Cerpen Anna Fajar Rona: Subuh Pertama di Masjidil Haram

21.17 Zian 0 Comments

Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi. Beberapa langkah lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu bisa melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk melakukan tawaf pertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain. Namun sebelum kakinya mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang diiringi rasa sakit yang amat sangat pada perutnya.
Dargi tak kuasa lagi melangkah. Tubuhnya terasa digayuti beban yang amat berat. Rasa nyeri pada perutnya tak kuasa ia tahan. Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram. Tubuhnya yang berukuran sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh tinggi besar, ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang dan jenggot.
Wajah Dargi pucat, sepertinya tak berdarah lagi. Tak kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras Masjidil Haram yang untuk pertama kalinya ia injak itu.

Rasa sakit pada perutnya tambah menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat membanjir. Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh tubuh. Dargi meringis menahan sakit sambil memegangi perut. Ia mencoba berdiri, tersungkur kembali. Mencoba lagi, tetap tersungkur lagi. Ia tak mampu menggerakkan kedua kakinyua untuk menyangga tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu terasa menjadi beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya harapan hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakkan. Cukup lama ia tersungkur. Menangis di bawah langkah-langkah kaki para jamaah yang tak peduli dengan keberadaannya saat itu.
Hampir setengah jam ia membiarkan dirinya di bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada sedikit tenaga untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya menyebar, mencari-cari kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram. Setelah ia yakin di arah kiri depan masjid ada kamar kecil, ke sanalah ia merangkak dengan sisa-sisa tenaga yang ada.
Hampir 20 menit ia baru bisa mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan merangkak sambil menahan sakit yang luar biasa di perut, Dargi turut antri dengan jamaah lainnya di depan pintu kamar kecil. Ia sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya berangkat bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang dideritanya itu.
Selama menunggu giliran masuk kamar kecil, keringat terus mengucur. Kain ihram yang ia kenakan sejak turun di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat. Keringat yang mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap ususnya seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa sakit itu, air mata Dargi kembali meleleh.
Begitu Dargi mendapat giliran masuk kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari lubang anusnya. Air berwarna hitam dan berbau menyengat itu keluar deras seperti air kran yang mengucur dalam keadaan normal. Hampir satu jam ia berada di dalam wc dan selama itu pula air kotor berbau menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke lubang kloset.
Untung saja kain ihramnya tak terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia sempat mengangkat ihram tersebut ke atas kepala. Begitu banyak air kotor ia keluarkan. Dargi sendiri memperkirakan sudah berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.
“Ya Allah, ampuni hamba. Atas kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat suci ini. Untuk itu lindungilah hamba, mudahkanlah hamba dalam menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah hamba, ya Rabbi,” ucap Dargi.
Begitu mengucapkan kalimat itu, air kotor berbau busuk yang keluar dari perutnya tiba-tiba saja terhenti. Rasa sakit dalam sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.
Ia kemudian membersihkan dirinya. Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri tegak dan melangkah keluar dari kamar kecil berukuran satu setengah kali dua meter itu. Sekeluar dari ruang wc, ia menuju ruang wudhu. Bersuci diri di situ. Selanjutnya dengan ringan ia melangkah menuju pintu Masjidil Haram. Saat itu persis pukul dua dinihari waktu Makkah.
Sebelum melakukan tawaf  pertama, ia ingat pesan seorang ulama saat mengikuti manasik haji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang penting luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila menghadapi masalah di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa di Arafah dan tempat-tempat lain. Ingat pesan itu, bergegas Dargi melaksanakan salat taubat tepat di sebelah timur depan Kabah.

***

Bagaimana Dargi yang hanya calo angkutan umum di terminal kota bisa berhaji. Sementara dirinya dikenal tak lebih sebagai lajang yang suka menenggak minuman keras sampai mabuk. Bahkan dalam darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan kesehatan sebagai syarat berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi merupakan darah alkoholis yang selalu ketagihan minuman mengandung alkohol.
Yang namanya kuasa Allah, apa pun bisa terwujud. Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa Tuhan ia bisa berangkat haji.
Awalnya, di terminal tempat Dargi menjalani hidup sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala berukuran 7 x 7 meter. Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan kekuatan uangnya. Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para penumpang angkutan maupun warga yang tiap hari beraktivitas di terminal untuk melaksanakan salat. Juga kerap dijadikan tempat memperingati Hari-Hari Besar Islam yang dilaksanakan warga terminal secara sederhana, misalnya memperingati Isra Mikraj, Maulid Nabi dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras suara mushala yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan waktu berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah mushala terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan manfaat bagi warga.
Kini mushala terminal hendak dikuasai pengusaha bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan bisnis.
“Kalau mushala ini digusur, kemana kita mendirikan salat?” tanya Ibnu dengan nada protes. Ibnu adalah salah satu warga yang kerap menjadikan mushala terminal sebagai tempat salat berjamaah, terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok dan warung kopi di terminal antarkota dalam provinsi itu.
“Masjid cukup jauh dari sini,” Kurdi pedagang asongan menimpali.
“Tak ada cara lain, kita mesti mencegah penggusuran mushala,” kata Hadri.
“Caranya?” sambut yang lain.
“Kita datangi DPRD dan Pemerintah Daerah sini. Minta agar pengusaha jangan seenaknya merampas mushala kita,” ujar Murad berpendapat.
Kasak-kusuk soal mushala itu juga didengar oleh Dargi, pemuda setengah preman yang yang dikenal selain suka mabuk juga bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut memiliki mushala, meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain untuk tidur-tiduran, pemuda itu tampil sebagai pembela mushala.
Preman-preman yang menjadi kaki tangan pengusaha yang memiliki modal untuk menggusur mushala untuk memperluas toko serba ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria bernyali besar itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan semuanya jadi keder bila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu fisik dengan preman peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang meski ia juga mengalami cidera ringan.
Atas campur tangan Dargi, warga terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala. Bahkan dengan gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan pendapat di hadapan anggota DPRD mengenai pentingnya mushala di terminal supaya tidak dipindahtangankan kepada pengusaha yang di otaknya hanya mementingkan bisnis.
“Letak mushala itu strategis. Persis di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap orang yang memerlukannya,” ujar Dargi kepada anggota DPRD.
Saking gigihnya Dargi mempertahankan mushala, membuat seluruh anggota dewan bersimpati. Bahkan akhirnya berkat perjuangan Dargi, pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan niatnya untuk memodali lahan mushala tersebut.
Dargi bagai pahlawan mendapat pujian, bukan saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD. Tak terkecuali ketua DPRD.
Dari rasa simpati terhadap Dargi itulah, namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga sekitar 3 bulan dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi jadi buah bibir di lingkungan DPRD.
Begitu tiba persiapan pemberangkatan haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD secara bergiliran mendapat jatah berangkat haji. Tiap tahun 3 anggota dewan mendapat biaya haji yang disisihkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada pemberangkatan haji tahun itu, salah satu anggota dewan yang mendapat giliran berangkat mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia sudah berhaji jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur dan memberikan jatahnya kepada masyarakat. Masyarakat yang dipilihnya adalah Dargi yang ia ketahui dengan gigih mempertahankan mushala terminal untuk umat.
Dari jatah berangkat haji ketua DPRD itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah pun. Sejak ia dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak itu pula pola hidup Dargi berubah. Setidaknya dalam hari-hari menunggu keberangkatan haji, Dargi tak lagi menyentuh minuman keras.
Ia pernah menggigil dan meradang menahan ketagihan mereguk minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya, ditahannya keinginan untuk mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa sakit-sakit.
Bahkan ia sempat sakit demam di minggu pertama ia melewati tanpa minuman keras. Dalam demam, hampir 3 hari Dargi serba merasa tak enak, bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.
Pada minggu kedua tenggorokannya terasa dililit-lilit ingin dilewati minuman keras. Keinginan itu begitu keras dan menggodanya. Apalagi di terminal, rekan-rekan minumnya dulu masih melakukan aktivitas minum tiap malam usai aktivitas terminal. Dargi terus berjuang menahan keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang dengan bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.
Meski tubuhnya terasa sakit-sakit lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia terus berjuang membunuh rasa ketergantungannya pada minuman.
Agar betul-betul bisa menghindari minuman keras, Dargi lebih rajin berada di mushala terminal melaksanakan salat 5 waktu. Pelajaran mengaji yang ia khatamkan waktu masih di sekolah dasar di lingkungan terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu membaca Quran meski sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.
Tadinya, Dargi tak pernah lepas dari minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia akrab dengan yang namanya kencing iblis alias minuman beralkohol dengan kadar tinggi itu. Dalam semalam, tak jarang berbotol-botol minuman memabukkan ia tenggak memenuhi rongga perut dan dadanya.
Hampir sepanjang hidup Dargi tinggal di terminal. Ada alasan yang memaksanya hidup di terminal itu, pertama ia dilahirkan di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan SLTA. Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di terminal itu dilanjutkan oleh ibunya yang menjanda dengan Dargi sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula sang ibu bisa menyambung hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan Dargi sangat akrab dengan lingkungan terminal.
Kehidupan terminal itu pula yang menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan dengan kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya melalui usaha kios pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga sang bunda mampu menyekolahkan sang anak sampai menamatkan SLTA dengan harapan si anak kelak bisa menjalani hidup yang lebih baik. Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh Dargi hanya bisa menjadikannya calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir cadangan alias pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum, maka Organda setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi sopir tetap.
Meski pola hidup Dargi tak terpisahkan dari minuman keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban terminal. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan perempuan penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal. Dua perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup Dargi, tetapi minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi untuk selalu direguk sampai mabuk sepanjang malam di terminal. Uang untuk membeli minuman, selain didapat dari patungan teman-temannya, juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.
Saat usia Dargi genap 21 tahun, Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan sang putra, berpulang memenuhi panggilan Illahi. Sebelumnya wanita perkasa di mata Dargi itu terjangkit demam berdarah. Ini akibat kebersihan selokan terminal tak terpelihara. Namun setelah Imah menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk menjaga kebersihan lingkungannya.
Sepeninggal bunda, Dargi kian tak memiliki pegangan hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti diburu rasa ketakutan menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi dengan caranya sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan kepahitan hidup.
Pernah juga kerabatnya memberi nasihat, namun tak pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat Dargi merasa didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.

***

Kini si pemabuk Dargi berada di dekat Kabah. Jantungnya berdebar memandang simbol kemurnian Islam itu. Memandang rumah Tuhan. Lantas ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah lainnya yang juga duduk memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yang tawaf. Tanpa Dargi sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh, wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu usianya baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah menyempatkan pergi membawanya salat Jumat ke masjid. Juga ingat ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari nafkah, tak kenal bosan mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman Pendidikan AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk merayakan khatam Quran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu. Semua kenangan indah itu melintas silih berganti.
Ketika ingatan-ingatan itu memenuhi benaknya, secara tiba-tiba perutnya kembali terasa melilit, padahal tawaf pertama belum lagi ia kerjakan. Ia baru saja usai mendidikan salat taubat untuk minta ampunan Allah atas segala kekhilafannya.
Hanya dalam waktu beberapa detik rasa sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari Masjidil Haram. Kain ihram di badannya disingsingkannya ketika memasuki kamar kecil di sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalam wc itu berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang anus. Air berbau menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit pun Dargi tidak mengejan. Air itu seperti dikuras dari dalam perutnya.
Ia sadar betul, kalau saat itu dirinya mendapat teguran Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor berbau busuk yang keluar dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis yang ia kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun. Kini kencing iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini pula, pengurasan kencing iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di Tanah Suci Makkah, di saat ia menunaikan haji.
“Ya Allah, bila ini cara-Mu untuk membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku melaksanakan tawaf memenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku sebagai hamba-Mu yang lemah hanya dapat berpasrah sepenuhnya kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada kuasa-Mu,” ucap Dargi.
Seketika rasa sakit itu lenyap kembali.

***

Setelah membersihkan diri dan berwudhu, Dargi kembali salat taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga dinihari menghadap Kabah. Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah lagi mengotori darah dalam dirinya dengan minuman keras.
“Di hadapan-Mu, ya Allah, dan di rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang sebenarnya sumpah untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman keras. Untuk itu, bimbinglah hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas panggilan-Mu ini,” ucap Dargi usai melaksanakan salat taubat yang ketiga.
Sosok pemuda bertaubat itu dengan kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan menuntaskan gerakan haji. Tawaf pertama dan sya’i ia selesaikan dengan tanpa ada lagi penghalang. Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan Subuh berkumandang di Masjidil Haram.
Subuh pertama di Masjidil Haram Dargi tuntaskan dengan segenap doa.


Maret, 2006


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 9 April 2007
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media

0 komentar: