Cerpen Rizqa Aulia Rahmi: Putri Tidur

18.08 Zian 0 Comments

Ada banyak hal yang belum bisa kumengerti tentang dunia ini. Seperti mengapa seseorang bisa dicintai dan sekaligus mencintai, mengapa seseorang bisa berkomitmen menata hidup bersama satu pilihan, mengapa seseorang merasa sakit saat putus cinta, atau mengapa seseorang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Bagiku, semua itu hanya tentang pilihan.
Saat seorang temanku mengatakan dia sedang kesulitan menentukan pilihan, aku tidak mengerti. Seumur hidup, aku tidak pernah kesulitan untuk menentukan pilihan, selalu tahu apa yang kuinginkan. Jika ya kukatakan ya. Jika tidak kukatakan tidak. Ya dan tidak, sederhana. Cinta pun sederhana, seperti dongeng masa kecilku tentang Putri Tidur. Akan ada satu pangeran yang membangunkan Putri Tidur dari tidur panjangnya, jatuh cinta, kemudian berhak sepenuhnya atas happy ending mereka.

“Tapi, apakah benar sesederhana itu?” tanya temanku, Yuna.
“Maksudmu?”
“Maksudku, pilihan itu tidak mungkin satu. Jawabannya belum tentu satu. Tidak mungkin sesederhana ya dan tidak kan?”
Aku hanya diam, melanjutkan berjalan.
“Dan tentang dongeng konyolmu itu,” dia melanjutkan, “bagaimana jika ada dua pangeran dan keduanya menempati posisi yang sama di hatimu? Apakah pilihan akan masih sesederhana itu bagimu?”
Aku mengangkat bahu, menandakan aku tidak tahu. Yuna selalu bercerita kepadaku tentang dua pria yang membuatnya dilema. Dua pria yang menurutnya dicintainya adalah dua pria berbeda dengan sifat berbeda dan latar belakang berbeda namun memegang posisi yang sama di hatinya. Entah sudah berapa lama, tapi dilema Yuna belum juga menemui titik temu. Dan di sini aku sekarang, di taman dekat rumahku. Entah untuk yang keberapa kalinya, mendengarkan isi hati Yuna. Padahal aku seharusnya berkemas untuk kepergianku nanti sore.
“Ra, apa yang harus aku lakukan? Semua orang menuntutku untuk mengambil pilihan,” tanya Yuna, kegelisahan bisa terbaca di wajahnya.
“Aku tidak mengeti mengapa memilih bisa begitu sulit bagimu. Kau hanya harus memilih, Yun,” jawabku datar.
“Ra, ini hari terakhirmu di sini, kan? Setelah ini, aku tidak tahu kapan lagi kita bisa bertemu. Jadi, tidakkah kau ingin sekali saja memberi saran yang mungkin bisa membantu menenangkan hati sahabatmu ini? Kau selalu saja datar,” katanya sambil memasang wajah cemberut.
Aku teratawa kecil mendengar komentar Yuna tentang kedataranku. Memang, selama kami berteman, delapan puluh persen pembicaraan datang dari Yuna. Sembilan puluh lima persen permasalahan juga datang dari Yuna. Aku teman yang hanya bisa mendengarkan atau sesekali berucap ya dan tidak.
Perasaan bersalah tiba-tiba menyerangku. Aku adalah seorang teman yang tidak pernah bisa mengerti tentang sikap fanatik Yuna terhadap idola-idolanya, atau kekagumannya dengan kakak-kakak kelas dan kapten basket sekolah  yang dianggapnya kece badai. Aku adalah seorang teman yang tidak pernah mengerti mengapa Yuna selalu menangis saat menemui konflik dengan pacarnya. Aku juga seorang teman yang tidak mengerti tentang dilemanya. Berbeda dengan Yuna yang selalu mengatakan semua isi hatinya, aku selalu berada di sisi yang tertutup.
“Walaupun aku tidak pernah mengerti mengapa kau selalu kesulitan menentukan pilihan. Tapi, aku sudah lama tahu kalau memilih adalah masalah terbesarmu,” kataku sambil memandang ke arah lain. Ya, memilih adalah masalah untuk Yuna.
“Aku selalu mengajakmu membeli es krim setiap Sabtu sore. Tanpa harus berkata apa pun, pemilik toko es krim langganan kita itu sudah tahu es krim rasa apa yang kuinginkan. Lain denganmu, apakah kau sadar? Pemilik toko es krim itu selalu saja melemparkan ekspresi kesal padamu, Yun.” Aku berhenti sejenak untuk melihat ekspresi Yuna.
“Siapa yang tidak akan kesal,” lanjutku, “ 15 menit berlalu dan kau masih saja tidak tahu es krim rasa apa yang kau inginkan. Pemilik toko itu kesal padamu karena dia juga masih punya pekerjaan lain selain melayani kita berdua.” Kami bedua tertawa mengingat masa itu.
“Pemilik toko itu, kurasa dia membenciku,” kata Yuna, masih tetawa. “untungnya kamu selalu manyelamatkanku, Ra. Memintaku untuk membeli semua rasa yang kuinginkan agar kita tidak perlu berdiri lama dengan tatapan kesal pemilik toko.”
“Kau juag selalu membuat kita terlambat hadir ke berbagai acara karena masalahmu dengan baju mana yang harusnya kau pakai,” lanjutku, “jika sedang dalam kondisi itu, aku menyuruhmu untuk memakai semua yang ingin kau pakai.”
“Aku seharusnya tidak pernah mendengarkan saranmu tentang berpakaian.” Jawabnya dengan wajah cemberut. “semua orang menatapku aneh saat aku mengenakan jeans dan rok pada saat bersamaan.”
“Jadi, sekarang apakah kau sudah tahu rasa es krim apa yang kau suka?” tanyaku. Yuna melemparkan ekspresi bingung tapi dia menjawab.
“Tidak juga, sih. Tapi setelah mencoba semua rasa, kurasa aku tidak suka rasa teh hijau dan mint.”
“Kau juga tahu kan, memakai semua yang kau inginkan pada saat yang bersamaan tanpa memperhatikan pantas tidaknya akan membuatmu terlihat konyol,” lanjutku lagi.
Yuna, mengangguk.
“Itulah yang ingin kukatakan padamu, Yun. Berbeda denganku, kau orang yang penuh dengan warna, tertarik dengan banyak hal dan menginginkan banyak hal. Kau juga orang yang tidak takut mencoba banyak hal. Aku pikir mungkin itulah yang membuatmu sering bingung, sulit untuk memilih.” Aku menatapnya sekali lagi, memastikan dia mengerti kata-kataku sebelum melanjutkan.
“Setelah kau mecoba berbagai rasa es krim, kamu jadi tahu, mana yang sesuai seleramu dan mana yang tidak. Selanjutnya, kamu tidak perlu lagi memilih yang mana yang tidak sesuai dengan seleramu. Kamu juga jadi tahu, memakai semua pakaian yang kamu inginkan pada saat bersamaan tanpa memperhatikan keselarasan akan membuatmu tampak konyol dan aneh. Yun, alih-alih menunjukannya, aku ingin kamu menemukan sendiri tentang kebenaran dari semua pilihan yang pernah kamu buat.”
Kami berdua diam, menatap jalan raya dengan berbagai macam kendaraan lalu lalang. Entah mengapa, sejenak, jalan raya terasa sangat sunyi.
“Aku juga sering berpikir kita ini Putri Tidur. Kita sedang bermimpi panjang dan menunggu untuk bangun dari tidur panjang,” suaraku memecah keheningan diiringi dengan tawa kecil Yuna.
“Aku masih menganggap dongengmu dan obsesimu dengan Putri Tidur itu konyol,” responnya. Mendengar itu, aku menyingkirkan topik tentang Putri Tidur. Tak mau Putri Tidurku di ejek lagi oleh Yuna. Aku berpikir sejenak sebelum bertanya.
“Jadi, apa yang harus kau lakukan sekarang?” tanyaku.
Aku mendengarnya menarik nafas panjang sebelum menjawab, “Aku sudah mencoba dengan keduanya, juga sudah menjalani dengan keduanya. Kurasa, sama seperti sebelumnya, sama seperti yang kau ajarkan padaku, aku akan menemukan kebenaran, entah bagaimana. Aku akan perlu banyak waktu, mungkin akan ada lebih masalah lagi. Tapi seperti katamu, pada akhirnya, aku akan tahu mana yang terbaik kemudian aku hanya perlu menentukan. Aku masih punya banyak waktu, kan?”
Aku mengangguk. Kami berdua saling bertatapan dan tersenyum. Baru saja kebisingan jalan raya dengan banyak kendaraan berlalu lalang itu terdengar. Sadar aku tidak punya banyak waktu, aku mulai berjalan lagi, mengajak Yuna kembali ke rumah.
Jika aku adalah Putri Tidur, aku pasti sedang bermimpi sekarang sedang tubuhku sedang berbaring dengan mata tertutup menunggu seorang pangeran untuk membangunkanku. Sementara Sang Pangeran belum juga datang, kewajibanku adalah membuat mimpi ini menjadi lebih indah sebelum aku dibangunkan dan memulai petualangan baru, nanti.
Sore itu, untuk mimpiku. Aku berangkat dari kampung halamanku, Kotabaru, menuju kota lain yang baru bagiku. Mencoba membuat mimpi ini menjadi lebih indah. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada pesan “jaga dirimu baik-baik”, tidak ada kata “sampai jumpa lagi”, tidak ada pelukan apa lagi tangisan. Semuanya mengerti, aku tidak menyukai hal semacam itu.Yuna mengerti, aku tidak menyukai hal semacam itu. Yuna yang masih saja berdilema, telah menambahkan satu hal lagi yang belum bisa kumengerti tentang dunia ini, “Bagaimana jika ada dua pangeran dan keduanya menempati posisi yang sama di hatimu?” Pertanyaannya masih menjadi pertanyaan bagiku.

***

“Mengapa aku melakukan ini terhadap diriku sendiri?” Tanyaku berulang-ulang di dalam benakku. Saat memutuskan untuk pergi sore itu, aku membawa semuanya bersamaku. Tak berniat untuk kembali. Tapi, di sini aku sekarang, di udara jauh dari daratan menuju kampung halaman yang sudah lama kutinggalkan. Aku punya satu teman menyebalkan yang akhirnya bisa menentukan jalan mana yang akan dia tempuh. Yuna, tentu saja. Walau terpisah jarak, kami masih berteman. Topik tentang dilemannya sudah lama basi. Setelah melalui banyak hal, Yuna akhirnya bertemu dengan Sang Pangeran yang mampu membangunkannya dari tidur panjangnya. Lucunya, Sang Pangeran bukanlah satu dari dua pria yang sering diceritakannya itu. Yuna pada akhirnya jatuh cinta pada orang lain.
Sementara aku, Putri Tidur yang masih saja tertidur. Malah terlalu asik dengan mimpi-mimpiku. Tidak selalu indah, tapi menarik untuk diceritakan jika suatu saat, aku terbangun dari tidur panjang ini.
Tiga bulan yang lalu, saat Yuna mengabariku tentang pernikahannya lewat telepon, dia bertanya apakah aku juga punya calon.
“Belum,” jawabku dengan santai.
“Masih belum?” tanya Yuna dengan nada sedikit dinaikkan. Aku bisa membayangkan ekspresinya di ujung telepon. “Ra, umurmu berapa?” tanyanya lagi dengan nada mengejek. Dia kemudian tertawa. Dia pikir fakta bahwa aku masih saja tidak punya pacar dan masih percaya dengan Pangeran dan Putri Tidur itu sedikit ‘menghibur’.
Walaupun kesal dengan ejekan Yuna dan sifat keras kepalanya, aku masih saja tidak punya hati untuk menolak hadir di hari bersejarahnya. Yuna mengatakan salah seorang temannya akan menjemputku di bandara.
Sudah 30 menit menunggu. Tidak ada tanda-tanda seseorang sedang mencariku atau mengenaliku apa lagi meneriakkan namaku. Jika dipikir-pikir, ini sedikit sulit. Aku tidak tahu seperti apa wajah orang yang  diutus untuk menjemputku. Saat aku menyerah menunggu dan memutuskan untuk mencari taksi saja, seseorang  memanggil namaku.
Aku berbalik, mencari sumber suara.
“Mira?” tanya seorang laki-laki yang berjalan ke arahku, mengenakan baju hitam dan topi hitam yang bertuliskan kata konyol “Big Fish, Catch Me!” yang menutupi hampir setengah wajahnya.
“Kau Mira, kan?” tanyanya lagi seraya melepaskan topi hitamnya.
Aku menarik napas panjang sambil memperhatikan wajah laki-laki yang sedang berdiri di hadapanku. Mungkin, aku memang benar-benar berbeda dengan Yuna. Mungkin, aku memang benar-benar tidak pernah mengerti bagaimana dunia bekerja. Aku tidak harus mengerti atau mungkin saja alasan aku tidak pernah mengerti karena tidak ada orang yang mengajariku untuk mengerti. Mungkin saja, berbeda dengan Yuna, aku memang hanya punya satu Pengeran untuk membangunkanku. Mungkin, ini semua memang benar-benar tentang pilihan dan pilihanku selalu sederhana. Saat ini, aku hanya memiliki dua pilihan jawaban, ya atau tidak.
Maybe, after all, I am Sleeping Beauty.[]

Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu, 2014

0 komentar: