Cerpen Sandi Firly: Perempuan yang Menjadi Gila karena Sepotong Puisi (Bagian II)

09.31 Zian 0 Comments

Cerpen Sandi Firly: Perempuan yang Menjadi Gila karena Sepotong Puisi (Bagian II)

MEREKA duduk berdua memandang laut, sambil menjilati es krim. Mila bertopi putih lebar, bergaun tanpa lengan yang juga putih—sesekali pita pinggangnya yang lepas diembus angin. Lelaki muda mengenakan celana pendek warna magenta motif bunga dan berkaos oblong bergambar Madonna.
Sesekali mereka melemparkan senyum dengan sisa es krim di bibir.
“Kamu suka puisi?” tanya lelaki muda mengamati buku puisi di samping Mila.
“Ya, aku suka puisi.”
“Kenapa puisi?”
“Kenapa?” lirik Mila, sambil menjilat es krimnya. “Hmmm..., mungkin seperti es krim ini, puisi yang indah memberikan kenikmatan saat membacanya. Mungkin juga seperti senja di hadapan kita yang sebentar lagi redup, lalu hilang. Kamu, suka puisi?”
“Aku? Aku lebih suka kamu daripada puisi.”
Itulah senja pertama dari seratus lebih senja yang kemudian mereka habiskan berdua di pantai itu. Beratus-ratus puisi telah juga mereka baca, yang setiap usai membaca satu puisi Mila mengulum senyum, sedang lelaki muda yang telah menjadi kekasihnya itu bagai menelan matahari yang terbenam-- namun disembunyikannya diam-diam.
Sampai pada puisi yang keseribu, lelaki muda itu tak tahan lagi, direnggutnya buku puisi di tangan Mila dan dilemparkannya jauh-jauh ke laut.
"Cukup! Tak ada lagi puisi! Kamu ternyata lebih mencintai puisi ketimbang aku. Aku benci puisi!"
Mila terkesima, dan senja tiba-tiba dilihatnya bagai terbakar. Ia tak mampu bersuara. Tak disangkanya bila selama ini kekasihnya memendam cemburu dan benci pada puisi.
Demikianlah senja terakhir mereka berdua di tepi pantai. Mila yang masih selalu berdiri di sana, di saat pagi atau senja, memandang laut yang telah menelan buku puisinya dengan linangan airmata.

***

Kamu benar. Perempuan yang kamu kira bersedih itu, ia memang sedang bersedih, dan yang berkilau di pipinya adalah airmatanya yang tertimpa cahaya senja. Tapi kini tak ada lagi. Seperti kamu tahu, ia berlari pergi ketika kamu berikan sepotong puisi di suatu pagi, lalu menghilang saat malam. Dan sejak itu tak kembali pulang.
Sudah pasti kamu tidak tahu bila perempuan hilang itulah yang kini justru mengamatimu dari ketinggian bangunan di atas bukit. Ia bisa melihatmu saat termenung di loteng dengan coretan-coretan puisimu, atau kamu berjalan menyusuri pantai berharap menemukan perempuan yang kamu cari—yang sebaliknya justru lebih mengkhawatirkanmu. Sebab perempuan itu yakin, jiwamu tengah terancam, dan ia kapan saja bisa menjadi saksi kengerian yang akan menimpa dirimu.Seseorang, yang takkan pernah kamu sadari, selalu berkitar di sekitarmu. Sesekali seseorang itu melambaikan tangan ke arah perempuan yang selalu mencemaskanmu di atas bukit sana—seakan memastikan agar selalu mengamati pantai, dan jangan sampai melewatkan bagaimana saat kamu dilenyapkan.
Tak ada yang bisa dilakukan perempuan itu untuk menolongmu, atau memberitahukanmu bila nyawamu di ujung jurang. Dari tempatmu biasa berdiri di pantai, andai kamu memandang ke bangunan di atas bukit sana, kamu tetap takkan bisa melihat dengan jelas sosok yang ada di belakang kaca-kaca besar itu. Kaca yang tak begitu terang, tapi juga tak terlalu gelap. Hanya bayangan samar-samar. Di situlah perempuan itu berada, perempuan yang tahu kamu sedang mencarinya, perempuan yang kamu cintai sejak pertama menatap punggungnya, perempuan yang mencemaskanmu lebih dari kamu mencemaskan dirinya, perempuan yang—andai kamu tahu, juga diam-diam mulai mencintaimu.
Siang malam kamu bergumul dengan kata-kata, namun tak jua kamu temukan rangkaian puisi yang bisa melukiskan perasaan cinta sekaligus kehilangan. Dan itu menjadi siksaan dengan rasa perih tak terperikan. Kamu merasa kepenyairanmu akan berakhir, dan itu bagimu begitu tragis, seolah diceraikan oleh kata-kata. Maka puisi terakhir yang kamu tulis adalah sepasang puisi; sepotong yang hilang, dan sepotong lagi yang kamu berikan kepada perempuanmu kala itu, yang justru telah membuatnya gila.
Kamu juga sudah di antara batas gila. Hari-harimu berlalu dalam kepiluan seorang yang tak tahu harus melakukan apa untuk dirinya, untuk puisi-puisi yang tak bisa diciptakan, untuk perempuan yang tak bisa ditemukan. Berteriak malam-malam di bawah bulan. Mencari jejak di tiap sudut-sudut pantai, dan berharap melihat perempuan itu berdiri di sana menatap laut. Tidak ada. Dan memang tidak akan pernah kamu temukan. Karena perempuan itu justru sedang menatapmu dari atas bukit sana, juga dengan kesedihan dan rasa ketersiksaan yang sama denganmu.
Seperti di pagi berhujan dan dingin ini, perempuan itu menatapmu di balik kaca yang lembab. Ingin sekali ia berteriak memanggilmu yang, andaipun ingatannya kepada nama-nama pulih, berdiri di tengah hujan hanya bertudung topi jaket di bawah sana. Tapi itu sia-sia. Hanya kesenduan membayang di matanya, dan tak ingin lepas dari kamu yang membiarkan diri dipeluk sepi pantai pagi ini.
Sampai kemudian, lamat-lamat didengarnya suara anak kucing dari arah pintu.
Mungil, bulu-bulunya yang berwarna abu-abu tampak basah, mata dan wajahnya menggemaskan namun seakan bersedih. Kucing itu, entah dari mana datangnya namun pasti baru saja melintasi hujan di luar sana, duduk di depan pintu ruangan yang mengurung Mila.
“Hai...,” sapa Mila hati-hati, khawatir membuat kucing mungil yang duduk persis di depan jeruji besi itu pergi. Duduk dan merapatkan tubuh ke jeruji, Mila dengan gerakan pelan mengulurkan tangan mencoba menjangkau. Walau kucing itu tak bergerak dari tempatnya, namun tangan Mila ternyata tak mampu mencapai.
Mila teringat dengan sisa makanan di piring—setiap pagi dan menjelang malam, lelaki muda yang menyekapnya memang selalu mengantarkan makanan. Setelah mengeong sekali, kucing itu berjalan pelan mendekati piring dengan sisa tulang ikan yang baru diletakkan Mila.
“Oh, manis sekali...,” kecup Mila setelah kucing itu berhasil dipeganganya. Cepat diambilnya tisu untuk mengeringkan bulu-bulunya. “Kamu kehujanan, ya...” Mila tersenyum senang mendapatkan teman kecil. Bulu-bulu tebalnya yang telah kering semakin membuat Mila gemas.
Sambil memeluk erat kucing mungil di dadanya, Mila kembali mendekati jendela kaca, dan masih mendapati kamu berdiri di sana, berhujan di tepi pantai. Tiba-tiba airmatanya jatuh. Ia bisa merasakan betapa sepinya kamu, dan merasa beruntung karena baru saja mendapatkan teman kecil yang setidaknya dapat mengurangi sedikit rasa sepinya sendiri.
"Milka. Ya, namamu Milka." Mila menatap ke mata kucing mungil yang dihadapakannya ke wajahnya. Diberinya nama Milka, karena kucing itu betina. Andai jantan, Mila telah memilih nama; Malika.
Dan nama Malika itu akhirnya disematkannya kepadamu, lelaki yang dikenalnya sebagai penyair. Mila ragu, apakah ia memang benar-benar lupa namamu, ataukah kamu yang memang belum sempat mengenalkan nama.
Kini, setidaknya ia sudah mengenal tiga nama. Ia sengaja memilih nama untuk kucing dan untuk kamu agak mirip dengan namanya sendiri, hanya agar ia mudah mengingatnya. Sekarang, ia tinggal memikirkan nama apa yang tepat untuk lelaki muda yang menyekapnya.
Mila serius memikirkan nama yang akan diberikannya kepada lelaki muda berwajah seperti perempuan namun berhati busuk itu. Nama menurutnya semacam tanda, agar sesuatu tidak tertukar, dan tahu apa yang dituju. Dan ia ingin memberi tanda, sebuah nama, kepada lelaki muda yang telah mengurungnya dengan alasan yang belum diketahuinya pasti—namun ia telah menduga, semuanya bermuara kepada kamu, Malika, penyair yang pernah memberinya puisi. Sebuah nama yang terkutuk, tetapi tidak menyulitkan dirinya untuk mengingat.
Ia tidak tahu penyakit atau trauma macam apa yang menimpa dirinya sehingga bisa melupakan semua nama di kepalanya. Karenanya, agar ia tidak sampai melupakan lagi nama-nama yang telah diketahuinya, termasuk namanya sendiri, ia telah mengukir dinding tembok putih di samping ranjang kayunya menggunakan garpu hingga membentuk tulisan; MILA, MILKA, MALIKA.
Dan ia ingin menambahkan satu nama lagi di situ. Nama yang huruf-hurufnya tak jauh dari ketiga nama itu, nama yang membayangkan kepada sesuatu kehinaan, nama yang hanya tepat untuk seorang berlaku sejahat iblis. Nama itu...
Tepat ketika sebuah nama nyaris melintas di benaknya, terdengar ketukan di pintu.
"Mila...." Suara itu bernada lembut namun selalu mengandung ancaman, bagai awan hitam yang menyembunyikan kilat dan gemuruh guntur.
"Sarapan kita datang, Milka," bisik Mila kepada kucingnya.
Seperti biasa, lelaki muda yang namanya belum ditemukan itu tampil bersih dan rapi. Disorongnya sepiring makanan lewat bawah jeruji, dan segelas jeruk hangat. Makanan yang diberikan memang selalu istimewa, sepertinya di rumah itu ada seorang koki.
"Oh..., sekarang kamu punya teman kecil ya...," ucap lelaki muda, dingin.
Mila mendekap kucingnya, tak ingin lepas dan lari ke pintu. Ia tak berani membayangkan andai Milka jatuh ke tangan lelaki muda bermuka manis namun dalam hatinya menyelipkan sebilah belati.
“Tak usah takut, Mila,” ucapnya coba meyakinkan bahwa dia tidak berbahaya untuk seekor kucing mungil. “Kamu boleh memeliharanya. Ya, kamu memang perlu teman agar tidak selalu merasa kesepian.” Seperti biasa, gerakannya anggun saat duduk di kursi sofa berkulit macan tutul.
Mila tetap tidak percaya begitu saja. Ia selalu waspada pada setiap ucapan dan tindakan lelaki muda itu. Sejauh ini, Mila diperlakukan dengan baik. Ia mendapat jatah makan di saat pagi dan menjelang malam. Juga disiapkan pakaian, peralatan mandi, serta make up. Percuma saja menolak pemberian itu, ia tetap harus makan untuk bertahan, dan tentu juga untuk menjaga kesehatan serta kecantikannya. Andaipun pada akhirnya harus mati, setidaknya ia tidak ingin mati dengan keadaan yang lebih buruk. Diam-diam, ia juga memikirkan bagaimana caranya bisa keluar dari kurungan ini. Atau, perlawanan seperti apa yang bisa ia siapkan andai nanti harus berkelahi.
“Sudah sepekan, dan sudah kamu lihat juga bagaimana lelaki penyairmu di bawah sana menjalani hari-harinya,” ucap lelaki muda, menyilangkan kaki, dan mengelus dagunya yang mulus. “Kamu pasti tahu, penyair itu begitu mencintaimu. Waktu-waktunya hanya dihabiskan untuk berusaha menulis puisi, yang bisa dipastikan hanya untukmu. Tapi kamu pasti kecewa, karena ia seperti telah kehabisan kata-kata puitisnya. Tak satu pun puisinya yang menjadi. Aku bisa pastikan itu. Hidupnya juga sudah mulai tak karuan. Emm..., kamu pasti melihat, bagaimana penyair itu, kalau tidak mengurung diri di kamar lotengnya, dia hanya berjalan menyusuri sepanjang tepian pantai. Tidak pagi, tidak senja. Dia masih berharap menemukanmu rupanya.”
Mila menatap penuh kebencian, dengan kucing tetap di pelukan.
“Kamu tidak usah menatapku begitu. Dan tidak perlu terlalu khawatir juga. Aku pastikan, selama hidup penyair itu menderita karena terus memikirkanmu, maka nyawanya tetap aman. Tapi, bila dia mulai menjalani hidupnya dengan normal dan tampak bahagia, di saat itulah aku akan menghabisinya.” Sorot mata itu seperti ujung pedang, mengkilap dan tajam.
Pertemuan itu selalu berlangsung singkat, tak lebih dari dua puluh menit. Seolah hanya memastikan Mila tidak bunuh diri dengan cara yang tak disangka-sangka.
Lelaki muda itu baru datang lagi sore hari mengantarkan makanan.
Mila semakin mengerti, bahwa ia dibiarkan hidup-- setidaknya untuk sementara, agar menyaksikan lelaki penyair menderita, sampai nanti mati perlahan-lahan dimakan penderitaannya sendiri. Atau dibunuh lelaki muda bila sang penyair hidup normal seperti semula.
Tak ada pilihan yang lebih baik. Bagaimanapun, Mila tetap akan menyaksikan suatu kesedihan.
Dihadapkan pada kenyataan seperti itu, Mila akhirnya menemukan sebuah nama yang tepat bagi lelaki muda.
Tidak persis sebuah nama sebenarnya.
“Manusia seperti dia tidak pantas menyandang nama apa pun. Nama adalah doa, harapan, cita-cita, panggilan kesayangan, sedang dia tidak selayaknya menyandang semua itu. Dia hanya patut dipanggil sesuai dengan sikap yang telah ditunjukkannya, Milka,” gumam Mila kepada kucing dalam pelukannya. “Dan sebutan yang pantas untuk dirinya adalah Musuh. Jika namanya dicetak, maka semua hurufnya harus kapital, M-U-S-U-H. Mulai sekarang, itulah cara kita menyebut atau memanggil dirinya, Milka.”
“Meong....” Milka seakan  menyetujui.
“MUSUH, dialah musuh yang nyata bagi kita sekarang.” Mila mengelus kepala kucing yang tampak nyaman di dadanya. Matanya menatap ke jeruji pintu. Ia harus memikirkan bagaimana caranya bisa keluar dari ruangan ini. Jangan sampai semuanya terlambat. Bukan dirinya yang benar-benar terancam, tetapi lelaki penyair di pantai sana.
Mila kembali ke jendela kaca. Lelaki penyair itu masih berdiri menghadap laut, tampak begitu sepi, dan rambut ikalnya semakin acak-acakan.  Meski Mila merasa kasihan, namun dengan kondisi seperti itu pula lelaki penyair akan tetap dibiarkan hidup. “Malika, hanya kesedihanlah yang akan menyalamatkanmu untuk sementara ini. MUSUH tidak akan membiarkanmu hidup normal dan bahagia. Bersabarlah,” batin Mila.
Tetapi, Mila mendadak cemas.  Dilihatnya seorang perempuan berambut pendek, berkulit putih, berjalan mendekati penyair Malika. Meski wajah perempuan itu tidak terlihat jelas, namun Mila bisa memastikan berparas cantik. Dan ini berarti tanda bahaya.
Perempuan itu berdiri begitu saja di samping Malika. Juga menatap ke depan, ke matahari terbenam. Malika tetap seperti posisi semula, tangan bersedekap di dada, angin mempermainkan rambut ikalnya. Beberapa waktu, mereka hanya seperti itu. Berdiri kaku. Kulit lengan perempuan berkilau ditimpa cahaya matahari yang menipis tajam. Dan, di tangannya tergenggam sebuah buku.
Mila memandang penuh kecemasan. Ia menduga-duga apa yang akan terjadi antara perempuan berambut sebatas bahu dan penyair Malika. Sesekali dilihatnya perempuan itu menengok ke wajah Malika yang tak berubah sedikit pun. Mila merasa waktu berjalan sangat lambat, detik-detik begitu menegangkan. Ketika perempuan itu menoleh ke wajah Malika, Mila bisa melihat agak lebih jelas paras cantiknya. Ia juga bertanya-tanya, buku apakah yang dipegang perempuan itu? Bila itu sebuah buku puisi, maka alamat berarti petaka. Penyair Malika bisa saja begitu mudah jatuh cinta dengan perempuan yang menyukai puisi.
Masih berdiri di samping Malika, perempuan itu membuka buku di tangannya. Mila bisa memastikan bila perempuan itu sedang membaca buku, apakah ia sedang membacakan sebuah puisi? Di saat itulah, penyair Malika memalingkan wajahnya. Dan seketika itu pula napas Mila seakan berhenti.
Sekali lagi Mila harus menahan diri beranjak dari dinding kaca. Hujan mengaburkan pandangannya. Namun ia bisa melihat perempuan itu setengah berlari sambil mendekap buku di dada. Ia juga yakin Malika memperhatikan. Apakah Malika akan membukakan pintu dan menawarkan sebuah handuk untuk mengeringkan rambut pendek perempuan itu?
Bila Malika penyuka film India, pikir Mila, maka ia tahu pasti apa yang akan terjadi. Hujan dalam filosofi film Hindi, adalah penawar semua bentuk perasaan, hingga kesedihan dan kebahagiaan tidak ada bedanya. Semuanya menjadi larut dalam aksi basah-basahan dan, tentu saja, lagu. Maka, dalam bayangan Mila, setelah perempuan berambut pendek itu menggigil kedinginan, Malika akan turun dari lotengnya dan membukakan pintu. Lalu mereka akan saling tatap— pada momen yang banyak terdapat dalam film Bollywood ini, setiap penonton akan menjadi grogi sendiri, serasa dirinyalah yang sedang ditatap aktor atau aktris di film itu—dalam waktu yang begitu lama, seakan dunia berhenti berputar. Saat itulah, semua perasaan menjadi runtuh dan iba.
Dan Mila melihat Malika beranjak dari hadapan mejanya. Membalikkan badan, dan menuju sisi yang diyakini Mila tempat tangga loteng. Apakah Malika turun? Setelah ditinggalkan Malika, lonteng itu kembali sepi dan kosong. Tapi, pintu di belakang perempuan yang kehujanan juga tidak ada tanda-tanda akan terbuka.
Tak pernah Mila merasakan degup jantungnya sekencang ini. Sesuatu yang ditakutkannya terjadi juga; setelah memalingkan wajah menatap perempuan berambut pendek di sampingnya, mata penyair Malika tertambat di sana. Tatapnya tak berubah, terus memperhatikan perempuan itu membaca sebuah buku yang diduga Mila berisi kumpulan puisi.
Mila tahu, tak ada yang lebih memikat penyair Malika selain sebuah puisi. Begitu pula terhadap seorang perempuan, ia akan memandangnya seperti sebuah puisi. Dan kini, seorang perempuan cantik berambut pendek membacakan puisi di sampingnya, di tepi pantai, di saat matahari hampir tenggelam, dan langit perlahan meredup. Adakah yang bisa menolak keindahan seperti itu?
Mila hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya kemudian. Penyair Malika meninggalkan perempuan di sampingnya begitu saja. Gerakannya pelan. Tinggal perempuan berambut pendek sendirian menatap punggung Malika.
"Syukurlah...," bisik Mila. Dielusnya penuh kasih sayang kucing mungil di gendongannya, membayangkan mengelus rambut sang penyair.
Mila memperhatikan Milka yang kembali ke lotengnya. Dilihatnya penyair itu termenung di depan meja, memandang kosong ke luar jendela.
Tiba-tiba langit berubah. Angin berembus kencang, dan awan-awan menggumpal hitam. Sebentar saja, hujan turun, dan perempuan itu berlari ke rumah Malika.
Sekali lagi Mila harus menahan diri beranjak dari dinding kaca. Hujan mengaburkan pandangannya. Namun ia bisa melihat perempuan itu setengah berlari sambil mendekap buku di dada. Ia juga yakin Malika memperhatikan. Apakah Malika akan membukakan pintu dan menawarkan sebuah handuk untuk mengeringkan rambut pendek perempuan itu?
Bila Malika penyuka film India, pikir Mila, maka ia tahu pasti apa yang akan terjadi. Hujan dalam filosofi film Hindi, adalah penawar semua bentuk perasaan, hingga kesedihan dan kebahagiaan tidak ada bedanya. Semuanya menjadi larut dalam aksi basah-basahan dan, tentu saja, lagu. Maka, dalam bayangan Mila, setelah perempuan berambut pendek itu menggigil kedinginan, Malika akan turun dari lotengnya dan membukakan pintu. Lalu mereka akan saling tatap— pada momen yang banyak terdapat dalam film Bollywood ini, setiap penonton akan menjadi grogi sendiri, serasa dirinyalah yang sedang ditatap aktor atau aktris di film itu—dalam waktu yang begitu lama, seakan dunia berhenti berputar. Saat itulah, semua perasaan menjadi runtuh dan iba.
Mila melihat Malika beranjak dari hadapan mejanya. Membalikkan badan, dan menuju sisi yang diyakini Mila tempat tangga loteng. Apakah Malika turun? Setelah ditinggalkan Malika, lonteng itu kembali sepi dan kosong. Tapi, pintu di belakang perempuan yang kehujanan juga tidak ada tanda-tanda akan terbuka.
Perempuan yang kedinginan masih berdiri di depan pintu, menjauhkan tubuhnya dari tempias hujan. Siapakah perempuan itu, dan mengapa dia ada di sana? Mila mulai menerka-nerka. Baru kali ini ia melihat perempuan berkaos oblong dan bercelana jeans robek-robek itu berada di pantai. Dan mengapa harus mendekati Malika? Mungkinkah dia penggemar Malika? Atau hanya seorang pemuja puisi, dan kebetulan mengenal Malika sebagai penyair?
Loteng tetap kosong. Pintu di bawahnya juga sepi, dengan perempuan yang mulai gelisah, atau kedinginan? Hujan belum ada tanda-tanda akan segera berhenti. Mila masih mengawasi.
Akhirnya ia meyakini, pintu tidak akan terbuka. Mungkinkah Malika sengaja tak menghiraukan? Tetapi perempuan itu, entah lelaki jenis apa yang tak sedikit pun menaruh hati. Walau dari jarak yang cukup jauh, Mila bisa memastikan terlalu menarik untuk diabaikan. Lalu, mengapa Malika tak juga membukakan pintu?
Setelah tak kurang dari lima belas menit, seseorang berpayung hitam datang menghampiri perempuan yang sepertinya memang sudah mengigil, kedua tangannya memeluk tubuh. Mila penasaran, karena tak bisa melihat bagian atas tubuh sosok yang tiba-tiba muncul itu. Bila memperhatikan bagian bawahnya – bercelana parasut dan bersepatu bot, jelas pembawa payung itu seorang lelaki. Tanpa berlama-lama, si perempuan langsung menghampiri, dan mereka pun meninggalkan rumah Malika. Sesungguhnya, siapakah mereka? []

(BERSAMBUNG)

Sumber:
https://web.facebook.com/notes/sandi-firly/perempuan-yang-menjadi-gila-karena-sepotong-puisi/1461604947203692/

0 komentar: