Cerpen Ali Syamsudin Arsi: ‘P’ Tanpa Bunga

17.35 Zian 0 Comments

Cahaya bulan jatuh. Riak air memantulkan cahaya itu kembali ke asalnya. Hembusan angin riap-riap meliuk di kulit-kulit daun. Malam basah oleh elusan embun yang turun kepagian. Taman sudah sunyi. Lampu warna-warni masih manja di sekelilingku. Truk bermuatan penuh melintas dengan kecepatan sedang. Sebagian kedai mulai memadamkan cahaya lampunya, dan orang-orang tidak sepadat sore tadi. Sejak sekitar jam 4 sore, aku sudah berada di tempatku sekarang. Orang-orang yang datang selalu berganti wajah, mereka teramat asing bagiku, bahkan tak ada yang mengenalku sama sekali. Senyum saja teramat pahit apalagi tawa sangatlah getir. Tak ada yang harus aku harapkan dari orang-orang di luar diriku sendiri. Ada memang yang bersitatap dengan kedua bola mataku, tetapi tak pernah lama, selalu saja menghindar setelah aku menatapnya dengan suatu perasaan yang kuanggap paling kasih, paling sayang. Aku duduk dengan senyum yang manis, persis di bentangan bibir kolam. Kucari bulan yang tadi terselip di celah awan, di bentangan langit malam. Hitam dan dalam.

Sebelum ini ibuku sering bersikap yang aneh-aneh. Pada waktu yang tidak terduga ia menjerit-jerit. Tidak waktu siang maupun malam. Karena terlalu sering bahkan, orang-orang menjadi biasa saja menghadapinya. Gunjingan kiri-kanan selalu saja aku resapkan setiap saat, dan kadang aku sendiri sampai membawanya ke hamparan mimpi di pembaringan. Orang lain boleh saja menjadi biasa, tetapi bagiku ini sebuah beban berkepanjangan. Beban keluarga yang selalu menjadi tudingan. Mereka menaburkan benih-benih benci itu kepada ibu, terlebih lagi kepada nenek. Nenek harus bertanggung jawab dari apa yang ditanggung keluarga kami. Ada yang menyarankan agar ibuku dikucilkan, daripada terlalu sering mengagetkan dan membuat gaduh bila jeritan-jeritannya terlalu, diiringi pula dengan berlari-lari, memaki-maki, bergulung-gulung di tanah, bahkan bisa berbuat sesuatu yang sangat memalukan; setengah telanjang. Aku menjadi sedih juga karenanya. Waktu-waktu berikutnya kesedihan itu pun membatu. Terlalu sering sebab. Di sekelilingku, tak ada keluarga lain yang menjerit selain keluargaku sendiri. Paling tidak itulah yang aku tahu ketika aku mulai mengenal ibu sampai aku lulus sekolah menengah umum. Ada yang mengatakan karena diguna-guna, ada yang mengatakan karena dosa turunan, ada yang mengatakan karena melanggar perjanjian, ada yang mengatakan karena ibuku melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan di tempat-tempat bermukimnya orang-orang halus, ada yang mengatakan karena ibuku tidak patuh terhadap suaminya. Dan masih banyak lagi tudingan-tudingan miring yang kami terima.
Bintang jatuh.
Ya, ada bintang jatuh.
Secara refplek aku menggerakkan ketakjuban-mata dan serempak pula kedua bibirku bergerak mengucapkan sesuatu. Hatiku pun meyakinkan dengan sepenuh-penuh keyakinan, bahwa akan terjadi sesuatu nantinya.
Malam semakin lentik di tikungan. Perlahan mataku turunkan beban. Terasa penat seharian, hilang  seketika. Aku melayang-layang. Perjalanan yang ditempuh tak lagi mampu dirumuskan dalam hitungan. Lelapku mengekalkan pengertian mimpi. Tubuhku boleh jadi bukan milik siapa-siapa, karena aku sendiri menyaksikannya tergeletak dengan tangan kanan bersidekap. Apa yang boleh diharap, ia sendiri dengan mata tanpa tatap. Tidurnya sangatlah abadi, sebagai jasad. Aku lewati jejak-jejak tuhan di antara tanda-tanda yang dihamparkannya malam-malam. Sebagai pembaca alam, aku menyelusuri relung-celah-lorong pendek atau panjang. Reranting yang mulai miring. Geliat satwa malam yang mengibaskan dingin ke sisi retaknya bebatuan seperti tiba-tiba kabut turun menutup bumi. Tubuhku menjadi beku, sepi dan abadi. Sebab bila tidur tanpa mimpi sama halnya melihat tanpa arah yang pasti. Kapan aku bangun itu bukan urusanku saat ini. Menikmati malam, tanpa beban melayang-layang. Jauh kutinggal badan, sebab aku percaya tuhan akan menjaganya. Dan bila kokok ayam datang maka sekedip saja ia akan mampu merasakan bahwa indranya memang masih berfungsi untuk menjelang yang namanya kehidupan. Besok ia akan bercerita tentang tidurnya dan aku akan membawa bukti bahwa perjalananku ke celah-celah jauh bukanlah sesuatu yang tidak ada gunanya. Aku dan ia akan saling percaya, aku dan ia akan selalu berbagi kata dan suara. Aku jiwa sedang jasad bertinggal. Sampai perjalananku di sebuah taman yang lain.
Wangi-wangi di taman ini sangat jauh berbeda dengan bau-bau yang ada tempat jasadku tertidur pulas. Terlalu jauh bahkan, sangat bertolak belakang. Bila di sana bau amis, dekil, kumuh, sampai semerbak bau seperma yang berhamburan di jalan-jalan sangat lain dengan wangi taman yang sekarang jiwaku tempati. Harum apa yang pernah aku resapi tak mampu melebihi harum di sini. Semerbak apa dari yang paling semerbak dari sesuatu yang pernah aku nikmati ternyata tak sampai seujung bulu-bulu halus di kulit bila dibandingkan dengan semerbak yang ada saat ini. Dahulu aku mengenal sebuah nama tempat yang sangat didambakan oleh banyak orang, namanya sorga. Tetapi maaf, aku tak berani bila taman yang aku temui ini benar bernama sorga. Tak ada sebiji huruf pun yang menyatakan tanda-tanda baca. Tak ada papan petunjuk yang menyatakan ke arah itu. Sekali lagi mohon maaf, yang jelas aku bertemu seseorang sepertinya tersenyum padaku. Duk!!!
Detak seluruh jiwaku bergetar sangat hebat, dia tidak lain adalah ibuku. Duk!!!
Aku terpaku.
Wajah tegang.
Bingung, sedih atau terharu menjadi gumpalan satu batu-membeku. Duk. Duk!!!
“Kau, pasti ibuku,” aku berseru ketika ada yang mencair di bibir kelu.
“Benar. Kaulah Amelia, anakku satu-satunya.”
“Ibuuuuuuuuu….!!!”
Entah sampai putaran ke berapa, bila keharuan itu aku tandai dengan jarum jam di termpat lain, yang jelas jiwaku tak lagi memiliki air mata untuk kutumpahkan di pangkuan ibunda. Rasa sejuk itu menghadirkan keteduhan kasih sayang. Selama ini sangatlah kerontang. Dan pelan-pelan kedamaian akhirnya dapat menetralkan suasana.

***

“Katakanlah, wahai ibu, apa arti dari perjumpaan seperti ini.”
“Tuhan mendengar ucapan bibir dan hatimu.”
“Tapi orang-orang di sana selalu menjauh dariku.”
“Orang-orang di seputar taman kota itu boleh saja menganggap begitu…”
“Aku orang gila, ibu.”
“Sama ketika ibu masih hidup beberapa tahun yang lalu.”
“Ibu juga disebut-sebut sebagai orang gila.”
“Benar, anakku.”
“Tapi yang aku tahu, orang-orang, katakanlah tetangga di seputar rumah kita lebih membenci nenek jauh-waktu sebelum ibu dimakamkan. Aku ingat bahwa nenek mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat manyakitkan. Belati bergambar bunga telah menancap tepat di jantungnya. Bukankah itu inti cerita ibu padaku waktu itu? Dan di saat-saat yang lain ibu sangat marah dengan cerita ibu sendiri.”
“Sangat benar, wahai Amelia, anakku.”
“Masih adakah rahasia yang belum diceritakan kepadaku, ibu?”

***

1960, tahun untuk ibu muda melahirkan anak perempuan.
Di sebuah sudut bangunan yang sangat sederhana seorang ibu muda melahirkan seorang anak perempuan. Dukanya terobati. Ia dibantu seorang dukun beranak yang sejak enam bulan sudi menerimanya karena ia diusir dari sanak keluarga. Kehamilan itu adalah hasil pemerkosaan oleh seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Lelaki misterius, sekarang entah di mana.
“Aku ingin anak ini diberi nama Pertiwi,” sambil menatap kepada nenek Basrah yang membantunya melahirkan.
“Aku setuju saja pada kehendak nak Aluh,” sambut nenek Basrah dengan cepat.

***

Belum genap Pertiwi berumur dua tahun, ternyata ibu muda itu kembali mengalami kepedihan yang dahulu pernah dirasakannya. Di tumpukan semak dan rimbun pohon bambu tiga anak muda menggarapnya dengan beringas sampai pucuk daunan bergoyang menahan geram. Pemerkosaan yang kedua itu terjadi ketika ia selesai mencuci. Bergegas ia pulang dan menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami kepada nenek Basrah. Keduanya terpukul hebat. Akhirnya.
“Baiklah nak Aluh, istirahat saja, mereka tentu tidak ada lagi di sana. Mereka memang orang-orang jahat. Mereka bukan pejuang, walau mengaku sebagai pejuang.” Nenek Basrah mencoba mendahului untuk tenang, walau ia tahu bahwa nak Aluh tidak menerima begitu saja. Nenek Basrah menyaksikan tubuh nak Aluh berbalik miring menghadap dinding, tapi ia sempat melihat ada sesuatu yang lain dari sorot mata dari tubuh yang kini membelakanginya. Sorot mata itu sulit diterka tetapi sulit untuk sekedar ditutup-tutupi darinya.
Benar dugaan nenek Basrah. Pagi-pagi sekali ia tidak menemukan lagi nak Aluh di kamarnya, sementara Pertiwi bergulung kain sedikit tebal dari biasanya. Pertiwi masih lelap dalam tidur. Mencoba dicari dan Tanya sana-sini tetapi tetap saja tidak ditemukan tanda-tanda akan kepulangan nak Aluh yang sedang membawa sengsara. Bertahun lewat, Pertiwi pun mengenal nenek Basrah sebagai ibu kasih-sayangnya. Nenek Basrah juga tak ingin berpisah, karena dalam usia renta ia merasakan benar kehadiran seseorang di sisinya. Itu sangat bermanfaat, semoga saja sampai menjelang wafat. Orang-orang mulai membuka cerita tentang tidak sepantasnya ibu muda itu membawa laku dan kata. Di warung-warung desa semakin terbaca cerita buruk dan melupakan bahwa Aluh sebenarnya berlari membawa luka. Luka nganga yang semakin hari semakin dibuka-buka.

***

“Sampai akhirnya ibu menikah dengan ayahmu yang ternyata adalah anak nenekmu dari hasil kebejatan ketiga orang yang mengaku pejuang itu.” Pertiwi menarik napas dalam-dalam, ada nada dingin menyelinap.”Tidak lama kemudian nenekmu datang berkunjung dan mengetahui bahwa kami telah kawin dengan saudara seibu yang sama-sama berasal dari kebejatan lelaki. Ternyata bertahun-tahun nenekmu bermukim di tanah seberang yang jauh. Mulanya ayahmu adalah seorang perantau yang terdampar dan ditampung oleh satu keluarga di kampung ibu.
Cerita punya cerita, maka tahulah bahwa ayahmu adalah yang dilahirkan oleh nenekmu yang dijual oleh sebuah keluarga yang sangat menginginkanya. Keluarga itu jatuh bangkrut karena usahanya hancur oleh sebuah kecelakaan terencana dan harta mereka dikuras oleh mitra kerjanya. Nenekmu tak tahan lagi dan diakhirinya hidupnya di kamar kecil bagian belakang dengan belati bergambar bunga itu. Sejak kematian nenekmu ibu dan ayahmu menjadi kacau. Ayahmu, seperti yang kau saksikan sendiri telah menjadi manusia malam, penjudi, main perempuan dan pemabuk berat. Kau terlahir dalam suasana yang sangat menyakitkan. Ayahmu hilang di gelap malam, dan tak pernah kembali lagi. Ibu juga tak tahan menghadapi gunjingan kiri-kanan, sampai akhirnya ibu dengan ringan tangan menancapkan belati bergambar bunga itu ke tempat yang membuat ibu berada di pembaringan abadi.”
“Nenek juga ada di sini?”
“Tidak. Nenekmu menempati ruang yang lain dan sangat jauh.”
“Di sebuah taman seperti ini?”
“Tidak. Sebuah tempat tanpa bunga-bunga.”
“Itu tidak adil. Jelas tidak adil.”
“Ibu tak mengerti keadilan apa yang harus kita dapatkan. Sebab semua kehendak tuhan. Jalani saja apa adanya, nanti akan selesai akhirnya. Ibu hanya pernah tahu bahwa lewat bintang jatuh itu tuhan mendengar dan mau mewujudkan setiap permintaan seperti permintaanmu untuk menjadi manusia. Manusia yang benar-benar manusia. Hanya sebagai manusia layaknya.”
“Agar tidak disebut sebagai orang gila yang berkeliaran di seputar taman kota.”
“Kegilaan itu yang mengakhiri hidup nenekmu, juga ibumu, walau itu tidak pernah kami kehendaki.”
“Mungkin karena beban itu terlalu berat dirasakan. Terima kasih ibu, anakmu ingin pulang.”
“Silakan Amelia, anakku satu-satunya.”

***

Aku bergegas pulang dengan ingatan yang masih tersisa. Aku sudah muak tinggal di kota sebagai orang gila. Aku kembali bersatu dengan jasadku yang ada di taman kota. Tujuanku adalah desa tempat aku dahulu dilahirkan.
Belati bergambar bunga itu harus kutemukan. Akan aku jadikan batu nisan di kuburku nanti, apabila jasadku benar-benar terbujur kaku. Aku akan hidup normal seperti layaknya para tetangga yang lain. Punya suami, punya anak-anak yang lucu. Dan yang paling harus mereka ingat adalah pesanku itu, agar mereka menancapkan belati yang telah disiapkan nanti sebagai batu nisan sementara ini biarlah aku menjalani hidup apa adanya dalam kesederhanaan yang nyata.
Ujung belati itu telah aku ganti dengan sederet nama, yaitu Pertiwi, Amelia, Tanpa gambar bunga.[]


Sumber:
SKH Mata Banua, 2014

0 komentar: