Cerpen Dewi Alfianti: Nyanyian Tanpa Nyanyian
Ayah, dalam siluet di antara senja, saat itu dia nampak seperti pohon bambu. Sosoknya yang tinggi semampai menghalangi cahaya mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma silau cahaya senja saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon bambu, tinggi namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti nyanyian tanpa nyanyian.Senja ini, seperti senja-senja biasanya, ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan bermacam tetumbuhan. Almarhumah ibu yang membuat pekarangan rumah serimbun itu. Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum menikah dengan ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu membuahkan sebuah hutan kecil di pekarangan kami. Seingatku, waktu kecil, kakak, aku dan adik perempuanku sering main petak umpet di situ. Bagi tiga orang anak kecil, pekarangan itu menjelma menjadi hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik menangis kencang karena tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana keluar dari hutan kecil buatan ibu.
Ayah, dengan langkah perlahan dalam irama yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil menggumamkan al-Matsurat, zikir yang dilantunkannya tiap sore dan pagi juga. Menjelang azan magrib, ayah akan masuk rumah lantas menuju ruangan tempat biasa kami sholat untuk melanjutkan zikirnya dengan wirid al-Quran. Ketika azan berkumandang, ayah akan memastikan kami sudah siap bersama-samanya untuk sholat.
Ayah, demikianlah. Dialah wujud kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah menjelma mata air dalam keluarga kami. Tidak pernah mendominasi, namun dominasinya begitu terasa. Tak ada yang sempurna tanpa sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima belas tahun lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin membahasakan sesuatu. Seperti percakapan yang tak putus-putusnya.
Adik perempuanku begitu memujanya. Aku dan kakak lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku ingat saat aku kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku SMP. Saat itu kami bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak Fahri yang kutahu akan dipakainya sebagai contekan waktu ujian. Tentu saja aku tak bisa terima, kami terbiasa memandang bahwa satu sama lain adalah anak yang cerdas dan tidak akan mau bergantung pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat itu kami bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah larut malam. Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan Nada, adik perempuanku saat itu sedang menginap di rumah sakit menunggui saudara ibu yang sakit. Malam itu di rumah cuma ada ayah.
Saat pertengkaran mulut itu kian meruncing, tiba-tiba listrik padam. Kamar kami yang jadi arena pertengkaran mendadak gulita. Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah sudah ada di antara kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami duduk dengan bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.
Dia menyuruh kami tidak berbicara. Lama sekali kami diam sampai aku merasa kegelapan ini terasa begitu mengganggu. Kegelapan ini menyekat pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang tidak menyukai kegelapan napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut ditindih kegelapan. Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami pada pertengkaran tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan kebaikan-kebaikan ketika terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma gelap yang bisa kami rasakan.
Tak berapa lama lampu mulai menyala. Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar, semenjak itu pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek. Mendalam makna peristiwa itu buat kami dan ayah semakin menakjubkan bagi kami. Belakangan, aku dan Kak Fahri tahu bahwa listrik itu sengaja dipadamkan ayah.
Nawa, anak sulungku, sejak selesai sholat magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma adiknya yang begitu bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak menutupi keengganannya untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali dengan istriku. Jika kuajak menginap di rumah ayah mereka menjadi canggung. Seperti tidak terbiasa dengan suasana pinggiran kota yang tak segempita tempat tinggal kami. Nawa dan istriku adalah sosok yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka alir dalam nuansa kota yang gemerlap, hedonis, dan modern.
Nawa, gadis 13 tahun itu kesal padaku karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama teman-temannya jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan istriku berkeras. Akhirnya dia turut serta. Sebagai bentuk ketidaksukaannya dengan keputusanku, sejak tadi siang sampai malam ini dia tidak mau berbicara padaku. Ekspresi yang begitu berbeda dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar berat ayah. Dia begitu menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini dia selalu minta dikirim ke rumah ayah tiap kali libur.
Dan ayah, dia mencintai keluargaku. Pandangan sayangnya pada dua cucu perempuannya begitu kentara. Namun, Nawa seperti telah diajarkan ibunya untuk bersikap canggung dan formal. Mereka berdua paling jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu tidak menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.
“Nawa sakit, Diq?” suara ayah merentang di antara kami di meja makan.
“Oh, dia sedang merajuklah, Yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia pentas seni waktu saya suruh ikut ke sini.”
“Mbak emang suka ngambek, kek. Najma dong gak suka ngambek,” celoteh Najwa menyela percakapan kami.
“Ya, Najma nggak suka ngambek, tapi suka ribut,” sahut ayah sambil tersenyum pada Najma yang berubah cemberut. Pembicaraan itu kembali ditujukan padaku, “Shiddiq, Shiddiq, kalau Nawa sibuk ya tidak usah dipaksa ikut ke sini, biasanya juga kamu tidak pernah memaksanya, kan? Lagipula kamu juga aneh, ini kan bukan libur sekolah. Kenapa anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke rumah ayah. Kenapa?”
Ayah memandangiku dengan wajah sebijak biasanya, namun matanya begitu tajam. Istriku mencuri pandang ke arahku demikian pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat tak bicara, kecuali celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon rambutan di belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.
Di rumah ini ada empat kamar, awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku dan Kak Fahri serta kamar Nada adik perempuanku. Namun setelah aku SMP, ayah memutuskan membuat satu kamar lagi untukku berpisah dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua di antaranya kosong, karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini sejak kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua malah tidak ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan penelitian sosial di sebuah desa pesisir pantai. Suaminya adalah sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM antikorupsi. Kali ini aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang beralih fungsi jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar Kak Fahri.
“Aku merasa ayah seperti ingin menelanjangi kita, Mas. Matanya, matanya, matanya seperti menuduh,” Shila bicara yang lebih seperti teriakan yang ditahannya.
“Cukup, Shil, ayah tidak tau apa-apa, oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang selalu merasa ayah tidak menyukaimu, kan, jadi wajar saja kalau pandangannya bagimu tak pernah akan terasa bersahabat,” sahutku mencoba menenangkan, tapi suara yang keluar malah tercekat karena aku merasa disudutkan.
“Ayahmu memang seperti itu, kan, Mas, pandai sekali membuat orang merasa tidak enak, canggung dan risih,” nada suara Shila meninggi.
“Sttt…Cukup, kubilang. Kita selalu bertengkar kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul kita perlu untuk ada di sini. Bersikap baiklah,” aku mencoba bersikap sabar namun sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.
“Nanti kalau ayah tahu apa yang akan ia katakan, Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu memegang prinsip. Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas yang menjemukan, Mas. Kalau ayahmu tahu ia bisa saja…”
“Diam! Dia akan tahu kalau kau berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa pedulimu. Jika semua sudah membaik kita pergi supaya kau tidak terus histeris seperti ini. Kau membuatku gila!”
Malam itu, seperti beberapa malam sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa kepalaku diisi dengan batu-batu besar.
Selepas subuh, aku tak menemukan ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah adalah saudagar sayuran. Di masanya sekarang, beliau cuma mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai pasar di kota ini. Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau membawa serta Najma.
Isteriku dan Nawa pagi-pagi sekali sudah memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak Nawa jalan-jalan agar Nawa berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa bernapas lega jika sudah berada di tempat-tempat yang mereka sebut pusat peradaban, mall. Shila, isteriku yang cantik, kudapatkan dengan susah payah. Dia adik angkatanku waktu kuliah. Ayahnya seorang pebisnis yang belakangan mulai surut. Kami berpcaran tiga tahun. Setelah karirku menanjak ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi anaknya.
Keluargaku cukup merasa kaget ketika dia kuperkenalkan. Kak Fahri yang sudah lebih dulu menikah dengan gadis yang dikenalnya lewat ustad mengajinya yang satu profesi dengannya, dokter, tak banyak bicara waktu itu. Almarhumah ibu dan Nada yang mengisi udara kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas terlihat risih melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan angkuh.
Matanya berbicara dengan baik padaku, betapa harapannya aku menikahi gadis seperti Mbak Vina, istri Kak Fahri yang sederhana, buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi beliau juga tahu betul apa arti cinta, sesuatu yang mengendap dalam hati yang tak bisa dibuang begitu saja. Sesuatu yang akhirnya membuatnya tetap tak menikah sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu sebabnya dia diam. Dia tidak setuju, tapi dia juga tidak menolak.
Ketiadaan ayah membuatku leluasa di rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper yang kubawa dari Jakarta, tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu membuatku benar-benar tidak merasa tenang. Kubuka koper-koper itu, kuperiksa ulang isinya. Utuh dan memang harus utuh.
Aku sudah akan menutup koper-koper itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Suaranya kali ini begitu tegas, seperti kemarahan yang menjelma menjadi kata. Bicara ayah datar, namun menikamku, “Kau tahu kenapa aku menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu banyak harapan tersimpan dalam nama itu?”
Tubuhku beku, tak bisa bergerak. Perlahan ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku. Aku menunduk tak berani menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa sekelilingku membatu.
“Benar dan jujur, kata-kata itu yang menghinggapi aku dan ibumu saat menamaimu Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami menyelipkan harapan dalam nama itu. Seperti juga pada Fahri dan Nada. Selalu ada harapan. Kau tahu benar kalau...”
“Aku bukan Fahri atau Nada, yah. Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan meski telah mengalami berbagai hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti apa yang ayah harapkan, saleh, jujur, idealis. Tapi aku...Aku tidak bisa, ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau harapkan seperti Abu Bakar itu, itu cuma dalam cerita!” Tubuhku bergetar.
“Ayah sebenarnya sudah tahu. Nada sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu. Itu sebabnya kau bawa uang tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak mudah terlacak, tidak seperti jika kau minta uang itu ditransfer ke rekeningmu. Berapa uang dalam koper-koper itu? 1 milyar? 2 milyar? 3 milyar?” suara ayah bergetar.
Duniaku serasa runtuh. Betapa sulit bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti kekelaman yang ingin kuhindari sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak ayah yang baik karena buatku ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti beringin, lentur seperti pohon bambu. Dalam tiap pandangan matanya, senantiasa akan kutemukan sebuah tempat yang nyaman untuk menetap. Matanya adalah hujan saat terik, matahari saat kelabu. Ayah adalah ayah, aku selalu ingin membuatnya menyediakan tempat yang nyaman untukku dalam matanya.
Tapi keputusanku untuk kuliah jauh darinya membawaku pada dunia tanpa ayah yang begitu buas. Mengenalkanku pada hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu. Awalnya adalah Shila, lalu keinginan untuk menyediakan hidup yang sempurna untuknya sampai keinginan untuk menikmati dunia sepuasnya mulai merasukiku. Lalu uang menjadi penting. Teramat penting dan bayangan ayah semakin kabur...
Ayah, sekarang dia mulai mendekatiku, lalu berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku menangis. Aku merasa hatiku sangat sakit.
“Ayah mencintaimu, sulit sekali ayah sampaikan karena selama ini ayah ingin kau bisa membaca rasa cinta itu lewat perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan. Shiddiq...” Suara ayah pelan, seperti kehilangan kekuatan, “Bukan siapa dirimu yang akan menunjukkan kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah memilih. Dan kau tahu betul seperti apa risikonya. Shiddiq...Shiddiq...anak ayah.”
Perlahan diciumnya keningku, direngkuhnya aku. Tangisku tak bisa lagi kubendung, meluncur deras bersama airmata yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti Shiddiq puluhan tahun lalu. Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku sesenggukan, tapi aku merasa begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik. Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia yang membuatku kerontang. Hidup dalam ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu. Sekarang ayah tahu dengan cara yang begitu sederhana, memergoki milyaran uang dalam koper-koper itu. Uang yang diserahkan rekananku sebagai suap.
Sungguh aku merasa begitu lega dalam pelukan ayah. Sudah puluhan tahun ia tak memelukku begini.
Menjelang sore Shila dan Nawa pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja bertanya pada kakeknya, kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari rumah Sauqi. Semua takkan lagi sama setelah hari ini. Tapi aku telah mendapatkan lagi apa yang dulu terasa begitu jauh...Aku lihat mata ayahku bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 2 September 2007
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: