Cerpen Sandi Firly: Goroba dan Anjing Putih Bernama Asu (Bagian I)
Ada satu negeri, seluruh penduduknya mati karena pandemi. Hanya satu orang yang hidup, dan orang itu pun berucap, "Syukurlah masih ada aku yang hidup."
Lelaki yang satu-satunya hidup di negeri yang diserang wabah itu berdiri di tengah jalan kota yang lengang. Mayat-mayat bergelimpangan. Sunyi, Hanya suara angin yang membawa bau busuk mayat. Satu hal yang ia herankan, mengapa hanya dirinya yang tak mati. Ia tak tahu apakah itu suatu keberuntungan, ataukah justru kemalangan -- lebih malang dari kematian itu sendiri. Ia dulu adalah seorang yang cukup berkuasa, orang yang paling kuat di negerinya. Ia juga orang yang paling tak takut terhadap wabah. Dan terbukti, wabah tak mampu menaklukkannya. Ia tetap hidup. Tegak berdiri. Sendiri.
Samar, dari ujung jalan sana, ia melihat seekor anjing kurus berlari pelan, seperti terpincang, menuju ke arahnya. Ia pikir, itu pasti satu-satunya anjing, satu-satunya binatang yang hidup, seperti juga dirinya satu-satunya manusia yang hidup.
Anjing itu berwarna putih. Hanya ekornya yang hitam. Semakin dekat, kian jelas betapa kurusnya anjing itu. Begitu banyak yang bisa dimakan, termasuk mayat manusia, mengapa dia bisa begitu kurus? Pikir lelaki separuh baya.
Sejarak tombak, anjing putih berhenti. Duduk tepat di hadapan lelaki. Mata mereka beradu dalam tatapan yang sedih. Lama mereka begitu. Ada banyak tanya berkelebat dalam benak lelaki, yang tak mungkin ia tanyakan kepada anjing putih. Sementara sang anjing tetap dalam posisi duduk seakan menunggu perintah tuannya.
Andai mungkin, ingin sekali lelaki itu bertanya bagaimana anjing putih bisa tetap hidup, tidak mati, seperti juga dirinya.
Setelah sekali lagi menatap sekelilingnya yang hampa, dan bola matahari menjelang senja yang tersembunyi di antara dua gedung tinggi jauh di depan sana, lelaki itu menghempaskan napas dari hidungnya dengan getir. Lalu ia berpaling dari anjing putih.
“Goroba..!”
Suara itu bagai sengatan di telinganya. Cepat ia berpaling. Hanya ada anjing putih, yang masih duduk seperti semula. Ia berputar-putar mengedarkan pandangan, barangkali memang ada seseorang tak jauh dari situ yang tadi dengan jelas memanggil namanya.
“Hoi… Hoi…” teriaknya ke segala penjuru.
Tidak ada sahutan.
Sama seperti tadi, dan beberapa hari sebelumnya, hanya bangunan-bangunan mati, dan tubuh-tubuh kaku bergelimpangan.
Seketika ia merasa gentar. Perlahan ia merunduk, menatap mata anjing putih dengan pertanyaan dalam hati, “Kau kah yang memanggil namaku?”
“Goroba..”
Suara itu pelan dan lirih saja, namun bagai hantaman mobil yang melaju kencang secara tiba-tiba. Lelaki terjengkang ke belakang. Jantungnya berdegup keras hingga seakan menjebol dadanya.
Ia nyaris tak mempercayai pendengarannya andai tak melihat sendiri mulut anjing itu menyebut namanya. Goroba. Itu memang namanya. Dan pasti ia lah yang disebut anjing itu, karena tak ada sesiapa pun lagi.
“Tenang, Goroba…” Anjing putih bersuara lagi.
Goroba yang hendak bangkit, lari, terhenyak. Seluruh persendian tulang-tulang tubuhnya seketika lemas. Mukanya pucat, antara takut dan perasaan ngeri.
“Kakaau.. Kau.. Aan..njing..,” ucapnya terbata-bata.
Anjing putih berjalan tenang mendekat, sangat hati-hati, agar tak semakin membuat Goroba ketakutan.
“Aku memang bisa bicara seperti manusia,” anjing putih berkata di samping Goroba yang masih tak bisa bangkit.
“Baba..gaimana kau bisa bi..bicara..?”
Anjing putih berjalan berkitar-kitar di tempat.
“Aku juga tidak tahu,” sahut anjing putih. Matanya sayu, menyiratkan kejujuran.
Mustahil. Mustahil…, batin Goroba.
“Tenanglah, Goroba …” Anjing putih kembali berkata pelan. “Bila Anda mau berpikir, mestinya Anda tidak kaget dan heran aku bisa bicara.”
Sekali lagi Goroba berusaha bangkit, tetap tak sanggup.
“Sudah, Anda duduk saja, Goroba,” ucap anjing putih dengan nada bijaksana. “Mari kita bicara.”
Sebagai lelaki yang dikenal kuat dan berkuasa oleh seluruh penduduk negeri sebelum semuanya mati, baru kali ini Goroba merasa tak berdaya. Dan lebih memalukan, ia tunduk di hadapan seekor anjing putih kerempeng yang kini mengajaknya bicara.
“Sekali lagi, Anda tidak perlu heran,” kata anjing putih setelah Goroba terlihat lebih tenang. “Sebab, sudah tidak ada lagi yang lebih mengherankan mengapa hanya Anda dan saya yang selamat dari wabah ini. Tidakkah itu mestinya mustahil? Jadi, mengapa mustahil bila aku bisa bicara seperti manusia?”
Goroba tercenung. Ia membenarkan ucapan anjing putih. Tetapi ia masih tidak percaya ada anjing bisa bicara layaknya manusia. Bahkan juga berpikir seperti manusia.
“Te..tetapi.., bagaimana kau tahu namaku?” tanya Goroba.
Anjing putih tertawa, yang justru membuat Goroba meringis ngeri. Melihat wajah Goroba ketakutan, anjing putih cepat menghentikan tawanya.
“Siapa yang tidak kenal Anda di negeri ini, Goroba? Seluruh penduduk, sebelum mereka semua mati, mengenal Anda, termasuk juga para binatang seperti aku. Nama Anda begitu dikenal sebagai seorang yang memiliki kekuasaan besar. Kuat. Sangat kuat.”
Goroba tidak menyangsikan ucapan anjing putih. “Lalu, kaa..kau, siapa?” Ia yakin, anjing putih di depannya ini bukan anjing biasa. Pasti juga seekor anjing istimewa, seperti dirinya.
“Aku anjing.”
“Ya, tentu saja kau anjing,” sahut Goroba cepat, sedikit kesal namun juga menahan tawa. Benar- benar absurd. Keengeriannya melihat anjing bisa bicara mulai berubah menjadi sebuah kelucuan. “Tapi kau punya nama, kan? Siapa tuanmu?”
Anjing putih tertawa lagi. Sadar akan membuat Goroba jijik, anjing putih cepat menelan tawanya hingga mengeluarkan dengkingan seperti seseorang tertelan sebiji kacang.
“Aku anjing kampung. Anjing liar. Yang mencari makan masuk kampung keluar kampung, dari sampah-sampah dan gorong-gorong kota. Aku tak bertuan. Tak bernama.”
Goroba yang sudah pulih dari keterkejutan, dan mulai menerima kenyataan ada seekor anjing bisa bicara, menghirup napas kesadaran di bawah langit senja yang sebentar lagi lindap.
“Aku tidak mengerti. Ada ratusan atau mungkin ribuan anjing kampung di kota ini, bahkan jutaan anjing di negeri ini, tetapi mengapa ada seekor yang selamat. Dan itu adalah kau,” Goroba memalingkan wajah, melirik anjing putih yang sedang menatap bola matahari semakin liring di balik gedung-gedung. Mereka kini duduk bersisian—yang bila dilihat dari jarak agak jauh, bagai seorang tuan dan anjingnya yang sedang menatap senja penghabisan. Bayangan keduanya memanjang di belakang.
“Aku juga tidak mengerti. Ada puluhan juta manusia di kota ini, bahkan ratusan juta di negeri ini, tetapi mengapa hanya ada seorang yang selamat. Dan itu adalah Anda, Tuan Goroba,” balas anjing putih. Suaranya pelan, nyaris gumamam, namun cukup jelas terdengar di telinga Goroba.
Setelah jeda sebentar, Goroba tiba-tiba tertawa. Ia tak tampu menahan rasa geli mendengar anjing putih menirukan ucapannya. Anjing putih melirik, kemudian juga ikut tertawa. Kini keduanya tertawa bersama. Tawa yang cukup panjang. Tawa yang kian ke ujung kian terdengar seperti ringisan, seakan ada rasa sakit dan perih di dalamnya, seiring hilangnya bola matahari dari tatatapan mereka di ujung sana. Dan udara perlahan berubah menjadi kelabu.
“Bagaimana kita menjalani hidup berdua sekarang, Goroba?”
Hening.
Matahari sudah menghilang. Menyisakan semburat cahayanya yang selalu begitu cepat lesap. Tidak sepenuhnya gelap. Gedung-gedung dan sejumlah bangunan masih terang oleh lampu. Pusat aliran listrik memang tetap berfungsi—entah sampai berapa lama, hingga bahan bakarnya habis. Lampu-lampu jalanan bertenaga surya juga menyala, salah satunya tepat di samping Goroba dan anjing putih yang duduk di jalanan. Selebihnya senyap. Hanya udara busuk mayat terkadang begitu menyengat kala angin bersiut.
“Anjing, aku…” Goroba terhenti, “Sebentar, rasanya kok aneh menyebut kau anjing, walau kau memang anjing.” Ia mendelik anjing putih dengan dahi berkerut.
“Lalu…,” balas anjing putih, menoleh menangkap tatapan Goroba.
“Kau harus punya nama,” saran Goroba. “Agar aku tidak menyebut kau anjing.”
“Anda punya saran, Tuan Goroba?” sahut anjing putih kalem, seakan tak peduli dengan sebuah nama. “Aku tahu, manusia suka memberi nama kepada hewan-hewan peliharaannya, termasuk anjing. Tapi ingat, aku bukan anjing peliharaanmu. Kita bahkan nyaris setara saat ini, hanya wujud kita berbeda. Anda manusia, aku anjing. Walaupun aku tahu, ada juga manusia bersifat seperti anjing.”
“Heh..!” Dengus Goroba kaget. “Kau tidak sedang menyindirku, kan?” katanya tajam. Bagaimanapun Goroba masih tidak bisa menghilangkan ego berkuasanya selama ini terhadap penduduk negeri yang kini semuanya mati. Ia memang mudah sekali tersinggung. Apalagi ini seekor anjing, yang entah bagaimana bisa bicara, mulai berani menyerempet dengan sindirian. Bukankah saat ini yang disebut manusia hanya dirinya? Jadi, apa maksud si anjing ini?
“Jangan tersinggung, Tuan Goroba,” kata anjing putih tetap tenang, walau menyadari bila Goroba tersengat dengan ucapannya tadi. “Lebih-lebih bila Anda merasa tidak memiliki sifat anjing.”
“Tapi kau tidak pantas berucap begitu,” cetus Goroba.
Anjing putih tertawa. Seperti sebelumnya, cepat dihentikannya, dan sekali lagi mengeluarkan suara dengkingan bagai seseorang tertelan sebiji kacang. “Justru sebaliknya, Tuan Goroba…” kata anjing putih, setelah menelan air liur yang hampir menetes.
“Maksud kau..?” Sorot mata Goroba mengancam.
“Ya, karena aku anjing, justru aku sangat pantas mengucapkan itu, atau apapun. Bukankah selama ini kalian manusia seringkali menyebut seseorang yang berkata busuk atau bersifat buruk dengan sebutan anjing? Bahkan terkadang orang yang berkata baik pun bisa kalian sebut anjing. Bukan begitu, Tuan Goroba?”
Goroba mengendurkan tusukan matanya. Ucapan anjing putih bagai sebuah tamparan keras yang tak mampu ia elakkan. Sempat terlintas melakukan balasan. Tapi apa? “Dasar, anjing! Apakah kau tak pernah diajari nenekmu sopan santun?!” Apakah ucapan seperti itu? Tidakkah itu justru malah terdengar seperti pujian, karena seakan menyamakannya dengan umpatan kepada manusia?
Akhirnya hanya terdengar dengusan kesal dari lubang hidung Goroba yang besar.
“Baiklah, kita kembali ke topik semula,” ucap anjing putih santai, sama sekali tak merasa bersalah karena telah membuat Goroba gusar. “Jadi, apa nama yang Anda sarankan, Tuan Goroba?”
Andai bukan seekor anjing, melainkan manusia, niscaya sudah Goroba banting. Ia masih punya harga diri untuk tidak terpancing emosi oleh seekor anjing, yang jelas derajatnya jauh lebih rendah dari dirinya. Dengan manusia, penduduk negeri saat masih hidup, pun ia telah terbiasa menempatkan dirinya sebagai orang yang terhormat dan bermartabat. Sekarang, bila ia sampai menuruti nafsu amarahnya oleh seekor anjing putih, yang kebetulan bisa bicara, ia merasa tak ubahnya sama seperti anjing itu.
Goroba memejamkan mata. Sejauh ini, mendapati kenyataan sebagai manusia satu-satunya yang hidup, ia masih bisa menerima sebagai sebuah keberuntungan. Tetapi kini, dengan kehadiran seekor anjing putih yang juga diyakininya sebagai satu-satunya binatang yang hidup, lebih-lebih bisa bicara layaknya manusia, keberuntungan itu seakan telah berubah menjadi kemalangan. Bila kemalangan ini ingin ia ubah lagi menjadi setidaknya sedikit hiburan, tiada pilihan lain selain menganggap: memiliki seorang teman yang sekalipun tidak menyenangkan, itu lebih baik ketimbang hidup menyedihkan sendirian.
“Bagaimana, Tuan Goroba?”
Pertanyaan dengan nada menyebalkan itu lagi. Darah tingginya mau kumat, namun cepat-cepat ia menenangkan diri. “Apakah kau tidak bisa memilih nama untuk dirimu sendiri?” cetus Goroba menahan geram.
“Hmm.. sebenarnya bisa saja,” sahut anjing putih,. “Aku tahu ada anjing diberi nama Blacky karena kulitnya hitam. Karena kulitku putih, apakah aku mesti diberi nama Whitey? Hmm.., aku tidak pernah mendengar ada anjing diberi nama seperti itu. Apalagi kedengarannya seperti nama perempuan; Weti, Wati. Andaipun diberi nama Putih atau Si Putih, itu juga tetap terdengar seperti perempuan. Aku ingin nama yang terdengar laki, sesuai jenis kelaminku. Kelamin. Apakah aku terlalu kasar menyebut kata itu, Tuan Goroba?”
“Asu!” pekik Goroba.
Ia tak tahan lagi mendengar ocehan anjing putih yang berbicara tenang tanpa beban, yang entah kenapa seakan itu justru mengolok-olok dirinya.
“Anda menghardik saya, Tuan Goroba?” tanya anjing putih hati-hati.
“Tidak,” sahut Goroba. Ia benci dengan pembicaraan menjengkelkan itu. Lantas berdiri. “Itu nama kamu, Asu! ” ucap Goroba lagi sambil berjalan pelan.
“Asu itu kan artinya anjing, ya Tuan Goroba?” kata anjing putih yang juga turut bangkit dan berjalan di samping Goroba.
“Iya, memang. Kau keberatan?” sahut Goroba acuh tak acuh. Kali ini ia merasa sedikit menang.
“Tapi, mengapa nama itu, Tuan Goroba? Bisakah ganti dengan nama lain saja?” suara anjing putih setengah memohon.
“Tidak,” cetus Goroba benar-benar telah mendapatkan kemenangannya. “Nama kau tetap Asu. Dengan nama itu, aku akan selalu ingat bahwa kau hanyalah seekor anjing, bukan seekor manusia, walau bisa bicara.”
“Hmm.. baiklah kalau begitu,” suara anjing putih terdengar pasrah. Dengan agak terpincang ia mengikuti langkah Goroba.
Malam telah benar-benar jatuh.
BERSAMBUNG
Sumber:
Status Facebook Sandi Firly
https://web.facebook.com/sandi.firly
0 komentar: