Cerpen Sandi Firly: Goroba dan Anjing Putih Bernama Asu (Bagian II)
Goroba dan anjing putih berjalan bersisian di tengah jalan yang lengang. Mobil-mobil sengkarut, dengan mayat-mayat di dalamnya. Mereka mati bukan karena kecelakaan, melainkan wabah.
Goroba ingat, ketika rumah sakit-rumah sakit sudah tak berfungsi lagi, dokter dan perawat juga mati, orang-orang sudah tak peduli lagi dengan nyawa mereka. Tinggal di rumah mengurung diri, pun tak mampu mengelak dari wabah yang telah memenuhi udara dan air di seluruh negeri. Satu-satunya cara agar terhindar dari wabah, hanya dengan tak menghirup udara, tak bernapas, dan jelas itu tak mungkin. Setelah kerusuhan memperebutkan makanan di toko-toko, super market, terakhir memperebutkan tabung oksigen, tetapi juga tak berlangsung lama. Oksigen habis, mati.
Penyelamatan paling terakhir, orang-orang pergi ke pantai, ke hutan, ke gunung-gunung, karena menganggap udara di sana belum tercemar wabah. Namun nyatanya juga tak berlangsung lama. Virus sudah berada di dalam tubuh mereka, dan udara mengandung wabah juga pada akhirnya berembus ke pantai, ke hutan, ke gunung-gunung. Mereka akhirnya mati di sana. Juga seluruh binatang.
Pemerintahan hancur tak berfungsi di pertengahan masa wabah sebelum akhirnya semuanya punah. Pernah ada bantuan tenaga medis beserta obat-obatan yang datang menggunakan pesawat dari negera lain. Tidak menunggu waktu lama, puluhan tenaga medis asing itu pun mati. Obat-obatan tak menolong banyak, sembuh sebentar, sakit lagi lalu mati. Semenjak itu, tak ada lagi bantuan tenaga medis asing yang berani datang. Tak ada lagi penerbang dari dan ke luar negeri. Pintu-pintu bandara dan perbatasan telah ditutup.
Maka adalah keajaiban bila hanya Goroba satu-satunya manusia yang tetap hidup di negeri itu—sebelum kemudian ia berjumpa dengan anjing putih yang diyakininya juga sebagai satu-satunya binatang yang hidup. Suatu keajaiban juga ternyata anjing putih itu bisa bicara dan berpikir layaknya manusia.
Goroba dan anjing putih sampai pada sebuah mal, yang di halamannya dipenuhi mayat. Mayat-mayat itu sebelumnya berada di dalam mal, yang dikeluarkan sendiri oleh Goroba.
Pintu otomatis mal terbuka, menghamburkan hawa dingin menyambut kedatangan Goroba dan, kali ini, bersama seekor anjing putih.
“Mau belanja apa kita, Tuan Goroba?” tanya anjing putih, yang kemudian langsung menyambung, “Hehee… maaf Tuan, cuma bercanda.”
Goroba yang semula sudah memasang muka masam, tak jadi mengeluarkan kata-katanya. Ia terus berjalan melewati sejumlah toko yang beberapa masih buka, namun tentu saja tanpa penjaga. Kecuali manekin-manekin di toko pakaian, yang dalam beberapa hari belakangan seringkali disapa Goroba sembari melambaikan tangan sekadar menghibur diri.
“Ini rumah kita, Asu,” ucap Goroba, masih agak kesal..
“Terima kasih, Tuan Goroba,” sahut anjing putih. Ia senang dengan sebutan ‘kita’, dan sedikit merasa tak nyaman dengan panggilan ‘Asu’ untuk dirinya.
Sampailah mereka di swalayan yang setengah berantakan.
“Silakan kau cari sendiri makanan anjing, aku tidak tahu di mana tempatnya karena tidak pernah memerlukannya. Atau, kau boleh makan apa saja yang kau suka. Kulihat ada daging juga ikan, jika kau suka, di pojok sana,” kata Goroba sambil menunjuk sembarang. Ia sendiri lantas pergi menuju lemari pendingin.
Setelah mengambil dua kaleng minuman kopi, dan sepotong roti, Goroba duduk di kursi di depan meja kasir. Mengambil sebungkus rokok di atas rak di meja itu, kemudian menyulutnya. Kakinya diselonjorkan di atas meja. Menikmati minuman kopi dingin, dan mengisap rokoknya dengan penuh nikmat.
***
Sudah enam hari ia menjadikan mal itu sebagai tempat tinggalnya. Ia sudah tidak memerlukan lagi rumah mewahnya. Hanya dua hari ia sempat bertahan di rumahnya setelah ia meyakini seluruh penduduk di kotanya mati. Tak tahan dirundung kesedihan mengingat seluruh keluarganya yang mati, ia pun memutuskan keluar. Pilihan terbaik sementara adalah mal, tepatnya swalayan yang menyediakan semua keperluan hidupnya dalam menjalani hari-hari. Dengan begitu, ia tidak perlu ke mana-mana lagi bila memerlukan sesuatu. Untuk tidur, ia menyeret kasur dari sebuah toko yang khusus menjual perabotan rumah, dan mengambil tenda kemah di toko peralatan out door. Untuk pemanas air dan alat pembuat kopi, ia menggondol di toko elektronik. Makanan, ia tinggal mencomot apa saja yang ingin dimakannya di swalayan ini.
Anjing putih datang dengan sekaleng makanan di mulutnya.
“Bisakah Tuan Goroba membukakan kaleng ini buatku?” katanya setelah meletakkan kaleng makanan anjing itu di lantai.
Sambil mengunyah roti, Goroba menatap anjing putih yang duduk seperti memohon.
“Mengapa kau tak mengambil daging saja, Asu?”
“Aku sudah biasa makan daging yang aku temukan di jalanan sisa buangan orang, Tuan Goroba. Tetapi makanan kaleng ini, seumur hidup saya belum pernah. Dulu aku pernah melihat ada anjing sedang memakan makanan kaleng yang diberikan tuannya, terlihat begitu nikmat. Ini pasti makanan yang sangat istimewa. Sekarang aku…”
“Setop!” sela Goroba. “Banyak omong kau…,” katanya sambil mengambil kaleng makanan, membukanya, lantas menyodorkannya ke depan anjing putih.
“Terima kasih, Tuan Goroba…”
“He-eh…,” dengus Goroba. Bagaimanapun ia merasa telah diperintah oleh seekor anjing. Dan itu membuat martabat kemanusiannya seperti diinjak. Goroba melihat ada perbedaan besar antara; seandainya anjing itu tidak bisa bicara, membawa kaleng makanan, dan meletakkannya di situ, mungkin ia akan dengan senang hati membukakan kaleng itu. Tetapi anjing putih ini bicara, dan meminta dibukakan kaleng makanannya, tidakkah itu sebuah permintaan yang terdengar sebagai sebuah perintah?
Goroba bangun dari tempat duduknya. Ia ingin mengalihkan pikiran yang mulai mengganggunya itu.
“Mau ke mana, Tuan Goroba?” tanya anjing putih, dengan mulut belepotan makanan.
“Cepat habiskan makanan kau,” seru Goroba, lantas menghembuskan asap rokok. “Kita nonton televisi. Kita lihat apa rencana dunia kali ini untuk negeri kita.” Goroba berjalan sambil membawa minuman kalengnya.
Anjing putih cepat mengikuti Goroba yang berjalan sambil mengisap rokok di tangan kanan, dan minuman kaleng kopi di tangan kiri. Goroba melenggang dengan santai, sesekali bersiul, seakan ia memiliki waktu yang tak terbatas dan tidak ada sesuatu apapun yang merisaukan hidupnya.
“Asu, sejak kapan kau bisa bicara?” tanya Goroba ketika anjing putih telah menjajarinya.
“Persisnya lupa, Tuan Goroba. Tapi mungkin sekitar setengah bulan lalu,” jawab anjing putih.
“Ceritakanlah, bagaimana mula mukjizat ini kau dapatkan,” pinta Goroba.
“Hmm.., saat itu malam,” anjing putih memulai. “Aku sendirian. Benar-benar sendirian. Aku meyakini tidak ada lagi makhluk hidup berkaki dua ataupun berkaki empat, baik yang berjalan di atas tanah atau yang terbang di udara yang hidup. Aku bertanya-tanya mengapa hanya aku sendiri yang hidup. Lalu aku berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri. Bunuh diri. Tapi Anda tahu kan, Tuan Goroba, aku tidak bisa mengikat ujung tali di pohon atau di atas sebuah bangunan dan mengalungkan bagian lainnya di leherku seperti kebanyakan dilakukan manusia. Aku juga tidak bisa membiarkan tubuhku ditabrak kereta atau mobil, karena tidak ada lagi kereta atau mobil yang bergerak…”
“Aahh.., tidak usah berbelit-belit,” sela Goroba. Mereka sampai pada tangga ekskalator menuju lantai dua. “Langsung saja pada intinya,” ucap Goroba lagi, sambil meneloh ke belakang dekat kakinya. Sementara tangga terus berjalan. Tetapi ternyata anjing putih tidak berada di dekatnya.
Di ujung bawah sana, anjing putih masih ragu-ragu melangkahkan kaki di tangga yang terus berjalan. Antara kaki kiri dulu atau kaki kanan.
“Lompat, Asu!” teriak Goroba yang sudah tiba di atas.
Barulah anjing putih melompat ke tangga, kemudian cepat-cepat berlari menyusul Goroba yang terlihat kesal.
“Maaf, Tuan Goroba, baru pertama kali masuk mal,” kata anjing putih meringis, setelah mereka kembali berjalan bersisian. “Tadi apa yang Tuan katakan?” tanyanya lagi.
“Jangan berbelit-belit. Langsung aja ke pokok bagaimana kau bisa bicara.”
“Ya, ceritanya memang begitu, Tuan. Bermula dari keinginan mau bunuh diri. Baiklah. Ringkasnya, lalu aku berpikir bunuh diri dengan terjun dari salah satu gedung tertinggi di kota ini. Malam itu langit terang dan bersih, bulan purnama. Aku sudah bertengger di tepi sebuah gedung yang cukup tinggi, yang bila aku jatuh mungkin aku masih bisa merasakan bagaimana sensasi terbang, sebab seumur hidup aku belum pernah terbang, Tuan, belum pernah naik pesawat. Jadi, setidaknya aku akan mengalami terbang sebelum akhirnya tubuhku remuk menyentuh bumi…”
“Hmm… bahasamu. Entah siapa yang merasukimu. Nanti kita bahas soal itu,” sungut Goroba. “Sekarang lanjutkan saja ceritamu.”
Mereka menaiki tangga ekskalator kedua. Kali ini anjing putih sukses langsung melompat, dan dia berada satu anak tangga di belakang Goroba.
“Baik, Tuan,” ucap anjing putih senang, karena meyakini Goroba mulai suka dengan ceritanya. Lalu melanjutkan, “Sebelum terjun, aku memandang langit, tepatnya memandang bulan purnama. Karena kupikir inilah malam terakhir dalam hidupku yang tidak terlalu singkat, cukup lama aku memandang bulan malam itu. Sampai kemudian aku bertanya, tepatnya mengajukan protes kepada Tuhan. Anda tahu kan, Tuan Goroba, kalau anjing juga ciptaan Tuhan? Ya…ya..ya.., pasti tahu. Baik. Aku protes kepada Tuhan mengapa aku dibiarkan hidup sendirian. Padahal sebelumnya aku jarang mengingat Tuhan. Karena saat itu aku belum bisa bicara, jadi aku melolong, selolong-lolongnya. Melolong yang panjang, sudah hampir mirip serigala. Sudah pernah dengar serigala melolong, Tuan? Ya…ya..ya.., pasti sudah pernah lihat di film. Entah lolongan keberapa, mungkin ketujuh, tiba-tiba lolonganku berubah menjadi jeritan, ‘Tuhaaaannnn…’”
Goroba seketika berhenti dan tertawa. Tertawa keras. Terus tertawa. Terpingkal-pingkal, berguling-guling di lantai mal yang dingin.
Anjing putih hanya menatap bingung. Heran. Apa yang lucu? Bukankah semestinya Tuan Goroba bersimpati, karena malam itu nyaris saja menjadi malam terakhir hidupnya? Anjing putih duduk tenang, menunggu Goroba berhenti tertawa.
Goroba terengah-tengah setelah tawa yang panjang dan melelahkan hingga airmatanya bercucuran. Masih dalam posisi duduk, ia kemudian mengusap mata dan pipinya yang basah.
“Kok, sekarang menangis, Tuan Goroba?” tanya anjing putih makin heran.
“Bukan menangis, Asu!” pekik Goroba.
“Ooo…”
“Sekarang kita duduk saja dulu,” ucap Goroba. “Lanjutkan ceritamu. Aku mendengarkan.”
“Yakin, Tuan? Baiklah. Setelah lolonganku berubah menjadi jeritan ‘Tuhaaan..’,” sebentar anjing putih melirik Goroba, yang lagi-lagi mau tertawa namun berhasil ditahannya. “Lanjut, Tuan?” tanya anjing putih memastikan.
“Ya, lanjutkan,” sahut Goroba sambil mengangkat tangan mempersilakan. Ditariknya napas dalam-dalam agar lebih tenang.
“Begitulah. Aku bisa menyebut Tuhan. Dan seketika, entah bagaimana, otakku juga mengalami sesuatu. Semuanya menjadi berubah. Pandangan mata dan pikiranku seolah melihat dunia dalam sudut yang baru dan berbeda dari sebelumnya. Aku merasa menjadi manusia, tapi dalam tubuhku yang tetap anjing. Paham, kan, Tuan?”
“Ya, paham… paham… Lanjutkan.” Meski berucap begitu, Goroba tetap kesulitan mempercayainya. Tapi apa boleh buat. Seperti yang juga telah dialaminya, bagaimana bisa mempercayai bila hanya dirinya satu-satunya manusia yang hidup. Tetapi untung saja, mulutnya tidak berubah mengeluarkan suara anjing.
“Jelas aku kaget. Apalagi kemudian menyadari berada di tepi puncak gedung. Nyaris saja aku terjatuh saking terkejut dan takutnya.”
“Lho, bukannya kau mau bunuh diri? Kenapa kaget dan merasa takut?”
“Tidak tahu,” jawab anjing putih. “Aku langsung mundur dari tepi gedung. Setelah itu aku teriak-teriak ke langit, maksudku kepada Tuhan. Aku juga tanyakan mengapa aku dibuat bisa bicara bahasa manusia? Untuk apa? Bukankah sudah tidak ada manusia y ang hidup? Tentu saja tidak ada jawaban dari langit, dari Tuhan. Akhirnya aku hanya bisa menangis, kukira itulah tangisku yang paling memilukan, andai Tuan tahu. Namun aku kemudian merenung, pasti ada maksud dan tujuan Tuhan mengapa aku dibuatnya bisa bicara bahasa manusia. Ya, sampai kemudian, seperti Tuan tahu, akhirnya kita bertemu senja tadi. Kukira inilah tujuan Tuhan sebenarnya membuat aku bisa bicara."
Goroba membuang napas. Sambil perlahan berdiri, ia bergumam, “Aku lebih senang seandainya kau benar-benar terjun dari gedung malam itu.”
“Aa..apa, Tuan Goroba?” tanya anjing putih, tidak terlalu jelas mendengar. “Tuan senang dengan cerita saya, dengan pertemuan kita?”
“Aahh.. sudahlah. Ayo jalan,” kata Goroba sambil geleng-geleng kepala.
Mereka sampai di toko yang khusus menjual televisi di lantai 3 mal itu. Puluhan televisi menyala. Ada yang menayangkan kartun, film, dan beberapa menyiarkan berita—yang tentu saja semuanya saluran dari luar negeri.
“Wow…,” seru anjing putih. Ia berjalan-jalan mengitari semua televisi, sesekali berhenti bila ada gambar yang menarik perhatiannya.
Goroba berdiri memandang televisi yang tengah menampilkan seorang pembawa acara dengan latar gambar sebuah peta.
“Itu peta negeri kita,” kata Goroba kepada anjing putih yang sudah berada di sampingnya.
“Dia ngomong apa? Aku tidak ngerti,” sahut anjing putih.
“Itu bahasa Inggris. Dia mengatakan negeri kita telah menjadi sarang wabah, seluruh penduduknya mati. Dan, sebentar…,” Goroba mengangkat telunjuknya, isyarat agar mereka memperhatikan apa yang disampaikan pembawa acara.
“Ada apa, Tuan Goroba?” bisik anjing putih, mendongak ke wajah Goroba.
“Ssttt…,” Perhatian Goroba masih tertuju ke televisi. “Wah, sejumlah negera berencana memusnahkan negeri kita. Beberapa negara juga mengisyaratkan ingin mengambil alih penanganan wabah di negeri kita.”
“Memangnya di negara-negara itu tidak ada wabah?” tanya anjing putih.
“Negeri kita bukan satu-satunya dan bukan yang pertama kena wabah. Hampir semua negara diserang wabah. Tetapi negara-negara lain berhasil mengalahkan wabah, dan sudah pulih semuanya sekitar satu bulan lalu. Hanya negeri kita saja yang semua penduduknya musnah oleh wabah, kecuali aku dan kau, Asu.”
“Bagaimana bisa begitu, Tuan Goroba?”
Sungguh Goroba merasa tidak senang dengan pertanyaan itu. Bagaimanapun ia salah seorang terkuat di negeri ini, dan turut bertanggung jawab terhadap penanganan wabah. Pertanyaan itu hanya membuatnya tersudutkan dan merasa bersalah—perasaan yang selalu disangkalnya, tidak pernah diakuinya. Ia hanya kecewa, karena tidak menyangka bila seluruh penduduk negeri ini ternyata lemah, tidak ada yang kuat dan mampu bertahan di tengah wabah seperti dirinya. Sejak awal, sebelum wabah masuk, Goroba memang tidak pernah takut dan menganggap wabah itu hal kecil saja. Memang terbukti. Tapi hanya untuk dirinya sendiri. Dan seekor anjing putih, yang dinamainya Asu.
“Ini sudah jadi nasib negeri kita, Asu,” ucap Goroba lemah setelah lama terdiam.
“Sekarang, masa depan negeri ini ada di tangan kita berdua, Tuan Goroba,” ucap anjing putih, nadanya bagai seorang yang ingin menjadi pahlawan.
“Heh..,” delik Goroba. Sinis. “Aku tidak tahu masa depan seperti apa bagi negeri yang sudah tak berpenghuni ini. Mungkin hanya akan menjadi pulau-pulau hantu.”
“Jangan pesimis begitu, Tuan Goroba…”
“Pesimis?” sela Goroba. “Tahu apa kau dengan kata pesimis, hai anjing yang baru bisa bicara bahasa manusia?! Asal kau tahu, aku orang yang selalu optimis. Paling optimis. Termasuk terhadap negeri ini. Hanya saja penduduknya banyak yang suka mencela, nyinyir, maka matilah mereka.”
“Hmm…” anjing putih hanya menggoyang-goyangkan ekornya yang hitam.
“Yang justru aku heran, mengapa anjing seperti kau dibiarkan tetap hidup,” cerocos Goroba, yang sejak awal selalu kesal dengan anjing putih.
“Mungkin karena kita sama, Tuan Goroba,” jawab anjing putih santai.
“Hah! Sama? Enak aja!” sanggah Goroba belingsatan. “Aku tidak mau disamakan dengan anjing seperti kau, Asu!”
“Aku juga selalu optimis, kok, Tuan Goroba. Makanya tadi saya mengucapkan bahwa masa depan negeri ini sekarang ada di tangan kita berdua.”
“Yang kutahu, anjing itu berkaki empat. Bukan bertangan dua, berkaki dua.”
“Itu cuma istilah saja, Tuan. Masa Tuan tidak mengerti?”
“Ya, ngertilah!” Goroba mulai naik darah lagi. “Lalu, mau kau apa?”
“Kita berdua menjadi pemimpin negeri ini, Tuan.”
“Hah!”
***
Goroba keluar dari toko televisi. Anjing putih, seperti anjing piaraan yang setia, mengikuti di sampingnya. Goroba berdiri di tepi pagar lantai 3 mal, memandang ke lantai dasar yang lengang. Ia teringat beberapa hari lalu menyeret mayat-mayat keluar dari mal. Hampir seharian penuh ia mengerjakannya. Ia menurunkan semua mayat, mulai dari lantai teratas, lantai 6 yang merupakan tempat bermain anak-anak. Tetapi tidak ada mayat anak-anak. Mayat terbanyak ditemukan di lantai dasar, tepatnya di swalayan yang kini menjadi tempatnya. Bisa dipahami, karena orang-orang berebut makanan, dan sebagian besar mereka mati di sana sebelum sempat membawa makanan keluar.
“Apakah Tuan sedang bersedih?” tanya anjing putih penuh simpatik melihat Goroba termenung.
“Tidak ada lagi yang lebih menyedihkan dari ini, Asu,” jawab Goroba, kali ini dengan suara lemah. “Sekarang aku hanya hidup sendirian di negeri yang aku cintai ini.”
“Ehem.. Masih ada saya, Tuan…”
Terdengar helaan napas Goroba. Sesungging senyum terbit di bibirnya yang menghitam karena rokok. “Iya, ada kau, Asu. Tapi aku tidak tahu, apakah itu lebih baik atau malah sebaliknya.”
“Yeah, setidaknya Tuan tidak kesepian. Ada teman bicara,” kata anjing putih, seolah kehadirannya memang cukup berarti.
“Hmm… entahlah. Mungkin mati karena kesepian lebih baik ketimbang mendengarkan cara bicara kau yang selalu menjengkelkan itu,” keluh Goroba, tetapi tidak terdengar serius.
“Maafkan saya, Tuan Goroba,” iba anjing putih penuh rasa bersalah. “Barangkali itu karena sifat anjing dalam diri saya.”
“Nah, mulai lagi..,” sungut Goroba. “Kau itu memang anjing, Asu. Dengan mengatakan ada sifat anjing dalam diri kau, itu seakan kau mulai menganggap dirimu manusia,” tuding Goroba dengan telunjuk ke wajah anjing putih.
“Iya… iya…, saya memang anjing, Tuan Goroba,” kata anjing putih sambil mengangkat satu kakinya.
“Aku mulai berpikir, kalau kau itu dirasuki oleh roh manusia yang mati,” ucap Goroba, memalingkan wajahnya dari anjing putih. “Seperti acara di tivi itu…”
“Saya tidak tahu, Tuan.”
“Ya, pastilah. Karena anjing memang tidak pernah nonton tivi. Apalagi anjing kampung seperti kau.”
“Tadi saya nonton tivi, Tuan.”
Lagi-lagi Goroba hanya bisa menghela napas panjang. Kesabarannya benar-benar diuji. “Kupikir kau memang lebih baik menggonggong ketimbang bicara,” katanya pelan.
“Anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
Seketika Goroba tertawa keras. Tubuhnya yang bersandar di pagar mal menggelongsor, sambil kedua tangan memegang perut. Masih terus tertawa.
Sekali lagi anjing putih hanya memandang dengan wajah heran. Bagaimana peribahasa itu bisa membuat Tuan Goroba tertawa sedemikian rupa? Anjing putih menggaruk-garuk kepala.
BERSAMBUNG
Sumber:
Status Facebook Sandi Firly
https://web.facebook.com/sandi.firly
0 komentar: