Cerpen Randu Alamsyah: Ibu Pulang Haji
Sudah seminggu ibu pulang dari pergi haji. Hari-hari ibu tak lepas dari baju putih panjang dan kerudung dengan warna serupa. Saat menerima tamu, saat pergi ke arisan, saat ke pasar, saat memberi makan burung merpati, saat menyiram kembang, saat menyiapkan makanan, saat menonton televisi. Ibu bahkan pergi tidur mengenakan baju putih itu.Kata ibu, beginilah seorang yang sudah haji. Tidak boleh sembarangan lagi memakai pakaian. Harus yang tertutup aurat. Ketika kutanyakan mengapa harus menutup aurat, ibu menjawab hal itu diperintahkan oleh agama. Lalu mengapa harus berwarna putih, ibu menjawab lagi bahwa putih itu suci. Tuhan itu senang dengan orang yang suci dan menutu auratnya, begitulah kesimpulan dan pesan yang disampaikan ibu padaku. Aku senang mendengarnya, karena aku juga menutup aurat dan memakai seragam putih saat pergi sekolah. Berarti aku juga suci, ibu? Ya, kata ibu. Kamu juga suci. Aku semakin senang mendengarnya.
Lalu aku mulai membenci warna merah rok seragamku. Kenapa rok itu harus warna begitu? Tidak selaras dengan warna putih baju seragam sekolah. Merah dan putih. Aku ingin bertanya pada ibu, apakah Tuhan tidak marah karena aku tidak bisa memakai padanan serasi saja saat pergi ke sekolah. Mengapa harus ada warna merah? Suci kami hanya setengah. Aku ingin menangis saja karena aku tahu, Tuhan pasti tidak suka dengan orang-orang yang pergi ke sekolah.
Kepada teman-temanku aku mengatakan, ingin pakai seragam putih saja, seperti ibuku. Tapi itu tidak boleh. Kata mereka, aku bisa diberhentikan dari sekolah. Semua siswa pakai seragam di sekolah. Tidak boleh ada yang memakai pakaian yang beda sendiri. Pak guru yang mengajar Pendidikan Kewarganegaraan mengatakan warna merah dan putih adalah perlambang bangsa Indonesia. Bendera Indonesia juga berwarna merah dan putih. Karena itu, kami harus selalu bangga dengan dua warna itu.
Lalu pak guru akan memanggil siapa saja yang tidak benar saat menghormat kepada bendera di upacara Senin. Satu persatu disuruh mencontohkan cara memberi hormat yang benar. Tangan harus disilangkan mengembang dan ujungnya menempel di topi sekolah. Kami ketakutan, sebab masih banyak salah. Tapi pak guru tidak menghukum kami. Ia hanya mengatakan, kami harus terus belajar cara menghormat bendera yang benar.
Aku semakin kebingungan karena ternyata warna merah juga harus dihormati. Kepada ibuku, kuadukan hal ini. Ibuku tersenyum dan mengatakan memang begitulah orang yang masih sekolah. Nanti kalau sudah lulus dan jadi orang dewasa, aku bisa tidak menghormat lagi ke bendera. Orang dewasa bebas memilih warna yang akan dipakainya, seperti ibu yang telah memilih warna putih pakaiannya. Aku tak sabar ingin cepat jadi dewasa. Ibuku tersenyum dan memelukku.
Hari-hari berikutnya, aku memakai seragam dengan rasa malas. Jika hari Senin tiba, aku juga menghormat bendera dengan malas. Warna merah di atas warna putih itu sungguh menyebalkan. Diam-diam, aku memejamkan mataku dan menghormat sambil membayangkan jika bendera itu adalah putih saja. Aku harus diam-diam melakukannya karena kalau ketahuan aku akan dibilang nakal dan akan dihukum.
Pulang sekolah kutanyakan lagi kepada ibu, mengapa yang suci harus dihukum, Ibu? Ibu terdiam lama. Pelan-pelan ibu mengatakan kalau Tuhan pasti akan marah kalau ada yang menghukum orang yang suci. Tuhan akan menurunkan bencana melalui banjir, gempa bumi dan ombak besar yang mengamuk. Semua akan kena akibatnya. Aku sedih mengetahui hal ini. Sebelum tidur aku berdoa, Ya Tuhan jangan turunkan banjir kepada sekolahku. Mereka pasti tidak tahu apa-apa tentang warna merah itu.
Esoknya, aku berangkat sekolah dengan tenang. Hari ini pelajaran Muatan Lokal. Di kelas, guru kami yang baru mengajar mengenakan pakaian yang aneh. Ia mengatakan, itu adalah corak khas pakaian daerah. Namanya Sasirangan. Guru muda yang bersemangat itu mengatakan, akan ada peraturan sekolah agar siswa memakai Sasirangan pada hari tertentu, sekali dalam seminggu. Ia bilang ini untuk melestarikan budaya daerah. Orang yang bangga dengan budaya daerahnya pasti akan memakai Sasirangan. Aku pulang sekolah dengan sedih.
Kepada ibu, kukatakan aku tidak ingin sekolah lagi. Aku ingin jadi orang dewasa saja. Aku ingin hanya memakai baju putih. Tidak menghormat bendera dan tidak memakai baju daerah. Ibu tertawa. Ia mengatakan aku belum boleh jadi orang dewasa. Semuanya akan tiba pada saatnya. Yang harus kulakukan adalah mengalah. Orang yang mengalah pasti akan menemui kemenangan kelak.
Kutanyakan lagi, kenapa tidak orang dewasa saja yang mengalah, ibu? Bukankah orang dewasa memang harus selalu mengalah untuk anak-anak? Ibu terkejut. Dengan sabar, ibu mengatakan bahwa anak kecil pun bisa mengalah, kalau mau. Dengan mengalah, anak kecil akan menjadi dewasa. Aku mengangguk, sedikit ragu. Aku akan besar dan dewasa dalam kekalahan-kekalahan, pikirku murung.
***
Jadi aku mengalah. Ibu membuatkan aku baju Sasirangan. Bentuknya bagus sekali. Kupikir aku tidak harus membenci baju daerah. Apakah aku cantik, ibu? Ya, kamu cantik. Ibu tersenyum dan mengatakan untuk sementara aku harus melupakan warna putih. Warna itu hanya boleh dipakai di waktu-waktu tertentu saja. Misalnya, saat akan sembahyang atau pergi mengaji. Selain dari waktu itu, kata ibu, aku harus pura-pura mengalah dan menjadi dewasa.
Tapi bukankah ibu memakainya setiap waktu? Seperti yang kuduga, ibu menjawab bahwa itu karena dia sudah dewasa. Orang dewasa bebas memilih warna baju apa yang akan dipakainya. Uh! Aku ingin sekali jadi dewasa.
Tapi kupakai saja baju itu. Di sekolah, teman-temanku juga memakai baju beraneka warna. Mereka bergembira. Teman-teman yang usil berkumpul berdasarkan warnanya, ada Sasirangan biru, Sasirangan merah, dan Sasirangan hijau. Tapi mereka juga sering kebingungan karena sasirangan biru juga ada warna merahnya, Sasirangan merah ada birunya, dan sasirangan hijau ada warna biru dan merah. Juga ada warna-warna lain: hitam, kuning, coklat, merah muda, hijau daun, dan banyak lagi. Teman-temanku kebingungan.
Lalu, ketua kelas kami, anak yang paling besar mengelompokan kami berdasarkan warna-warna yang banyak itu. Hijau bersama hijau. Merah bersama merah. Biru bersama biru. Kuning bersama kuning. Coklat bersama coklat. Jingga bersama jingga. Dan begitu seterusnya. Tiba-tiba, masing-masing sudah berdiri di tempatnya. Kami putus asa dan beberapa anak mulai terlihat gelisah. Tetapi tidak ada yang mau bergabung dengan sasirangan yang tidak sewarna. Untunglah ibu guru segera masuk kelas.
Ibu guru Matematika mengajarkan perhitungan. Kami membuka ikatan lidi untuk mengerjakan soal-soal itu. Satu tambah satu, sama dengan dua. Soal itu gampang. Lalu ibu guru mengajarkan perkalian dan pembagian angka. Lima bagi satu, sama dengan lima. Pembagiannya ternyata jadi banyak. Kalau dipisah, maka semua akan memecah dan berdiri sendiri-sendiri. Seperti sasirangan beraneka warna itu.
Aku pulang dengan sedih. Kepada ibu kutanyakan, kenapa Tuhan tidak membuat satu warna saja, ibu? Kenapa tidak warna putih saja? Kali ini jawaban ibu tidak menenangkanku. Ibu mengatakan putih itu sebenarnya bukan warna. Putih itu kosong, sebelum nanti ada warna yang datang. Ibu melantur dan semakin membingungkanku. Ketika aku terdiam, ibu membimbingku ke kamar dan mengatakan seperti yang sudah-sudah, bahwa aku akan mendapat jawabannya kelak setelah dewasa. Uh! Mengapa orang dewasa selalu bisa tahu segalanya!
***
Di sekolah hari ini kami belajar pelajaran bahasa. Pak guru mengatakan kami harus menyebutkan nama -nama benda. Kami memutar pandangan ke sekeliling kelas. Semua yang kami lihat kami sebutkan: Papan tulis, buku absen, buku tulis, kapur tulis, foto presiden, burung, foto wakil presiden, semuanya. Pak guru tertawa dan mengatakan kami sudah pintar. Lalu ia menyuruh kami menyebutkan masing-masing warnanya. Kami berebut lagi: Merah, kuning, biru, hitam, kuning, putih…
Putih?
Aku terdiam. “Putih bukanlah warna!” Aku berteriak keras. Teman-teman memandangku bingung. Pak guruku bingung.
“Putih itu warna, Yisa,” kata pak guru memanggilku, “namanya warna putih, sepeti juga warna merah, dan lain-lain.”
Aku hampir menangis. Teman-temanku mengatakan aku bodoh. Mereka mengejekku sewaktu lonceng pulang berbunyi. Di rumah, aku menangis di pangkuan ibu. Aku tidak ingin sekolah lagi. Aku ingin sekolah di rumah saja. Aku ingin pakai baju putih saja. Tidak menghormat bendera dan tidak memakai baju daerah. Juga tidak belajar matematika dan bahasa. Semua pelajaran di sekolah membingungkan. Semuanya membenci putih.
Ibu kini sedih. Ia mengatakan harusnya ia tidak mengatakan tentang putih itu. Aku mengangguk. Ini semua gara-gara putih itu. Aku benci putih. Aku berlari ke kamar dan menangis tersedu-sedu sampai tertidur. Dalam tidurku, kulihat semua orang tiba-tiba tidak berwarna. Bukan putih, bukan merah, bukan hijau, biru, kuning, dan sebagainya. Semuanya tidak memiliki warna. Aku ketakutan dan menjerit keras.
Badanku panas. Aku jatuh sakit dan tidak pergi ke sekolah. Ibu semakin sedih. Sejak dua malam lalu, ibu berhenti memakai baju putih. Semuanya agar aku tidak lagi dengan warna itu. Para teman-teman sekolahku juga sudah datang. Mereka membawakan macam-macam hadiah. Ada boneka, buah-buahan. Aku senang sekali. Mereka dibawa oleh bapak dan ibu guru. Pak guru bahasa mengatakan, aku harus cepat sembuh agar bisa kembali ke sekolah. Aku tersenyum dan mereka semua senang. Aku berjanji tidak akan membenci sekolah lagi.
***
Dua hari kemudian, aku sudah bisa ke sekolah lagi. Teman-teman menyambutku setibanya di kelas. Mereka mengetahui kalau aku tidak akan meninggalkan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Ini pelajaran yang paling kusenangi. Karena gurunya pintar dan baik. Juga cantik. Namanya ibu guru Salimah.
Ibu guru Salimah masuk kelas membawa sebuah benda bundar. Ia memang sering membawa alat peraga ke dalam kelas. Kadang-kadang ia juga membawa kami ke lapangan, mengamati kuncup bunga dan kupu-kupu. Katanya, ilmu itu harus banyak praktik.
Kali ini kami sungguh dibuat penasaran. Benda yang dibawa itu ujungnya lancip. Semakin ke atas, semakin melebar. Kurasa itu terbuat dari kayu. Di ujungnya yang menghadap kearah kami, ada beraneka warna pelangi. Merah, kuning, hijau, biru, dan banyak lagi.
“Anak-anak, kita akan belajar warna,” ucapnya. Hatiku berdebar-debar. Aku curiga dan melihat ke kanan-kiriku. Teman-temanku bersorak senang. Mereka sangat menyukai warna-warni. Bagi mereka ini akan menjadi pelajaran yang menyenangkan. Bagiku, yang hanya mencintai warna putih, pelajaran ini menyedihkan.
“Tahukah anak-anak, ini warna apa?”
“Merah!”
“Kalau yang ini?”
“Biru!”
“Yang ini?”
“Kuning!”
Aku mengkerut seperti liliput di bangku. Pelajaran ini sungguh menjemukan. Warna-warna dan teriakan itu seakan ditujukan kepadaku. Hanya padaku.
Tapi kemudian, ibu guru memutar benda bulat itu. Kami kebingungan lagi. Ia memutar-mutar dengan satu tangannya. “Anak-anak, coba lihat apa yang terjadi.”
Kami heran. Tidak terjadi apa-apa. Ibu guru terus memutar-mutar piringan kayu itu. Cepat dan semakin cepat. Tiba-tiba, kami melihat sesuatu. Warnanya, warna –warni itu hilang. Benda itu terus berputar dan kini tidak ada lagi warna di sana. Kosong!
Kami bertepuk tangan dan ribut berdesak-desakan ke depan karena takjub.
“Inilah anak-anak, warna yang kalian lihat sehari-hari itu sebenarnya adalah putih! Dalam gabungan dan kecepatan yang tetap, semua paduan warna itu akan menjadi putih,” kata ibu guru tersenyum.
Teman-teman melirik ke arahku. Mereka teringat sesuatu. Aku terbelalak. Diam-diam aku teringat perkataan ibu tentang putih itu.
Ibu guru mengajak kami ke luar. Hujan baru saja reda. Bau tanah basah meruap. Di tengah lapangan, ia menunjuk ke bagian langit yang indah berwarna-warni. “Lihat itu, itu namanya pelangi.”
Kami memandang ke angkasa. Semuanya melihat paduan warna yang indah melintasi langit biru. Ibu guru kemudian mengatakan, pelangi adalah pecahan dari cahaya matahari yang dibias oleh air hujan. Aku senang. Aku semakin mencintai warna putih.
Di rumah, ibu telah menungguku dengan cemas. Kepadanya kukisahkan kejadian di sekolahku hari ini. Kukatakan kepadanya, putih itu adalah kumpulan warna-warna. Semua orang bisa menyukai warna apa saja, nantinya semua tetap akan kembali ke putih. Ibu menatapku seakan tak percaya.
Nah, kau sudah jadi dewasa sekarang, katanya.()
Sumber
Radar Banjarmasin, Minggu, 2 Oktober 2011
https://katanyamiftah.wordpress.com/2012/02/21/cerpen-ibu-pulang-haji-karya-randu-alamsyah/
0 komentar: