Cerpen Sandi Firly: Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi

09.14 Zian 0 Comments

sandi firly Suatu Malam Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi


Ketika Chairil tiba di bar itu menjelang tengah malam, Sapardi duduk di kursi dengan sebuah buku puisi tipis di tangan. Di depannya dua kursi kosong, dan sebuah meja kecil dengan sebotol minuman mineral. Tardji sesekali memainkan harmonika di meja bar meningkahi lagu dari kotak musik tua.
Setelah mengambil sebotol minuman di meja bar, Chairil menuju Sapardi sambil menyapa Sutardi, “Tardji, mainkanlah nada romantis.”
“Hai, Chairil…,” seru Tardji menyambut kedatangan penyair muda flamboyan.

Chairil duduk di kursi depan Sapardi, dan berucap, “Mencintai tidak pernah sesederhana seperti puisimu, Sapardi.” Lantas menyalakan sebatang rokok.
Sapardi mengalihkan pandangan dari buku puisi di tangannya. Mengetahui yang duduk di depannya Chairil, ia tersenyum samar.
“Cinta itu ganas,” ucap Chairil lagi.
“Cinta adalah soal pengalaman,” sahut Sapardi.
Setelah mengembuskan asap rokok, Chairil menghela napas panjang. Kepalanya ditengadahkan, sementara kedua tangannya membentang, seakan ia ingin menghirup seluruh udara di ruangan itu. Sembari itu ia menikmati suara harmonika Tardji yang menyayat, seolah ditiup dari hati yang luka.
“Tardji! Ke sinilah, kau!” panggil Chairil.
Tardji mendekat sambil tetap memainkan harmonika. Ia duduk di antara Chairil dan Sapardi. “Mencintai adalah kesengsaraan yang nikmat,” katanya. Rupanya Tardji mencuri dengar perbincangan kedua penyair di meja itu.
“Ah, kau Tardji! Cinta kau itu cinta kaum sufi. Yang kami bicarakan ini adalah cinta seorang lelaki kepada perempuan-perempuannya,” sahut Chairil.
Tardji tertawa. Sapardi, seperti semula, tersenyum samar, khas seorang tua yang bijak.
“Cinta mungkin tak hanya soal pengalaman, tapi juga pemahaman, dan bagaimana merasakan. Bagimu, Chairil, cinta adalah amuk perasaan bagai ombak dan angin ganas yang mencabik-cabik layar perahumu, dan seorang perempuan yang menunggu di pelabuhan kecil yang sepi. Sedangkan bagi Sapardi, cinta bagai awan hujan tanpa guruh guntur dan petir, yang lantas tercurah membasahi tanah dan kemudian menjadi tiada,” cerocos Tardji.
Seketika Chairil tertawa keras, cukup lama, hingga matanya berair, dan di ujung tawanya berubah menjadi ringisan. “Oh…, cinta. Jika kutahu mencintai sesakit ini, takkan aku ingin hidup seribu tahu lagi,” suara Chairil terdengar begitu lirih.
“Mencintai janganlah seperti menceburkan diri ke tengah kobaran api, kau pasti akan terbakar. Mencintailah dengan sederhana, sebab cinta adalah sesuatu yang sederhana, seperti awan, seperti hujan, yang memberikan keteduhan dan dingin,” timpal Sapardi.
“Tapi..,” sela Tardji, “cinta adalah mantra. Ketika kau tersihir olehnya, kau akan merelakan hidupmu serupa dicakar-cakar kucing.” Lantas memainkan harmonika dengan nada menyayat-nyayat lagi.
“Dan lukamu karena cinta menjadi abadi,” cetus Sapardi.
“Kalian di zaman ini, mana pernah tahu bagaimana aku terluntang-lantung oleh cinta. Aku bagai pengembara yang kerap dicabik-cabik sepi, dikutuki nasib, dan pada akhirnya menggelepar dengan luka dan bisa yang pada akhirnya tak mampu lagi kubawa berlari,” suara Chairil terdengar sendu.
Sebagai orang tua, Sapardi menyadari betul betapa Chairil sesungguhnya adalah lelaki yang lemah, tidaklah setegar suara-suara dalam puisinya yang bergelora. Hatinya begitu rapuh, selalu kesepian. Mungkin ia kerap menangis malam-malam dalam kesendiriannya, dalam doanya, dalam kesedihannya, seperti ketika ditinggal mati nenek tersayangnya.
Pelan, Tardji memainkan harmonika bernada melankolis. Chairil dan Sapardi terdiam seakan terbius.
“Yeah, mungkin aku memang orang yang kesepian,” lenguh Chairil akhirnya sambil mengacak-acak rambut.
“Setiap penyair adalah orang yang kesepian,” timpal Sapardi. “Sebab itulah kita mengisi kesepian-kesepian dengan kata-kata agar kita bisa bicara dengannya, berdialog, walau memang kita berdialog dengan diri kita sendiri. Bahkan aku pernah membayangkan, kata-kata itu, atau tokoh-tokoh dalam tulisanku menjadi nyata, hidup, dan mereka mempunyai keinginan sendiri. Dan ketika aku mati, mereka yang selamanya terkurung dalam ceritaku melakukan protes sebagai seorang yang menciptakan mereka.”
“Pada akhirnya kelak,” sahut Tardji, “kita akan tetap hidup walau telah mati. Kita hidup lewat kata-kata yang kita ciptakan, kata-kata yang kita hidupkan. Mungkin seperti pernah kau katakan, Chairil, kita akan hidup seribu tahun lamanya, atau bahkan hingga kiamat.”
Chairil bergeming, dengan jari tangan mengepit rokok yang tertahan di bibirnya. Entah merenungi kata-kata kedua penyair di hadapannya, ataukah tenggelam dalam dirinya sendiri. “Aku tahu,” ucapnya kemudian, “setiap kita memang akan mati. Dan aku setuju dengan yang pernah kau katakan Sapardi, bahwa ’yang fana adalah waktu, dan kita abadi’.”
“Ah…, aku senang sekali dengan pertemuan ini,” seru Tardji. Wajahnya berseri-seri, lalu menari-nari meniup harmonika bernada riang. Dan baru ketika itulah Sapardi, yang sebelumnya hanya selalu tersenyum samar, tertawa cukup nyaring. Begitu juga Chairil, yang kini seakan ada api baru dinyalakan dalam jiwanya, berdiri dan menari mengiringi Tardji.
Tepat ketika itu, seseorang masuk dari pintu bar dan langsung berseru, “Hai, para penyair..!”
Lelaki itu memiliki rahang lebar menonjol, dan… mengenakan sarung.
Chairil menghentikan tariannya bersama Sutardi. “Siapa dia?” tanyanya agak heran kepada Sapardi.
Sembari tersenyum, Sapardi menyahut, “Jokpin.”
“Jokpin?” kening Chairil berkerut. “Oh ya, aku ingat. Ayo, ajak dia bergabung bersama kita. Suruh dia bicara tentang pacar kecilnya di balik sarungnya itu…”
Sontak Sapardi dan Tardji tertawa. Jokpin berjalan membawa secangkir kopi hitam, minuman kesukaannya, menuju meja Sapardi. Jangan heran, bar ini menyediakan kopi hitam khusus malam itu karena memang akan menyambut kedatangan Jokpin.
Baru dua sesapan Jokpin menikmati kopi, muncul lagi seorang anak muda di depan pintu. Berambut ikal agak panjang, bertubuh kurus, dengan wajah seperti seseorang yang salah masuk tempat.
“Siapa dia?” kali ini Sapardi yang bertanya.
Jokpin tercagak dengan kopi di tangan, Sutardji urung meniup harmonika, Chairil menghentikan tangannya yang hendak menyalakan korek api untuk membakar rokok di mulut. Lalu mereka saling pandang dengan raut sama membentuk sebuah pertanyaan;
“Siapa..?”

***

Ia tak tahu bagaimana tiba-tiba telah berdiri di depan pintu sebuah bar. Sayup-sayup didengarnya suara musik dari dalam. Ada perasaan ragu sekaligus penasaran. Didorongnya pelan pintu, tepatnya lebih ingin memastikan apakah pintu itu terkunci atau tidak. Agak berat, namun terbuka.
Begitu ia masuk, pintu kembali tertutup. Namun bukan itu yang membuatnya benar-benar terkejut, melainkan sekelompok lelaki yang duduk melingkar di sebuah meja. Ia mengenal betul siapa mereka. Dan yang membuat ia mendadak gugup, mereka juga memandangnya dengan tatapan seolah baru melihat makhluk asing. Terpikir olehnya untuk berpaling kembali keluar, tetapi kakinya kaku seakan terpancak di lantai.
“Hai, kau…!” Lelaki yang lebih muda dengan rokok di tangan menunjuk ke arahnya. Ia ingat betul wajah itu, salah satu idolanya, Chairil. Oh, apakah aku tengah bermimpi? pikirnya.
Memastikan bahwa memang dirinya yang dipanggil, ia memalingkan wajah ke belakang dan mengamati sekitar, tak ada sesiapa pun. Gentar, karena ia tahu yang memanggilnya adalah seorang maestro. Lebih tak dipercayanya lagi, lelaki berpakaian putih bertopi pet yang duduk sopan dengan sebuah tongkat di tangan itu adalah Sapardi. Dan tak diragukannya pula, seorang lainnya sudah pasti Tardji. Tentu juga, lelaki berahang lebar yang tampak pendiam itu Jokpin. Sebuah keberuntungan yang langka, bagai menemukan harta karun di halaman belakang rumah sendiri.
“Ya, kau, cepat sini!”
Masih ragu dan tak percaya, ia pun berjalan lamban. Diulurkannya tangan dengan sangat sopan dan mencium satu per satu tangan mereka. Ini sebuah keberkahan, batinnya. Tak diperhatikannya wajah bingung yang mengamatinya lekat-lekat. Ia tetap berdiri dengan sedikit membungkuk dan kedua tangan di depan layaknya seorang pesuruh menunggu sabda tuannya.
“Kamu penyair, kan? Kok, aku tidak pernah melihat atau mengenali wajahmu,” kata Jokpin.
Ia tersipu. “Duh, saya bukan penyair, hanya menyukai puisi-puisi, terutama puisi-puisi sampeyan-sampeyan.”
“Tapi kamu menulis puisi juga, kan?” tanya Sapardi.
“Njih, masih belajar dan hanya untuk diri sendiri,” sahutnya malu-malu.
Diperhatikannya, para suhu puisi itu saling pandang dengan ekspresi yang tidak begitu dimengertinya, antara saling bertanya-tanya atau kekaguman yang coba disembunyikan. Hanya Sapardi yang terlihat manggut-manggut.
“Kamu hanya belum ditemukan,” ucap Sapardi.
“Maksudnya?” ia benar-benar tidak mengerti.
“Nanti juga kamu tahu,” sahut Sapardi bijaksana layaknya orang tua. “Berapa banyak puisi yang sudah kamu tulis?”
“Tidak terlalu banyak. Lagi pula hanya saya tulis di buku pribadi.”
“Kau membawa puisimu di tas itu?” tanya Chairil.
Ia memegang tas kain di bahunya, seolah seseorang yang takut isinya dicuri atau diminta paksa. “I..iya,” jawabnya gugup.
“Sini, biar aku baca,” pinta Chairil ketus.
“Duh, jangan, Bang. Saya baru belajar menulis puisi. Malu…,” tolaknya.
Lagi-lagi para penyair tertawa.
“Kamu adalah orang yang terpilih. Puisimu pasti hebat. Kalau tidak, kamu tidak akan berada di sini bersama kami,” kata Sapardi.
“Tapi…”
“Akh…tak usah ragu. Perlihatkan saja puisimu kepada kami,” cetus Tardji.
Mendadak ia teringat perempuan pujaannya. Seketika itu pula kata-kata seperti sekawanan lebah mendadak menyerbu dan menyengat isi kepalanya.
“Maaf..,” ucapnya gugup, “saya harus pergi sekarang.”
“Hai, mau ke mana kau?” seru Chairil.
“Menulis puisi,” cetusnya sembari berbalik.
“Tunggu!”
Ia tahu, itu suara Sapardi. Langkahnya terhenti, dan kembali berpaling.
“Aku tahu puisi macam apa yang hendak kamu tulis sehingga membuatmu terburu-buru begitu. Kamu pasti baru saja teringat perempuan yang kamu cintai. Bila boleh aku beri nasihat, seindah apapun kamu menulis puisi tentang dirinya, takkan pernah mampu memukaumu saat menatap wajahnya. Apa yang tak terlihat dan tak terbaca di antara pandangan matamu dan wajahnya, itulah sejatinya puisi.”
Hening. Waktu seakan berhenti beberapa saat.
“Pergilah!” seru Tardji, dan seketika itu waktu seolah bergerak kembali.

***

Ia masih berdiri di bawah hujan malam itu. Sebentar lagi pukul duabelas. Dan ia telah memutuskan akan menuntaskan puisinya. Seorang perempuan yang sebentar lagi keluar dari bar di hadapannya, yang sejak tadi membuat pikirannya melayang-layang. Perempuan yang pada banyak malam membuatnya disiksa menuliskan puisi-puisi cinta yang gagal. Tetapi, kali ini di dalam tas kain bahunya tak ada lagi puisi, karena ia tak mampu menuliskannya lagi. Hanya ada sebilah belati.[]

--------------
Sandi Firly, lahir di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Saat ini menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Setelah berhenti menjadi wartawan (2017), sepenuhnya menekuni dunia kepenulisan cerpen dan novel. Novel terbarunya berjudul MAY, berlatar kerusuhan politik 23 Mei 1997 di Banjarmasin, diterbitkan KataDepan, Depok, September 2019.

Sumber:
Kompas, 01 Desember 2019
https://lakonhidup.com/2019/12/01/suatu-malam-ketika-puisi-tak-mampu-ia-tulis-lagi/

0 komentar: