Cerpen Iwan Yusi: Bansau

20.36 Zian 0 Comments

Pukul sepuluh siang acara keramaian itu dimulai. Bunyi babun ditabuh kian  gegap gempita. Seorang penari kuda gipang lenggang-lenggoknya semakin panas mengikut  irama. Apalagi setelah acara bananaikan batang pinang atau panjat pohon pinang dimulai. Enam orang anak mengenakan topeng lucu membuat sorak-sorai penonton tambah riuh rendah menggemai. Penontonpun tua muda semakin berdatangan dan berjejal-jejal seperti semut merubung manis gula.
Keramaian ini digelar di halaman rumah Pak Haji Abas. Orang tua terpandang  yang sering dipanggil Juragan Bansau  itu sengaja menggelar acara keramaian ini dalam rangka menyambut kepulangan anak semata wayangnya yang baru menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa.
Sebuah mobil sedan perlahan memasuki lawang sakiping atau pintu gerbang yang berhias janur kuning dan aneka warna bunga-bunga. Mobil berhenti, dan diparkir di tengah halaman. Seorang pemuda gagah keluar dari dalam mobil. Pak Haji Abas lekas menyambut dan memeluk sang pemuda yang tak lain adalah anak tunggal kebanggaannya. Lalu perlahan pemuda itu dibimbing menaiki sebuah panggung kecil yang telah disiapkan. Selanjutnya orang tua itu dengan penuh semangat menyampaikan semacam kata-kata sambutan, sebagaimana layaknya sebuah acara resmi di kelurahan.
Pertunjukan seni kuda gipang dan bananaikan batang pinangpun dihentikan sementara. Perhatian mereka pun tumpah ke arah panggung.

“Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, serta anak-anak, ikut hadir meramaikan penyambutan anak tunggal saya si Muhransyah. Ingat, Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari, serta anak-anak,  … sejak hari ini Muhransyah sudah berada di tengah-tengah kita kembali setelah hampir empat tahun ia kuliah di  Pulau Jawa. Muhransyah sekarang adalah lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia, yaitu IPB, singkatan dari Institut Pertanian Bogor. Muhransyah sekarang sudah menyandang gelar Insinyur, jadi kalian harus memanggilnya Insinyur Muhransyah, “ ujar Pak Haji Abas berapi-api dengan pelantang suara yang erat di genggamannya.
Sementara itu si pemuda bernama Muhransyah tampak seperti cacing kepanasan. Ia duduk gelisah bagai seorang anak kecil  kebelet buang air kecil tapi tak tahu di mana tempat semestinya. Wajahnya kelihatan kemerah-merahan, sesekali menunduk  tersipu malu.
“Sudahlah Abah, … sudah …sudah, tak perlu basa-basi dan puja-puji seperti itu. Aku jadi malu,” ucap pemuda itu tak tenang.
Berkali-kali pemuda itu meminta agar ayahnya menghentikan celotehannya yang semakin tak terkendali. Sebagian orang dapat memaklumi kalau itu adalah sebuah ungkapan kegembiraan seorang ayah terhadap keberhasilan anaknya. Namun sebagian pengunjung ada pula yang secara diam-diam mencibir mengolok-olok atas sikap berlebih-lebihan orang tua itu. Tapi orang tua itu tak bergeming dari atas panggung.
Besok harinya Pak Haji Abas mengajak anaknya berputar-putar berkeliling kampung. Satu per satu ia menunjukkan tanah sawah, tanah pematangan, dan usaha band saw atau penggergajian kayu miliknya.
Mobil sedan warna hitam itu berhenti di sisi jalan, dekat tumpukan kayu-kayu gelondong. Pak Haji Abas dan anak kebanggaannya keluar dari mobilnya. Sesekali orang tua itu menunjuk-nunjuk ke arah tumpukan kayu gelondong. Sesekali pula ia berujar-ujar nyaring karena suaranya kalah lantang oleh bunyi suara mesin yang menderu tak henti-henti. Dengan langkah seperti pejabat penting keduanya mendekati mesin-mesin pemotong kayu yang sedang dioperasikan oleh beberapa pekerja.
“Ini band saw kita yang paling besar dan baru, Ran. Di bansaw ini  paling banyak menghasilkan kayu olahan. Karena produksinya banyak dan kualitasnya  terbaik, maka dari band saw ini kita khususkan untuk mengirim kayu balok ke Pulau Jawa dan luar negeri. Sedang dari produk band saw yang lain kita pasarkan di daerah sendiri,” ujar Pak Haji Abas nyaring, seperti berbicara dengan orang tuli. Sedang pemuda itu tampak mengangguk-angguk, menyimak serius ujaran ayahnya.
“Saya bisa mengerti itu, Bah. Tapi yang saya belum mengerti, bagaimana caranya Abah mengumpulkan kayu-kayu gelondong sebanyak itu ? Bukankah, dari berita yang santer akhir-akhir ini, 50 persen dari kekayaan kayu di hutan Pegunungan Meratus sudah hilang oleh pelaku illegal loging atau para perambah liar,” sahut Muhransyah dengan serius pula.
“Husss ! Kamu jangan berujar-ujar seenaknya dengan istilah-istilah menakut-nakuti  begitu. Abahmu ini sudah mengantongi surat izin usaha dari Dinas Kehutanan, dari Pemerintah Daerah, ” kata orang tua itu sangat serius untuk meyakinkan anaknya.
“Bukan maksud saya menuduh Abah sebagai pelaku illegal loging, atau menakut-nakuti Abah. Tapi saya ingin tahu, bagaimana cara Abah mendapatkan kayu-kayu gelondong berukuran besar-besar begitu ? “ kata Muhransyah tersenyum-senyum sambil membelai-belai bahu ayahnya.
“Hmmm, … nanti akan saya tunjukkan bagaimana cara mendapatkan kayu-kayu besar itu. Ingat, … kamulah nanti yang akan meneruskan usaha besar ini, Muhran,” kata orang tua itu bangga seraya menatap wajah anak tunggalnya.
Mobil sedan itu kembali meluncur menelusuri jalan sempit berbatu-batu, menuju ke arah hulu kampung. Muhran merasa sangat senang dapat kembali melintasi jalan-jalan  sempit yang masih termasuk wilayah kampung halamannya. Namun perasaannya sedikit gundah manakala di kiri-kanan jalan tak lagi tampak olehnya  jejeran batang-batang pohon sungkai yang bercabang rampak meneduhi sepanjang jalan. Agak menjorok ke dalam dahulu banyak tegak menjulang berbagai jenis pohon-pohon tinggi besar, seperti durian, hambawang, binjai, tarap, katapi, banyu-banyu, ketapang, serta pohon kelapa. Tapi sekarang pemandangan telah berubah meranggas, miskin pepohonan. Kecuali  sungai yang berawal dari pegunungan Meratus itu airnya masih saja mengalir. Di kawasan inilah dahulu semasa remaja Muhran dan teman-teman sebayanya dalam kelompok Pencinta Alam sering datang mendirikan tenda berekreasi, terutama pada musim libur. Ia ingat betul, setiap anggota dilarang memotong tumbuhan yang masih hidup dalam kelompok Pencinta Alam mereka. Larangan itu bahkan menjadi syarat untuk masuk anggota Kelompok Pencinta Alam mereka.
Sebelum mobil menaiki jalan agak menanjak, mereka berhenti di bawah serumpun bambu. Agak menjorok dari jalan tampak sebuah rumah  kecil. Di halaman rumah itu tampak seorang lelaki tua  sedang sibuk memotong-motong dahan kering, sepertinya untuk dibuat kayu bakar.
“Selamat siang, Pak Jumberi,” ujar pak Haji Abas menegur lebih dulu.
Orang tua itu menghentikan pekerjaannya. Tampaknya ia sangat senang melihat kedatangan pak Haji Abas yang lebih dikenal warga dengan Bos Bansau untuk sebutan kata band saw yang berarti gergaji mesin itu.
Sejenak Pak Haji Abas mendongak-dongak memandangi sebatang pohon binjai  yang tegak tinggi besar di belakang rumah. Pohon itu tidak berbuah karena memang belum musimnya. Namun cabang-cabangnya  yang berdaun lebat menaung lindap hingga ke halaman rumah.
“Pak Jumberi, … pohon binjai itu kan tak ada hasil dan manfaatnya juga. Bagaimana kalau dijual saja?  Niiih,… tiga puluh  ribu rupiah, sore nanti pohon itu saya tebang. Bagaimana? “ ujar Bos Bansau seraya memperlihatkan tiga lembaran merah uang puluhan ribu rupiah.
Sejenak orang tua itu tersenyum.
“Pohon binjai itu tinggi besar, lurus pula, … masa cuma tiga puluh ribu rupiah, Pak. Tambahlah dua puluh  ribu rupiah lagi, Pak,” pinta orang tua itu.
Haji Abas mengeluarkan selembar uang harga sepuluh ribu rupiah.
“Nih, saya tambah sepuluh ribu rupiah.  Jadi empat puluh ribu rupiah, sudahlah terima saja. Ini sudah tergolong mahal, Pak. Di kampung sebelah pohon binjai sebesar ini juga saya beli cuma tiga puluh ribu rupiah,” bujuk Haji Abas bersilat lidah.
"Ya,” sahut orang tua itu singkat seraya menyambut sejumlah uang yang disodorkan ke tangannya. Uang itu memang tergolong banyak bagi ukuran ekonomi rumah tangga pak Jumberi. Maka pohon tinggi besar itupun  telah berganti milik, hanya dalam sekejap.
Pak Haji Abas lekas mengeluarkan pesawat HP-nya dari saku celana. Lalu sebentar kemudian ia sudah berhubungan dengan salah seorang anak-buahnya di salah satu lokasi band saw atau tempat penggergajian.
"Saya dapat satu batang pohon binjai berukuran tinggi besar di belakang rumah Pak Jumberi di hulu kampung. Segera tebang nanti sore, ya ?! Ajak empat atau lima orang buruh dengan mobil pick up untuk mengangkutnya,” sejenak Bos Band Saw berbincang dengan salah seorang pembantunya.
Muhran manggut-manggut pertanda ia dapat mengerti bagaimana cara ayahnya mendapatkan kayu gelondong. Betapa mudahnya transaksi itu dilakukan. Sungguh tidaklah terlalu sulit usaha penggergajian yang selama ini dijalankan oleh ayahnya.  
Hari itu Muhransyah terus diajak meninjau ke beberapa lokasi penggergajian kayu atau band saw milik ayahnya. Tak hanya itu, ia juga menyaksikan langsung bagaimana cara ayahnya mendapatkan batang-batang kayu sebagai bahan baku selama ini.
Tahulah sudah Muhran bagaimana kiat jitu ayahnya berbisnis kayu. Rupanya usaha itulah yang menopang kuliahnya selama ini. Pantas saja ayahnya sukses dan tergolong jadi orang kaya, paling tidak terkaya di kampungnya. Ia mengakui ayahnya memang pintar berbisnis, sayang ia tidak sependapat.
Setiap hari itu Muhran mundar-mandir dengan sebuah sepeda motor baru, dari satu lokasi penggergajian ke lokasi penggergajian di lain tempat. Ayahnya memang sengaja memintanya mengawasi usaha penggergajian itu, dengan maksud agar anaknya cepat memahami dan menguasai proses pengelolaan usaha besar yang selama ini dirintisnya. Dari pengumpulan bahan baku, memproses jadi kayu balok, hingga pemasarannya ke luar daerah bahkan luar negeri.
"Nah, sudah hampir dua bulan kamu melihat-lihat usaha besarku itu. Tentu kamu sudah sangat paham bagaimana cara mengelola usaha ini, Ran,” kata Pak Haji Abas suatu malam.
"Saya sangat mengerti, Bah.”
"Bagus. Itu artinya tak sia-sia aku menyekolahkanmu jauh-jauh ke Pulau Jawa dengan ongkos yang mahal. Nah, kuliahmu sudah selesai, dan kamu sudah dewasa dengan banyak pengalaman. Selanjutnya aku ingin istirahat menikmati hidup di masa tua ini. Jadi mulai minggu depan usaha ini kuserahkan kepadamu. Seluruh assetku telah menjadi milikmu. Silakan kamu kelola dengan baik, dengan terobosan-terobosan baru. Aku yakin ilmu pengetahuan yang kau peroleh selama kuliah akan menjadikan usaha ini lebih maju,” ujar orang tua itu serius seraya tersenyum-senyum bangga.
Sejenak Muhran terdiam. Ada perasaan asing bergemuruh di dadanya. Beberapa hari lagi ada tanggung jawab besar dibebankan ke pundaknya. Yaitu sebagai pimpinan usaha di bidang perkayuan. Demi ketenangan ayahnya ia harus menerima amanah berat itu meski bertentangan dengan hati kecilnya. Namun ada harapan, dengan cara ini pula ke depan ia akan dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk masyarakat  kampung halamannya.
Sejak menerima asset secara resmi dari orang tuanya, pemuda lulusan IPB itu tidak seceria hari-hari sebelumnya.  Ada beban teramat besar mengganjal di pikirannya. Betapa tidak, ia menghendaki kebijakan baru berupa perubahan besar pada usaha warisan ayahnya. Namun ia sangat yakin kebijakan yang ada di benaknya itu ditolak mentah ayahnya. Dan itu juga berarti mengusik ketenangan sekaligus kesehatan ayahnya. Tidakkah itu sebuah perbuatan keliru terhadap orang tua. Tidakkah nantinya ia akan dicela sebagai anak durhaka ? Tapi apa salahnya kebijakan mulia ini disampaikan? Bukankah dahulu ayahnya  pernah memberinya lampu hijau untuk membuat terobosan-terobosan baru.
Suatu hari Muhran dengan segala keberaniannya menyampaikan rencana perubahan besar-besaran itu. Semula ia berharap ayahnya menyambutnya dengan senang hati, dan menganggapnya sebagai sebuah terobosan baru. Atau bahkan memujinya sebagai sebuah upaya cerdas demi memajukan usaha yang dahulu dirintis orang tua itu. Paling tidak orang tua itu bisa memahami pemikiran baru seorang pemuda yang baru menyandang gelar sarjana.
"Saya akan menutup seluruh usaha band saw, sebab menurut saya prosfeknya sudah tidak menjanjikan lagi, Bah. Dan sebagai penggantinya, saya akan mengembangkan usaha perkebunan, pertanian, dan perikanan di daerah kita ini sebagai penyangga ekonomi keluarga kita sekaligus ekonomi masyarakat,” kata Muhran serius.
Kalimat itu bagi telinga pak Haji Abas seolah gelegar suara petir, yang membakar dada tuanya, mengusik ketenangan jiwanya selama ini. Sama sekali ia tak menduga, pemikiran anak tunggalnya yang baru menyandang gelar sarjana pertanian itu begitu menyakitkan. Seolah hendak meruntuhkan menara yang tinggi tegak yang selama ini ia bangun dengan kerja keras dan susah payah.
"Apa katamu?! Kamu akan menutup band saw, usaha yang selama ini kurintis?! “ ujar pak Haji Abas dengan geram. Dengan perasaan kesal ia berdiri sambil mencak-mencak. “ Hei ! Untuk kamu ketahui, … dari usaha band saw itulah aku mendapatkan banyak uang untuk membiayai kuliahmu selama ini. Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu membalas budi.”
Belum pernah Muhran melihat ayahnya semarah itu.
"Maaf, Abah. Bukan maksud saya hendak menghancurkan usaha yang selama ini Abah rintis. Tapi sesuai keinginan Abah, memberi keleluasaan pada saya belajar mengembangkan usaha sesuai ilmu pegetahuan yang saya peroleh selama di bangku kuliah. Bukankah itu sebuah  balas budi pada usaha Abah?”
"Itu bukan balas budi, itu namanya menghancurkan ! “
Orang tua itu semakin marah. Sebagai ungkapan kekesalanya, ia lekas menghindar dari anak yang tadi menjadi kebanggaannya. Ia tak hendak lagi mendengar kata-kata yang keluar dari mulut anaknya, apapun dalihnya.
Muhran jadi sedih. Ia tak dapat berbuat banyak, karena orang tua itu berhari-harian mengurung diri dalam kamar. Muhran berkali-kali membujuk orang tua itu agar keluar dari kamarnya, untuk merembukkannya kembali secara baik- baik. Namun usahanya sama sekali tak ditanggapi. Nyata benar orang tua itu teramat marah. Betapa tidakkan kecewa, selama ini ia sangat membangga-banggakan anak tunggalnya sebagai penerus usahanya, di mana ia mengobrol selalu menjadi buah bibir pujiannya, namun ternyata pikiran anak itu jauh bertolak belakang dengan pemikirannya. Tidakkah pula ia akan menjadi bahan olok-olokan orang? Sungguh ini sangat menyakitkan hati pak Haji Abas.
Seminggu sudah berlalu.  Bos bansaw itu sepertinya membatalkan niat menyerahkan assetnya kepada anaknya. Dan ia mencapnya sebagai anak yang tak tahu balas budi.
Bulan Oktober pohon jenis asam-asaman mengurak bunga. Hujan semakin sering turun mengguyur. Sungai yang melintasi desa airnya mulai melimpah, warnanya kuning kecokelatan setelah menggerus dinding-dinding bukit untuk seterusnya turun ke kali. Suaranya mengguruh bergelora menerjang apa saja yang menghalangi. Sebuah jembatan kayu di hilir desa telah ambruk dan hanyut terbawa arus deras. Debet air sungai terus bertambah hingga kedalaman sungai tak mampu menampung. Banjir telah malanda, melebar hingga ke beberapa desa, merendam apa saja, termasuk menenggelamkan  mesin-mesin band saw milik Muhran. Hal yang paling menyedihkan, mobil sedan kesayangan Pak Haji Abas ikut ditenggelamkan banjir. Dan tak hanya itu, barang mahal itu telah rengsek oleh terjangan sebatang kayu gelondong yang hanyut terbawa arus deras.
Di hilir kampung terdengar kabar ada dua anak-beranak hanyut dan tenggelam terbawa arus banjir. Sementara warga lain sibuk mengamankan barang dan  hewan piaraan mereka.
"Ini banjir paling tinggi, ini banjir paling membuat sakit hati ” keluh seorang warga.
Kawasan Pegunungan Meratus sudah tak mampu menyerap air hujan. Pohon-pohon besar yang dahulu akar-akarnya berfungsi menyerap guyuran air hujan sekarang hanya tinggal tonggak –tonggak mati  bekas sayatan shain saw atau  gergaji mesin yang akhir-akhir ini membabi buta.
Pak Haji Abas dengan terpaksa keluar dari persembunyiannya, karena kamarnya dipenuhi oleh air kuning kecoklatan setinggi pinggang. Lemari, ranjang, dan lain-lain perabotan rumah telah tenggelam oleh banjir. Dengan perasaan galau ia menemui Muhransyah minta segera diungsikan bersama beberapa warga lainnya ke tempat yang aman.
Banjir kiriman dari pehuluan memang kerap terjadi terutama pada musim hujan, tapi tidak sampai menenggelamkan rumah penduduk, kebun, dan sawah hingga berhari-hari. Dahulu ketika Muhran masih anak-anak, banjir hanya setinggi lutut dan tidak sampai menenggelamkan beranda rumah. Bagi anak-anak banjir adalah kesempatan bermain air di halaman. Menghela rakit batang pisang dari hulu ke hilir kampung begitu menyenangkan. Tapi banjir kiriman dari pehuluan tahun ini betul-betul menyengsarakan.
Akibat banjir kali ini pemerintah daerah menyatakan kerugian ratusan juta rupiah atas rusaknya beberapa sarana prasarana. Belum terhitung ribuan hektar sawah dan kebun yang gagal karena padi terendam air berminggu-minggu lamanya. Luapan air ini tak hanya merepotkan masyarakat, tapi juga membuat pemerintah sibuk menurunkan Tim SAR, mendistribusi bantuan makanan, obat-obatan, dan lain-lainnya yang tak sedikit dananya.
"Ketika kecil jadi kawan, ketika besar menjadi lawan, apakah itu ? “ celotehan seseorang di antara kerumunan para pengungsi.
"Aah, sempat-sempatnya kamu main tebak-tebakan,” sahut salah seorang di dekatnya. “ Pada saat-saat seperti ini, enaknya kita makan-makan. Perut sudah sangat lapar. Masa sudah sesiang begini nasi bungkus bantuan itu belum kunjung datang juga,” sambungnya lagi sambil tertawa-tawa.
"Ini semua karena ulah para pembalak kayu di kawasan hutan pegunungan,” salah seorang pula menyinggung soal penebangan pepohonan yang akhir-akhir ini merajalela.
"Yaa, setelah habis pohon-pohon di hutan pegunungan, dengan rakusnya pula para pemilik band saw menebangi pohon-pohon rakyat di pinggiran kota. Pohon-pohon rakyat yang terdapat di halaman dan belakang rumah, di kebun dan di sisi sawah mereka tebangi dengan hanya iming-iming puluhan ribu rupiah, “ salah seorang menyahut pula. “ Yaah, …yang namanya orang miskin tentu saja uang tak seberapa banyak tersebut sangat menggiurkan. Yaa, diterima laaah.”
"Naah, tragisnya mereka itu tanpa memikirkan usaha menanami kembali. Itulah sebabnya kampung-kampung  bahkan pinggiran kota kehilangan pohon-pohon besar. Itulah sebabnya pula, terik matahari terasa sangat menyengat, serasa membakar kulit, karena tak ada daun hijau yang berfungsi menyerap sinar ultra violet. Udara pagi pun terasa tidak sejuk seperti dahulu lagi. Angin kencang berhembus leluasa karena pohon tinggi besar yang berfungsi sebagai penyangga sudah tak ada. Lingkungan kita telah rusak. Maka tidak heran, bencana banjir, kemarau panjang, angin puting beliung, dan lain-lain datang mendera bertubi-tubi.”
"Hmm, … jadi terlepas dari legal atau illegal, berizin atau tanpa izin, menebangi pohon secara membabi buta itu adalah kegiatan buruk yang merusak lingkungan,” sahut seseorang pula, seolah ingin menutup pembicaraan.  Namun ternyata masih disambut oleh seseorang pula.
"Kesimpulannya, orang yang menebangi pohon-pohon semata untuk memperkaya diri sendiri, dan tanpa memikirkan usaha mereboisasi adalah penjahat lingkungan. Dan orang semacam itu patut mendapat hukuman seberat-beratnya ! Bagaimana Saudara-saudara ?! “
"Akuuuuur !! “
Derai tawa para korban banjir itupun terdengar semakin  ramai.
Muhran yang sejak tadi  ikut bergabung membantu membagikan obat-obatan, telinganya terasa panas mendengar celotehan  itu. Maka ia lekas menjauhi kerumunan warga pengungsi itu. Betapa pedas ujaran-ujaran itu di pendengarannya. Orang-orang itu memang dengan sengaja menyinggung-nyinggung dirinya, tentang sepak terjang ayahnya dalam berbisnis kayu selama ini. Dan ia tak berhak marah atau menyalahkan mereka itu. Orang-orang itu adalah korban bencana alam yang dipicu oleh para perusak lingkungan. Termasuk ayahnya yang selama ini telah banyak melakukan dosa terhadap lingkungan.
Seminggu setelah banjir melanda kampung-kampung, setelah kegiatan masyarakat kembali menggeliat, pemuda lulusan IPB itu menemui ayahnya.
"Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Abah, saya mohon sekali lagi  Abah merestui kebijakan baru yang saya gagas beberapa waktu lalu,” ucap Muhran perlahan di teras depan rumahnya yang sebagian masih berlepotan lumpur. Ujaran itu dilontarkannya dengan harap-harap cemas.  
"Mengembangkan pertanian, perkebunan, dan perikanan, … lalu menutup usaha bansau itu? “ ujar orang tua itu dengan suara serak berat.
"Ya,” sahut pemuda itu singkat tegas. Wajahnya tampak kemerah-merahan  seperti menyimpan tenaga begitu kuat yang hendak segera dimuntahkan.
Sunyi sejenak.
"Muhran, apa yang akan kau lakukan itu sangatlah pantas. Engkau kuliah dengan uang dari bisnis usaha bansau. Sementara usaha itu ternyata pemicu kerusakan lingkungan. Maka sangat tepat ilmu yang kau dapat seyogyanya disumbangsihkan kembali untuk kemaslahatan lingkungan. Aku sudah terlanjur berbuat salah, maka di pundakmulah aku berharap engkau bisa menebuskan dosa-dosaku terhadap lingkungan itu,” ucap orang tua itu terbata-bata.
Selembar senyum tersungging di wajah Muhran. Lantas ia memeluk orang tua itu dengan segenap sukacitanya. Ada kebanggaan tersendiri di hatinya terhadap orang tua itu. Begitu pula, ada kebanggaan tersendiri di hati orang tua itu terhadap anak sematawayangnya.
Sebatang pohon ketapang kurus kerdil di sudut halaman, daunnya yang masih jarang bergoyang-goyang lembut diterpa angin, seolah turut tersenyum menyaksikan.

Kandangan, 19 Agustus 2007


Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: