Cerpen Burhanuddin Soebely: Orkestra Wayang

20.23 Zian 0 Comments

1

Hampir tengah malam. Suara gamelan terus mengalun, menggetarkan serbuk-serbuk udara : kadang melembut bagai langkah peri di akar malam, kadang pula menyentak laksana derap kaki-kaki kuda berpacu. Angin semilir. Dedaunan risik. Sindin menyusup, nestapa nadanya. Dan kemudian kedengaran suara sang dalang, agak serak tapi nyaring :
“Jadi rupanya, sudah hampai wayahnya. Sangiyang Wanang punya mau, Diwa marastuakan. Nang ngaran bujur wan jujur sudah kada baharaga. Rata-rata tunjuk lurus kalingking bakait. Nang ngaran adil wan bijaksana tinggal kambang pandiran. Babuih di muntung tapi nang kaya batu di hati…. “[16]
Sosok-sosok pemimpin yang cuma berpikir tentang diri sendiri nampak bertitah ini-itu di kalir[17]. Ksatria-ksatria yang tak berperilaku satria, linjang-linjang[18] mendominasi pagelaran. Jilat-menjilat, sikut-menyikut, injak-menginjak, dan sekian intrik kekuasaan lainnya diceritakan sang dalang dengan amat memikat. Lihatlah, Semar--sang pengayom-nampak marista[19] di bawah sebatang pohon miskin daun yang tumbuh di tengah padang Lara Cinta Dilaga. Darmakusuma tercenung di Kayangan Tunjung Maya. Arjuna membawa hati dengan bertapa di peratapan[20] Arga Samiru.



2

Tengah malam. Irama ayakan miring[21] dan sindin[22] nestapa kian menyigi hati. Di bawah sebatang nyiur gading, di atas daun pisang lapik duduk, mendadak saja aku disungkup suasana misterius yang khayali. Aku seperti dibungkus balut kedap suara. Pikiran dan perasaanku mati beku. Lalu kulihat uap pikiran dan perasaan itu bergerak membawa ingatan. Membubung. Menipis. Dan lenyap.
Lalu kulihat sebuah kursi : anggun, antik dan cantik. Kursi yang biasa kududuki. Kursi tempatku menyanggah dan menghempang arus pemikiran maupun perbuatan yang kuanggap sudah ke luar dari rel cita-cita kemerdekaan negeri ini. Kursi yang terbahak dan mengejekku lantaran aku kemudian ditendang darinya melalui alasan paling populer dan klasik : telah ke luar dari garis partai, tak bisa bekerja sama dengan anggota dewan lain dan para Muspida.
Kemudian, sekonyong-konyong gendang telingaku digetarkan oleh suara tangis. Tangis siapa ini? Kenapa begitu banyak suara tangis, seakan orang berjuta menangis bersama? Apa yang ditangisi? Menangisi siapa?

3

Lewat pukul satu. Gamelan sirap. Waktu istirah tiba. Dalam seringai bulan tanduk, aku melangkah menuju panggung. Para nayaga duduk santai, menikmati kopi. Asap rokok berkepulan, mengiring asap balincung[23]. Aku naik ke panggung, duduk dekat jajaran wayang. Sang dalang menoleh. Kami bertatapan. Keningku berkerut. Senyum renyah yang dilemparkannya kusambut dengan mulut ternganga. Betapa tidak, manusia di depanku itu adalah manusia yang muncul dari kepingan masa lalu : seorang tokoh kampus yang dulu begitu populer di Yogya.
“Apa kabar, Bung?“ sapanya sambil mengulurkan tangan.
“Terus terang saja, aku kaget…” sahutku setelah jabat tangan kami lepas. “Kau nampak sedemikian berubah…”
Ia tersenyum halus. Tangannya menjangkau bungkus rokok. Kebiasaan menyulut rokok sebelum memulai pembicaraan serius agaknya masih bersisa di dirinya.
“Sekeluar dari kehidupan kampus, aku mencari ilmu yang lebih dekat dengan kenyataan kehidupan.“ ujarnya setelah menghembuskan asap rokok. “Aku berguru pada mendiang Dalang Tulur di Barikin, mencari nilai-nilai hakiki untuk menjangkau kesunyataan. “
“Dan engkau kemudian menjadi dalang? “
Ia mengangguk berkali-kali. Aku pun menarik nafas panjang berkali-kali. Mmhh, seorang sarjana sosial-politik yang lulus dengan predikat summa cum laude ternyata memilih kehidupan yang sama sekali tak pernah kubayangkan akan terjadi padanya. Seorang lelaki yang dadanya dibuncahi idealisme ternyata membiarkan ijazah sarjana yang dikejarnya bertahun-tahun lapuk dimakan rayap. Seorang tokoh yang sering berorasi di berbagai mimbar dan podium, yang memimpin sekian banyak demonstrasi mahasiswa, kini tampil di belakang lintangan gadang[24], di antara jejeran wayang, di bawah latat[25] balincung.
Selintas terbayang saat-saat kami bergelut di kampus dulu. Tahun-tahun yang sibuk, keberanian-keberanian yang mengagumkan. Ah,  di manakah sekarang idealisme yang membuncah bak gelombang mendampar karang itu? Di manakah tersimpannya bekas-bekas pamflet yang berujar tentang kebenaran dan keadilan itu? Hilang ke mana gelegar pekik kemanusiaan yang senantiasa memadu dengan derai-derai cemara Bulak Sumur dulu? Di manakah lenyapnya perdebatan-perdebatan pada malam-malam Malioboro?
Kusulut rokok. Dari balik tabir asap kupandangi wajahnya. “Nampaknya pekerjaanmu sekarang ini jauh berbeda dengan hal yang kau iming-imingkan semasa di kampus dulu. “ ucapanku bernada menuding. Sebuah hal yang biasa muncul pada malam-malam Malioboro dulu. “ Kau bilang bahwa nanti kau akan menjadikan dirimu sebagai start point dalam perubahan kemasyarakatan. Kau bilang akan mencoba menumbuhkan paradigma sosial baru.“ Mataku lekat ke matanya. “Tapi apa yang kau lakukan sekarang ini? Kau lari, Bung! Bergegas meminggir ketika roda zaman deras menggelinding! “
Ia ketawa perlahan. “Kau salah, Bung!“ sahutnya tenang seraya menjentikkan abu rokok. “Aku malah amat setia dengan apa yang kita iming-imingkan dulu. Cuma jalan yang kuambil berbeda.“ Diisap dan dihembuskannya asap rokok. “Dengan menjadi dalang, aku merasa amat dekat dengan rakyat jelata. Aku kian mengerti akan mereka. Aku kian banyak menimba kehidupan mereka… “
“Apa kaitannya dengan iming-iming kita dulu?“ tukasku.
“Lewat wayang, aku memberikan berbagai suluh. Lewat wayang, aku menuturkan perlunya perubahan-perubahan pandangan. Semuanya berlangsung secara tak langsung, lewat jalinan cerita, lewat amsal-ibarat, lewat contoh soal kehidupan. Kujadikan diriku sebagai penerjemah zaman, penuntun ke masa depan. “
Ia berhenti sejenak, meneliti penerimaanku. “Kupikir hasilnya jauh lebih bagus tinimbang aku datang ke suatu desa macam pejabat yang memberikan pidato resmi. Pidato yang kadang membosankan serta bikin mengantuk karena disampaikan dengan bahasa formal. “
Aku diam. Dulu kupikir aku merasa amat mengenal ABC-hidupnya, tapi nampaknya ada satu titik halus yang luput dari pengamatan. Dan titik halus itulah yang menimbulkan adanya jarak sekarang ini, sebuah jarak psikologis.
“Apa engkau merasa bahagia dengan kehidupanmu sekarang ini?“ tanyaku kemudian.
“Ya, amat bahagia…”
“Maksudku…secara materi…”
“Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi semata, Bung!. Agaknya kau telah melupakan kaidah itu!“ suaranya terdengar tajam. Ujung bibirnya terjungkit, seperti mengejek. Aku merasa bagai kena tampar. Kubuang wajah, pura-pura menjentik abu rokok ke bawah panggung.
“Kau sendiri bagaimana?“ ia balas bertanya. “Kudengar kau telah berhasil duduk di Dewan…”
Aku tersenyum sempil. Kaca-kaca diriku serentak kembali memantul bayang.
“Baru seminggu aku dicopot dari situ…”
Ia ketawa. “Kenapa, Bung?“
“Yaahh, karena mencoba setia dengan iming-iming masa lalu itu…”
Ia ketawa lagi. “ Wajahmu nampak rusuh. Agaknya hal itu memukulmu. Kau menyesal?“ nada suaranya terasa menghunjam ke hati.
Aku cuma mengangkat bahu. Menenggelamkan diri ke dalam asap rokok.
“Tahukah kau kenapa Tuhan menciptakan akal, pikiran, serta perasaan pada manusia?“
Pertanyaan itu membuat keningku berkerut. Ia menepuk bahuku, berdiri sejenak, memilih beberapa wayang, lalu duduk kembali.
“Lihatlah, Bung.“ katanya sambil menancapkan sebuah wayang ke gadang. “Ini Rahwana, perlambang keangkara-murkaan. Ini Durna, perlambang kelicikan. Ini Suyudana, perlambang keserakahan. Ini Sangkuni, perlambang kemunafikan. Ini Bisma, perlambang kesetiaan pada negeri. Ini Darmakusuma, perlambang kekudusan. Ini Janaka, perlambang keberanian. Ini Gatotkaca, perlambang pengorbanan. Ini Semar, perlambang pengayom dan pengabdian tanpa pamrih….”
Ia menyebut sekian banyak nama wayang dengan perlambangnya masing-masing. Aku termangu, disungkup rasa tak mengerti. Mataku menatap sekian banyak wayang yang berdiri tumpang-tindih sehingga membuat bayang-bayang campur-baur di kalir.
“Dan dirimu, Bung, hatimu, adalah kalir itu.“
Keningku tambah berkerut. Kutatap ia dengan pandangan orang bodoh yang sama sekali tak mengerti terhadap hal yang dibicarakan dan diinginkannya.
“Wayang-wayang penuh perlambang itu hidup dalam dirimu. Hidup dalam batinmu. Berwujud nafsu. Nafsu itu mengomando dirimu, menyetir tindak-tandukmu. Saat Rahwana berkuasa, kau pun jadi orang yang penuh angkara murka. Saat Durna berkuasa, kau jadi manusia selicin belut. Saat Sangkuni berkuasa, kau menjadi orang munafik nomor wahid. Begitu pula jika wayang-wayang lain yang berkuasa. Kadang, sejumlah wayang itu melakukan kolaborasi. Jika Suyudana berkolaborasi dengan Semar, misalnya, kau pun jadi manusia yang nampak sebagai pengayom tapi menyimpan keserakahan dalam diri.  “
Aku memeras otak. Mencoba mengurai kalimat-kalimat berbau filsafat itu.
“Nah, Bung, dirimu sebenarnya tak lebih dari ajang pagelaran wayang, sebuah orkestra wayang yang bermain tanpa henti. Di dalam orkestra wayang itulah Tuhan memberimu akal, pikiran dan perasaan. Jika pemberian itu kau pergunakan dengan baik maka kau akan bisa menguasai pagelaran, menjadi dirigen orkestra. Kau yang menguasai wayang-wayang itu, bukan menjadi orang dikuasai.
“Untuk menggunakan akal, pikiran, dan perasaan, secara baik, kau harus punya pegangan mapan : sesuatu yang diredhai-Nya, sesuatu yang tak lepas dari jalan lurus-Nya. Kalimasada, Bung, jimat Darmakusuma. Kalimasada, Kalimah Allah. “
Kubuang puntung rokok dan menggantinya dengan batang yang baru. Ia menjangkau sebotol air mineral, menyodorkannya padaku. Aku cepat menyambut, meminumnya. Sehempas arus sejuk mengaliri kerongkongan, menjelujur urat darah, berlabuh ke dada.

4

Hampir subuh. Kapas-kapas embun turun perlahan, mengiringi turunnya Darmakusuma dari Kayangan Tunjung Maya. Sang pemegang Kalimasada mengurai segala intrik, menepis semua pernik. Lalu gunungan menari-nari, pertanda kehidupan terus berlangsung. Orkestra wayang terus bermain dalam diri. Dalam diri.

“bangayu manis raga mambi
manurutakan lalakun diri
hiyaiii… “[26]



Keterangan:
[16] Jadi rupanya, sudah sampai waktunya. Sangiyang Wenang menetukan, Dewa merestukan. Yang namanya benar dan jujur sudah tidak berharga. Rata-rata telunjuk lurus kelingking berkait. Yang namanya adil dan bijaksana tinggal kembang pembicaraan. Berbuih di mulut tapi seperti batu di hati.
[17] Kelir, layar wayang
[18] hilir-mudik
[19] bersedih; meratap
[20] pertapaan
[21] nama salah satu irama karawitan Banjar
[22] sinden; suluk
[23] belencong, lampu minyak pada pergelaran wayang
[24] gedebong pisang
[25] jelaga
[26] salah satu bait suluk wayang Banjar


Sumber:
Syahrani, Aliman, dkk. 2007. Orkestra Wayang. Kandangan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan
http://dkhss.blogspot.co.id/p/kumpulan-cerpen.html

0 komentar: