Cerpen Hajriansyah: Di Rumah Pak Kasman

18.13 Zian 0 Comments

Seorang prian nampak gigih di usianya yang tak lagi muda. Rambutnya yang putih sewarna janggutnya yang sedada. Ia asyik memandang patung di depannya. Berdiri, di tangannya tatah batu dan palu. Dadanya sesak, punggungnya tegak. Sementara di sanggarnya yang tak terlalu besar itu rupa-rupa patung tak selesai, tak satu-dua jumlahnya. Dan di dalam, wayang aneka rupa masih tak berwarna, terpajang, terjepit, di sisi dalam gedek dan kayu yang mendinding pesanggrahannya. Ia tak terganggu dengan kedatangan anak muda, yang seorang sewarna dengan warna tanah liat dari kepala sampai ujung kakinya, yang lain rambut sebahunya digelung sembarang dengan karet serupa di tangannya; matanya masih nanar pada torso yang belum lagi selesai, di meja kerja di depannya.

Harum dan Peter sudah akrab dengan suasana tempat itu. Sebuah gang sempit di selatan padepokan Taman Siswa. Diapit tembok, yang memanjang dari muka gang, dan sebuah terusan ke gang di sebelahnya, rumah pak Kasman lebih menyerupai bengkel kerja dengan atap tanpa dinding, kecuali sebuah bangunan berdinding gedek dan kayu seukuran 4 x 10 meter yang merupakan tempat tidurnya dan ruang menyimpan apa-apa saja yang dirasanya cukup berharga: koleksi wayang buatannya, lukisan-lukisan kecilnya di dinding yang kebanyakan bertema wayang, sketsa-sketsa patung, dan beberapa souvenir berupa boneka aneka rupa dari negara-negara yang pernah dikunjunginya. Di depan bangunan itu serambi selebar dua meter dengan meja bundar dan beberapa kursi tamu dari logam aneka rupa, besi bercampur tembaga dan alumunium yang dicor dengan ornamen wayang.
Pak Kasman tinggal sendiri. Ia tak pernah beristri. Hidup selibat sebagaimana seorang pastor. Anak-anaknya adalah wayang, lukisan, karya relief dan patung-patungnya.
Mengingat kehidupan seorang pastor mengingatkan Harum cerita Peter, tentang cita-citanya dulu yang ingin menjadi seorang gembala bagi umatnya. Peter, bahkan, sempat nyantri di seminari di daerahnya sana. Sebuah foto di kamar Peter, di antara buku-bukunya, mengabadikan Peter dan seorang temannya memakai baju serupa gamis yang pernah dipunyai Harum, hadiah dari ayahnya yang barusan pulang berhaji. Peter nampak gagah di foto itu. Bajunya bersih dan rapi. Dan dalam dekapannya, Alkitab di dadanya. Ia tersenyum, temannya pun tersenyum; mata mereka berdua menatap cakrawala.
Pak Kasman pun seorang katolik, tapi cita-citanya semenjak kecil adalah menjadi dalang. Meski ia bukan turunan dalang dan tak pernah nyantrik pada seorang dalang pun, ia mengembangkan sendiri kepedalangannya secara otodidak. Ia gemar nonton wayang sejak orok, candanya satu kali pada Harum dan Peter. Dan sewaktu kuliah seni rupa di ASRI dulu ia banyak bereksperimen dengan berbagai rupa bentuk wayang, dan sering digugat menyalahi pakem bentuk wayang. Pada akhirnya, toh, ia tetap menjadi dalang—membawakan wayang-wayangnya yang tak umum menari di atas kelirnya disoroti lampu warna-warni. Di dalam kotak di kamar yang terkunci dan didindingi papan di sebelah kamarnya ada seset tokoh wayang, meski mungkin tak selengkap milik dalang kondang serupa Ki Manteb—namun jelas lebih unik. Harum pernah diperlihatkannya. Peter tidak. Dan itu pada kesempatan yang lain, tidak bersama Peter.
Orang tua itu mulai jenuh memandangi karyanya. Ia berpaling ke Harum dan Peter. Diletakkannya peralatan di tangannya ke sebuah lemari di sisi dinding beton. Ia melirik sebentar ke dua orang muda di sisinya, menuju ke keran air di sudut serambi, yang di bawahnya sebuah ember kecil, dan membersihkan tangannya. Lalu duduk di serambi.
“Ter, kowe yang bikin kopi! Aku senang takaranmu.” Perintahnya sambil mengelapkan tangannya pada celananya yang tak bersih.
Peter menuju dapur di belakang kamar. Harum duduk di sisi pak Kasman, ia menggiling tembakau yang dibawanya dari kamar Peter. Si orang tua memerhatikannya seksama. Ketika Peter datang membawa kopi, ia baru sadar pada pandangan pak Kasman.
“Kenapa, pak?”
“Kamu mahir juga, ya, melinting tembakau,” katanya, melirik uap yang mengepul dari kopinya.
“Ini Jogja, pak. Tak beda yang tua dan yang muda, yang antik dan yang modern.” Begitu terang jawaban Harum.
“Whahaha.... Hebat, hebat, jawabanmu! Tapi benar, aku tak begitu memerhatikannya. Sama seperti aku barusan memerhatikan uap yang mengepul ini.” Katanya sambil menunjuk cangkir kopi panasnya, mengangkatnya ke mulutnya, menghidu aromanya sebentar, meniup uap panasnya, lalu menghirupnya. Nikmat! “Ayo minum, minum...”
Peter di sisi Harum mengangkat cangkirnya terlebih dahulu, langsung meminumnya. Harum kagum dengan tebalnya bibir dan lidah Peter. Ia lebih memilih cara pak Kasman.
“Peter ini memang serupa buta-buta dalam pewayangan. Bibirnya tebal, mampu menghirup lahar dari gunung merapi sekalipun.” Pak Kasman tertawa lebar. Harum mengikutinya. Peter cuek bebek, menghirup sekali lagi kopi panasnya tanpa meniupnya.
“Kalian baru kuliah, atau baru bolos,” Pak Kasman bertanya tak mengharap jawab, kalimatnya lebih merupakan pernyataan ketimbang pertanyaan.
“Anak muda seperti kalian ini mestinya meneladani Bima dan Arjuna.” Ia berhenti sebentar untuk menghirup lagi kopinya. “Yang satu menuntaskan kebimbangannya di Kurusetra, dengan bimbingan Krishna tentunya, dan yang lain menemukan jati dirinya di samudera bersama dewa ruci di dalam dirinya.” Pak Kasman menatap keduanya, “kalian sudah tahu ceritanya, kan?” Pertanyaan ini dijawab anggukan keduanya. “Yang satu bertubuh besar, dan yang lain berwajah rupawan, persis seperti kalian berdua. Dua-duanya sama gelisahnya. Dua-duanya sama cantriknya, dan tak berhenti belajar sampai matinya, sampai pendakian terakhirnya.”
“Di sini, Jogja ini, semuanya terbuka. Tentu ada peperangan di sini, di dalam diri orang-orang yang datang dari daerah-daerah, dekat maupun jauh, dari seluruh nusantara. Dan kau berdua tahu, memerangi diri itulah peperangan terbesar, bukan. Kau, Harum, itu ada pada hadits Rasulmu, bukan?”
Harum mengangguk saja, meski ia tak yakin betul. Atau, ia teringat sedikit tentang riwayat perang badar. Dan cerita ini biasanya dikisahkan di sekitar Ramadhan. Ya, bulan puasa yang penuh kenangan akan tradisi di kampungnya—yang ia yakin betul hari ini, setelah melewati satu bulan puasa di Jogja, adalah tradisi yang umum bagi orang Indonesia kebanyakan.
“Aku mengerti potensi anak-anak muda seperti kalian. Dulu aku juga pernah mengalami masa-masa ini. Terkadang, struktur formalistik yang sudah diatur bagus itu tak sepenuhnya cocok dengan jiwa kita, meski ia sudah dianggap sempurna oleh para pendidik.” Pak Kasman berhenti di situ. Ia melirik Peter yang mengeluarkan plastik tembakau dan mulai melintingnya. Matanya melirik ke Peter, dan si buta tersenyum. Tangannya menjawil setarikan serat dari daun berwarna coklat kemerahan itu. Tangannya yang lain mengambil papier, lalu menggulungnya. Halus caranya. Lintingan itu ia letakkan di meja. Sedari awal ia memang tak berniat merokok. Ini hanyalah kebiasaan yang sudah dipahami Peter dan Harum, dan tentu saja lintingan itu bisa untuk mereka.
“Kegelisahan itu mesti disyukuri. Diterima sebagai pemberian. Manusia tanpa kegelisahan, waa... apa itu! Apalagi anak muda.”
“Berarti tak mesti harus terus kuliah ya, pak?” Harum tersenyum mengalihkan perhatian.
“Ada banyak jalan menuju Roma, Rum. Dan tak semuanya lurus. Tentu ada yang menyesatkan. Yang penting kalian mengerti yang dituju.”
Melihat orang tua itu bersikap serius, Harum segera menarik cangkirnya. Ini semacam taktik pengalihan perasaan dari ketidaknyamanan. Menghirup kopi, menghisap rokok lebih dalam. Orang tua itu menarik pula cangkirnya, Peter juga. Sejenak suasana lebih hening. Sepeda motor lewat di jalan gang. Pengendaranya tersenyum pada mereka yang mengaso. Suara tekukur di siang hari entah dari mana. Desing sawangan membelah udara.
Sementara dua anak muda itu memainkan lintingannya, si orang tua tenggelam dalam kenangannya. Seperempat abad yang lalu ia masih seremaja dua orang di hadapannya. Ia begitu bersemangat kala itu dalam pencarian bentuk kesenirupaan yang, mungkin, terlalu abstrak bagi orang awam. Ia ingat satu kali dosennya yang berpendidikan Belanda itu mengingatkannya untuk mematangkan dulu teknik realisnya benar-benar. Tapi, bagi Kasman muda yang penuh elan-vitale, hal-hal semacam itu tak memuaskannya. Bentuk realis itu sudah sempurna baginya sejak Rembrandt dan Courbet. Ada hal-hal yang lebih mengasyikkan untuk dijelajah sesudah itu semua. Dan ia menemukannya pada wayang, bentuk yang diakrabinya sejak kecil.
Di suatu malam yang dingin, saat Jendral Sudirman memimpin gerilya di pedesaan, dan Soekarno terpenjara tak mampu berbuat banyak di Yogyakarta, sementara Syahrir terus menekan dan menentang pendudukan Belanda yang bagi pribumi saat itu bukan lagi tuan bagi tanah mereka, Kasman kecil seusia balita diajak ayahnya nonton wayang di alun-alun. Ayahnya yang berpendidikan dan cukup terpandang mendapat tempat istimewa saat itu, dan Kasman kecil nanar matanya memandang bayang-bayang yang berkelebat di balik kelir itu dari jarak tak kurang dari lima meter. Ia tak begitu mengerti apa yang disuarakan dalang di balik kain putih itu dengan belencong yang berkibar-kibar, kecuali sinden-sinden itu yang juga kadang memikatnya, ia menatap lekat hanya pada siluet itu saja. Ayahnya yang memerhatikan ketertarikannya, mengajaknya ke belakang panggung seusai pertunjukan—dan tentu saja itu sudah menjelang fajar. Ia begitu bahagianya ketika melihat yang tadinya cuma siluet hitam itu ternyata bentuk-bentuk yang berwarna dan penuh ornamen. Ayahnya sampai sedikit menghardik untuk sekadar mengajaknya pulang.
Ya, dan sejak itulah wayang menjadi obsesi tersendiri baginya. Dan ketika ia berulang tahun yang keenam ayahnya menghadiahkan “Arjuna” berwarna hitam, yang ornamennya begitu berwarna dan impresif. Seduamingguan ia tak mau melepaskan wayang itu dari pelukannya di saat tidur.
Ketika teman-teman seangkatannya di ASRI menekuni plasitisitas bentuk dalam tone dan perspektif, ia hanya menekuninya sesaat dan segera sesudah dirasanya ia menguasainya ia kembali ke dua dimensi wayang, yang baginya masih bisa dieksplorasi sisi-sisi plastisitasnya yang lain.
Pada akhirnya ia berpendirian wayang-wayang itu belum sempurna. Ada jarak yang memisahkan ketika ia kibar-kibarkan di balik kelir, dan bagi penonton yang cukup jeli, yang berwawasan serupa dirinya, bentuknya semakin tak proporsional. Untuk proporsionalitas itulah kesungguhannya kemudian ia arahkan. Wayang-wayang diukur sedemikian rupa, tidak hanya sebatas proporsi visual berhadapan mata, juga secara imajiner ketika wayang-wayang itu dimainkan di tangan sang dalang. Dan tak cukup sampai di situ, ia ingin menunjukkan gerak yang sempurna itu dengan permainannya sendiri. Maka, ia tak hanya dikenal sebagai seniman perupa, tapi juga kemudian diakui sebagai dalang (plus imbuhan “edan” di belakangnya) setelah melewati cemoohan-cemoohan yang terkadang menyakitkan juga baginya.
Ketika Kasman yang beranjak tua tak melihatkan tanda-tanda untuk menikah, saudaranya yang seorang juragan batik terkenal di Jogja hanya bisa memaklumi kesenimanan dan pengabdiannya. Sesekali ia membantu jika Kasman kesulitan uang. Bahkan, untuk kepergian-kepergian awalnya ke luar negeri, kakaknya itu pula yang harus merogoh kantong lebih dalam. Sampai satu saat ia menegaskan tidak akan membantu keuangannya lagi, Kasman benar-benar harus hidup dari patung dan lukisannya. Dan ia menekuni keseniannya dengan semangat yang tak pernah menua, sekalipun. Dan ketika memandang dua orang muda di hadapannya, ia turut menjadi bahagia.
“Ter, kau sudah membuat potret diri?” suaranya yang berat memecah keheningan sesaat tadi. Peter menjatuhkan abu rokoknya di asbak di depannya.
“Sudah pernah, pak.” Peter berusaha menatap mata si orang tua, apakah ada lelucon di sana.
“Apa yang kau lihat di kanvasmu itu, saat selesai melukis?”
“Ya, saya Pak.” ia tambah bingung, dan menghisap rokoknya lebih dalam mencoba gaya Harum yang dilihatnya di depan warung MSD tadi. Dan ia berhasil, tak terbatuk konyol. Apa yang dicari Pak Kasman pada wajahnya, pikirnya.
Si orang tua memahami kebingungan Peter, juga Harum di sampingnya. “Tidak... maksudku, tentu wajah di kanvas itu beda, kan, dengan yang sering kau pandang depan cermin.”
“Tak banyak berbeda, Pak,” jawabnya belum begitu mengerti. Harum di sampingnya berusaha menyimak apa yang ingin diungkapkan orang tua di depan mereka.
“Yang di depan cermin itu adalah yang disepakati orang-orang mengenai bentukmu, wajahmu. Sedangkan yang di atas kanvas adalah bentuk pencarianmu sendiri, mengikut pengetahuanmu tentang komposisi bentuk, garis dan volume warna, atas bentuk dirimu sendiri. Ini tentu saja berbeda sekali, menyangkut pemahamanmu dan kreatifitas yang terus menerus.”
“Terus, bagaimana dengan pendidikan formal itu, Pak?” Harum merasa itu saat yang tepat untuk menelusuri kembali pandangan si orang tua tentang pembelajaran diri, pencarian identitas khas anak muda sepertinya.
“Tetap saja itu harus kau lalui, untuk memberimu pengertian arti penting sebuah proses. Apalagi kau tengah menjalaninya saat ini, apakah kau ingin mengambil jalan pintas yang membelok ke awal perjalananmu lagi? Berkali-kali?”
“Tidak, Pak.” Kali ini Harum menyerah, meski tak mudah baginya menekan keinginannya untuk bertanya lebih lagi. Peter di sampingnya lebih tenang, entah ia memahami maksud diskusi itu sebenarnya.[]

Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu,  2014
Hajriansyah. 2016. Kisah-kisah yang Menyelamatkan. Banjarmasin: Tahura Media

0 komentar: