Cerpen Burhanuddin Soebely: Tarian Darah
1Melewati pengadilan penuh sandiwara yang sengaja dibikin bertele-tele, tuduhan terorisme dibuktikan. Vonis hukuman mati pun diketuk. Hadirin diam. Tak ada protes apa-apa, juga dari tim pembela yang di awal persidangan nampak garang bagai macan kelaparan.
Dua orang berseragam menyeretku ke mobil tahanan, membawaku kembali ke penjara. Semula kupikir aku akan ditempatkan di sel yang dulu kuhuni semasa pemeriksaan. Ternyata tidak, aku akan ditempatkan di sel yang lain.
“Anda akan ditempatkan di sebuah ruang khusus…” kata Kepala Penjara dengan ramah, jauh berbeda dari biasanya. Apakah itu karena dalam hitungan hari aku akan mati?
“Boleh aku membawa buku-buku dan catatan-catatanku?“ tanyaku.
“Tentu saja boleh.“ bibirnya berulas senyum. Sebuah senyum tulus? Ataukah itu senyum mengejek? Aku tak sempat memikirkannya sebab aku terlanjur membayangkan kenikmatan menunggu hari eksekusi sambil membaca atau menulis catatan-catatan yang aku sendiri tak tahu akan diwariskan kepada siapa.
Maka sambil membawa buku dan catatan, aku digiring oleh beberapa sipir menuju ruang khusus itu. Sepanjang jalan, keningku berkerut, terlebih setelah kami menuruni undakan dan senter dinyalakan. Rupanya ruang itu merupakan ruang bawah tanah.
“Selamat menikmati ruang ini. Semoga Anda senang.” ujar seorang sipir diiringi sebuah seringai yang menyakitkan hati. Lalu tendangan sepatu larsa singgah di punggung, membuatku terjerembab ke dalam ruang itu. Pintu dengan cepat ditutup. Gelap pun melingkup.
2
Adakah ruang yang lebih gelap dari ini? Mereka menyebutnya ruang pengeraman : sebuah ruang seukuran 2 m x 1,5 m, berdinding beton, berdaun pintu dari besi, tanpa dipan, tanpa alas tidur, tanpa lampu, tanpa ventilasi, bahkan kadang tanpa makanan tanpa minuman. Sedemikian gelapnya ruang ini sehingga jika kau dekatkan telapak tanganmu ke depan mata pun engkau takkan bisa melihatnya. Satu-satunya cahaya yang muncul adalah apabila engkau pejamkan matamu rapat-rapat : setitik cahaya akan muncul dan membingkas. Persis seperti yang digambarkan Jack Abbot dalam bukunya In the Belly of the Beast : “Bila kusentuh mataku, keduanya pun meledak dalam cahaya, dalam curah kilauan yang putih”.
Di sini, kau tak akan tahu apakah di langit bulan sudah membayang atau matahari masih sengangar. Di sini, waktu berhenti, arah tak ada. Di sini, kau cuma bisa menduga-duga : apakah waktu shalat sudah tiba, apakah debu di lantai tetap boleh dijadikan sarana tayamum, apakah kekotoran lantai tetap suci untuk dijadikan tempat shalat. Selebihnya, dugaan lain : tentang kapan mereka akan menjemputmu, menggelandangmu ke luar, menggiringmu ke tempat hukuman mati. Selebihnya lagi, juga dugaan, tentang bagaimana caramu mati : apakah kau akan dibakar hidup-hidup, apakah kau akan membuang nyawa dengan leher terjerat tali di tiang gantungan, apakah tubuhmu akan berlubang-lubang oleh terjangan peluru regu tembak, apakah kepalamu akan menggelinding akibat tebasan di leher, apakah ke dalam nadimu akan disuntikkan serum yang membuat jantungmu pecah, apakah tubuhmu akan berkelojotan oleh sengatan arus listrik, apakah bagian-bagian tubuhmu diikat kepada 6 ekor kuda yang akan berlari ke arah berbeda sehingga tubuhmu tercabik-cabik, apakah….apakah….
Begitulah ruang pengeraman. Tapi jika kau menduga bahwa aku demikian menderita di ruang pengeraman ini maka kau salah. Pada mulanya penderitaan itu memang ada, bahkan pernah membuatku membenturkan kepala ke tembok. Dalam simbahan darah, dalam deraan rasa sakit, aku menggigit bibir dan memejamkan mata rapat-rapat. Cahaya bingkas, meledak dalam diri. Dan ketika ledakan itu kuiringi dengan lafaz zikir, darahku tiba-tiba mengombak, menari-nari seperti tariannya Rumi, mengelilingi pusat semesta, perlahan mengalif, lalu membawaku mikraj ke nun, menyirnakan segala derita. Pengalaman itu kemudian menyadarkanku bahwa derita dan bahagia, jauh-dekat Dialah sumbernya. Maka aku pun tak lagi peduli dengan waktu, tak lagi peduli dengan pernik. Seluruh diriku tenggelam dalam khusuk zikir. Bahkan dalam tidur pun zikir tetap menyuara dalam diriku, serupa musik, membuat darahku menari-nari, membuat aku mengalif, dan mikraj ke nun.
3
Saat eksekusi agaknya telah tiba. Dengarlah, ada bunyi derap sepatu-sepatu larsa. Diikuti bunyi pergeseran engsel pintu besi yang dimakan karat. Berkas cahaya yang muncul dari senter menerpa. Aku melolong. Benar-benar melolong. Cahaya itu berubah menjadi batangan besi yang telah direndam berabad-abad di neraka, menusuk ke pusat mata. Perih tak bertara. Air mataku muncrat. Mereka terbahak. Lalu sepatu larsa bergantian hinggap di punggung dan pantat, memaksaku berjalan.
Subuh putih sekali. Kapas embun turun perlahan, mengecupi pucuk-pucuk daun, membaluti dedahan dan reranting, kemudian jatuh membasahi bumi. Juga membasahi tubuhku yang terikat pada sebuah tonggak kayu bulat berwarna coklat kehitaman.
Kubayangkan, sebentar lagi kesunyian tempat itu bakal retas oleh derap-derap sepatu larsa Sepasukan regu tembak akan berbaris bersaf menghadap kearahku. Sesaat kemudian akan kedengaran aba-aba. Bunyi senapan yang dikokang. Dan akhirnya dentuman serempak, menghamburkan butiran peluru ke tubuhku. Mungkin akan sempat kulihat darahku muncrat dan kepak sayap burung yang terbang menjauh. Mungkin pula akan sempat kurasakan sengatan rasa sakit. Selebihnya, punya Dia akan kembali ke Dia. Yang berasal dari tiada akan kembali pada tiada.
“Waktu Anda tinggal sepuluh menit lagi.“ ujar komandan eksekusi.
Aku mengangguk, menyembulkan seulas senyum. Mata komandan eksekusi menatapku, lekat. Aku balas menatapnya, lekat. Entah kenapa dia membuang pandang. Barangkali dia merasa agak iba padaku. Barangkali pula dia merasa takut kalau aku nanti menjadi setan gentayangan yang bakal menerornya habis-habisan.
“Aaa…aapakah Anda memerlukan ulama untuk membacakan doa penghabisan?“ suaranya terbata-bata.
“Terima kasih, itu tidak perlu.“ sahutku. “Dalam saat seperti ini aku tak memerlukan perantara untuk berbicara kepada Tuhan.“
Komandan eksekusi mengangguk. Menengok jam tangan. Mengeluarkan kain hitam dan menutup mataku. Seperti saat di ruang pengeraman, dalam kegelapan yang sempurna cahaya bingkas dari mata, bersambut dengan gemuruh zikir di hatiku, membuat darahku menari, mengiramakan langit dan bumi. Sesaat kemudian, tarian darah itu mengalif. Tegak lurus. Menjadi tangga. Aku pun mikraj ke nun. Ke Nun.
Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html
0 komentar: