Cerpen Dewi Yuliani: Pasar
Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku tahu sekali hari ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini mendadak orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat dermawan.Bayangkan saja, dengan uang seribu lima ratus, orang dapat menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan menambah jumlah konglomerat di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau tidak? Untuk sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.
Aku memperhatikan orang-orang yang berseliweran di depanku. Aku sudah hafal sekali wajah-wajah siapa saja yang mampir di sini, sekadar tanya tentang kode buntut.
Sebenarnya aku tertawa sendiri. Amat Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam nanti. Kalau Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan Amat Tukak sendiri yang membeli secara diam-diam agar ia tidak usah lagi berpanas-panas jualan buntut di trotoar pasar ini.
Pernah suatu kali aku menanyakan keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah bosan membeli kupon sugih, tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif untuk jualan kode. Kalau kebetulan angkanya cocok, syukur. Kalau tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidak nongkrong di pasar ini lagi.
Waktu itu kami sama-sama tertawa, menertawakan nasib sendiri. Aku memilih diam dan memperhatikannya berteriak menyebutkan angka-angka sementara orang-orang yang mengerumuninya memandangi Amat Tukak dengan terkagum-kagum.
Selain Amat Tukak, aku juga tahu manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya sehingga orang sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang merogoh saku belakangnya. Tapi aku tak acuh. Biar, mereka juga cari makan seperti aku, dan aku tidak mau berhadapan dengan gembong copetnya. Bisa-bisa habis aku dikeroyoknya. Dan itu juga untuk menjaga stabil dan amannya caraku mencari makan.
Aku hampir terkantuk-kantuk ketika hari semakin panas terik, anginnya sepoi-sepoi basah. Tetapi, cacing yang ada di ususku tak mau diajak berdamai. Ia selalu saja menggerogoti perutku. Rupanya ia marah melihat kantong perutku hanya berisi air putih, selebihnya hanya angin busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak punya kekuatan untuk menekan perutku.
“Kasihan orang itu ya, Bu. Lihat, kaki kanannya buntung. Hiii... banyak kudisnya, Bu!”
Aku tersentak kaget lalu menoleh ke samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju merah darah. Aku melirik lehernya yang berlipat, tapi dihiasi gandulan kalung emas. Aku tidak habis pikir, berani sekali ibu gendut itu membawa anaknya yang juga diliputi emas di lehernya yang tidak kalah gendut dan berdagu dua. Rupanya kedua anak-beranak itu kelebihan gizi.
Tiba-tiba nyonya gendut tadi melemparkan ratusan yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang sudah kusiapkan. Bah! Aku ngedumel dalam hati. Benggol buat mengerik punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah lama terjepit di sudut dompetnya.
“Copet! Copet! Kurang ajar!” sumpah serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar. Pantatnya yang sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku melihatnya seperti badut Ancol yang tengah menari.
Rupanya pencopet itu masih perlu latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat ditangkap. Ampun. Ia dipukuli, persis memukuli ikan gabus yang sering kulihat di pasar ikan. Dahi pencopet itu mengeluarkan darah, dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi pada nyonya gendut yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan permennya.
Aku menyumpah-nyumpah dari jauh. Seharusnya sebelum anak itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi untuk latihan lari. Rupanya ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak canggung.
Udara semakin panas saja. Aku melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya di kain sarung yang telah dikaitkannya pada seutas tali rafia, lalu digantungkannya di atas kayu atap tempatnya berdagang. Suaranya bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut. Seandainya ada pencipta lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik mendengar suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan penyanyi dangdut terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti namanya menjadi Voni atau Ivon, untuk lebih komersil.
Aku hampir tertidur mendengar suara Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam. Apalagi ketika suara lagu dangdut menggema mengawani tukang jual obat mempromosikan produknya, obat kudis dan penyakit kulit lainnya.
Sebenarnya obat itu murah, cuma lima ratus per botol. Aku pernah beli setengah botol, tapi kudis di leherku masih saja nakal.
Aku hampir menggoyangkan pinggulku ketika mendengar lirik lagu Basofi Sudirman. Tidak semua laki-laki bersalah padamu... Aku tahu kalau Basofi sekarang menjadi gubernur Jawa Timur. Jelek-jelek aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di dalam pasar ini, aku juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang melarat.
Aku tahu semuanya bukan melalui koran, tapi aku langsung berkecimpung dalam kemelaratan itu, bergumul di dalamnya.
Dari koran bekas sebagai alas dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan produk-produk politiknya. Aku pernah membaca buku filsafat hidup bahwa diam itu adalah emas. Aku artikan saja sendiri, menurut status pendidikanku yang rendah, kalau diam itu membuat diriku lebih aman.
“Hari ini...aku bersumpah...akan kubuka pintu dompetmuuu...”
Tiba-tiba aku mendengar lirik lagu Basofi berubah reff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang menggelitik itu. Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih benjol, mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulanan buntat-buntat di sana.
Gurdis tertawa senang melihat tampangku. Giginya yang agak kuning tapi tersusun rapi tersembul kelihatan di antara bibirnya yang hitam.
Aku melirik lengan Gurdis yang bertato burung rajawali, di dada kanannya bergambar naga. Terus terang, aku takut sekali melihat kehadiran Gurdis kali ini.
“Sudah makan, Jon?” tanya Gurdis sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas. Taksi-taksi kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.
Aku mengalihkan pandanganku pada televisi umum yang tengah menyiarkan berita tentang perang etnis di Bosnia-Herzegovina.
“Sudah makan, Jon?!” hardik Gurdis.
“Belum. Kau?” tanyaku pelan.
“Sudah.”
Pantas saja, perutnya agak gembul dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing dari perut Gurdis.
“Lapar?” tanya Gurdis agak bodoh.
“Sampian ini bagaimana? Dari pagi aku belum makan, ya laparlah...”
“Tunggu sebentar, ya...”
Tubuh Gurdis yang gendut tapi tinggi itu berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi dengan sebungkus nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis raja copet di pasar ini.
“Kau curi di mana?”
“Aku beli,” jawabnya singkat.
“Ah, dusta. Mana ada Gurdis Jagau tiba-tiba jadi makhluk yang manis...” Aku tertawa hambar, tapi membuka juga nasi bungkus yang dibawakannya.
“Sumpah, kali ini uang halal,” Gurdis membuka dompet lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran ribuan.
“Uang siapa yang kau copet, heh?” tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning sehingga berhamburan.
“Aku jadi penjaga rumah Ta Ching,” katanya pelan.
“Wah, wah...Jadi buldognya, ya?”
“Biar. Aku sudah bosan keluar-masuk penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi tukang ojek.”
“Ooo...,” itu saja seterusnya yang keluar dari mulutku.
Gurdis bertobat, lalu siapa lagi temanku bercakap kalau ia meninggalkan tempat ini.
Percakapan kami terhenti ketika Tibum datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang yang berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha menyembunyikan becaknya. Acil Ijah jatuh tertelungkup karena kainnya yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba lari.
Gurdis memandangiku dengan sorot mata sedih, lalu menyelinap di antara lorong pasar yang gelap.
“Itu orangnya!” tiba-tiba Tibum yang bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat kutarik kakiku yang penuh perban yang terbenam di dalam tanah berlubang yang sudah kusiapkan, lalu mengambil jurus seribu.
“Penipu! Buntungnya dusta! Otak busuk!”
Entah teriakan apalagi, tak sempat kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya mereka sudah tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau pengemis buntung.
Aku tahu tempat yang aman sebagai persembunyian. Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera datang kesini. Tentu dengan sosok lain.
Aku tak peduli teriakan cacing yang geram karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena cacing-cacing ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi dan pontang-panting lari ketakutan.
Sumber:
Dinamika Berita, Minggu, 7 November 1993
Alfianti, Dewi, dkk. 2008. Nyanyian Tanpa Nyanyian: Kumpulan Cerita Pendek Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Tahura Media
0 komentar: