Cerpen Ananda Rumi: Senja yang Tak Jingga
Kelak di satu senja, anakmu dan anakku akan saling bercerita tentang orangtuanya yang menggilai senja dan tak lagi jingga setelah itu.
Senjamu tak lagi indah, Nona. Sejak seseorang penulis memotongnya beberapa tahun lalu. Senjamu kosong. Belakangan kulihat, kamu selalu pergi ke sudut pelabuhan dan melukis senja yang berwarna jingga saat kapal-kapal itu melepaskan jangkarnya. Kebiasaanmu yang aneh, melemparkan lukisan-lukisan yang kau lukis sendiri ke aliran Sungai Barito dan mengulanginya setiap hari. Pacarmu menganggap kamu gila dan ia tidak terima. Kamu mengulangi lagi kelakuan-kelakuanmu yang dianggap pacarmu kurang waras di setiap senja. Kamu mengulanginya berharap ritual itu bisa kembali mempertemukan kita. Tapi nyatanya, kita tak pernah dipertemukan Tuhan, bukan? Kamu hanya berfantasi, Nona.
Kamu bukan lagi senjaku yang pernah berbunyi saat hening jangkrik di penghujung malam. Kamu pernah berkata, mengagumi malahan, retorika dan intonasi irama saat aku membacakan puisi senja di delik publik. Yang ketika itu, kamu tidak di sana, Nona. Kamu hanya mengagumiku di dunia maya saja. Tapi tidak di dunia nyata.
Sebuah kota sedang bersolek mewakilkan rasa kita, dan kata-kata tak bermakna seperti rindu yang tenggelam di penghujung malam saat pertama kali bercinta di sofa kerajaan tak bertuan. Ditambah aroma tubuh yang kamu tinggalkan pada sprei kamar yang kita inapi tadi malam.
Ketika rasa itu menyerang saat senja, kamu bilang, tak ingin mencinta terlalu cinta. Tak ingin membawa perasaan terlalu dalam. Perih. Kamu mengakui tak ingin rasanya merindu terlalu rindu sampai kau rela membagi rindu di dua tempat yang padahal, jaraknya tak jauh berbeda. Kekuatan mana yang bisa menutupi jingganya senja sebagai pengingat kenangan antara kamu, aku, dan dia. Kamu hanya berfantasi, Nona. Tidak mencintaiku seutuhnya.
Kamu, Nona. Perempuan berambut legam dengan mata bulat duduk di pojok sebelah kiri pelabuhan. Telapak tangan kananmu menyapu leher sedang jari kiri menyisir poni yang menutupi wajah. Kamu bilang tak ingin melukis lagi karena setiap goresannya bukan lagi rindu, hanya kamuflase rasa sakit hatimu karena kita tak lagi bertemu.
Beberapa waktu setelahnya, kamu menjadi rajin ke toko buku untuk membeli buku catatan, menuliskan kata-kata rindu. Kamu bilang, ada aroma parfume tubuhku di sampulnya yang membuatmu harus memiliki buku itu. Setelah matahari hampir meninggalkan kota kita, kamu membawanya ke ujung pelabuhan.
Buku catatan yang sedari tadi terletak di atas paha melembab karena bulir yang menetes dari beningnya mata seorang ibu. Pipimu basah. Sesaat lagi, jingga akan memerah. Kerikil terakhir kau lemparkan ke sungai. Buku itu masih kosong, kau belum menuliskan sesuatu karena senja yang jingga menurutmu tak lagi indah. Sejak meninggalkanku, kamu tak lagi merasa ada sesuatu yang istimewa di alam semesta. Hidupmu kosong, Nona.
Satu sore yang perih, seorang lelaki menjemputmu agar tak lagi menangisi potongan kalimat-kalimat dariku yang kau ketahui adalah lelaki yang pernah ada dalam hidupmu, dulu.
Kata-katamu semakin mengosong tanpa makna. Semakin menarik diri dari perasaan rindu semakin kelakuanmu berbalik dari arti sebenarnya. Tak dinyana, hujan datang tanpa tanda-tanda. Kamu dan pacarmu berteduh di antara lalu-lalang manusia pengangkut barang kapal. Seketika, tetas hujan di pipi merah mudamu menyadarkan, bahasa-bahasamu sedang diawasi para serigala malam yang berlagak seperti domba.
Malam akan berkabut, senja menyelimuti pelabuhan. Kamu berlari ke arah sungai yang berbatasan dengan jalan raya kota kita, lantas melemparkan buku tadi dan memerhatikannya mengapung, larut dibawa arus sungai, hilang, dan tenggelam. Upayamu melupakan lelaki penulis senja hanyalah bualan. Kamu bilang, jika saja mampu mewarnai langit, inginmu melukis senja tak lagi berwarna jingga. Mungkin abu-abu sebagai ungkapan ketidakterimaanmu akan keadaan.
"Aku ingin langit senja tak lagi jingga, agar kesenangan dan kebahagiaanku akan penulis senja itu pun hilang," ungkapmu termangu menyadar di bahu pacarmu.
Kamu pergi berdua dengan motor ke toko bangunan dan membeli cat abu-abu sebanyak yang kau butuhkan. Beberapa kuas disiapkan dengan sebuah tangga yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Beberapa kali dirimu mencelupkan kuas itu dan mewarnai sudut senja menjadi abu-abu Pacarmu yang tadi melongo memegangi tangga di pertengahan jembatan. Orang-orang di sekitarmu memerhatikan heran. "Seorang perempuan gila sedang berusaha mengubah senja agar tak lagi berwarna jingga," kata seorang seniman yang lewat di samping jembatan. Kau tuli. Tak ingin mendengarkan apa pun kata orang.
Goresan kuasmu menutupi satu sudut langit yang tak lagi berwarna jingga. Sungai di bawah jembatan tidak lagi memantulkan cahayanya. Melihatnya, kau tersenyum dengan sebulir air mata di pipi. Melihatnya, sontak membuat seorang pemuda melaporkan kejadian itu kepada polisi dan dinas tata kota. Sirine polisi meraung mencarimu yang telah dianggap mencemarkan keindahan kota karena melukis senja menjadi abu-abu.
Kamu menarik napas panjang. Dan orang-orang masih saja terngaga melihat kelakuanmu yang belum membuang kuas di tangan. Setiba saja mobil polisi berhenti di hadapan. Kamu dan pacarmu diamankan dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
“Nona, kamu dilaporkan atas dasar pencemaran keindahan kota. Benar begitu!”
“Iya, Pak!”
“Apa yang melatarbelakangi kelakuanmu yang tak elok ini!”
“Saya hanya rindu, Pak. Saya rindu kepada lelaki penulis senja yang meninggalkan saya!”
“Alasan macam apa ini?”
Para polisi saling pandang dan bersepakat untuk menahan kamu dan pacarmu sebagai rekan perbuatan tidak menyenangkan terhadap warga. Tersebab tuduhan pencemaran keindahan kota sampai ada jaminan untuk pembebasan. Tertanda atas laporan warga dan peraturan daerah dinas tata kota. Kau diam, tak tahu harus berbuat apa.
Kabar itu meledak ke semua timline media sosial dan televisi. Bahkan pada headline koran-koran terpampang berita disertai fotomu membelakangi kamera fotografer koran ketika mengecat langit. “Seorang perempuan gila ditahan polisi atas tuduhan mencemarkan keindahan kota”.
Badan penanggulangan bencana dan pemadam kebakaran berlalu-lalang di sekitaran kota atas perbuatanmu, Nona. Mereka sedang berusaha menghapus sisa warna abu-abu yang kau buat. Upaya itu tak pernah berhasil. Sampai seorang lelaki lain menjemputmu sebagai jaminan untuk membebaskanmu atas tuduhan-tuduhan yang telah ada.
Kamu berjalan keluar perlahan dan meninggalkan pacarmu sendirian saat berteduh di lobi kantor polisi. Kamu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam kabin. Seorang lelaki yang sekian tahun telah membuntutimu membawa meninggalkan kota kita dan pacarmu di sudut jalan raya pintu gerbang kantor polisi kota.
Bulir hujan menghiasi jendela. Manusia-manusia malam menjajakan cinta di pinggiran kota sungai. Kamu menghilang dari hiruk-pikuk perasaan. Lalu, perasaan takut itu datang lagi, kamu takut terlalu bahagia karena rasa mencinta kepada seseorang. Kamu memutuskan agar tak lagi bahagia. Perlahan, kamu mencari ketakutan-ketakutan untuk kenikmatan rasa sakit yang tak pernah terbayarkan. Dan berharap besok langit senja tak lagi jingga. Atau lebih baik, langit runtuh saja. Dan kamu hancur melebur menjadi mikro partikel yang menutupi bingkai langit. Kamu memejamkan mata. Perasaanmu menghambur menuju bandara.
Bandara. Apalagi, lelaki penyimpanan memori nan terang itu menandai beberapa tempat yang disukanya sebagai titik berbagi tangis, sedu sedan, serta duka karena perpisahan. Kamu tak pernah tahu di mana keberadaannya sekarang. Kau mematah karena sikap lelaki penulis senja itu. Bukan dia yang meninggalkan, tapi kamu. Yang memihak agar tidak menjadi pengganggu dalam kehidupannya yang kau kira akan baik-baik saja.
Kamu mengaku selalu belajar kehidupan dari kisah hidup seseorang lainnya. Kamu berkata hati tak pernah memilih, tapi dipilih. Bagimu, jika memang lelaki penulis senja mengatakan telah memilih, selamanya lelaki itu tak akan pernah akan tulus mencintai. Karena kamu tahu, kamu tak perlu memilih. Hati selalu tahu ke mana harus berlabuh. Siapa yang mengira kamu telah melabuhkan hati dan perasaanmu kepada lelaki yang telah memunyai buah hati.
Kamu sedang meyakinkan hati agar perjalanan untuk meninggalkan kota kita kali ini tidak akan menyenangkan. Tersebab hatimu sedang berada dalam jeratan lelaki yang belum terlatih untuk patah hati. Lelaki yang telah membuntutimu sejak bangku sekolah. Kamu menyadari kepingan cinta yang kau tanam sendiri tak akan pernah berbuah manis. Kepadaku kamu pernah bilang, “Tak perlu ada pemanis untuk sesuatu yang telah ditakdirkan pahit.”
Sebelum bertemu penulis senja itu, kamu tak pernah sepatah ini. Kesenangan dan keceriaan yang kau tampakkan hanya bungkusan dari rasa sakit hati tiada tara. Kamu sedang lelah bersandiwara untuk menolak kepada lelaki yang sedang berpura-pura mencintaimu saat sekarang. Yang pada hakikatnya, kamulah yang sedang berpura-pura. Dan aku bilang, terkadang cinta bisa saja datang dari kepura-puraan.
Langit mendung membias cahaya jingga. Gerimis malu-malu di balik awan. Aku terburu-buru memesan tiket pesawat untuk meninggalkanmu karena pusing. Mendengar ocehan senja yang seolah sempurna dan tak pernah buruk dalam pikiranmu. Sudah, tinggalkan saja. Berpikirlah jernih. Jangan terlalu gila dengan kata-kata. Karena kata-kata bisa dirubah maknanya. Kubilang, senja tak lagi indah. Senja kita tak lagi jingga sejak kabut menutupi kota ini, Nona. Bahkan kabut sudah menutupinya sejak matahari belum terbit.
BJB160918
Sumber:
Radar Banjarmasin, 23 September 2018
https://asyikasyik.com/cerpen-senja-yang-tak-jingga/
0 komentar: