Cerpen Miziansyah J: Sangkar Kenangan

20.43 Zian 0 Comments

Kematangan  Mang Rozak dan  istri menyiapkan  lahan tegalan, di penghujung musim panas, memang sudah diperhitungkan, sejak jauh hari. Lahan yang terletak di Gunung Layang-Layang , anak  Pegunungan  Meratus. Seperti tradisi kebanyakan , awal pembukaannya, pertama, menentukan  luas areal, dengan  menaruh  patok di tiap  sudutnya.  Tradisi itupun dilakukan  secara singkat, maka terprediksi, luas areal yang  terbuka 1,5 ha. Kalau dipandang  sepintas dari jurusan manapun, areal yang dipatok tidak seberapa luasnya. Ah, mungkin pandangan orang yang terlalu, serakah, bernafsu, sehingga antara kemauan dan kemampuan tak bisa terukur.
Biasanya, setelah patok ditancapkan, tidak berapa lama, areal pun dibabat. Sekira cuaca terus panas, rumput-rumput sudah mengering, tentu tinggal menentukan harinya untuk pembakaran.
Seperti tradisi, sebelum pembakaran, si pemilik lahan mestilah menyampaikan permakluman, terutama kepada para tetangga pemilik lahan, sebagai ajakan kerja bakti, paling tidak ikut atensi demi keselamatan areal milik mereka sendiri. Atas kehadiran para tetangga, maka tentu lebih cepat menyediakan jalur kosong, pembatas api, dengan maksud tidak menjalar ke areal orang lain.
Pada saat pembakaran, Mang Rozak benar-benar  mengalami sukses. Seluruh areal gundul terbakar karena rumputnya telah terjemur merata dari terik panas.

Mang Rozak dan istri telah mengadakan pembersihan. Seluruh sisa akar ilalang dan akar-akar semak, disatukan dalam beberapa tumpukan, lalu dimusnahkan. Jika masih terdapat sisa-sisa akar yang silang seling, atau berbentuk mencuat dipermukaan, maka Mang Rozak melowongkan waktunya kira-kira satu minggu untuk membersihkannya, dengan golok atau pacul (memanduk). Begitu masa memanduk selesai pemilik tinggal menentukan, hari manugal. Biasanya menurut tradisi pada waktu bulan purnama (bulan sabuku).
Ketika harinya ditentukan. Si pemilik, memaklumatkan bagi kepada seluruh penduduk, agar manugal dilakukan secara kerja bakti. Maka berdatanganlah para penduduk kampung, tua-muda, laki, perempuan. Dengan tugas masing-masing, ada yang menyemai atau memasukan benih ke dalam lubang (ma umang), dan ada pula yang membuat lubang (ma asak), biasanya dari kaum laki-laki. Kira-kira sepuluh hari kemudian, tegalan sudah terlihat tumbuh, namun di antara yang tumbuh, masih terdapat yang tidak merata.
Begitu tumbuh merata, rasa senang dan damba telah merasuki hati dan batin pemilik tegalan, yaitu Mang Rozak dan isterinya. Setiap hari sejak pagi-pagi mereka menyusuri jalan menuju objek tegalan, ia hanya sekedar memuaskan rasa rindu terhadap tegalan yang nampak begitu kian hijau merata. Sementara kalau rumput peganggu pada ikut tumbuh, maka Mang Rozak dan istri dengan serta merta membasminya.

***

Hama penganggu belum begitu nampak. Kecuali burung balam (tekukur) ada dua tiga ekor, dan itu pun tampak tidak selalu mengganggu benih tegalan yang pada tumbuh merata. Tapi dua ekor balam tepat bertengger di persemaian bibit  padi sawah milik pak Huzair yang disemai kemarin. Di seputar teradak ini, sepasang balam bermain riang, sambil membunyikan sayap dan ekornya “ Kelapak… Kelapak! “ Kadang mengetitir  “ Tekukur….. Tekukur…….Tekukur… “.
Dan seperti kebetulan, setelah istri Huzair tiba di tempat, dua ekor balam langsung terbang, sementara keadaan benih teradak, bekas diharu biru oleh kedua balam, semua bibit benihnya, habis dikais-kais oleh kedua balam itu.
Maka seperti tak mampu menahan emosi, istri Huzair terus bersungut-sungut “ Waduuuh, sampai hati benar burung tekukur terhadap kami! Nanti pada suatu saat, ada saja  balasannya “. Begitu kerasnya sumpah serapah istri Huzair.
Tapi sumpah serapah ini jadi hanya sia-sia, karena gangguan burung bukannya berhenti, malahan tambah meraja lela. Seperti ketika sehabis melakukan tambal sulam. Seluruh benih yang tersemai, telah habis dikais dan diharu oleh kedua pasang balam. Maka setelah mengetahui situasinya sumpah serapah istri Huzair berganti dengan tangis histerisnya menjadi-jadi. Namun begitu disaksikan suami, lantas ia menghibur istrinya, bahwa apa gunanya menangis, lebih baik dibawa bersabar. Usaha yang sudah  mereka lakukan, jika tidak memberi hasil, itu namanya sudah takdir. “ Kita hanya bisa mengusahakan, tapi yang memberikan hasilnya adalah Allah. “ Begitu bijaknya sang suami memberi penyegar rohani sang istri.

***

Untuk kesekian kalinya bibit semai (taradak) kembali diperbaharui oleh keluarga Pak Huzair. Sejak pagi sekali, lahan penyemaian itu, benar telah disiapkan dan media tanahnya mulai digemburkan. Akhirnya hampir setengah hari, tambal sulam persemaian pun telah usai. Bahkan hingga setiap harinya tidak pernah terlewatkan dari penjagaan gangguan balam. Dan balam pun selama terjaga, tidak pernah terlihat mengganggu persemaian Pak Huzair.
Kendati pun sepasang balam itu selalu hadir dengan tidak diketahui asal muasalnya. Sepasang balam baru diketahui setelah ia berada di sekitar persemaian. Maka dengan serta merta istri Huzair pun menghalau kedua balam dengan disertai teriakan “ Husysy……. Husysy….! “ Kedua balam pun segera mengepakkan sayapnya ‘ Kelapak…. Kelapak “. Terus mereka beranjak terbang jauh.
Tapi masih ada bunyi mengetitir. “ Tekukur…..tekukur”. Bunyi seekor balam. Ia agak menjauh dari persemaian Pak Huzair. Balam yang berjenis kelamin jantan ini, hidupnya menyendiri, tanpa pasangan. Agaknya burung ini lebih jinak, dibanding dengan balam yang selalu menunggu teradaknya Pak Huzair. Sejak jam 7.00 pagi istri Pak Huzair lebih dini datang menjaga persemaian padi Tak dinyana sepasang balam itu sudah ada di sekitar taradak, yang satu berjalan-jalan sedang yang satunya bersimpuh sambil menelesik. Suasana taradak yang merasa terganggu oleh kedua balam ini menyebabkan Pak Huzair, tergerak idenya untuk memasang pulut. Yaitu alat penangkap berupa lidi yang disalut getah.
Besok harinya satu ekor balam telah menjadi korban pulut. Seluruh bulunya menyatu tersalut pulut, balam tak bergerak, kecuali hanya mengeluarkan bunyi “ Ceaat….ceaaat…ceaaat! “ Yang terkena pulut berkelamin jantan. Sedang yang betina setelah membunyikan sayap Kelepak! Kelepak! Ia menjauh, terbang. Sambil memutar ruangan areal tegalan dengan beberapa kali putaran. Seakan-akan merindukan dan mengharap kebersamaan balam jantan untuk sama-sama meninggalkan tempat berbahaya itu. Tapi apa hendak dikata yang jantan lebih duluan, tertangkap bencana.
Begitu burung balam berhasil terlekat pulut. Tidak berantara satu hingga dua menit, langsung dipungut, bahkan langsung dipotong oleh Pak Huzair. Dengan serta merta bulu-bulunya dicerubut, hingga berhamburan di sana-sini, bekas darah yang muncrat di tanah, menyebabkan pesta semut ramai menghisap dan menjilatnya. Untuk dijadikan cadangan bahan makan. Mereka berkelompok, dan sebagian di garis jalur yang menuju sarang mereka. Tergambarlah suasana semut dengan santun, saling jabat tangan pada saat mereka berpapasan  di sepanjang jalur yang mereka lalui.
Konon, dari bulu-bulu yang berhamburan, serta percikan darah di tanah, kata orang tua pamali, apalagi berada di pinggiran tegalan, alamat tegalan itu akan terancam gangguan bala. Kecuali diadakan tepung tawar.
Setelah peristiwa ini diketahui oleh Mang Rozak, pemilik tegalan, ia pun mendesah. Dan dengan ketus ia bertanya kepada Pak Huzair “ Ini kenapa? Bulu-bulu dihambur-hamburkan begini, kata orang bahari, hal ini bisa kepamalian “.
“Maaf, Pak Rozak, saya kurang mengetahui akan hal ini “ . Selanjutnya, Pak Huzair menimpal usul pertanyaannya “ Sebaiknya, kita ambil tindakan apa atas peristiwa ini, Pak Rozak? “
“Yah! Kita adakan tepung tawar. Sebab kalau tidak, gangguan dan cobaan akan mengancam pehumaan kita ini. “ jawab Mang Rozak.
Pada besok harinya, Pak Rozak dengan dibantu Pak Huzair, mengadakan ucapara sederhana, tepung tawar. Lalu diteruskan dengan siraman air Shalawat atas Nabi sebanyak tiga keliling, dimulai dari jihat tengah hingga kembali lagi ke tengah. Selepas Tepung Tawar dilangsungkan, suasana pehumaan serasa sejuk, tenang seakan-akan benar terjamin dari gangguan.

***

Dua hari setelah tepung tawar, Pak Huzair berupaya untuk mendapatkan balam yang masih tinggal, yaitu si betina yang kadang-kadamg pada waktu pagi sudah  memutar-mutar di udara, di bagian atas areal tegalan. Tetapi penjagaan di sekitar persemaian masih dilakukan dengan ketat oleh istri Pak Huzair. Maka balam itu pun segan mendarat.
Sejak petang Pak Huzair masih memasang pulut, dengan harapan akan berhasil lagi memungut sang betina secara kebetulan, ketika matahari condong ke barat, pulut  Pak Huzair berhasil merebut bulu-bulu sayap balam sang betina. Kali ini Pak Huzair, merasa enggan untuk langsung menyembelihnya. Tapi langsung dibawa pulang. Biar dibersihkan di rumah.
Setelah kedua balam ini, berhasil  dibekuk hingga kini tidak tampak lagi sepasang balam berkeliaran di situ. Sebelumnya hanya sepasang itu. Tapi menurut keterangan Mang Rozak. Di sekitar areal tegalannya masih ada balam yang lain. Walaupun ia menyendiri, balam ini tidak nakal dan tidak mau mengganggu, benih-benih semaian orang. Karena itu Pak Rozak berharap. Balam yang satu ini tidak perlu diawasi. Apalagi kalau untuk pulut. Ia terlalu jinak, dan selalu mudah bersuara ketitiran.
Jika masih ingat dengan Almarhum Pak Rozikon, masih terbilang kakak tua dari Pak Rozak. Beliau ini adalah seorang pemiara balam yang cukup terkenal di daerahnya. Balam piaraannya, adalah balam pilihan, ketika almarhum masih hidup, berkali-kali Akung datang ke rumah dengan maksud akan membelinya. Tentu dengan harga yang tinggi, Tapi Pak Rozikon enggan menjualnya.
Balam Pak Rozikon yang diberi julukan Gusti ini pada mulanya, sering dipinjam Akung untuk disabung, serta sering meraup taruhan yang tidak sedikit. Makanya kalau dijual, sejak dulu kepada Akung saja. Berapa pun harganya bagi Akung, tidak jadi masalah. Tapi Pak Rozikon tidak bermaksud menjualnya. Malahan sebelum Almarhum meninggal, ia pernah menyampaikan wasiat sama isterinya, agar sepeninggalnya nanti sang Gusti, balam kesayangannya itu, harus di lepas ke alam bebas.
Benarlah setelah Pak Rozikon meninggal, hingga sekarang sudah berlangsung satu tahun lebih. Maka Pak Rozak amat yakin, kalau balam satu-satunya yang sering nongol di sekitar tegalan itu pastilah sang Gusti, bekas piaraan almarhum Pak Rozikon. Pak Rozak pun berinisiatif untuk meminjam sangkar bekas Gusti. Pak Rozak menaruh sangkar dengan pintu terbuka di tempat yang strategis. Dengan sabar menunggu Pak Rozak, sambil menguntit sang gusti, yang tiba-tiba masuk sangkar, nampaknya ia lebih suka diam, enggan berontak mau keluar. Berhasilnya diperangkap seekor balam, menyebabkan cepat tersebarnya berita bahkan sampai ke telinga Akung, sehingga Akung sangat berkeinginan akan membelinya. Namun sebelum di adakan transaksi, isteri Almarhum buru-buru memberitahu bahwa Almarhum telah mewasiatkan sepeninggal Almarhum balam tersebut harus di lepaskan ke alam bebas. Yang tinggal hanya sangkarnya, jadi kenangan.***

Kdg, Januari 2007

Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: