Cerpen Miziansyah J: Tolak Kapuhunan
Kerumunan para petani ladang di depan rumah Pak Kardi nampak berdesakan, seperti ada sesuatu yang mereka hajatkan, sehingga menimbulkan suasana sedikit gaduh. Tapi di tengah kerumunan itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya pak Kardi dengan senyum khasnya. Seketika itu suasana pun jadi hening. Kecuali ada dua tiga orang saling berbisik, sambil mendekatkan kepala masing-masing untuk memperjelas pendengaran mereka.Pak Kardi melemparkan pertanyaan : “Kira-kira dari kotoran apa pupuk yang paling okey itu?”
Secara serentak, mereka pun menjawab, tetapi dengan berbagai macam ucapan: ada yang dari kotoran sapi, kotoran kambing, kotoran ayam dan lain-lain.
“Semuanya tidak tepat! yang tepat itu kotoran manusia”. Kata pak Kardi.
“Huuiii…. jorok!” Sahut mereka sambil celoteh.
Di tempat-tempat tertentu di Singapore, kotoran manusia selalu jadi incaran. Karena ada orang yang mengusahakannya, untuk diproses menjadi pupuk. Tapi di negeri kita, kotoran masih menjadi image yang menjijikkan. Seolah-olah setiap wujud kotoran merupakan sumber bibit penyakit. Sekalipun kotoran diproses dalam bentuk dan aroma yang menarik namun bagi mental Indonesia biasanya terlalu akrab dengan rasa mual.
Tapi buat kita di sini, masih tersedia kotoran hewan yang tidak kalah mutunya dibanding kototan hewan lainnya, sebagai penggembur lahan pertanian, kotoran itu adalah kotoran kelelawar. Konon kelebihan tahi kelelawar ini memang mengandung zat nitrogen dan kalium, unsur yang sangat diperlukan oleh pertumbuhan tanaman.
“Tapi. Bapak-bapak disini, apakah memang membutuhkan pupuk yang saya maksudkan?” Ucap Pak Kardi sembari menawarkan.
“Tentu….!”
“Tapi persediaan di tempat saya terlalu sedikit, kira-kira tidak cukup untuk dibagikan buat Bapak-bapak yang ada di sini. Kalau tidak ada aral Insya Allah besok saya akan mencari sekadar memenuhi stok yang akan diperlukan. Jadi dua tiga hari lagi kebutuhan Bapak-bapak Insya Allah akan terpenuhi.” Demikian penjelasan pak Kardi kepada para petani.
Pak Kardi yang juga seorang praktisi tani palawija, di samping sebagai penumpuk sekaligus penyalur pupuk kandang yang amat dibutuhkan oleh para petani lainnya. Keberadaan pupuk kandang di gudang Pak Kardi cukup menumpuk, sejak dari kotoran sapi hingga kotoran ayam, kecuali yang terbatas dari tahi kelelawar. Pupuk yang satu ini cukup digemari oleh petani palawija. Bahannya memang langka. Objek pengambilannya pun harus melalui tingkat perjuangan yang cukup berat. Pengambilan di gua-gua batu. Di tempat ini, kotoran kelelawar bertumpuk-tumpuk dan selalu menjadi sasaran pencarian para petani. Seperti di gua kelelawar gunung Batu Bini. Kondisi gua ini cukup menantang bagi pengais pupuk. Siapa pun yang berminat untuk mengambilnya harus terlebih dahulu menyiapkan bahan; beberapa pohon bambu, sebagai alat untuk memanjat dan turun (sigai). Sigai ini harus sambung dua, panjangnya lebih kurang 50m dari bawah lalu dari puncak ke bawah (bagian dalam) dikasih sigai lagi dan inipun sambung dua dari atas ke bawah.
Perlengkapan lainnya berupa tambang, sebagai alat pertanda dari luar maupun dari dalam, sekaligus sebagai alat untuk penarik (uluran). Pada ujung uluran diikat keranjang atau kampil, yang fungsinya sebagai penampung bahan. Setelah tempat penampung penuh diberi isyarat dengan jalan digerak-gerakkan ini menandakan siap untuk ditarik.
Menurut keterangan penduduk setempat, gua tempat kelelawar mangkal terdapat di desa Mandapai. Sedang gua yang ada jumlahnya dua. Satu tempat mangkalnya kelelawar, satunya lagi gua Batu Bini tempat rekreasi. Di gua ini terdapat ornamen atau patung sepasang singa. Konon patung ini ada hubungannya dengan awal terjadinya gunung Batu Bini yang berasal dari kapal seorang anak yang durhaka Raja Angui, Raden Pengantin. Berawal dari terlanjur jatuhnya sumpah serapah seorang Ibu tua (Diyang Ingsun) terhadap anak kandungnya Raden Pengantin. Yang lagi singgah di pelabuhan. Ketika Raden Pengantin beserta istrinya tengah berlayar, dari negeri seberang menuju ke suatu tempat (entah ke mana). Tiba-tiba ia singgah di sebuah pelabuhan. Pada saat kedua bahtera bersandar di pelabuhan, Raden Pengantin bersua dengan seorang ibu yang sedang merindukan kedatangan anaknya. Sesuai dengan perasaan ibu itu bahwa Raden Pengantin yang sedang menambat kapal di pelabuhan itulah anak kandungnya yang ia rindukan. Namun Raden Pengantin tidak mengenal latar belakang orang yang sedang menantinya ini. Orang tua ini terus berusaha, sembari mengemukakan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ia adalah benar-benar orang tua kandung dari seorang anak yang bernama Raden Pengantin. Berkali-kali seorang ibu menunjukkan bukti : “Hai…. Anakku Raja ! Raden Pengantin, ini bukti bahwa kau anak kandungku.” Selanjutnya sang ibu : “Inilah ikan gabus yang kau minta piarakan sejak dulu, sekarang ia sudah besar, dulu belum ada lumut di atas kepalanya , sekarang penuh dengan lumut.”
Seterusnya sang ibu menyatakan .” Hal ini menunjukkan bahwa ikan gabusmu, selalu berkembang dari hari ke hari, dulu kau piara awalnya hanya sebesar jari, sekarang lebih besar dari pergelangan.”
“Tidak….tidak!.....Aku tidak punya ikan sebesar itu.” Selanjutnya ia katakan ”Karena kau bukan ibuku, ibuku lebih muda dari kau, sedang kau terlalu tua untuk itu“
Diyang Insun berteriak dan terus berteriak sampai tujuh kali, menyeru anaknya agar Sang anak berkenan mengakui sebagai orang tuanya. Sebanyak tujuh kali teriakan itu, tujuh kali pula keengganan anaknya seruan orang tuanya.
Ketika itu cuaca masih cerah, angin pun berhembus dengan lembutnya, seekor burung elang mengepakkan sayap, di angkasa berputar-putar sambil mengeluarkan suara: ”ngoooweeek….ngooooweeek……” Bunyi elang seakan-akan turut mencegah, agar kutukan Diyang Ingsun terhadap anaknya sebaiknya tidak perlu dijatuhkan, atau tunggu saja waktu yang tepat . Namun di saat seruan ketujuh kalinya tidak dihargai sang anak, seketika itu darahnya makin tersirap. Jantungnya kian berdetak. Panas hatinya tambah membubung. Buruan nafsu amarahnya pun tak tertahankan. Pada saat itulah sesuatu yang tak patut diucapkan, terpaksa meluncur dari bibirnya : “ Hai Anakku Raden Pengantin, karena kau enggan mengakui aku sebagai ibumu, maka dengan ini kau akan menjadi batu!” Seketika itu, terdengar bunyi gemuruh, langit mendung, nampaknya badai mulai menyerang. Tiba-tiba bahtera yang sedang berlabuh itu, menjadi batu. Kapal yang satu dimulai dari Sungai Amandit (Batu Laki) hingga mencapai Pagat Talikur, Miawa Kabupaten Tapin, berjarak lebih kurang 18 Km. Juga diawali dari Sungai Amandit hingga ke Mandapai, Kecamatan Padang Batung, Hulu Sungai Selatan, berjarak lebih kurang 8 Km. (disebut Gunung Batu Bini).
Sepanjang Gunung Batu Bini inilah terdapat banyak jendela. Jendela kapal dan tingkap (pada lambung) yang menjelma menjadi gua (tempat peristirahatan kelelawar). Tingkap yang terbilang besar, tentu saja Gua Kelelawar yang terletak di Mandapai. Konon di Gua Kelelawar persediaan kotoran hampir tidak ada batasnya , berapapun kita mau asal jangan melebih-lebihi, pasti akan mudah didapat. Caranya sesuai dengan niat yang kita hajatkan. Kalau kita punya niat 3 kwintal, maka yang kita dapatkan hanya 3 kwintal . Kalau mau lebih, maka yang 3 kwintal harus dihabiskan lebih dulu. Kotoran kelelawar yang boleh kita ambil hanya bersifat indo, sebagai bahan kombinasi dengan bahan yang lain, misalnya dengan tanah kolongan. Jika digunakan melulu indo, kotoran ini terlalu keras unsur harnya, bisa mengakibatkan kematian, maka harus diperlemah dengan campuran tanah kolongan. Tujuan Pak Kardi untuk menumpuk kotoran kelelawar ini, bukan melulu untuk dijual, tapi rencananya untuk dipakai sendiri.
Dengan dibantu oleh kaki tangannya, Jumberi yang siap mengais kotoran kelelawar. Jika tempat penampung sudah penuh, Jumberi menggunakan isyarat dengan jalan menarik (menggerak-gerakkan) tali yang membentang dari atas ke bawah. Dengan demikian orang yang di bawah pun menarik bahan yang terisi penuh itu. Tumpukan pupuk yang didapat oleh Pak Kardi dan kawan-kawan ini, sudah berhasil kira-kira ¾ kwintal. Namun setelah itu tidak ada lagi gerakan tali dari dalam. Sekalipun berteriak juga tidak terdengar oleh Jumberi yang lagi mengais kotoran dalam gua, mungkin juga kehabisan oksigen.
Mulailah sigai dipanjat oleh Insan dan Ahmad dengan hati-hati sekali . Agaknya sudah mulai mendekati pintu gua, sambil menggunakan lampu sinter. “ Oh, suatu tebing yang curam, kearah dasar gua ini.” Kata Ahmad. Begitu mereka turun mendekati dasar, tampaklah Si Jumberi terbaring telentang di dasar gua. Nampaknya Jumberi lagi semaput. Mereka perhatikan dengan menyalakan sinter kalau-kalau ada penyengat atau binatang berbisa lainnya. Dan ternyata tidak ada apa-apa. Si Jumberi hanya mengalami pingsan biasa. Apakah akibat kelelahan atau kekurangan oksigen.
Maka timbul pemikiran. Jika tubuh Jumberi dibiarkan tergeletak di dalam goa, hingga menunggu siuman, tentu amat merugikan karena dalam goa cukup tertutup, sebaiknya harus dikeluarkan dari goa, secepatnya. Hingga diambil keputusan untuk mengangkat tubuh Jumberi secepatnya, pertama supaya dipersiapkan kerangka pengikat. Kedua dengan mengangkat, dan yang yang ketiga cara mengeluarkannya. Ketika tubuh Jumberi masih di bawah, berarti harus dengan cara diangkat, tapi setelah tubuh mengambang di atas, berarti harus diturunkan perlahan. Pada saat penurunan kebetulan berjalan lancar. Setelah tubuh mencapai tanah, ia segera dibaringkan. Sementara kondisi masih mengalami pingsan. Tapi pada jidat dan lehernya nampak mulai meriap keringatnya. Lalu dikasih air tawar yang dimintakan dari seorang tuan guru (ulama). Pertama harus diusap bagian wajahnya. Kemudian kedua tangannya, bagian dadanya lalu kedua kakinya. Setelah diusap, tampaknya sinar wajahnya mulai berubah. Beberapa saat kemudian, Jumberi betul-betul siuman. Setelah ditanya, ia menceritakan bahwa dirinya telah bermimpi persis seperti awal kejadian, atau ketika terjadinya peristiwa sumpah serapah Diyang Ingsung terhadap anaknya Raden Pangeran.
Maka dari dari kejadian ini, atas inisiatif Pak Kardi. Jumberi akan ditapung tawari (Badudus) supaya jangan kepuhunan atau diganggu orang halus.***
Kdg, April 2007
Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html
0 komentar: