Cerpen Muhammad Daffa: Fragmen-fragmen Kanaya

07.23 Zian 0 Comments

Kanaya tak pernah bertanya kepada ibunya apa sebab bapak meninggalkan mereka pada tahun-tahun yang telah jauh berlalu. Ibu bilang bapak bisa terbang, mempunyai sepasang sayap. Kanaya juga ingin seperti bapak. Punya sayap. Leluasa menjelajah berbagai tempat. Ibu hanya tergelak mendengar. Katanya, sepasang sayap yang dimiliki bapak tidak sembarang orang bisa memilikinya. Hanya orang-orang pilihan. Apa itu orang-orang pilihan? Tanya Kanaya. Orang-orang yang hidupnya penuh dengan berkat tuhan. Kanaya tak puas. Ia ingin bertanya lagi. Tapi ibu sudah keburu pergi, menghilang di antara kegelapan hutan. Kanaya ingin menyusulnya. Kembali kepada dekap dongeng-dongeng yang meninabobokan hidupnya sejenak. Ibu pernah bilang, suatu saat jika Kanaya sudah tumbuh besar akan dapat kesempatan mewarisi dongeng ibu. Menurut ibu, Kanaya akan mampu memahami kisah sepasang sayap jika dirinya sudah melewati beberapa fase. Fase pertama, ketika  tubuh Kanaya ditumbuhi perdu-perdu cahaya, cahaya itu akan membuatnya dapat melihat segala yang tak mampu dilihat orang kebanyakan. Fase kedua, ketika Kanaya sudah beranjak dewasa. Sayap-sayap akan bermunculan dari punggungnya, beriring bunga-bunga beraroma luka. Bapak sudah melewati fase-fase itu, sehingga sepasang sayap di punggungnya bertambah banyak seiring waktu. Kanaya senang. Ia semakin ingin memiliki sayap. Ia ingin terbang dan bebas bertualang. Kanaya bosan dengan kehampaan.
Sampai suatu ketika, di sebuah hari yang tak pernah diduga Kanaya, beberapa orang yang mengaku utusan menteri datang ke rumahnya meminta izin untuk menggunduli hutan. Tentu saja Kanaya tak setuju. Hutan di belakang rumah Kanaya hanya boleh dijamahnya seorang, tak boleh ada orang lain yang datang ke sana, apalagi berniat merusaknya. Orang-orang dari kota itu tak ambil pusing. Bagi mereka Kanaya hanya orang sinting yang suka melamun dan berangan-angan menjadi putri kahyangan. Cerita Kanaya sudah sering didengar oleh mereka ketika secara tak sengaja menangkap pembicaraan dari beberapa kawan kerja yang juga sebelumnya datang ke rumah Kanaya. Mereka lari tunggang-langgang karena melihat sosok perempuan setengah melayang dengan tongkat bermata bintang, mengancam mereka dengan sihirnya. Kanaya hanya tergelak kecil menyaksikan kejadian itu.
Tak banyak orang yang tahu mengenai Kanaya, karena siapa pula yang ingin berkenalan lebih jauh dengan seorang bocah perempuan sinting macam dirinya? Kanaya tak ambil pusing, ia juga tidak bersedih atas apa yang dikatakan orang-orang tentang ia dan keluarganya. Bagi Kanaya, kesedihan sudah lebih dari cukup, tak butuh penawar lagi. Apalagi secangkir tawa yang membuat orang semula waras menjadi gila. Kanaya tak ingin orang-orang di sekitarnya menjadi sinting hanya gara-gara mendengar ceritanya tentang ibu. Tentang seorang peri yang melahirkannya.
Kanaya ingat betul bagaimana ibunya memulai kisah itu. Semua bermula dari seorang pemuda yang datang ke tengah hutan bersama kawan-kawannya. Tampak bahwa mereka rombongan dari kota. Salah satu dari kawan pemuda itu membuang ludah di bawah sebuah pohon. Pohon di mana salah seorang peri bersemayam. Peri yang sedang khusyuk terlelap dalam tubuh pohon terbangun lalu mengumpat berkali-kali. Akibat dari umpatannya itu sangat luar biasa. Hujan turun dengan deras secara tiba-tiba, disertai air yang memancar dari tanah. Rombongan dari kota terpaksa meninggalkan hutan sementara dan kembali beberapa hari kemudian. Tampak salah seorang lelaki tua di antara rombongan itu.
Ibu menghentikan cerita. Kanaya pun berupaya menebaknya,
“Pasti si lelaki tua itu kakek sihir!”
Ibu tak bergeming. Air mukanya berubah.
“Tak ada jawaban yang benar, Kanaya..”
Kanaya memajukan bibirnya, wajahnya berubah masam.
“Lelaki-lelaki itu mengencingi sebuah pohon sebagai sebuah syarat yang diajukan si lelaki renta agar tidak diganggu oleh penghuni hutan dan membiarkan bekas pesingnya menguar ke udara. bertepatan dengan itu, seorang perempuan muncul dari rimbunnya kegelapan, membawa tongkat bermata bintang. Kau mungkin mengira ia penyihir. Karena dandanannya memang terkesan mendukung: jubah hitam panjang menjuntai, rambut setengah keriting yang dibiarkan tergerai, dan kakinya…kakinya tidak menapak tanah! Mungkin kau juga berpikir ia setan alas yang selalu dijadikan kisah bagi anak-anak nakal..”
Kanaya menatap lamat wajah ibunya. Kisah pun berlanjut.
“Perempuan itu dulunya  adalah peri berwajah purnama yang sedang bosan berada di kahyangan dan mencoba turun ke bumi. Tapi oleh ayahnya, ia dilarang pergi ke bumi. Karena datang ke bumi sama saja dengan bunuh diri, katanya. Peri itu tidak peduli. Ia mengabaikan nasihat ayahnya. Maka terdengarlah serapah yang akan menjadi ciri temurun bagi anak-anaknya yang kelak lahir ke dunia: berwajah bopeng, kulit bersisik serupa ular, dan rambut penuh kutu. Si peri tak peduli. Ia tetap menjauh dari kahyangan dan terbang menuju bumi…”
Ibu kembali menghentikan cerita. Kanaya kembali menagihnya untuk kembali melanjutkan. Tapi ibu tak bergeming. Ia terdiam beberapa waktu. Katanya,
“Kalau kau mau kisah ini kulanjutkan, maka rabalah dulu pergelangan tanganmu, apakah tanda temurun yang bermula dari serapah itu masih ada? Jika memang tanda itu tak bisa terhapuskan, maka aku ragu untuk kembali melanjutkan ceritanya..”
Kanaya ingin berbohong, tapi ia tak tega pada ibunya. Kanaya ingin sekali berbohong. Seperti bapak. Seperti bapak yang meninggalkan ibu dengan kebohongan-kebohongan. Ibu selalu bilang begitu tiap kali bercerita tentang bapak.
Kanaya ragu untuk melihat pergelangan tangannya, karena sudah sejak lama seluruh tubuh ia bungkus dengan karung goni yang sudah dibentuk sedemikian rupa, hingga amat mirip dengan baju yang dipakai sehari-hari. Kanaya ingin sekali melihat tubuhnya. Tanpa kaca. Hanya bayang-bayang yang mengada.
Ibu kembali menyuruhnya, Kanaya masih terdiam. Lamunan-lamunan dan angan tentang bapak menjadikannya kian suntuk dihajar kehampaan. Hanya kehampaan.
Kali ini Kanaya berusaha berani. Setelah sekian lama menyembunyikan tubuhnya dengan karung goni, kini waktunya kembali melihat apakah tanda temurun berupa sisik ular masih ada?
Ibu tak percaya. Hanya Kanaya seorang yang percaya. Tubuhnya semakin dipenuhi dengan sisik. Tapi anehnya tidak menguarkan aroma amis. Mungkin itulah keajaiban. Kanaya bingung apakah ia harus sedih atau gembira. Ia pikir dengan karung goni yang membungkus tubuhnya maka akan menyerap cacat bawaan yang menempel pada tubuhnya sejak bayi. Tapi nyatanya tidak. Bapak yang dulu bilang, bahwa karung goni yang dipasangkan ke tubuh akan menghapus kutukan. Dan sekarang apa? Lagi-lagi kebohongan semakin melucuti Kanaya ke dasar sunyi. Kanaya juga kerap bertanya-tanya, apakah semua yang dikisahkan ibunya itu benar? Apakah ia memang lahir dari rahim seorang peri kahyangan yang menjadi penguasa hutan? Atau segala yang terjadi hanya sebuah ilusi yang diciptakan seorang tukang sulap keliling untuk membawanya tamasya ke alam maya?
Kanaya terpejam. Lamat-lamat suara ibunya memanggil. Memanggil dengan lirih. Terkadang diselingi isak sesenggukan. Kanaya tak bisa tahu kenapa ibunya sesenggukan. Apakah ia benar-benar menangis seperti kebanyakan orang ketika melihat suatu hal yang menyedihkan, ataukah ia sedang dilanda kenangan stadium lanjut, terbahak-bahak, hingga setengah menangis? Kanaya hanya bisa bertanya-tanya, hanya bisa menduga-duga, apakah cerita ini akan terus berlalu membawanya ke relung yang semakin jauh atau malah sebaliknya.
“Lanjutkan lagi kisahmu, ibu. Aku masih ingin mendengarnya, meski setengah terpejam dan samar kudengar suaramu berkisah..”
Ibu tak bergeming. Tapi Kanaya dapat merasakannya. Aroma itu. Aroma sorga yang selalu membayang-bayanginya. Sorga kahyangan.
Ibu meneruskan ceritanya tiba-tiba, dengan air mata yang menggenangi pipi.
“Rombongan dari kota dikepung oleh si peri. Lelaki renta, penyihir bayaran yang telah disewa oleh para lelaki itu, kemudian berhasil melumpuhkannya dengan potongan bambu kuning yang telah diludahi sebanyak sepuluh kali. Ditulisi rajah-rajah gaib yang mampu menangkal segala bala dari setan laknat mana pun..”
Kanaya tampak tak sabar. Cerita ibu masih terus membuatnya penasaran.
“Peri yang telah diringkus kemudian dibawa ke kota, dikurung di rumah salah seorang dari lelaki-lelaki itu. Sang peri berusaha untuk melawan, membuka kurungan yang dibuat oleh lelaki renta, sebuah penjara khusus yang hanya bisa ditembus dengan suatu kemampuan linuwih tertentu. Suatu malam, peri berhasil lolos karena ia diam-diam mencuri dengar pembicaraan dua ekor cicak yang menyusup ke sebuah kamar rahasia. Di sana ada sebuah kitab usang berisikan mantra-mantra sakti. Peri itu menirukan satu buah mantra yang dihafalkan si cicak dan menghancurkan penjara yang membuatnya merana berhari-hari. Hari itu juga, ia melarikan diri. Kembali ke hutan…”
Kanaya membuka matanya. Ia memandang raut ibu yang tampak berduka. Seperti ada kesedihan yang menggantung di pelupuk matanya.
“Ibu sedang bersedih rupanya…”
“Tidak ada yang patut dijadikan alasan buat sekadar bersedih, Kanaya..”
“Termasuk bapak?…”
Ibu menundukkan wajahnya. Setiap Kanaya bertanya tentang bapak, yang terpintas di benaknya hanya seseorang dari masa lalu yang tak pernah kembali. Hilang ditelan tahun-tahun riuh.
“Ceritakan padaku tentang bapak. Aku belum mendengar bagian tentang itu dari cerita-cerita yang ibu bawakan hari ini..”
“Setiap perempuan punya cara sendiri untuk melupakan kenangannya pelan-pelan. Bapakmu ada dalam kenangan itu, berpendar, membawa sepasang sayapnya berkelana. Sepasang sayap yang menjadikannya bebas. Benar-benar bebas. Menghilang dari ibu..”
Kanaya tak mengerti tentang apa yang disampaikan oleh ibunya. Matanya ikut berkaca-kaca. Ia tak tahu apa sebabnya dan mengapa bisa demikian. Apakah kesedihan bisa menular lewat cerita?
Kanaya lekat memandangi wajah ibu. Sisa-sisa purnama itu masih ada. Malam menyala di bibirnya yang merona.
Di malam-malam yang menjadikan matanya terjaga, Kanaya selalu membayangkan bapak kembali ke hutan tempat rumahnya tegak dan menemuinya tiba-tiba. Kanaya selalu berangan-angan jika suatu saat bapak kembali, ia akan berupaya bangun sebagai Kanaya yang baru. Kanaya yang jauh dari rasa malu. Seperti yang biasa dibilang ibu padanya. Berkali-kali.
Kanaya ingin hidup normal layaknya anak-anak yang sebaya dengannya. Bermain bersama mereka, bercerita dengan riang gembira. Kanaya selalu membayangkan hari-harinya akan seenak itu. Selama ibu belum mau bercerita mengenai yang sesungguhnya terjadi pada bapak, Kanaya tak akan bangun sebagai Kanaya yang baru. Kanaya hanya ingin bertemu bapak. Mengajaknya berbincang hangat seraya mendengar bapak membuat celoteh lucu yang akan dibagikan kepada ibu.
Anak seumuran Kanaya harusnya sudah mempunyai banyak teman, tidak dibuang dan dikucilkan. Kanaya merasa ia bukan manusia pada umumnya. Makanya tak seorang pun mau menjadikannya teman. Kanaya bocah goni, ejek mereka tiap kali Kanaya mengajak bermain bersama.
Setiap kali Kanaya menanyakan perihal bapak, ibu seakan tak menggubrisnya dan beralih kepada kisah yang lain, yang tentunya menarik bagi Kanaya. Ada semacam sekat yang memisahkan ibu dengan bapak, sekat-sekat itu seakan terus memisahkan mereka hingga waktu yang tak bisa ditentukan.
Satu hal yang membuat Kanaya terus didera penasaran yang teramat sangat adalah dongeng yang selalu diceritakan ibu berulang kali ketika Kanaya sudah ingin terpejam,  menemui mimpi-mimpi manisnya. Dongeng itu terus mengganggu pikirannya, mengaduk-aduk jiwa kanaknya yang meronta, selalu menagih cerita. Selalu menagih kepulangan bapak. Kanaya tak bisa benar-benar pulas sebelum ibu menceritakan yang sebenarnya tentang perginya bapak. Termasuk hubungan bapak dengan dongeng yang biasa dikisahkan ibu. Apakah peri itu benar-benar ibu? Jika memang iya, kenapa tak ada sepasang sayap di punggungnya? Kemana perginya sayap itu?
“Sayap-sayap bapak tumbuh di punggungmu, Kanaya. Hanya ibu yang bisa melihatnya. Sayap-sayap itu mengelopak aroma kahyangan serupa dengan para peri yang dulu terusir dan menetap di bumi…”
“Apakah aku akan segera terbang? Menghilang seperti hal nya bapak?..”
Ibu menatap wajah Kanaya dengan lekat. Matanya kembali berair. Kesedihan menggantung di pelupuk matanya.
Kanaya ingin ibu bercerita soal bapak. Dan ia ingin tahu dengan sebab apa bapak menghilang hingga kini. Kanaya ingin tahu kenapa bapak meninggalkan ibu dan memberinya harapan berlebih. Harapan yang tak pernah bersambut kenyataan.
Kanaya merasa sayap-sayap di punggungnya tumbuh semakin banyak, bahkan melebihi sayap seekor burung. Kanaya merasa tubuhnya melayang tiap beberapa kali dicobanya berlari. Tiba-tiba ia jadi teringat dengan peri hutan yang dikisahkan ibu. Ketika berkaca, Kanaya merasa wajahnya bukanlah wajah ibu. Tak ada kemiripan. Kanaya menduga ia bukan anak kandung, melainkan anak pungutan. Ibunya tak pernah membahas lebih jauh soal ini. Tapi Kanaya ingin sesekali menanyakannya, dan ia harus tahu kali ini. Sayap-sayap itu-Kanaya teringat cerita tentang bapak. Bapak yang selalu hidup dalam benaknya, diombang-ambingkan dongeng ibu.
“ibu tak boleh menyimpan rahasia sendiri..”
Bujuk Kanaya suatu petang. Langit memekarkan kuntum-kuntum jingga. Kali ini Kanaya benar-benar ingin mendesak ibu. Ia tak ingin terus-menerus menjadi pendengar dongeng tentang bapak.
Ibu hanya memandang wajah Kanaya. Hening. Tak ada jawaban. Kanaya berpikir ibunya sudah benar-benar lelah karena terus didesak. Di sisi lain, Kanaya juga berpikir ibunya terlampau tabah mengurung masa lalu bersama bapak. Mengubur bapak di antara keping-keping ingatan.
Kata ibu, bapak keturunan langsung orang langit. Makanya ia punya sepasang sayap.
Ibumu tidak seperti bapak. Tidak punya sayap. Makanya ibu tidak bisa menyusul bapak. Menemaninya bertualang.
Ibu bilang, bapak sesekali datang ketika Kanaya baru berumur beberapa minggu. Membawa buah-buahan yang dibungkus rapi serupa parcel.
Waktu itu bapak berpesan kepada ibu, supaya Kanaya dirawat dengan baik. Termasuk memberikannya dongeng-dongeng tentang sepasang sayap itu. Sayap yang hanya dimiliki bapak seorang.[]

Banjarbaru, April 2020


Sumber:
https://www.banaranmedia.com/cerpen-muhammad-daffa-fragmen-fragmen-kanaya/

0 komentar: