum azan subuh.
“Bapak tertidur pulas sekali, tentu lelah sekali di perjalanan kemarin,” kataku. Ia mengiyakan dan sempat bilang, urutanku enak sekali, setara dengan urutan tukang urut langganannya di kampung. Bahkan, “lebih enak lagi urutanmu,” katanya sambil berlalu mengambil air wudhu.
Orang berikutnya yang kuurut adalah bapak kostku. Darinya-lah kemudian berangsur-angsur orang-orang tahu aku pandai mengurut. Aku lupa, bagaimana tepatnya kemudian pekerjaan ini menjadi profesiku. Semakin banyak orang yang memintaku mengurut, bahkan ada yang sampai menjemputku ke kost, padahal aku tak mengenalnya. Katanya ia diberitahu temannya yang pernah kuurut—entah temannya yang mana, aku pun tak tahu. Uang pemberian orang-orang itu kusimpan, di luar kiriman bapakku dari kampung. Lama-lama dari uang itu, aku bisa membiayai kuliahku sendiri, juga penghidupanku di perantauan. Kiriman dari kampung aku minta disetop, karena aku tak ingin merepotkan orang tua lebih lama, dan tentu saja bapakku bisa berkonsentrasi membiayai sekolah dua orang adikku lagi. Tapi lucunya, justru kemampuan itulah kemudian yang membuat kuliahku kandas di tengah jalan, dan habislah mimpiku untuk meneruskan cita-cita pengajaran di sekolah bapakku. Bagi bapak sendiri, tak mengapa, karena ia rupanya kemudian lebih melihat dirinya pada diri adik bungsuku. Tampaknya ia lebih tekun dan lebih berbakat di bidang itu dari kedua kakaknya.
Oya, seiring waktu kemampuan mengurutku berkembang. Tidak sebatas intuitif dibimbing perasaanku, tapi pengalaman mengurut banyak orang juga menambah wawasanku. Bila-bila, yang kuurut bukannya cuma orang awam, ada juga ahli kesehatan dan gizi—juga dokter, yang kecapekan. Dari mereka-lah aku belajar tentang anatomi tubuh, susunan saraf, dan suplemen yang diperlukan tubuh yang jenuh. Akhir-akhir ini, seiring mudahnya mengakses internet, aku juga belajar titik-titik akupuntur dan variasi pijatan.
***
“Nah, sudah cukup!” Amang Masri mengakhiri pijatannya dengan menepuk-nepuk pundakku, setelah mimijit kepala dan leherku.
Tepat sesudah Amang Masri meneguk tehnya yang keburu dingin, dan meletakkannya di lepek, bunyi mesin kendaraan digeber sedemikian rupa dan kemudian berhenti di depan rumah. Dari suara salamnya yang keras, dapat kupastikan itu Kaum.
Nama lengkapnya Muhammad Husaini, tapi karena ia sempat lama menjadi kaum (modin) langgar di dekat rumah sewaannya yang lama, gelar atau nama itu melekat jadi nama panggilannya. Kaum juga seorang tukang urut, bahkan lebih dari itu, ia juga bisa memberi banyu untuk orang-orang yang sakit dan bermasalah. Tapi, ia mengelak jika sesekali kucandai sebagai dukun. Sesekali ia bercanda mengaku kalau dirinya seorang wali, dan ceritanya, dari seorang penjaga langgar menjadi pananambaan lebih dahsyat lagi. Dari tragedi Jum’at Kelabu, sampai ia bertemu dan berbaiat pada seorang habib, dan silsilah dirinya sampai ke Wali Katum. Tapi, cerita ini akan kukisahkan lain kali saja. Aku ingin tidur, sisa-sisa pijatan Amang Masri benar-benar membuatku ngantuk.
Oya, tentang kisah Ewin, konon sesudah ia muntah darah habis-habisan itu ia “merasa” dapat melihat jalur-jalur saraf yang tersumbat, dan nyeri badan akibat diganggu orang-halus. Seperti ada yang membimbing tangannya. Begitulah ceritanya padaku, di saat-saat ia memegang tubuhku.[]
Ramadhan 1435 H
Sumber:
SKH Media Kalimantan, 2014
Hajriansyah. 2016. Kisah-kisah yang Menyelamatkan. Banjarmasin: Tahura Media
Hajriansyah. 2016. Kisah-kisah yang Menyelamatkan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: