Cerpen HE. Benyamine: Putri Jilbab
Bayangan itu menghilang begitu saja. Sesaat terasa hening seakan menggoda dan membuai. Sudah lama bayangan itu menghiasi cahaya kehidupannya, mengusik dan terkadang menusuk luka yang mulai mengering, sekaligus mampu memberinya dorongan untuk tetap hidup menahan rasa yang hilang dan mati berkali-kali.“Penderitaan sudah ditakdirkan mengiringi yang hidup”, lamun Jarjua seakan ingin menegaskan kepada dirinya tentang penderitaan yang selama ini telah menjadi bagian dalam perjalanan hidupnya. Semua manusia yang merasa hidup tentu pernah merasakan penderitaan, hanya saja masing-masing mempunyai caranya dalam bermain-main dengan penderitaan tersebut. Jarjua masih termenung meskipun sekarang sedang berada di pusat keramaian kota Banjarbaru, Taman Idaman, yang penuh dengan berbagai suara yang sedang melupakan rutinitas kehidupan. Jarjua terkadang mendengar jeritan-jeritan dari orang-orang yang ada dikeramai ini, seakan begitu jelas terdengar namun tidak ada yang peduli.
“Ma, mau balon”, pinta anak kecil dengan suara riang. “Berapa pak satu?”, ibunya membeli kepada pedagang balon lalu menyerahkan kepada anaknya, “pegang ya nak, hati-hati nanti terbang!”.
Pedagang balon tidak begitu banyak bicara, serahkan balon terima uang, lalu diam dengan mata memohon agar balonnya ada yang membeli lagi. Anak kecil memegang balon dengan wajah yang tersenyum tanpa beban, yang di mata Jarjua terlihat belum tersentuh penderitaan, yang sebenarnya terus mengintai yang hidup. Jarjua tetap saja termenung, meskipun matanya tertuju kepada anak kecil tanpa beban bersama ibunya yang mengawasi dan menjaga buah hatinya itu.
“Anak kecil itu pada saatnya akan bermain dengan penderitaan”, pikiran Jarjua menerawang, “karena penderitaan pandai memilih waktu yang tepat, berbeda dengan pergantian siang ke malam, penderitaan yang terjadi tak pernah terduga”. Jarjua memandang sekelilingnya bagai tidak berminat, ia sibuk dengan pikirannya sendiri, yang mengawang tak bertepi seakan ingin mengisi langit. Malam semakin padat dan dingin, Taman Idaman mulai nampak dapat bernapas lega, walaupun terlihat sampah berserakan sebagai tanda tertumpuknya manusia pada saat tertentu yang bergegas pulang untuk sadar kembali pada penderitaan yang sesaat lalu tertiup angin keramaian. Sedangkan Jarjua masih merasa dalam kungkungan penderitaan, karena ia mulai terbiasa dengan penderitaan yang selama ini bermain dengannya. Terkadang hidup Jarjua penuh dengan samudera penderitaan, baik karena perbuatannya sendiri maupun yang tidak pernah disadarinya telah mendekapnya.
***
“Mengapa aku tega melakukan kepada dirinya!”, Jarjua membentak batinnya. “Berapa kali perbedaan pendapat tentang tuntutan agama terjadi begitu saja, tidak ada yang sampai seperti ini, mengapa aku begitu membatu dengan pendapatku”, mulai melunak dan mencari sebab atas perasaan menderita yang menyakitkan, walaupun selama ini sudah sering mengalami berbagai penderitaan. Batinnya Jarjua mengatakan bahwa dirinya sudah berpengalaman dalam hal penderitaan, sudah banyak asam garamnya, jadi bisa dikatakan sudah bisa bermain-main dengan segala bentuk penderitaan. Tapi, yang satu ini terasa berbeda.
Jarjua terkejut. Buyar langit yang sedang dicumbunya dalam lamunan, menghambur butiran kristal pikiran yang menekan tentang perbuatan yang menghasilkan penderitaan. “Kamu sedang santai di sini”, suara yang sangat dekat dengan hatinya, “apa sudah senang sendiri?”.
“Nggak sendiri, lihat aja sekelilingmu”, Jarjua bercanda menutupi kekagetannya.
“Oh, kerumunan orang yang jadi temanmu sekarang!”.
“Nah, kamu sudah tidak bisa membedakan kerumunan dan sekelilingmu, ha ha …”.
“Tahu lah, aku hanya heran lihat kamu di tempat ini sendirian”.
“Aku sedang belajar sendirian, mengenali diriku ditengah kerumunan”, Jarjua menengadah ke langit seakan ingin meraih lamunan yang terbang kemudian menundukkan kepala dan bertanya, “Kamu sendiri juga sendirian, mau melebur dengan kerumunan”.
“Memangnya ada bedanya antara sendirian dengan kerumunan”, seperti tidak ada terjadi apa-apa diantara mereka berdua, “sebenarnya aku merasa sendirian bila sedang berada di kerumunan manusia. Sedangkan saat jauh dari kerumunan, aku malah tenggelam dalam lamunan yang persis seperti kerumunan juga. Kerumunan katanya dapat menghilangkan identitas seseorang, yang meleburkan perilaku, sehingga bisa saja berubah menjadi kekuatan tanpa identitas. Aku tahu … ”.
“Aku sudah lama di sini, hanya ingin melawatkan malam minggu, siapa tahu ketemu orang yang kukenal”, sela Jarjua memotong, “bagaimana kalau kita nongkrong di dekat penjual jagung bakar, perut juga ada kerumunan yang perlu dikasih makan ha ha ha”.
“Boleh juga, malam memang paling bisa mengosongkan perut, walaupun kadang gagal membujuk mata tertutup”.
“Mata membuka, badan menutup”.
“Malam membujuk, siang membajak”, sambung gadis yang selama ini paling dekat dengan Jarjua, bisa dikatakan banyak waktu yang mereka lewati bersama. Mereka lalu memesan jagung bakar. Malam terus melarutkan kebisingan, menggerus kerumunan manusia di Taman Idaman, menghantarkan aliran pemisahan dan kesadaran akan kesendirian lalu menyajikan kekosongan. Penderitaan pun terasa kosong, mengawan di langit.
Jagung bakar sudah siap disantap, asap pembakaran membumbung seperti baru saja lepas dari penderitaan. Bara yang membakar, memercikkan bunyi air yang terkulai dalam jagung, yang terus mendapatkan sentuhan angin kipas yang mengibas naluri melahap semua sampai habis, sisakan debu agar bisa bertebaran melapaskan penderitaan. Malam belum begitu larut, kerumunan sudah lebih setengah berkurang, menyisakan mereka yang masih punya banyak kesibukan dan harapan. Gadis berjilbab dan Jarjua begitu menikmati jagung bakar, mereka menjadi bisu, seakan mereka tidak saling kenal walau duduk berdekatan.
Jarjua benar-benar melupakan masalah yang sedang dihadapinya. Gadis yang baru saja memutuskan memakai jilbab sedang bersamanya sekarang. Jarjua sudah memindahkan jagung ke dalam perutnya, gadis disampingnya belum selesai melumat jagung bakar. Sebenarnya, baru saja diantara mereka berdiri tembok tebal yang menjadikan satu dengan yang lain terseret dalam penderitaan.
***
Penderitaan senang bermain-main dengan manusia. Jika sudah ingin bermain, penderitaan tidak peduli waktu dan kesiapan yang diajaknya. Penderitaan berpatukan pada satu aturan, manusia ditakdirkan bermain penderitaan. Jarjua dan Galuh mulai bermain dengan perbedaan, yang menghadirkan penderitaan diantara mereka.
“Sejak kapan kamu menolak dan bahkan menentang perintah agama”, Galuh nampak bingung dengan sikap Jarjua saat ia memutuskan memakai jilbab, “padahal aku hanya melaksanakan perintah wajib bagiku sebagai perempuan muslimah, yang selama ini sudah ku lalaikan”.
“Menolak saja tidak, apalagi menentang perintah agama. Apa aku sudah gila!”, membalas dengan hati panas pertanyaan Galuh. “Aku hanya mempertanyakan dasar kamu menyatakan bahwa jilbab adalah perintah Islam yang wajib bagi perempuan muslimah. Kamu harus bisa menempatkan mana yang menentang dan mana yang mempertanyakan. Karena, bagiku jilbab bukanlah sesuatu yang wajib, tapi lebih bersifat situsional dan kondisional”.
“Lalu apa lagi yang harus dikatakan terhadap sikap kamu itu, mempertanyakan sesuatu yang jelas hukumnya sama saja meragukannya. Apalagi mengatakan jilbab lebih bersifat situsional dan kondisional. Aku tahu bagaimana selama ini kamu berusaha keras dalam menjalankan perintah agama. Tapi, dalam satu hal ini, tentang jilbab, aku tidak bisa memahami sikapmu”.
“Mempertanyakan tidak berarti meragukan, perlu kamu garis bawahi. Pemahaman ku tentang jilbab, dan penjelasan dari berbagai sumber yang kutahu, mengarahkan aku pada kesimpulan bahwa jilbab tidak wajib bagi perempuan muslimah”.
Galuh mulai tidak sabar, “Dasarnya jelas, An-Nuur dan Al-Ahzab sangat jelas, apa yang kurang jelas bagi kamu, mungkin pikiran kamu saja yang kurang jelas. Islam jangan setengah-setengah, pikiran kamu kurang jelas jangan perintah jilbabnya yang dibilang kurang dasar,” dengan memek yang masih kebingungan dengan sikap Jarjua.
Jarjua merasa tidak didengar apa yang dimaksudkannya, “Lihatlah lagi dasarnya, seperti perintah menundukkan mata dan memelihara kemaluan dalam An-Nuur (30 – 31) ditujukan kepada laki-laki dulu baru diikuti ayat berikutnya yang ditujukan kepada perempuan. Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menjaga pandangan dan kemaluannya. Bukan berarti perempuan harus ditutupi untuk melindungi pandangan laki-laki”.
“Jilbab kan bertujuan untuk melindungi perempuan”.
“Maksud kamu dari pandangan laki-laki, agar tidak mengundang laki-laki untuk tidak mengganggu. Rasanya kurang kuat bila dimaksudkan untuk melindungi perempuan, sementara laki-laki dibiarkan berkeliaran dengan imajinasinya yang mampu menembus dinding baja sekalipun, apalagi hanya selembar kain yang kadang masih menunjukkan bentuk tubuh. Imajinasi laki-laki itu liar, Luh”.
“Nah, ditutupi saja laki-laki masih berpikiran liar, apalagi yang tidak ditutupi”.
“Jilbab tidak menjadi jaminan dapat melindungi perempuan. Kasus perkosaan masih terjadi terhadap perempuan berjilbab. Aku malah merasa, seakan Islam masih memposisikan perempuan sebagai sebab segala kebejatan moral, sehingga perempuan diwajibkan menutupi seluruh tubuhnya kecuali yang biasa terlihat seperti yang kamu maksudkan”.
“Ngelantur kamu, terlalu jauh dan picik pikiranmu. Jilbab merupakan hijab yang memberikan rasa aman dan mengingatkan pada pemakainya untuk selalu mengingat Allah dalam segala perilakunya. Kasus perkosaan dapat terjadi pada siapa saja, kebanyakan pelakunya adalah orang dekat korban. Laki-laki bejat dan keji saja yang dapat melakukan hal itu”.
“Jilbab sebenarnya tidak lebih dari mode pakaian. Bukan kewajiban. Pakaian seseorang pantas atau tidak tergantung adat-istiadat yang berlaku. Cara berpakaian tertentu bisa mengundang perhatian orang, karena diluar dari adat istiadat yang berlaku. Jadi, menurutku, baik laki-laki maupun perempuan harus mempunyai hijab terutama dalam pikiran dan perilakunya”
Galuh telah memutuskan memakai jilbab sebagai tuntutan dalam berpakaian. Ia seperti mendapat hidayah, karena tiba-tiba saja ia mau mengikuti lomba Putri Jilbab di Kabupaten Banjar, yang menjadi awal dan sekaligus membulatkan tekad untuk menjalaninya sebagai kewajiban seorang muslimah. Keputusan Galuh ikut lomba inilah yang memercikkan masalah dengan Jarjua. Galuh begitu kokoh mempertahankan pendapatnya, hingga dirasakan Jarjua sebagai sapaan penderitaan diantara hubungan mereka berdua.
Galuh merasa mendapatkan jalan kemudahan, melalui lomba Putri Jilbab yang menjadi moment untuk melaksanakan kewajiban agama. Melalui lomba ini, Galuh berharap dapat memulai dari dirinya sendiri, semoga dapat memberikan motivasi bagi perempuan lainnya, dan sekaligus dapat berdakwah, meskipun hanya melalui jilbab.
***
Jarjua mulai menyadari keberadaan Galuh yang berjilbab. Rasanya tidak ada penderitaan yang abadi, saat dekat dengan Galuh terasa semuanya mengalir, meluluhkan lamunan yang tertelan gelapnya langit.
“Lapar ya? Aku satu aja belum habis”, Galuh menghimpun cairnya keheningan.
“Nggak juga! Hanya terasa enak”.
“Oh .. em. Aku tidak menang dalam lomba Putri Jilbab. Namun, aku sangat senang dan bahagia dapat mengikuti ajang tersebut. Aku tahu kamu tidak suka dengan lomba-lomba seperti itu, sampai kamu menentang aku ikut, tapi aku mohon dengarkan pengalaman yang kudapat”, Galuh menarik nafas dalam, “aku tidak mempermasalahkan apa jilbab wajib atau tidak dengan kamu. Aku meyakini jilbab wajib bagi muslimah, tapi aku menghargai pendapat kamu. Aku hanya berharap pada diriku sendiri, dengan keyakinan atas jilbab, aku dapat menjadi orang yang lebih dapat mengingat Allah dalam kehidupanku. Agar dapat memotivasi diriku sendiri untuk berakhlak yang mulia, dan menjaga diriku dari perilaku yang tidak pantas”.
“Aku sudah tahu, dan mengikuti pemberitaan tentang lomba Putri Jilbab. Aku juga tidak ingin lama-lama bermain dengan penderitaan. Biarlah perbedaan pendapat menjadi rahmat bagi kita. Tapi, kalau aku boleh tanya sesuatu”, goda Jarjua sambil mengibas hawa gelap yang meniadakan batas-batas.
“Boleh lah, asal jangan tentang wajib atau tidaknya jilbab, biarlah kita jalani keyakinan sambil terus belajar”, jawab Galuh dengan riang seperti dulu lagi.
“Pakai jilbab kok berjalan malam sendirian di sini, apa lagi sebagai salah satu finalis Putri Jilbab. Apa …”.
Belum selesai Jarjua menggoda, Galuh sudah memotong, “Ini tempat kerumunan orang, jelas tidak sendirian. Aku juga tahu kalau kamu pergi ke sini, karena tadi aku ke rumah mencari kamu untuk minta maaf. Aku juga mengajak teman-teman baruku, pakai jilbab semua lho, itu mereka masih bisa terlihat dari sini bahkan mereka memperhatikan kita ha ha. Jadi, kamu terburu-buru dalam menilai, pertanyaannya pun nggak mutu ha ha”.
“Wah … putri jilbab ada di sana. Boleh dong kenalan. Aku juga minta maaf”.
“Boleh aja, tapi ingat laki-laki harus menundukkan pandangannya ha ha”.
“Kamu ini bisa aja. Aku sebenarnya waktu itu hanya ingin mengajak berpikir dan terus mencari. Tapi ternyata menjadikan kita berjarak”.
“Memang harus ada hijab”.
“Begini maksudku, perempuan harus membuka pikiran dan terus mengisi otaknya dengan berbagai pengetahuan, sehigga perempuan tidak hanya dipandang dari tubuhnya saja. Secara fisik, perempuan mempunyai batas yang sempit untuk tetap menarik dan cantik. Tapi, secara intelektual sebagai bagian dari akhlakul kharimah bisa terus menjadikan perempuan menarik lebih lama dan tetap cantik, yang sekaligus dapat menjadi hijab yang kokoh”.
“Malam biarlah larut ditelan gelap. Aku harus pulang, kami nginap di rumah salah satu finalis untuk mempersiapkan kegiatan sosial besok. Doakan sukses ya”.
Penderitaan memang ditakdirkan untuk bermain-main dengan manusia. Bayangan itu hilang.
Banjarbaru, 25 Agustus 2008
(Terinspirasi Jihan Khafiza binti Said Sofyan)
Sumber:
https://borneojarjua2008.wordpress.com/2008/12/07/cerpen-2/
0 komentar: