Cerpen Leny Apriyanti: Gundukan Tanah Merah
“Umi harusnya tahu bagaimana perasaan Alif, mana mungkin Alif bisa begitu saja menerima seorang wanita yang tiba-tiba mengaku sebagai ibu kandung Alif?!!” Itulah yang disuarakan Alif sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar berpintu ukiran. Meninggalkan seorang wanita paruh baya yang terperangah, tak percaya pada perkataan keras anak asuhnya. Ini bukan Muhammad Alif Febrian yang dikenalnya. Tapi wanita paruh baya tersebut memahaminya... Karena dirinya tahu.Umi Huda, begitu anak-anak asuh memanggil wanita paruh baya itu. Pandangan Umi Huda menerawang... Kala itu, Alif masih berusia enam bulan saat polisi mengantarkannya ke Panti Asuhan Bumi Mulia yang di kelolanya. Polisi hanya menjelaskan bahwa selangkah lagi Alif akan dijual oleh ibu kandungnya seharga 15 juta. Senyum Alif merebak saat itu, Umi Huda mencintainya, mencintai senyum tulus dari seorang anak terbuang layaknya Alif. Bahkan cinta Umi Huda masih sama hingga kini Alif telah sukses menjadi seorang perawat profesional di salah satu rumah sakit terkemuka di Banjarmasin. Kesuksesan tak meninggikan hati Alif, tekad yang membuat Alif tetap bertahan di panti, membantu perekonomian panti, meringankan beban Umi dan ingin bersama adik-adik panti katanya. Subhanallah.
Umi sebenarnya tak rela bila harus kehilangan sosok yang sudah dirawatnya selama 23 tahun itu. Tapi mau bagaimana lagi, yang berhak atas Alif adalah ibu kandungnya, ibu yang 2 hari lalu datang ke panti, dan mengaku bahwa dirinya adalah ibu kandung dari Alif, bersama dengan bukti-bukti tertulis berupa akta kelahiran dan beberapa foto Alif. Dan saat Umi Huda menjelaskan pada Alif, Alif berontak, memungkiri bahwa ibu tersebut adalah ibu kandungnya.
***
Pagi merayap, subuh perlahan melenyap. Matahari akan meraja. Sinarnya sudah mulai berontak di ufuk timur. Tak sabar merenggut embun. Lima menit yang lalu Alif usai mengajar ngaji anak-anak panti. Dan sekarang dengan gesit membereskan beberapa iqro’ dan Alqur’an di meja mushola sebelum akhirnya menghampiri Umi Huda di dapur. Menyambut sarapan bersama adik-adik panti.
“Ya sudah, Kak Alif berangkat kerja dulu... Kalian jangan nakal, bantuin Umi beres-beres yaa...” pesan Alif kepada adik-adik panti saat beranjak dari meja makan yang disambut koor setuju. “Alif berangkat ya, Umi. Assalamualaikum.” Lanjutnya sembari mencium tangan Umi Huda.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Nak,” sahut Umi Huda.
“Abaaaaang Aliiiiiiff.” Ada sebuah teriakan kecil saat Alif tengah memasang sepatu putihnya, yang senada dengan warna seragam dinasnya. Alif menoleh dan mendapati asal suara. Ada gadis kecil yang tergopoh menuju ke arahnya.
“Kenapa Uni, Sayang? Kok lari-lari?” tanya Alif dengan lembut sembari mengusap kepala gadis kecil tersebut.
“Abang, kemalin kan Ipah udah dapet olang tua balu. Uni pengen kayak Ipah. Nanti kalo abang ketemu olang tua Uni, bilang-bilang ya, Bang,” terang gadis kecil bernama Uni dengan lugu dan cadel yang menjadi ciri khasnya.
Alif sempat termenung, terharu. Kasihan adik kecilnya ini. “Iya, Sayang. Tapi Uni harus belajar yang rajin ya biar bisa ketemu orang tua Uni, abang berangkat dulu ya...”
Uni mengangguk semangat, senyumnya terkembang sembari melambaikan tangannya pada Alif. Ada sesuatu yang bergejolak di hati Alif.
***
Hari ini Alif kena jatah dinas pagi. Lumayan lah, setidaknya semangat pagi masih melekat. Dari perjalanan hingga rumah sakit, pikiran Alif tak berhenti memikirkan Uni. Ya, bukankah dirinya jauh lebih beruntung dari gadis kecil itu? Dia masih memiliki ibu, sedang Uni?!! Ah, tapi tetap saja, ego menundukkannya.
Seperti biasa, koridor rumah sakit ini masih bisu, berlantai dingin dan acuh. Mati rasa pada tetesan darah, dan diam saat beberapa kursi roda menggilasnya. Alif menebar senyum pada pasien dan teman sejawat yang tertangkap matanya, tenaga kesehatan harus ramah. Wajib malah. Tapi ekor matanya terhenti pada seorang ibu yang tengah terduduk di taman, sendiri, ada selang infus yang melilit tangannya. Jilbabnya sesekali disapu angin, tapi tak mengusik, karena ibu tersebut masih terpaku. Diam. Alif tertarik, langkahnya tersedot.
“Loh, ibu kok disini sendiri, nggak istirahat di kamar? Suster yang nemenin ibu mana?” sapa Alif sopan, mengambil posisi tepat di samping ibu.
“Percuma saya istirahat, toh saya akan mati juga...” jawab ibu itu, ada nada putus asa disana.
Alif terperanjat, tak menyangka ibu tersebut menjawab demikian. Alif memang tahu, bahwa ibu di sampingnya ini tengah menderita kangker rahim stadium akhir, berita itu Alif dengar dari teman sejawatnya kemarin. Tapi Alif tak menyangka ibu ini begitu putus asanya.
Alif menarik napas. “Semua orang pasti meninggal, Bu. Bukan tidak mungkin saya yang bakal meninggal duluan dari Ibu. Kalau itu memang takdir Allah.”
“Saya rela kalah oleh penyakit ini, asal saya bisa bertemu dengan anak saya.”
Kening Alif berkerut mendengar jawaban ngelantur ibu tersebut.
“Saya bersumpah. Saya mencintai anak saya. Lelaki biadab itu yang merenggut kebahagiaannya.”
Alif semakin tak mengerti. Tapi saat bibirnya terbuka, ingin bertanya. Ibu tersebut roboh. Nadinya melemah. Lenyap.
***
Ada suara pintu diketuk. Dari arah kamar Alif. Dengan cepat Alif melipat sajadahnya usai sholat Isya sebelum mengambil langkah seribu menuju pintu. Ada Umi Huda di baliknya, bersama dengan senyum teduhnya.
“Boleh Umi masuk?” tanya Umi.
Alif mengangguk, lalu kemudian menyingkir, memberi celah Umi Huda masuk. Umi Huda menarik kursi dari meja kerja Alif, sementara Alif sendiri memilih duduk anteng di tempat tidurnya.
“Nak, kamu pasti mengerti kenapa Umi disini kan?” kata Umi Huda memancing. Alif dapat menerka ke mana pembicaraan Umi Huda nantinya.
“Maaf Umi. Apa Umi ingin membahas perihal ibu kandung?”
“Kamu benar, Nak. Jadi, apakah kamu sudah percaya bahwa dia benar ibu kandungmu?” tanya Umi langsung pada topik.
“Alif percaya padanya, Umi. Tapi Alif tak ingin bersamanya, Alif ingin tetap bersama Umi di panti,” jawab Alif, lelah menyangkal dari pertanyaan Umi.
“Tidak kah kamu berniat menemuinya, Nak? Untuk sekedar menyambung ikatan ibu dan anak diantara kalian,” tanya Umi lagi, menekan Alif.
“Untuk apa Umi? Alif sudah bahagia seperti ini, lagi pula, selama 23 tahun Alif terbiasa tanpa dia, Umi,”
Umi Huda menarik nafas berat. “Nak, bagaimanapun surga Allah ada di telapak kaki ibu kandungmu. Umi tak ingin kamu kehilangan surga itu,” jelas Umi, matanya berkaca-kaca.
“Tapi, Umi. Dia....”
“Karena dia telah membuangmu? Begitukah?” potong Umi. Tenggorokan Alif tercekat, perkataan Umi tak terelakkan. “Ketahuilah, Nak. Ibumu tak berniat membuangmu, ayahmu lah yang menjebaknya, ayahmu yang sebenarnya menjualmu. Beberapa hari setelah itu, ayahmu meninggal karena over dosis narkoba yang dikonsumsinya, dan ibumu yang menanggung beban sebagai ‘narapidana’.”
Alif lemas. Kedua telapak tangannya meremas kepala. Kepalanya nyeri. Ingin meledak.
“Umi harap kamu bersabar, Nak. Baru saja Umi mendapat kabar bahwa ibumu telah meninggal... Ternyata selama ini ibumu tengah kritis. Besok pagi pemakamannya. Datanglah, Nak. Datanglah sebagai seorang anak yang berbakti.”
***
Alif terduduk. Gundukan tanah itu jelas masih merah. Taburan bunga pun masih segar. Sudah lebih dari satu jam Alif terpaku memandangi nisan yang bertuliskan nama ibu kandungnya, Aini Zahara. Sekali gerak, tangannya berhasil merogoh sebuah foto dari saku celananya, foto seorang ibu muda yang tengah memangku anaknya. Ibu muda dalam foto itu adalah wanita paruh baya yang beberapa hari ditemuinya di taman rumah sakit, yang menemui ajal saat berbincang ‘ngelantur’ dengannya. Dan wanita itu adalah ibu kandungnya.
Tangan Alif meraih nisan, mengelusnya dengan penuh sayang... “Maafkan Alif yang terlambat menyadari kasih sayangmu, Bu. Maafkan Alif yang belum sempat berbakti padamu, Bu. Alif janji akan menjadi anak yang shaleh untukmu, Bu. Hanya dengan itu Alif mampu berbakti padamu, Bu.”
(Banjarbaru, juni 2012)
Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 24 Juni 2012
http://www.apriyantileny.blogspot.co.id/2015/03/gundukan-tanah-merah.html
0 komentar: