Cerpen A. Setia Budhi: Nyanyian Balian
Tak Marem memperhatikan lelaki tua itu, dia membuka pintu Balai-balai. Lelaki itu bertubuh pendek, wajah bundar bermata sipit, kulit putih agak pucat dan rambut menutupi sebagian telinganya. Tidak berjenggot tetapi helaian rambut tumbuh tidak merata didagunya. Aroma hutan menyergap bau tubuhnya yang masih kencang dengan guratan urat nadi yang jelas terlihat menuruni pergelangan tangan hingga jarinya. Lelaki itu kira-kita sudah 70 tahun. Tak Marem tidak menyia-nyiakan pikirannya menjadi liar, dia pastikan lelaki tua itu kepala suku di pedalaman ini. Betapa lelaki itu mengingatkannya pada kemarahan seorang, ketika kuburan leluhur mereka di buldoser perusahaan perkebunan kelapa sawit. Lelaki itu mengingatkannya kepada seorang pembererani dan pelindung di hutan ini.“Amang Tundan? Aku Tak Marem, anak sulung Ulaq Bawi.”
Lelaki Tua ini menatapku dengan tajam. “Aku melihat bola matanya begitu menyelidik, tetapi kemudian dia tersenyum dan menjabat tanganku, oh…masuklah”.
“Baik, terima kasih Amang”
Tak Marem dan Amang Tundan, masuk ke Balai-balai berlantai Bambu. Balai-balai dengan dinding terbuat dari kulit kayu Balau, bangunan seperti rumah panggung dengan tiang kayu Ulin yang kokoh. Balai-balai itu adalah rumah adat yang paling tua di kampung Tanah Batu Bua dan nampaknya yang masih bisa bertahan sebagai peradaban berasitektur Dayak di pedalaman.
“Bagaimana kau menemukan Balai ini?” tanya Amang Tundan dan tentu saja dalam bahasa Dayak yang sangat kuat.
“Upacara Balian di desa Tewah, aku mendapatkan nama Amang Tundan berikut alamatnya, pemberi alamat menyampaikan kalau Amang Tundan tinggal tidak jauh dari Gunung Bundang.”
Balai ini dinamakan Balai Laki, bangunan kecil dan cukup untuk pertemuan keluarga. Terdapat ruang induk di bagian tengah untuk upacara dan meletakkan sesajian. Sementara di sisi barat, ruang kecil untuk tempat saudara-saudara kita yang Muslim, itu adalah Balai Salam.
Amang Tundan menyandarkan tubuhnya pada tiang bangunan utama, tiang kayu Ulin itu cukup besar dengan diameter 100 cm dan tinggi 25 meter menjulang menggapai bumbung Balai Laki. Amang Tundan meraih bakul dan mengeluarkan bungkusan tembakau, melinting dan menyalakan ujungnya pada api yang diambil dari pedapuran. Amang Tundan mengisap rokok lintingan itu dalam-dalam, terus mengeluarkan asapnya pekat sekali dari mulutnya.
“Dia orang baik, bahkan sangat baik di antara keluarga kita,” Amang Tundan mulai membuka pembicaraan.
“Aku berada di sini, Amang Tundan.”
“Tak Marem, panggil saja aku Amang atau Ni Amang, sebab ayahmu itu adalah saudara Ayahku.”
“Baiklah, Ni Amang. Aku ke sini karena pesan-pesan yang sampai di keluarga di kampung Tanah Batu Bua, Pesan yang sungguh sangat berat untuk dipercaya.”
“Kematian ratusan karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dikabarkan karena racun. Dan yang paling menyedikan bahwa kematian Direktur Pabrik Kelapa Sawit di ujung kampung ini, kabarnya disebabkan Parang Maya. Dan orang-orang tahu, kalau upacara tahunan yang digelar dibalai Balai ini adalah upacara Parang Maya. Ayahku tidak pernah mengatakan apa rahasianya, dan keluarga-keluarga juga tidak mengetahui, oleh sebab itu aku ingin mengeceknya. Aku datang untuk mencari tahu, apa sebab dan mengapa hal itu terjadi.”
“Mengapa Nak?”
“Tampaknya itu sangat penting bagiku, Ni Amang.”
“Apakah ayahmu, pernah bicara tentang hal lain selain soal kematian?”
“Dia hanya bercerita sedikit tentang perang dan apa yang dia lakukan setelahnya.”
“Mungkin dia punya alasan mengapa dia tetap tidak mau menceritakan masalah yang lain?”
“Aku yakin iya, tetapi ayahku telah meninggal tujuh hari setelah bangkai para karyawan itu ditemukan di Sungai Montalat.”
Amang Tundan duduk menegakkan satu lututnya, dia diam sejenak. Tampak sekali ia merenungi parjalanan masa lalunya. Bayang-bayang kejam perusahaan yang merampas tanah adat mulai menyerbu otak dan pikirannya. Sekejap saja melintas dalam pikirannya pada Iking yang pada waktu itu memancing ikan di sungai, tatapi malang Iking tewas. Kejadian itu begitu menghentak kemarahannya. Iking dikatakan tertembak peluru nyasar Bapak Direktur yang sedang berburu Rusa di hutan, kira-kira 26 meter tidak jauh dari rumahnya.”
“Itu tidak mengejutkan.”
“Karena ayahmu sengaja menyembunyikan berita yang sesungguhnya terjadi,”
“Mungkin sudah waktunya aku harus tahu.”
“Memang kejam, orang-orang perusahaan itu,”
“Aku tidak mengerti, Ni Amang,”
“Dia seorang penjahat Hak Asasi Manusia, dia berhak menerima akibatnya.”
“Maksud Ni Amang?”
“Tugas orang-orang perusahaan itu adalah merampas Tanah di kampung kita ini, setiap jengkal tanah dipatok dan dijadikan kebun mereka. Tanah leluhur kita di ujung kampung itu sekarang sudah pula mereka beri tanda yang ditancapkan dengan sebatang tiang terbuat dari Semen Corr. Sementar lagi, sungai yang mengalir menuju bukit itu akan mereka ambil dengan alasan materialnya untuk meratakan jalan menuju kantor perusahaan mereka.”
Lelaki tua kemudian itu mendesah. “Direktur perusahaan itu sering mengatakan, jika dia menemukan gadis di kampung ini yang sehat dan berkulit bersih dan masih mampu sedikit membaca dan menulis, dia akan diangkat dan bekerja sebagai sekretaris perusahaan. Tetapi sesudah itu, perempuan berkulit bersih itu dijadikan sebagai gundik dan sebagian lagi diserahkan kepada temannya sesama Direktur.”
“Kau lihat, bola mata Jamri yang biru, dia anak Galuh Cempaka.”
“Kau tahu dengan siapakah dia bercinta, kalau bukan dengan Pak Mister?”
“Apakah kita harus berterima kasih atas kebrutalan orang-orang perusahaan itu? Dia mencoba mengubah 201 kepala keluarga di Kampung Tanah Batu Bua ini sebagai keluarga modern. Dia menyebut orang-orang kampung yang tidak setuju dengan pembangunan pabrik kelapa sawit itu sebagai pemberontak. Menyebutnya sebagai menghalangi kemajuan. Pembangunan pabrik Kelapa Sawit itu adalah asas pembangunan,” katanya.”Benar-benar biadap mereka itu.”
Aku tersentak dan diam.
Amang Tundan kemudian melanjutkan,”Direktur perusahaan mempermainkan kampung ini sebagai harta mereka, memanfaatkan kawasan yang subur ini untuk kepentingan mereka, sementara banyak kepala keluarga yang tersingkirkan. Perusahaan itu menyambar batas tanah adat dengan serakah, bahkan dengan ringan mereka mengatakan kehadiran perusahaan adalah sebagai pembebas dari kebodohan dan kemelaratan. Benar-benar prestasi yang luar biasa, mereka yang menyebut sebagai membangun manusia, tetapi pada sisi lain melahap hutan belantara di kampung kita ini.
“Akupun tidak mengerti.”
Amang Tundan berkata, “Direktur perusahaan bersama anak buahnya setelah hari pembebasan tanah, kemudian menghadap Bapak Gubernur dan dikatakan sebagai pahlawan pembangunan.
Tetapi ayahmu berkali-kali menunda kedatangan Bapak Direktur pada pertemuan masyarakat adat yang difasilitasi LSM untuk menunda eksekusi terhadap satu hamparan tanah yang tersisa. Dia mengaku mengatahui bahwa tanah adat yang terakhir. Itu pun ingin di bebaskan.”
“Adalah Direktur pula yang memerintahkan untuk berjaga-jaga di garis batas dan memerintahkan untuk tetap waspada. Bapak Direktur pula yang memerintahkan satu regu aparat keamanan untuk mendampingi perusahaan supaya berhadap-hadapan dengan warga. Bapak Direktur, dengan pengetahuannya yang cermat tentang batas-batas tanah adat memerintahkan Kepala Badan Pertanahan untuk membawa lembaran surat tanah yang ditanda tangani Bapak Gubernur sebagai barang bukti.”
“Ayahmu tertembak.”
“Aku terhenyak.”
Aku sekarang mulai ingat, beberapa goresan Ayah pada dinding rumah, yang ditulis menggunakan arang, tetapi semua itu masih misteri. Tentang kematian Ayah dan kematian ratusan karyawan perkebunan kelapa sawit itu.
“Pertengahan tahun 1980-an,” lanjut Amang Tundan, “Bapak Direktur perusahaan itu mengakui bahwa dia mampu mengubah warga kampung yang katanya kotor, pemuda di sini mandi tidak pernah menggunakan sabun dan tak pernah gosok gigi dengan odol, Bapak Direktur ingin menjadikan warga kampung ini sebagai manusia beradap, menjadi manusia modern dan tentu saja menjadi kaya.“
Waktu itu, Kampung Tanah Batu Bua ini dia ganti namanya menjadi Desa Makmur Jaya. Kampung ini dipenuhi dengan berbagai bantuan seperti alat telekomunikasi parabola. Tiap-tiap kepala keluarga diberi handphone satelit, beberapa buah televisi, perempuan-perempuan diberi bantuan cream pewarna rambut, di pojok kampung berdiri sebuah warung minuman, tempat anak-anak terbiasa membeli kesenangannya. Tahun 1990-an anak-anak di kampung ini mereka beri hadiah berupa game, sepeda motor dan pemberian uang yang disebut uang jatah desa. sound system dan perangkat karaoke diberikan kepada kepala dusun. Seorang yang dipercaya sebagai pemuda pemberani di kampung ini diangkat menjadi kepala security kantor yang bertugas menjaga palang pintu bagi keluar masuknya mobil Bapak Direktur.
Tetapi, jauh sebelum itu, kau tahu, alat-alat berburu di kampung ini mereka beli, Mandau peninggalan leluhur mereka beli. Patung ratusan tahun di Balai Bini sudah lama berpindah tangan, mereka beli dengan alasan bahwa Bapak Presiden senang dengan barang-barang seni. Tak ada yang tersisa dari peninggalan leluhur di kampung ini, bahkan pohon yang menghasilkan kemenyan untuk upacara telah lama mereka tebang dan menjualnya kepada seorang penadah barang antik di kota.
“Ayahmu memang pemberani, tetapi keberanian yang tak pernah ia ceritakan.”
“Tak sesuatu pun, hanya aku yang lolos dari maut dan tetap hidup.”
“Kalau begitu ceritakan padaku, Ni Amang, apakah kau berhasil mengusir Bapak Direktur perusahaan itu, setahun kemudian?”
“Ni Amang mengangguk.”
”Dengan cara apa?
“Kau mau tahu?”
“Tidak, tidak mungkin aku ceritakan sekarang.”
“Mengapa Ni Amang juga merahasiakannya.?”
“Bapak Direktur itu sangat kejam, dia atas nama Negara, jadi Negara ini lebih kejam daripada Bapak Direktur. Dia menyerobot tanah adat dan mencuri harta leluhur di kampung ini untuk membangun Istana.”
“Istana apa?” tanyaku
“Sebuah Istana megah dibangun di Ibukota,” jawab Ni Amang Tundan. “Dia ingin membangun Istana di ibukota Singapura, Istana yang lengkap berdampingan dengan menara Singa. Dapatkah kau membayangkan kengerian semacam ini? Ini artinya ada persekongkolan dunia yang merampas tanah leluhur di kampung ini dan tentu saja banyak cara untuk meluluhlantakkan kampung ini. Mereka beli sepasang topeng yang berusia hampir dua abad, dan katanya akan menjadi hadiah terhormat di Balai Kota Amsterdam. Topeng itu akan menjadi barang berharga dan diletakkan di Museum Seni di jantung kota Eropa. Kau tahu, katanya lusinan manik-manik berwarna biru dan merah peninggalan kakekmu kini menjadi rebutan di rumah lelang Krustie di kota London.”
“Ayahmu memang pemberani, tetapi keberanian yang tak pernah ia ceritakan.”
Aku mulai menduga atas terjadinya dua friksi dalam cerita Ni Amang Tundan dan kemudian menghubungkannya dengan kematian ratusan karyawan perkebunan kelapa sawit. Tetapi nampaknya sudah ada benang merah persoalan yang menggelayut di kampung Tanah Batu Bua. Cerita Nia Amang Tundan membuka kotak Pandora tentang misi di balik perampasan tanah adat.
“Kedengarannya kau seperti ayahmu,” kata Ni Amang Tundan.
“Perbukitan itu, apakah kau telah cek semuanya?”
“Bukan yang itu, bukit Bundang berada di sebelah barat pegunungan Meratus, Perusahaan tambang emas telah melakukan pemetaan dan menutup rapat pintu masuk di lereng sebelah selatan. Ada begitu banyak, dan memakan beratus tahun untuk mengeksplorasi sampai pada eksploitasinya. Lereng Bukit Bundang seperti labirin besar membentang dan perusahaan telah memasang kawat berduri pada masing-masing patok dan meletakkan tanda bersilang warna merah. Aku sudah dua kali ke sana untuk melihat orang-orang perusahaan bekerja, mengintip saja di balik pohon Tengkawang.”
“Di sini, ini gambarnya,” kata Ni Amang Tundan menggoreskan sebilah pisau di atas pelepah pohon Pinang. Dia menggambarkan peta yang kini sudah dikuasai oleh pihak perusagaan tambang emas itu.
“Jika kau ingin tahu, itu sudah cukup bagus bagiku. Mungkin sudah waktunya kau tahu, Tak Marem. Waktuku sudah sangat pendek. Sebagai bagian dari leluhur, kau harus tahu apa yang sudah aku tahu. Mungkin Ayahmu benar, tetapi mungkin juga tidak. Mengapa kau tidak pergi mengunjungi Ulaq Tuwe? Dialah paling berani di antara leluhur Dayak. Jika hanya itu yang kau inginkan.”
“Jangan kau lakukan,” kata Ni Amang Tundan.
“Aku melakukan apa yang kau harapkan. Aku benar-benar ingin mendapat gambaran bagaimana kematian merenggut banyak orang, persoalannya persis seperti bagaimana memberikan jawaban pada suatu cerita, bagaimana bisa ayahku tiba-tiba mati di kamar penjara kota. Aku tidak menyesali kematian ayahku, sebab aku tahu dia adalah pemberani.
“Tetapi Direktur perusahaan nampak pantas menerima perlakuan seperti itu. Ini nampaknya telah berlaku hukum rimba. Hukum akan tegak hanya bagi siapa yang berkuasa dan siapa yang paling kuat. Ini bukanlah pertarungan, tetapi harga diri yang terampas.”
Malam semakin pekat, bunyi karariang terus melengking sangat tinggi bersahut-sahutan. Bulan genap purnama. Ni Amang Tundan kini bergerak melangkahkan kakinya menuju sudut di timur Balai-Balai. Perlahan dia menurunkan benda yang terbungkus kain warna kuning dan diikat dengan seutas tali hitam. Dia mengeluarkan sesuatu dari bungkusannya, sebilah kampak nampak tua dan berkerut. Kampak itu telah diberi tanda putih bersilang dengan kapur sirih kinang.
Ni Amang Tundan, membangunkan keluarganya yang lain, meminta mereka duduk melingkar mengitari tiang Ulin yang menjadi poros di tengah Balai-Balai. Aku membakar Dupa dan yang lain menyiapkan sesajian sederhana. Ni Amang Tundan duduk menghadap tiang Ulin dan asap dupa dikibas-kibaskan, wangi dupa menyelinap ke seluruh ruang Balai-Balai. Kampak kemudian dipukul dengan sebilah besi kecil secara perlahan-lahan, lembut sekali. Suara dentingan Kampak yang dipukul-pukul sangat magis. Pukul 12,00 malam, Ni Amang Tundan melempar beras kuning, terus melempar ke empat penjuru Balai-balai,
Sekarang kau tahu, bagaimana kematian bisa terjadi dengan mudah. Setelah berpuluh tahun, rahasia kematian tertutup rapat, malam ini telah kau saksikan bahwa kematian bisa terjadi hanya di ujung selembar daun Sawang
Ni Amang Tundan terus melempar Beras Kuning, tapi kali ini, setiap lemparan tertuju pada asap Dupa. Beberapa kali kibasan secara bersamaan dengan Daun Sawang. Diiringi dentingan kampak bertalu-talu, daun Sawang itu terus bekelebat seperti mengejar mangsanya. Berkilatan seperti amuk Mandau yang mencincang pada siapa saja sasaran dengan manteranya.
Malam itu, upacara telah menutup kelam dengan dendam. Tidak ada hiruk pikuk, sempurnalah kematian yang berhormat Bapak Direktur. Kematian yang wajar bersama angin yang bengis menelusup ke dalam jantungnya. Kematian bersama beras kuning menerjang otak dan pembuluh darah, daun Sawang seperti sembilu membelah paru-paru bersama aliran getahnya meracuni dinding kematiannya. Kematian yang kelam ditelan malam.[]
Seperti di Tanah Batu Bua 15 Mei 2014
Daun Sawang (cordylia javanica BLB), biasa ditanam di atas kubur atau makam sebagai penanda.
Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 2014
0 komentar: