Cerpen Sandi Firly: Senja Terakhir, dan Perempuan Kesepian

18.16 Zian 0 Comments

Senja terakhir di kota itu pada akhir tahun dibasahi gerimis. Dan dia, perempuan yang setiap senja pergi ke pantai, tak bisa menikmati langit senja yang jingga, angin yang berembus lembut membawa aroma garam, satu dua perahu nelayan berlayar dialun ombak, camar-camar yang melayang. Senja Senja terakhir di kota itu pada akhir tahun yang dibasahi gerimis sepi seperti lukisan senja hitam putih yang tidak menarik. Langit tampak redup. Matahari penghabisan lindap di balik gumpalan awan hitam dengan pedar cahaya yang pucat.


Tapi dia, perempuan yang setiap senja pergi ke pantai, tetap menatap senja di tengah gerimis akhir tahun itu. Dia hanya datang sendiri ke pantai itu. Tapi dia tidak sendirian di pantai, ada puluhan mungkin ratusan orang yang juga ingin merayakan malam tahun baru di pantai. Dan semuanya tidak bisa menikmati senja yang indah di akhir tahun. Sebagian pengunjung pantai hanya mengurung diri di dalam tenda-tenda mereka karena gerimis. Hanya sedikit anak-anak remaja yang bermain di tepi pantai, ada yang bermain sepakbola, kekasih yang kejar-kejaran di air, atau membuat istana pasir.
Dan dia, perempuan itu, hanya berdiri di bawah payung hitam menatap senja penghabisan.
Dia masih ingat di pasir pantai itu, pada senja terakhir tahun lalu, namanya digoreskan kekasihnya. Dan secepat tulisan yang hilang dihapus lidah ombak, seperti itu pula kekasihnya yang kemudian menghilang.
“Mengapa kamu menulis nama kita di pantai?”
“Aku ingin mengabadikannya,” jawab kekasihnya.
“Bagaimana bisa abadi bila kau tulis di pasir pantai. Mestinya kamu menulis di batu.”
“Ini hanya perumpamaan saja. Aku sebenarnya menuliskannya di hatiku,” kekasihnya tersenyum dengan pandangan menggoda.
Nama mereka yang ditulis di pasir pantai dengan lambang cinta di antaranya, hanya beberapa saat bertahan, kemudian lumer dan hilang dijilat ombak yang mendebur.
“Lihat, nama kita telah hapus.”
Namu kekasihnya kembali menuliskan nama mereka. Lalu kembali hilang lagi. Begitu selalu dilakukan kekasihnya hingga dia kesal.
“Sudah. Jangan tulis lagi, pasti hilang juga.”
“Ya, tidak apa-apa. Aku hanya suka menuliskan nama kita di pantai ini. Aku ingin kamu mengingatnya kelak, jika aku tidak ada bersamamu di pantai ini.”
“Huss.. Mengapa kamu berucap begitu? Memang kamu mau pergi kemana?”
Kekasihnya, seorang pengembara, berdiri menatap senja. Rambut ikal gondrongnya berkibar-kibar ditiup angin. Tubuh jangkungnya membentuk siluet yang tampak gagah, dengan tas ransel masih tersandang di punggungnya yang tampak kokoh dan tinggi.
“Semestinya kita tidak usah berkenalan, dan kemudian saling jatuh cinta,” ucap lelaki kekasihnya itu.
“Mengapa?”
“Karena pada akhirnya aku akan pergi. Angin akan membawaku kembali mengembara, menyinggahi kota-kota, pulau-pulau, pantai-pantai, dan aku akan sedih karena meninggalkanmu di sini.”
“Bukankah cinta datang tak pernah diundang?”
“Hahaha...memangnya cinta jailangkung?”
Tawa mereka memecah senja akhir tahun lalu, senja yang indah; matahari yang hampir tenggelam tampak sempurna dengan warna kuning keemasan, dan awan-awan tipis seperti tersibak hingga membuat cahaya penghabisan matahari tampak berkilau dan memantul pada laut yang juga terlihat cemerlang, berkilau-kilau gemerlapan, sementara camar-camar melayang tenang, dan perahu nelayan yang bermandikan cahaya senja perlahan menepi menuju pantai.
“Tapi, bukankah cinta memang hadirnya tidak pernah diundang?” katanya, kali ini lebih serius.
Lelaki kekasihnya hanya terdiam. Sorot matanya yang tajam menatap senja yang kian menghilang.
“Benar, cinta hadir tak pernah diundang,” ucap kekasihnya. “Aku telah mengunjungi banyak pantai, bertemu banyak gadis di pantai. Tapi aku tidak pernah merasa jatuh cinta kepada mereka. Dan hanya kepadamu aku merasa jatuh cinta di pantai ini.”
“Mengapa kau jatuh cinta kepadaku, bila akhirnya kau tahu pasti akan meninggalkanku?”
“Seperti katamu, cinta hadir tak pernah diundang. Aku mencintaimu begitu saja, seperti aku mencintai setiap senja di pantai. Aku tidak tahu mengapa, dan seharusnya juga tidak perlu ditanyakan.”
“Tapi kita akan berpisah?”
Lelaki kekasihnya kembali menatap senja yang kini benar-benar hampir lunas. Matahari di ujung cakrawala sana sudah membenamkan hampir separuh kepingannya yang menyerupai mata sapi telur bebek. Dan dia seperti mendengarkan suara ketika matahari kemerah-merahan itu tenggelam, mungkin seperti tembaga panas yang dicelupkan ke air. Mungkin itu hanyalah suara angin yang didengarkan dan lewat di sela-sela rambut gondrongnya. Mungkin juga hanyalah hayalannya membayangkan bahwa matahari benar-benar tenggelam di laut.  Tapi tentu saja tidak.
 “Kita semua memang pasti akan berpisah. Seperti juga senja yang selalu berpisah pada siang,” ucap kekasihnya ketika matahari sempurna hilang di balik cakrawala, batas laut, dan langit masih merona sisa-sisa cahaya penghabisan.
“Tapi senja akan kembali lagi besok. Apakah kamu juga begitu?”
“Ya, senja akan kembali lagi besok. Tapi bukan lagi senja yang kita saksikan hari ini. Senja tidak pernah sama.”
“Lalu, jika kau pergi, apakah akan kembali?”
“Aku tidak tahu. Mungkin tidak. Karena masih banyak senja yang ingin aku saksikan di pantai-pantai di kota-kota jauh.”
“Jika kau akan pergi, lalu mengapa kau jatuh cinta kepadaku?”
suara perempuan itu tampak bergetar seperti geletar angin yang mengirapkan helai-helai rambut panjangnya.
“Aku jatuh cinta kepadamu, dan mengatkannya kepadamu, itu jelas lebih baik daripada aku pendam sendiri. Dan aku tahu, perasaan itu akan terus menyiksa bila tidak aku katakan. Pada setiap senja di pantai lain yang akan saksikan nanti, perasaan itu akan terus menekan serupa daging hidup di rongga dadaku. Karenanya aku harus mengatakannya kepadamu, agar setiap senja yang kusaksikan di pantai-pantai di kota lain nantinya hanya berupa kenangan manis dan aku seolah dapat menyaksikan keindahanmu sendiri pada keindahan senja.”
“Mungkin ini salahku. Semestinya aku tidak boleh jatuh cinta kepadamu, dan tidak boleh menerima cintamu.”
perempuan itu seakan menyesali diri.
“Percuma. Cinta hadir tidak karena diminta. Kau tidak mungkin menolak cintaku bila kau juga jatuh cinta kepadaku. Terima sajalah cinta yang hadir di antara kita. Apa yang kita rasakan saat ini, di senja terakhir tahun ini, biarlah menjadi kenangan di hari ini. Sebab besok, bukanlah hari ini, dan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi.”
“Tapi bukankah akan menyiksa bila kita berpisah?”
“Cinta tidak pernah takut akan tersakiti, tidak takut akan terpisah, tidak takut akan patah hati. Cinta adalah cinta. Bahkan, kesakitan, kesepian, dan patah hati, itu sesungguhnya juga bagian dari cinta. Lalu mengapa harus kecewa? Cinta serupa senja yang selalu menyerahkan dirinya kepada malam, walau dia hanya sekejap saja memberikan keindahan.”
“Tapi aku akan merindukanmu...”
“Itu juga adalah cinta.”
“Tapi aku ingin selalu bersamamu.”
“Cinta tidak pernah memaksa.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Aku ingin kau seperti senja, jadilah seperti senja. Begitu juga cinta kita, adalah juga seperti senja. Keindahan yang hanya sesaat, tapi kita sungguh menikmatinya, menikmati setiap momennya, merasakan setiap detik yang berlalu, bahkan kita seperti tahu rasanya bagaimana indahnya sebuah kehilangan senja saat malam akan tiba.”

***

Senja terakhir di kota itu pada akhir tahun dibasahi gerimis. Dan dia, perempuan yang setiap senja pergi ke pantai, tak bisa menikmati langit senja yang indah di akhir tahun seperti yang pernah dilewatinya bersama kekasihnya.
Sungguh, ini adalah kesepian yang paling sendu yang pernah dirasakannya sepanjang tahun setelah kekasihnya pergi pada senja terakhir tahun lalu. Dia benar-benar merasakan sepi, bagai angin pantai yang senyap mengelus wajahnya. Gerimis telah berlalu, senja yang tersisa tak lagi menarik, tampak pucat dan bersedih.
Dia tidak tahu, apakah akan kembali melewati sepanjang tahun ini dengan menatap senja di pantai itu seperti yang telah dilakukannya sepanjang tahun lalu sambil berharap kekasihnya akan datang di suatu senja. Dia hanya merasa begitu kesepian, meski orang-orang yang semula bersembunyi di dalam tenda telah keluar dan meniupkan terompet tahun baru di senja akhir tahun lalu itu.[]


Sumber:
SKH Media Kalimantan, Minggu,  2014

0 komentar: