Cerpen Swary Utami Dewi: Penantian Telah Usai
Asti duduk di beranda belakang rumah sembari menatap kumpulan mawar yang mulai berkelopak. “Mmh… indahnya,” gumamnya perlahan. Rekah dan rona mawar dirasakannya berbeda dengan suasana hati yang sedang tidak menentu. Tanpa terasa dibelainya perlahan cincin berhiaskan jamrud yang melekat di jemari kiri.
“Aku tidak bisa melupakanmu. Aku merindukanmu, selalu mencintaimu,” demikian isi sms yang diterimanya tiga hari lalu. Hampir berhenti rasanya detak jantungnya, membaca kalimat tersebut yang diakhiri dengan nama pengirimnya: Gunawan. Berkali-kali ia membaca sms tersebut tidak percaya.
Gunawan. Bertahun-tahun, nama itu melekat di benak dan hati Asti. Lelaki yang datang di kehidupannya pada saat ia mencari-cari cinta. Perkenalannya dengan lelaki berambut ikal itu berlangsung kilat. Asti yang biasa tidak terlalu peduli dengan lelaki, terpesona melihat kemampuan berfikir Gunawan yang luar biasa. Dia begitu cerdasnya menjelaskan konsep-konsep yang ada di proposal yang dibagikan di meeting siang itu. ”Anak baru ini boleh juga,” Asti menilai kagum dalam hatinya.
Singkat kata, semua berlanjut. Gunawan dan Asti menjadi begitu akrab. Kesamaan cara pandang terhadap banyak hal dan juga hobi yang sama membuat mereka menjadi tidak terpisahkan. Benih-benih cintapun tumbuh dan berkembang. Sehabis pulang kantor mereka menghabiskan waktu menonton film-film terbaru yang menjadi box office, pertunjukan musik, drama ataupun pertunjukan seni lainnya. Sesudahnya, warung tenda menjadi tempat nongkrong yang ideal membahas apa yang baru saja mereka saksikan.
Tiga bulan kemudian, Gunawan melamarnya, menyematkan cincin bermata jamrud. Asti yang memang sudah lama mencari cinta yang ideal menyambut dengan suka cita, tawa bahagia yang sumringah. “Aku mau,” katanya sembari memeluk erat. Dan malam itu menjadi malam yang sangat bahagia bagi mereka.
Sebulan kemudian, Gunawan bertamu ke rumah Asti, bertemu dengan sang Ayah. Calon mertua ini hanya memandangnya lekat-lekat. Tidak mengucapkan kata sepatahpun. Saat semua diam tidak bergeming, satu kalimat muncul dari mulut lelaki paruh baya ini, “Asti sudah kujodohkan dengan anak sahabatku. Dan aku tidak bisa menarik kata-kataku kembali.” Bagi Asti dan Gunawan sudah lebih dari cukup. Palu godam menghantam hati mereka, membuatnya hancur berkeping-keping.
Lari! Inilah kemudian yang menjadi pilihan dua insan yang tengah dimabuk cinta ini. Di bawah terang bulan, di satu tempat di sekitar pantai utara Jawa, mereka berdua mengikrarkan janji setia: tidak akan terpisahkan. Sejak saat itu, mulailah mereka merajut hari-hari berdua.
Sebulan kemudian, Asti tidak mendapat haid. Ketika kabar ini diberitahukannya kepada sang Arjuna, Gunawan memeluknya erat sambil berkata, ” Aku mencintaimu. Aku bahagia.” Air mata menitik di sudut matanya.
Menjelang bulan ketiga usia kandungannya, Gunawan pulang dengan langkah gontai. Asti yang melihat perubahan lain pada rona muka kekasihnya, perlahan mendekati dan bertanya. ”Mama menginginkan pulang. Ke Sumatra. Aku mendapat pesan dari Kandar, yang setengah mati mencariku hanya untuk menyampaikan pesan ini.”
Asti mengangguk. Tidak menampakkan keterkejutannya. Lambat-lambat dia berkata,” Pulanglah jika kau memang harus pulang. Tapi, berjanjilah untuk segera kembali.” Gunawan memeluknya erat. Membisikkan kata bahwa dia akan kembali dalam waktu satu minggu.
Seminggu berlalu. Gunawan tak kunjung datang. Asti mulai gelisah. Meski mencoba paham bahwa rumah Gunawan masih belum terjangkau sarana komunikasi, kegelisahannya tidak dapat terbendung. Setiap hari sepulang kantor, Asti menunggu di beranda depan rumah, berharap-harap cemas akan kedatangan pria yang dicintainya. Rasa mual dan pusing yang akhir-akhir ini menderanya, tidak menghalanginya untuk menanti dengan setia, duduk tiap sore sampai malam di beranda sambil menghirup teh camomile hangat. Terkadang, untuk menenangkan diri dan mengurangi rasa mual, Asti membelai perutnya untuk memberi sugesti diri. ”Sabar Nak, Papah pasti datang,” ucapnya lembut kepada calon bayi yang baru terbentuk.
Dua minggu kemudian, Gunawan muncul menjelang malam. Tampangnya kuyu dan lesu. Asti menjerit girang, berlari menyambut dengan pelukan erat. Lelaki yang dirindukannya itu balas memeluk, erat. ”Kangen ya…,” Asti menggelayut manja, meraih tangan Gunawan ke perutnya. ”Dia suka membuatku mual. Pasti kangen kamu. Tapi selalu kubilang kalau Papah pasti cepat datang.”
Asti merasa tidak ada respon. Ditatapnya Gunawan dan betapa terkejutnya dia melihat air mata mengambang di pelupuk mata kekasihnya itu. ”Maafkan aku Asti. Aku tidak bisa…Ibu stroke, parah. Aku tidak dapat membantah keinginannya. Aku harus mengawini teman sekampungku, gadis pilihan Ibu. Aku tidak punya pilihan lain”.
Asti ternganga. Menatap lemas tak berkedip. Sejak saat itu, Gunawan meninggalkannya. Meninggalkan hatinya yang luka tercabik-cabik, meninggalkan jabang bayi yang semakin tumbuh besar di rahimnya. Sesudah itu, Gunawan berkabar sekali tentang kepindahannya ke pulau lain, di saat Asti baru melahirkan anak laki-lakinya.
”Ma, sudah mau hujan…, Andi ambilkan jemuran ya…” Tersentak Asti menatap bocah berusia delapan tahun di depannya. Belum sempat Asti berkomentar, dengan sigap Andi telah mengambil kursi dan kemudian mengumpulkan semua pakaian.
Andi, tanpa pernah mengenal siapa ayahnya, tumbuh begitu cepat. Pertanyaan mengenai siapa ayah, bapak, papah, bertahun-tahun muncul dari mulut Andi. Setiap kali pertanyaan tersebut keluar, Asti pasti selalu menjawab bahwa Papah adalah sosok yang baik, Papah sekarang sedang bertugas jauh. ”Kapan Papah pulang, Mah?” Asti pun akan selalu menjawab bahwa Papah pasti pulang jika ia memang harus pulang. ”Andi sabar ya, Papah pasti akan datang,” jawabnya sambil menjentik hidung sang anak dengan ujung jari telunjuknya. Sejalan dengan semakin bertambahnya usia, pertanyaan tentang Papah semakin berkurang diganti dengan sikap paham yang ditunjukkan anak seusia Andi terhadap Mamahnya.
”Saatnya hampir tiba, Nak,” Asti memeluk tubuh Andi yang sudah tergolek pulas, di samping tumpukan pakaian yang diletakkan begitu saja di sisi ranjang. Walau sms-nya tidak berbalas, Gunawan berkali-kali mengirim pesan singkat. Salah satu yang paling diingat Asti adalah: ”Aku ingin memperbaiki semua, Sayang. Ingin menata kembali puing-puing kebahagiaan yang kuhancurkan delapan tahun lalu. Ingin memperbaiki semua, membahagiakanmu dan anak kita.”
Mengingat pesan singkat yang satu ini, Asti mengernyitkan dahi. ”…membahagiakanmu dan anak kita.” Tiba-tiba, sesudah delapan tahun hilang tanpa tahu rimbanya, tanpa mengirim kabar, meninggalkan Asti yang terseok-seok menata hidupnya dari kehancuran, Gunawan datang kembali, meski masih lewat sms. Lebih dari itu, sesudah delapan tahun sosok yang dicintainya itu tidak pernah menghubunginya, tiba-tiba ia mengatakan ”ingin membahagiakanmu dan anak kita”.
Deringan hp membuat Asti terlonjak kaget, terbangun dari tidurnya. Andi masih terlelap pulas tidak terganggu sedikitpun. Hp masih berbunyi nyaring. Sesudah beberapa detik kebingungan mencari, ia menemukan benda tersebut terbelit selimut. ”Ya..halo..” Sedetik kemudian ia tidak mampu berkata-kata, diam bagai orang linglung.
”Sayang, kamu masih di situ? ” suara Gunawan masih terdengar berat, tidak berubah sedikitpun. Agak gemetar Asti mengiyakan. ”Kamu betul…Gunawan?” Asti masih setengah tidak percaya.
”Kamu tidak membalas smsku. Tapi aku yakin kamu membacanya.” Gunawan berkata pasti.
”Dari mana kamu mendapatkan nomorku?” Asti tahu suaranya masih terdengar bergetar kaget.
”Apa tidak ada pertanyaan penting lain? Aku tidak akan menjelaskan karena kau pasti membunuh orang itu.” Gunawan tertawa perlahan. Candaannya masih terdengar renyah di kuping Asti, membuat rasa gugupnya sedikit berkurang.
”Aku kangen. Dan aku tahu anak kita sudah besar. Delapan tahun ya…Aku…”
“Aku tidak tahu kita punya anak,” dengan cepat Asti memotong bernada judes.
“Kalau kamu percaya, aku ingin memperbaiki semua. Aku telah begitu bodoh menghilangkan waktu delapan tahun bersama kalian. ”
”Gun, buka matamu. Itu pilihanmu, walau aku tidak pernah tahu kenapa aku yang harus dikorbankan. ”
”Beri aku kesempatan berbicara, Asti,” suara Gunawan terdengar berat memohon.
”Aku lelah dan ingin meneruskan tidur. Selamat malam,” Asti menekan tombol stop di hp. Serasa lelah dia berbaring memeluk bantal, tidak untuk meneruskan tidur, tapi untuk menangis: hal yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilakukannya lagi semenjak Andi bisa berjalan dan memanggilnya Mamah. Perlahan Asti kembali memeluk Andi dan mencium keningnya.
Di luar rintik hujan masih turun, membuat beberapa keping kelopak mawar yang baru merekah gugur. ” Esok masih panjang, dan aku tidak akan lelah lagi,” Asti perlahan kembali terlelap.
Esoknya, saat embun masih membasahi dedaunan, Asti membuka lemari, mengeluarkan kotak kecil segi empat. Perlahan dipandanginya cincin bermata jamrud di jemarinya. Ia tersenyum sembari melepaskan cincin itu, kemudian meletakkannya dalam kotak. ”Delapan tahun aku menanti, delapan tahun aku memakainya sebagai simbol kesetiaanku. Dan sekarang semua telah usai.”
Lamat-lamat, Asti mendengar suara kecil Andi memanggilnya. ”Mah, jadikan hari ini kita jalan-jalan…” Asti mengiyakan, tersadar dari lamunannya. Dan ia tahu, bahwa sejak hari itu dia sudah punya keberanian untuk memilih dan melepaskan dirinya dari sang Zahir.[]
Sumber:
https://sudewi2000.wordpress.com/2008/10/01/cerpen-penantian-telah-usai/
0 komentar: