Cerpen Nailiya Nikmah JKF: Rumah di Bawah Pelangi
Imah berdecak kagum menatap rumah mungil bercat biru muda itu. Daun pintu dan jendela-jendelanya berwarna merah muda. Mirip rumah-rumahan barbie milik Sasha. Hanya saja rumah yang di hadapannya ini tidak bertingkat dan modelnya sangat sederhana. Pekarangannya cukup luas. Tak ada pagar pembatas. Yang membuat rumah itu istimewa adalah lengkungan indah warna-warni di atasnya. Ya, ada pelangi di atas rumah mungil itu. Kapan pun Imah datang, di langit di atas rumah itu selalu ada pelangi. Kurang lebih lima belas menit ia menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia pun menghidupkan motornya dan melaju menuju rumahnya sendiri.Imah tak sengaja menemukan rumah itu. Suatu sore Sasha mengamuk tidak mau berangkat ke tempat les piano. Biasanya tiap Senin dan Jumat sore Sasha ke les piano diantar papanya tapi sore itu Sasha mogok. Entah apa sebabnya, ia baru mau berangkat setelah dipaksa Imah dan Imah sendiri yang harus mengantarnya. Karena merasa sudah terlambat, padahal guru les piano sangat disiplin, Imah pun tergesa-gesa. Ia lupa membawa dompet. Ia juga lupa memakai helm. Di tengah perjalanan, dari jauh Imah melihat ada keramaian di depannya. Seseorang meneriakinya, “muter, muter, razia, razia!”
Imah tiba-tiba sadar ia tidak memakai helm, ia pun panik. Tak sengaja matanya tertuju pada belokan sempit di sebelah kirinya. Ia lihat beberapa pengendara membelok ke sana. Tanpa pikir panjang Imah mengikuti para pengendara yang sama paniknya dengan dirinya. Rupanya belokan tersebut adalah jalan tembus ke Jalan utama yang akan ditujunya. Nah, dalam jalan tembus itulah Imah menemukan rumah berpelangi tersebut. Sebenarnya bukan Imah yag menemukan pertama kali. Sasha lah yang pertama menemukannya. Sasha berteriak, “Ma, berhenti Ma, Sasha mau lihat pelangi! Ada pelangi, Ma!”
Imah gusar mendengar celoteh Sasha. “Sha, kita sedang kabur dari polisi,nih. Kamu jangan macam-macam. Lagipula kamu sudah telat les pianonya!” teriak Imah.
“Sebentar saja, Ma. Pelanginya aneh. Masa pelanginya cuma di atas rumah biru itu?” Suara Sasha mulai menjadi rengekan.
“Balik lagi dong Ma ke rumah yang sudah kita lewati tadiii” Sasha merengek lagi. Imah hafal betul, kalau sudah nada rengekan yang seperti itu, Sasha pasti akan mengamuk kalau tidak dituruti. Imah pun membalikkan arah motornya.
Bukan hanya Sasha yang melongo, Imah pun ternganga melihat rumah di bawah pelangi tersebut. Anehnya pemakai jalan yang lain tak ada yang tertarik melihat pemandangan langka itu. Bahkan sepertinya mereka tidak melihatnya. Imah merasakan kedamaian yang luar biasa saat memandanginya. Mungkin yang ia rasakan dirasakan pula oleh Sasha. Sejak itulah, Imah setiap hari menyempatkan diri melewati jalan itu hanya untuk melihat rumah di bawah pelangi.
Ini pekan keempat Imah menjadi pengagum rumah orang. Selama ini, Imah menganggap rumahnya adalah rumah terindah di kotanya, eits rumah terindah di dunia malah. Rumah yang dibeli suaminya itu menurutnya sangat spesial. Selain bahan dan arsitektur rumah yang elegan, rumah tersebut ada kolam renangnya, ada tiruan air terjun Niagaranya, ada hutan kecilnya – yang ditanami tetumbuhan hutan pada umumnya lengkap dengan danau buatan, ada ruang pameran karya seni, tak lupa mushola kecil untuk beribadah. Memiliki rumah mewah dan suami yang punya banyak duit membuat Imah merasa menjadi orang yang paling beruntung. Apalagi setelah kelahiran Sasha, putri tunggalnya yang bermata kejora. Ia merasa sangat lengkap, kecuali satu hal. Sampai saat ini ia tak berani menyetir mobil sendiri. Ia harus puas dengan hanya mengendarai motor kerennya. Setelah menemukan rumah berpelangi itu, Imah merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.
Pekan keempat mengagumi rumah itu, Imah menginginkan rumah tersebut. Sebenarnya bukan rumahnya, melainkan pelanginya. Imah ingin pelangi itu bisa dipindah ke langit di atas rumahnya. Sang suami tertawa waktu mendengar keinginan Imah, “Hahaha, pelangi itu tidak bisa dibeli, Imah. Pelangi itu tak bisa dimiliki. Ia milik semua orang. Ada-ada saja kamu,”
“Tapi rumah biru itu memiliki pelangi sendiri, Bang,” Imah menyahut.
Suaminya berhenti tertawa. Laki-laki berambut keriting itu menyentuh dahi istrinya. Imah menepis tangan suaminya, “Apa-apaan sih, Bang!”
“Hm, kupikir kau demam atau sakit tapi…tidak,” suami Imah menggeleng-geleng.
Imah hampir putus asa meyakinkan suaminya. Tiba-tiba ia berteriak, “Aha, Sasha, Sasha, Bang!”
“Kenapa dengan Sasha, Ma?”
“Dia yang pertama kali melihatnya. Kalau Abang tak percaya, coba tanyakan pada Sasha,” Imah bersemangat.
Setelah menjemput Sasha yang sedang bermain di rumah sebelah, mereka bertiga pergi ke rumah pelangi. Sebelum berangkat, Imah hampir meledak melihat tangan Sasha belepotan warna-warni bekas krayon. Imah sudah berulang kali melarang Sasha bermain-main dengan alat warna. Ia tak ngin Sasha jadi pelukis. Ia ingin Sasha jadi pemain piano yang hebat. Imah membersihkan tangan Sasha. “Tanganmu ini untuk main piano, Sha!”
Sesampainya di sana giliran suami Imah yang melongo. Ia berkali-kali mengucek-ngucek matanya, mencubit lengannya dan menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Jadi, kita mau membeli rumah ini, Ma? Pa?” tanya Sasha.
“Tidak, sayang. Kita mau membeli pelanginya saja” suara suami Imah membuat Imah riang.
Mereka disambut hangat oleh pemilik rumah. Sepasang suami istri yang ramah. Sasha senang sekali disuguhi semangkuk es krim rasa vanilla dengan butiran coklat chip di atasnya. Imah dan suaminya disuguhi teh hangat beraroma cengkeh dan mint, teman yang pas untuk kue brownis kukus buatan istri pemilik rumah.
“Jadi, apakah kami bisa membeli pelangi punya Bapak dan Ibu?” tanya suami Imah setelah mengelap bibirnya dengan tisu.
Imah sangat senang, kini justru suaminya yang terlihat lebih bersemangat. Suami dan istri pemilik rumah saling berpandangan lalu tersenyum mesra. Sang suami memberi isyarat agar istrinya yang berbicara.
“Begini Pak, Bu, pelangi yang di atas rumah kami tak bisa dibeli, tak bisa dipindah-pindahkan. Kami merawatnya sejak kecil. Kalau Bapak dan Ibu mau, kami mempunyai bibitnya. Ya… Bapak, Ibu harus sabar merawatnya, menyirami, memberi pupuk, nanti lama-lama dia akan tumbuh besar sepeti pelangi di rumah kami ini” Perempuan itu tersenyum, terlihat lekuk kecil di kedua pipinya.
Imah dan suaminya mengangguk dan berkata bersamaan, “Mau, mau.” Mereka semua tertawa. Sasha kebingungan melihat semua orang tertawa, gadis kelas satu SD itu dari tadi asyik dengan es krimnya. Bibir dan pipinya belepotan es krim. Ia pikir orang-orang menertawakannya. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan tangan. Bukannya membersihkan, Sasha malah menambah kotor mukanya karena tangannya sudah berlumuran es krim. Imah segera mengelap muka Sasha dengan tisu.
“Mungkin dia perlu cuci muka dengan air, mari saya antar dia ke belakang” Istri pemilik rumah menggandeng Sasha. Ia membawa Sasha menuju ruang makan, di sudutnya ada tempat untuk cuci tangan. Ada sabun dan kain lap di sana. Agak ke kiri, Sasha mendapati sebuah lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan bunga matahari yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Sasha menatapnya. Ia berjinjit, lalu tangan mungilnya mencoba menyentuh lukisan itu.
“Hm, cuci tangan dulu, Sayang…” kata istri pemilik rumah.
Sasha segera mencuci dan mengeringkan tangannya. Ia kembali ke lukisan bunga matahari. Karena tubuhnya masih kecil, ia hanya bisa menyentuh bagian bawah lukisan. Istri pemilik rumah menggendongnya. “Kau suka lukisan, Nak?” tanyanya lembut.
“Ya, aku suka melukis, di kamarku banyak lukisan, lukisanku sendiri. Ada mawar, melati, anggrek, raflesia arnoldi. Aku juga suka melukis binatang. Ada kelinci, kucing, hamster, burung kakatua, panda…” celoteh Sasha. Sasha sangat senang. Belum pernah ia seriang ini berbicara dengan orang asing.
“Kalau rumah, kebun, taman, kau pernah melukisnya?” tanya istri pemilik rumah sambil membelai kepala Sasha.
“Ada sih, tapi tidak terlalu bagus” jawab Sasha takut.
“Tak apa Sayang, kalau latihan dan belajar, lama-lama nanti juga bagus hasilnya” Istri pemilik rumah tersenyum.
Sasha lega. Ia sangat takut jawabannya mengecewakan istri pemilik rumah. Ia takut istri pemilik rumah berubah sangar seperti guru les pianonya kalau lagi kesel karena ia salah memainkan nada. Sebenarnya Sasha sudah tidak tahan lagi dengan les pianonya. Ia lebih senang melukis tapi sayang mamanya tak membolehkannya ikut sanggar melukis di taman budaya dekat rumahnya.
Begitulah, keesokan paginya, sesuai instruksi pemilik rumah pelangi, Imah dan suaminya menabur bibit pelangi. Hampir saja terjadi pertengkaran seru antara Imah dan suaminya soal di mana mereka akan menabur bibit pelangi. Imah ingin menaburnya dekat air terjun. Suaminya ingin menaburnya dekat hutan mini mereka. Akhirnya Imah mengalah karena ia sudah tak sabar lagi menabur bibit pelangi. Imah dan suaminya bergantian menyiram dan memberi pupuk. Mereka sabar menanti lengkungan pelangi di atas langit di hutan mini.
Hingga suatu pagi Sasha menjerit, “Mama…Papa! Lihat! Banyak awan gelap di atas langit!”
Imah dan suaminya bingung, bibit pelangi tumbuh menjadi awan gelap. Sungguh aneh padahal mereka sudah rajin merawatnya. Mereka bertiga mendatangi pemilik rumah pelangi lagi.
“Dengan apa kalian menyirami dan memupukinya?” tanya suami pemilik rumah.
“Tentu saja dengan air dan pupuk, pupuk yang paling bagus” jawab suami Imah.
Sepasang suami istri pemilik rumah tersenyum. “Pantas saja” sahut sang Suami.
“Seharusnya, kalian menyiramnya dengan kebahagiaan dan memupukinya dengan ketulusan” jelas sang istri.
“Kebahagiaan dan ketulusan? Maksudnya?”tanya Imah.
“Penghuni rumah harus lah merasa bahagia sepanjang hari dan melakukan semua perbuatan dengan tulus, tidak karena terpaksa. Ingat, semua perbuatan.” Suami pemilik rumah menjelaskan panjang lebar.
“Apa kamu tidak bahagia, Ma?” tanya suami Imah seolah menyalahkan Imah.
“Ah, selama ini aku bahagia, sangat bahagia malah. Dan aku, tidak pernah terpaksa melakukan segalanya. Aku memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengantar Sasha, semua kulakukan tidak karena terpaksa,” Imah agak kesal, “jangan-jangan kau yang tidak bahagia, Bang?” selidik Imah.
“Jangan menuduhku, Ma. Aku lelaki paling bahagia di dunia ini” bantah suaminya.
“Tunggu, masih ada satu orang yang belum ditanya” kata istri pemilik rumah.
“Tidak, Bu. Tidak ada orang lain lagi di rumah kami. Kami cuma ber..tiga,”suara Imah mendadak datar dan kaku.
“Bertiga? Ada Sasha, kan? Hei, ke mana Sasha tadi?” Suami pemilik rumah bertanya.
“Dia pasti di dalam, ayo…” Istri pemilik rumah menggiring semuanya ke ruang makan. Di sana terlihat Sasha sedang duduk di lantai dengan peralatan gambarnya. Sesekali kepalanya mendongak ke atas, ke lukisan bunga matahari.
“Saya tahu sekarang… Hm, kalau kalian masih menginginkan pelangi itu, hentikan les piano Sasha. Masukkan ia ke sanggar lukis” kata istri pemilik rumah tegas.
Epilog
Belasan tahun kemudian, di salah satu hari Senin di bulan Desember, seluruh media memberitakan: pameran tunggal pelukis muda berbakat, Rumaisa. Telah terjual dengan harga fantastis, lukisan berjudul Rumah di Bawah Pelangi.
Sumber:
Nikmah, Nailiya, dkk. 2012. Kiat Menulis dan Cerpen-cerpen Pilihan. Banjarbaru: Penakita Publisher
http://nailiyanikmah.blogspot.co.id/2012/12/rumah-di-bawah-pelangi.html
0 komentar: