Cerpen Hudan Nur: Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti
Dulu sekali sebelum kamu pergi. Meninggalkan kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari malah. Aku juga sering membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu waktu malam yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air mancur. Atau kamu menonton aktingku di Taman Van Der Vijl. Kamu juga sering memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak beralasan ke hadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas umpatan-umpatan itu. Karena satu dan lain hal.Di hari Minggunya, kita latihan teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu minta penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu senang, aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu perempuan, Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung. Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan?
Kadang, sorenya aku mengantarkanmu berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama kendaraan yang kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku sering ngerem mendadak. Dan kamu memukul pundakku, kamu bilang kamu nggak suka. Tapi aku suka, kapan lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.
Senin, Selasa, Rabu hingga Sabtu kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita melewati waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah bosan dalam kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.
Waktu tiga tahun di bangku SMA terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap mata pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan dari guru. Aku lebih suka merangkai kata demi kata, lalu kukirimkan kepadamu.
Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh guru, aku kena skors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat dibayangkan, bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhui aku. Seharusnya aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikit pun merasakan malu. Justru aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.
Kamu tidak tahu betapa gelisahnya aku jika mataku mulai disirep kantuk. Aku takut jika harus memejamkan mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau melihatmu bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum obat penolak kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi ketimbang belajar atau mengerjakan pe-er.
***
24 Juli 2005
Kukirimkan sebuah catatan harianku yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu. Bunyinya seperti ini:
Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu, tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang kelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakarsa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naif. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke arah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari jiwa yang tak berkesudahan.
Yang menyetiamu,
***
Sudah ribuan puisi aku pintal, Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan. Hitunganku. Semuanya aku tulis atas dasar ketidakpahaman jiwaku. Meski aku katakan, tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus berujung pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.
Aku tahu kita berbeda, Sofia. Aku orang kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu beli. Diriku pun, kalau kau mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak mengenal itu. Aku tulus, Sofia.
***
15 Agustus 2005
Aku di sini sedang mengalami musim liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku ya. Oh...ya! Aku ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada situasi di sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi itu di sana.
***
17 Agustus 2005
Aku tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu kutuliskan balasan suratnya:
Benarkah, Sofia? Aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah kembali, Sofia...
Yang menyetiaimu,
Aku pura-pura turut berbahagia. Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya menangis. Tapi aku bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela melakukan apa saja. Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu menginginkan nyawaku, maka aku akan menyerahkannya.
***
Lima hari aku menunggu kepulanganmu. Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku berikan setibanya kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang pas untuk seorang kamu, Sofia.
Dalam waktu itu, aku terdiam. Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset kenangan yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat akan dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer. Kamu begitu indah.
Sebagai peteater, aku juga memiliki paras yang bisa dikatakan... boleh juga. Namun aku tidak terpengaruh akan kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek, kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu. Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan tawaran. Sebuah senyuman.
***
“Apa kabar kamu?” sapamu setelah sekian lama tidak bertemu.
“Seperti yang kamu lihat,” jawabku sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai sudah semakin minim, apalagi rok mini dan stelan tanktop yang membaluti tubuhmu membuatku pangling.
“Oh...Ini Dirga, yang mau kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo hari,” sambungmu sambil merengkuh tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.
Aku sesenggukan saja menyalami lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu. Aku tidak kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan, tetapi sifatmu. Kamu tidak semanis dulu.
“Sofia, ini untukmu....” Kuserahkan puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum kepulanganmu.
“Terima kasih. Sudah dulu, ya. Aku mau menemani Dirga jalan-jalan...” Lalu, kamu menggandeng lelaki itu menjauh dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?
Aku hanya bisa menelan air liur. Pahit.
***
Seminggu kemudian engkau datang ke rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.
“Ada apa, Sofia?” tanyaku karena kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.
“Aku pamit. Hari ini seluruh keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa...” Setelah itu kamu menyalami tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap. Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku burung, maka sayapku ini patah karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak memelukmu, kamu menghindarinya. Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.
***
24 Juli 2006
Seperti kemarin aku tetap membuat puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata di selembar kertas berwarna kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah sampai. Sebab, aku bisa apa.
Sofia terukir di prasastiku
setiap penghujung malamku
yang juga sempat menghantui
jati diriku kemarin
sore
pun aku mengeluh padamu;
temani aku mengukur jalan-jalan
yang akan kulalui
esok hari
tapi kau tak pernah menjawab,
membuat aku
semakin khawatir akan
kebungkaman yang kau miliki
Sofia terukir di prasastiku
pada hatiku yang mulai merekah
sementara, jam berdetak cepat
dibelenggu
jiwaku yang lain
lalu di setiap detiknya, aku hanya
mencoba berbagi
rasa untuk mentasbihi namamu;
Sofia!
karena itulah kerjaku adanya
Sofia terukir di prasastiku
membukakan beberapa ayatku
yang ditulis
matahariku
karena aku hidup bukan untuk
aku, tetapi
demi dini-petangmu
di kancah mendatang
Sofia terukir di prasastiku
pernah menghadang sudut
kegelisahanku
yang kemudian menuaikan aroma
kharismatik buluh airmata
bunga di persinggahan waktu
Duh, Sofiaku yang kian hari
kian dekat,
sedekat pemisah antara jasad
dan ruhnya
peletak degup jembatan kenanganku
di perkosaan zaman
Sofia terukir di prasastiku
dengan pena asmara ini
aku tuliskan dalam
kalimat-kalimat penabuh dendang
irama dewa
bahwa syair penyejuk kembaraku
telah menembus
tulang-darah serta segala apa
yang kumiliki
untuk memahamimu yang kini
terukir di prasastiku; Sofiaku!
Tapi baik puisi atau pun surat yang kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu. Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua surat yang pernah aku kirimkan ke alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.
Aku tidak tahu lagi bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari salam perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.
Tanpa sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi apalah aku. Inilah adanya.
“Dicari kemana-mana ternyata piannya di sini? Itu nah Sofia menangis, ulun mau ke pasar dulu menjual sayur!”
“Iya...,” jawabku memelas sambil menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis itu aku sobek. Seperti perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri putriku yang sedang terlelap.
Lekat-lekat aku memandangnya. Baru dua minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung, perasaanku mestinya lebih besar tercurah padanya. Kucium dahinya. “Sofia, sayang, jangan tinggalkan Bapak ya, Nak?” Lalu kucium lagi dahinya...
inspired by someone
Sofiandi Sedar
Guntung Payung, 30 Agustus 2005
05:40 PM
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 30 Oktober 2005
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: