Cerpen Iwan Yusi: Juru Tulis
Matahari baru saja mengurak senyum. Kayi Busra menghirup udara sepenuh rongga paru-parunya, hingga ia tampak sangat lega. Lalu perlahan ia menyulut sebatang kretek sambil duduk bersandar di tiang pelataran. Sesekali tatap matanya menerawang, seperti jauh ke masa silam, masa ketika ia masih muda di desa tempat kelahirannya ini. Di sekelilingnya duduk-duduk pula beberapa keponakannya sendiri, dan anak-anak remaja tetangga sekitar. Mereka asyik mengobrol seputar pengalaman Kayi Busra setelah selama lebih empat puluh tahun tak pulang-pulang ke kampung halaman tanah tumpahan rindu.Sanak keluarga menyambut hangat dan gembira kedatangan Kayi Busra. Kehangatan sangat terasa sejak kepulangan lelaki tua itu seminggu yang lalu, ramai warga berdatangan mengajaknya berbincang-bincang atau sekadar ingin tahu bagaimana raut rupa Kayi Busra sekarang. Terlebih-lebih bagi anak-anak remaja yang sama sekali tak pernah kenal dengan orang tua itu. Kecuali dari mendengar cerita orang-orang tua mereka, apa sebab Kayi Busra harus meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarganya hingga berpuluh- puluh tahun lamanya.
Di tahun enam puluhan. Busra adalah seorang pemuda yang rajin. Ketika itu umurnya sudah tiga puluhan tahun. Selain mengerjakan kebun dan sawah orang tuanya, ia juga menyadap air nira dari pohon enau yang banyak tumbuh di tanah pematang di belakang rumahnya. Air nira itu dikumpulkan untuk dijadikan gula aren atau gula merah. Oleh ibunya, gula aren itu dijual ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari. Namun, sejak suatu peristiwa yang sama sekali tidak penting bagi dirinya dan berlangsung sangat singkat, ia terpaksa harus terbuang dari kampung halaman, terpisah dari sanak keluarga dalam waktu teramat panjang dan sangat menyiksa batinnya.
“Kejadian apakah itu gerangan, Kek? “ tanya salah seorang dengan bersahaja.
“Itu bermula karena aku menganggap sesuatu itu sepele,” ujar Kayi Busra santai dan senyum ramah, seperti tak ada beban, tak ada rasa sesal.
“Bagaimana ceritanya, Kek?” pinta salah seorang lagi.
Kayi Busra tanpa merasa terbebani mulai bercerita tentang dirinya di masa silam, di masa empat puluhan tahun yang lalu.
Setiap pagi, selesai sholat Subuh, Busra muda dengan langkah bergegas mendatangi pohon-pohon enau yang menjadi kegiatan pekerjaannya. Sebatang bambu yang rantingnya dibiarkan sebagai tangga pijakan, disandarkan pada sebatang pohon enau. Dengan gerakan cekatan ia menaiki tangga bambu atau sigai itu, hingga hanya dalam hitungan detik ia sudah berada di atas pohon enau. Dengan cekatan pula tangannya mengulur bumbung yang penuh berisi air nira untuk dibawa pulang. Namun sebelum bumbung-bumbung bersisi air nira itu dibawa pulang, terlebih dahulu dengan sebilah pisau tandan enau tadi sedikit dipangkas ulang, lalu dipukul berulang-ulang dengan kayu, hingga tetes-tetes air nira terkumpul di bumbung yang baru dipasangnya. Dan dibiarkan hingga besok pagi berikutnya.
Busra muda tak sekadar terampil memanjat sigai menaiki pohon enau, atau pintar mencari uang. Tapi juga fasih mengaji melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Suaranya yang merdu, enak di pendengaran. Karena itulah ia sering disuruh orang tua-tua adzan di surau dekat rumahnya.
Begitulah pekerjaan Busra setiap hari mengisi hari-harinya. Meniti hari-hari meniti anak sigai, memanjati batang-batang enau yang sama baginya dengan memanjati pekerjaan sebagai ungkapan cinta pada kehidupan. Lambat laun uang hasil jerih payahnya mulai terkumpul.
Sebagai seorang pemuda yang tumbuh berkembang, sangat manusiawi dan lumrah ia terpikat pada seorang gadis pautan rasa. Gadis itu keponakan Pak Lamberi seorang tokoh terpandang di kampungnya. Seorang gadis berambut panjang berkulit kuning langsat, bak bunga mengurak warna dan harum semerbak. Kembang desa yang banyak diincar banyak kumbang. Sungguh tak salah Busra sebagai salah satu dari sekian kumbang jatuh hati pada perempuan incaran banyak mata pemuda itu.
Semula ia tak percaya kalau ungkapan perasaannya itu ternyata bersambut, bersahut di hati si kembang impian. Maka orang tua dan sanak keluarganya pun terlibat dan bertanggung jawab datang berpatut pembicaraan atau menyunting sang kembang. Gayung pun bersambut, maka apalah lagi kalau bukan mencarikan hari piturun atau penanggalan yang baik untuk pelaksanaan perhelatan perkawinan Busra dengan Siti Rukayah.
Atas kesepakatan kedua keluarga, dipilihlah penanggalan naik bulan Hijriah yaitu bulan Rabi`ul Awwal, dengan harapan rumah tangga Busra dan isterinya banyak berkah banyak rezeki. Busra pun harus bersabar tiga bulan lagi.
Busra muda yang rajin, semakin rajin. Tenggang waktu tiga bulan adalah kesempatan baik mengumpulkan uang, untuk biaya perhelatan perkawinannya nanti.
Suatu hari. Matahari baru berajak naik. Pagi-pagi benar Busra sudah melintasi jalan setapak di belakang desa. Beberapa bumbung yang tergantung di tandan enau tentu sudah penuh berisi air nira untuk diturunkan dan dibawa pulang. Ibunya pun akan sibuk menjerang dan mencetaknya di atas lumpang kayu untuk dijadikan gula merah. Lalu dibungkus dengan daun pisang kering atau kalaras untuk dijual ke pasar besok pagi.
Sesekali ia bernyanyi-nyanyi serupa pantun mantra. Konon, kata almarhum ayahnya dahulu, pantun mantra itu disenandungkan agar tandan enau bisa memberi banyak air nira. Maka dengan wajah berseri-seri ia memukul-mukul tandan enau itu dengan perasaan riang. Ia berharap malam nanti dari tandan ini air nira akan mengucur deras. Itu berarti penghasilannya bertambah.
“Kasisiur tarabang siang
Baracak tarabang malam
Mangucur banyunya bila siang
Manggarabak di waktu malam “
Tengah asyiknya ia bersenandung sambil memukul-mukul tandan enau, tiba-tiba dari bawah terdengar suara seruan seseorang nyaring menjura.
“Hei, Bus ! “
Busra lekas menoleh ke bawah, ke arah sumber suara. Tampaklah olehnya, seorang lelaki bertubuh tinggi besar tegak berdiri tak jauh dari pokok pohon enau. yang tengah dipanjatnya. Lelaki itu adalah pak Lamberi, julak oleh calon isterinya, karena lelaki itu masih terhitung saudara sepupu oleh ayah Siti Rukayah.
Sejenak dadanya berdebar-debar begitu melihat lelaki itu datang dengan sikap tergesak-gesak dan seperti dengan sengaja mencarinya. Betapa tidak, lelaki itulah dahulu yang menghalang-halangi hubungannya dengan Siti Rukayah. Pernah pula lelaki itu menghadangnya dengan sebilah golok di tangan, untung waktu itu ada Pak Haji Darham menengahi dan memberi pemahaman. Tapi kali ini ia ter;lihat ramah sekali. Di tangan lelaki itu terpegang sebuah buku catatan, bukan sebilah golok panjang mengkilat seperti peristiwa lalu.
“Oo, Julak. Ada kabar apa Julak? “ sambut Busra sambil menebar senyum dari atas pohon enau. Lantas kakinya hendak menuruni anak sigai di bawahnya. Namun lelaki itu lekas pula melarangnya, seraya berujar nyaring.
“Bus, tak usah kamu turun. Biar saja engkau berdiri di situ. Aku hanya perlu sedikit jawabanmu, cukuplah sudah,” sahut pak Lamberi sambil menyiapkan buku catatan dan pena.
“Apa yang bisa saya Bantu, Julak?”
“Kamu, saya catat sebagai juru tulis partai, ya?” ujar lelaki itu nyaring sambil mendongak.
“Tapi saya tidak mengerti urusan partai, Julak? Apalagi sebagai juru tulis,” balas Busra bersahaja sambil berpijakan pada anak sigai dan kedua tangannya berpegangan pada pelepah enau di atas kepalanya.
“Aah, itu urusan gampang. Nanti saya yang mengaturnya. Kamu cukup mengiyakan saja, namamu terdaftar di buku ini. Tidak susah kan? ”
“Masa, bisa begitu, Julak?”
“Eh, Bus. Dengar baik-baik, …sebagai anggota partai saja nanti akan dapat pembagian paung atau bibit padi terbaik, dan peralatan bekerja di sawah seperti parang, tajak. Apalagi kalau tercatat sebagai juru tulis, nanti engkau akan dapat tambahan sarung, kopiah, dan baju serta celana baru,” ujar pak Lamberi dengan iming-iming sangat menggiurkan.
“Tapi Julak, saya tidak mengerti urusan tulis-menulis. Es Er saja saya tidak tamat,” sahut Busra tersipu-sipu di hadapan calon julaknya itu.
“Aah, itu urusan gampang. Masalah kecil itu nanti saya yang mengaturnya. Pokoknya hari ini aku ingin mendengar dari mulutmu, bahwa kamu bersedia dicatat sebagai orang partai,” desak lelaki itu sambil memperlihatkan buku catatan.
“Ya, sudahlah kalau begitu,” sahut Busra sambil tersenyum. Di benaknya sudah terbayang-bayang baju, celana, sarung, dan kopiah baru pemberian partai.
Pak Lamberi tampak mencatat nama Busra di buku catatan khusus. Lalu ia lekas berlalu dari tempat itu dengan tergesak-gesak menuju ke hilir desa. Hari itu pak Lamberi tampak sibuk sekali.
Busra pulang ke rumah dengan wajah riang sambil memanggul tiga buah bumbung berisi penuh air nira. Setiba di rumah, diceritakannya semua kejadian dengan pak Lamberi tadi kepada ibunya. Wajah ibunya pun jadi berseri-seri sambil menuangkan air nira dari bumbung-bumbung itu ke kuali yang sudah sejak tadi siap di atas tungku.
“Ada empat hal, ada pada setiap diri manusia, yang manusia itu sendiri tidak mengetahui sebelumnyanya, Nak,” ujar ibunya seraya menghidupkan api di bawah kuali dengan kayu bakar. Seperti kebiasaannya, ada saja ujaran berupa petuah dari mulut perempuan tua itu kepada anak tunggalnya.
“Apa itu, Ma? ”
“Pertama, jodoh,” kata ibunya seraya menyorong batangan kayu bakar ke dalam tungku yang apinya mulai memarak nyala.
Busra tak bisa menyembunyikan senyum ketika kata jodoh terlontar dari mulut ibunya. Sepotong kata itu serasa larik puisi teramat indah di pendengarannya, yang mampu menggetarkan segenap simpul-simpul rasa di sekujur tubuhnya.
“Kedua, rezeki. Ketiga, langkah,…”
“Apa maksudnya langkah itu, Ma? “ Busra memotong ujaran ibunya.
“Maksudnya adalah, seseorang tidak tahu nasibnya ke depan, akan ke mana dan di mana saja semasa hidupnya di muka bumi ini ia berada atau tinggal. Seperti sekarang, kita tinggal di desa ini. Tapi besok atau lusa, mungkin kita berada di tempat lain karena sesuatu hal.”
“Ooo, begitu.” Busra mengangguk-angguk. Terlintas di benaknya, nasib teman-teman sepermainannya dahulu. Misal, si Sapri sahabat sepermainannya sejak kecil yang sekarang malang melintang sudah sukses dengan membuka warung makan di Banjarmasin. Juga si Judin hidup nyaman sebagai pedagang kelontongan di kota Kapuas.
“Nah, yang keempat adalah maut atau mati,” sambung ibunya. “ Kita semua akan mati, akan menemui ajal. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai hamba-Nya janganlah ditinggalkan. Dan janganlah berbuat kerusakan. Serta niatkanlah setiap pekerjaan kita untuk ibadah. Sebab sewaktu-waktu kita akan dijemput maut. Maut itu tak pandang kaya atau miskin, tua atau muda. Ingat, tak hanya buah kelapa masak yang jatuh dari tangkainya karena sudah kering, tapi katilambung atau bakal buah pun tak terkecuali kerap terlepas dari tangkai karena layu. “
Busra mengangguk-angguk mendengari ujaran demi ujaran ibunya yang sarat makna itu. Ujaran-ujaran seperti demikian sudah terbiasa bagi telinganya. Sebagaimana kebiasaannya setiap hari mendatangi pohon-pohon enau, memanjati anak sigai, memukul-mukul tandan enau sambil menyenandungkan puisi mantra, menurunkan bumbung berisi air nira, dan membawanya pulang untuk dijerang di kuali besar di atas marak api tungku, hingga dicetak dalam lumpangan menjadi gula merah.
Hari-hari terus merayap. Sebagaimana langkah-langkahnya mendatangi pohon-pohon enau. Seperti kaki-kakinya meniti anak sigai. Tak terasa, hari persandingannya sudah semakin dekat. Busra sudah menyiapkan sarung, kemeja putih, dan kopiah baru dari uang hasil menjual gula merah jerih payahnya. Karena sarung, baju, dan kopiah baru yang dijanjikan pak Lamberi sebulan lalu belum juga kunjung diterimanya.
Suatu siang, sebuah siang yang betul-betul sangat berbeda dengan siang-siang sebelumnya bagi Busra. Sepulang ia dari memunguti bumbung air nira, rumahnya didatangi beberapa orang polisi dengan senjata lengkap. Hari itu Busra muda ditangkap. Dengan berlinang air mata ibunya menangisi anaknya diborgol dan digiring ke kota di depan matanya.
Sejak hari itu, Busra tak ada lagi di desa kelahirannya. Kabar yang sampai ke desa, Busra diisolasi di penjara Nusakambangan, karena tercatat sebagai juru tulis partai yang oleh pemerintah saat itu dinyatakan dilarang hidup di negara Indonesia yang menganut azas berketuhanan yang mahaesa.
“Nah, kalian bisa hitung sendiri, sejak tahun 1965 aku sudah tidak tinggal di desa ini lagi, … sekaranglah baru aku bisa menikmati harum dan indahnya tanah kampung halaman, tanah kelahiran, tempat menumpahkan rindu dendam,” kata Kayi Busra.
Tak ada lagi terdengar pertanyaan usil dari anak-anak remaja itu, kecuali helaan napas. Sementara Kayi Busra begitu menikmati sisa potongan kreteknya, yang tinggal sedikit lagi sambil memandangi pucuk-pucuk enau yang bergoyang-goyangan lembut dipermainkan angin senja.
Kandangan, 16 Agustus 2007
Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html
0 komentar: