Cerpen Sandi Firly: Goroba dan Anjing Putih Bernama Asu (Bagian III)

10.32 Zian 0 Comments

Cerpen Sandi Firly: Goroba dan Anjing Putih Bernama Asu (Bagian III)


Goroba dan anjing putih telah kembali ke swalayan, base camp mereka. Sebelumnya Goroba mengambil keranjang bayi di toko khusus bayi sebagai tempat tidur anjing putih, dan sepotong jaket serta topi di toko pakaian untuk dirinya sendiri.
Seperti biasa, Goroba menyeduh kopi panas sebelum tidur. Anjing putih menghabiskan makanan kalengnya yang masih tersisa.
Sudah beberapa malam Goroba memikirkan hidupnya yang hanya seorang diri. Andai menjalani hidup hanya untuk hidup itu sendiri, ia pasti tetap akan hidup. Semua keperluan untuk hidup berupa bahan makanan sudah pasti tidak kurang untuk beberapa tahun ke depan. Tetapi ia tahu, hidup bukan hanya untuk makan. Adam saja yang hidup di surga tidak tahan sendirian. Ia memerlukan manusia lainnya, bukan seekor anjing yang bisa bicara.

Sebelumnya, kadang ia melamun di dermaga, memandang laut, dan membayangkan negeri-negeri jauh yang kini telah pulih dari wabah. Pasti kehidupan di sana sudah normal kembali. Orang-orang sudah bisa berinteraksi, berkumpul, bekerja, dan melakuk hal-hal yang memang selayaknya dilakukan manusia di kala kehidupan normal sebelumnya. Hanya dirinya kini yang sendirian tinggal di sebuah negeri yang seluruh penduduknya telah punah.
Pernah terlintas di pikirannya untuk melakukan pelayaran menuju sebuah negeri terdekat. Namun ia sudah mempertimbangkan, pastilah tidak semudah yang dibayangkan. Bukan soal mengarungi lautan, atau melintasi sebuah perbatasan, melainkan apa yang akan dilakukan para polisi dan tentara penjaga-penjaga di negera lain itu. Ketika wabah mengganas di negerinya, dan para penduduknya belum seluruhnya mati, negara-negara luar telah menyatakan tidak menerima kedatangan para penduduk dari negerinya. Negara-negara itu telah melakukan lockdown, lebih-lebih terhadap warga dari negerinya yang disiarkan merupakan daerah paling berbahaya. Hingga akhirnya negerinya menjadi sarang wabah dan menguasai negeri hingga seluruh penduduknya habis. Kecuali dirinya, tentu saja. Dan seekor anjing putih, yang entah bagaimana bisa bertahan hidup seperti dirinya.
Goroba sendiri tidak tahu mengapa hanya dirinya yang hidup, atau persisnya dibiarkan hidup. Apakah ini sebuah berkah, keajaiban? Ataukah justru kutukan? Ia teliti perjalanan hidupnya hingga usianya yang kini melampaui setengah abad, menurut penilaiannya biasa saja. Sama saja seperti manusia lainnya. Kadang berbuat amal kebaikan, kadang juga melakukan dosa.
Selama menjadi bagian dari penguasa negeri ini, ia sudah berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Bilapun ia mengambil sedikit keuntungan dengan jabatannya demi mengumpulkan harta kekayaan, menurutnya wajar saja. Ia menganggap, itu upah yang pantas untuk mengurusi negeri yang susah diurus ini.
“Saya juga kadang memikirkan, mengapa anjing seperti saya yang dibiarkan hidup.” Anjing putih telah duduk di atas meja kasir, memandang Goroba yang tampak melamun menikmati kopinya sambil merokok.
Sedikit kaget, Goroba menoleh. “Apakah kau tahu jawabannya, Asu?”
“Mungkin saya tahu.”
“Oh.., kau tahu?” Goroba penasaran.
“Mungkin.”
“Baiklah. Ceritakanlah jawaban yang mungkin kau tahu itu,” Goroba siap mendengarkan anjing putih yang mengaku mungkin tahu mengapa ia dibiarkan hidup. Meskipun Goroba tak terlalu yakin akan mendapatkan penjelasan yang memuaskan.
“Saya…, sebenarnya sudah dua kali mati,” buka anjing putih memulai ceritanya.
“Setop!” tukas Goroba, dengan tangan kiri terulur ke wajah anjing putih. “Kau tampaknya mau mengada-ada.” Ia benar-benar merasa akan dipermainkan anjing putih.
“Tuan Goroba, dengar dululah cerita saya,” mohon anjing putih. “Jangan salah paham. Saya bahkan baru saja akan memulai ceritanya.”
“Awal cerita macam apa itu,” ketus Goroba. “Mana ada makhluk yang mati lalu hidup lagi. Apalagi mati sampai dua kali.”
“Justru di situlah letak semua kemustahilan apa yang kita alami sekarang ini, Tuan Goroba,” sahut anjing putih lebih tegas, tak tahan juga selalu diremehkan. “Tidakkah Tuan menyadari, apa yang terjadi pada kita ini sungguh suatu keajaiban? Lalu, mengapa Tuan tidak terima atau menganggap saya mengada-ada bila saya memulai cerita dengan kematian yang saya alami? Atau, setidaknya, saya meyakini seharusnya saya sudah mengalami kematian sebanyak dua kali?”
Goroba bersungut-sungut. Berusaha mencerna ucapan anjing putih. Diambilnya cangkir kopi, menyesap sebentar, lantas menyalakan sebatang rokok. “Baiklah. Ceritalah kau, Asu,” ucapnya sambil menghembuskan asap rokok.
“Ya, begitu, Tuan. Sekali-sekali percayalah kepada saya.” Anjing putih semakin percaya diri. Mau tersenyum, namun tak jadi, khawatir malah membuat Goroba murka.
“Ya..ya, ceritalah…,” sahut Goroba, sedikit kesal.
Masih di atas meja kasir, anjing putih mulai bercerita. “Kematian pertama saya alami beberapa tahun lalu, mungkin sekitar tiga tahun lalu,” katanya. Ia berhenti sejenak, kalau-kalau Goroba protes lagi. Setelah tak ada tanda-tanda, malah terkesan Goroba acuh dan diam saja menunggu, anjing putih melanjutkan. “Waktu itu malam. Tengah malam. Saya sedang mau memasuki sebuah komplek perumahan elite. Biasa saya mencari makan di perumahan mewah, karena di sana seringkali ada banyak makanan enak yang dibuang. Tetapi malam itu menjadi malam naas bagi saya. Saat memasuki perumahan elite itu, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menikung memasuki halaman perumahan yang cukup luas. Saya yang kebetulan berada di tengah jalan di mulut kelokan itu tak sempat menghindar. Maka terjadilah…”
“Kau tertabrak, dan mati!” sela Goroba, seakan dengan senang sekali mengucapkannya.
“Belum. Saya tidak langsung mati, Tuan Goroba,” sahut anjing putih.
Goroba menarik napas. “Oke, lalu…?”
“Ya, saya tertabrak, tapi tidak langsung mati. Saya terkapar. Salah satu ban mobil menggilas tubuh saya, tepat pada bagian perut. Saya masih bisa melihat ketika mobil itu kemudian berhenti. Seorang perempuan keluar dari mobil, mungkin hendak menolong saya. Tetapi, seorang lelaki yang kemudian juga keluar menahan perempuan itu dan mengajaknya kembali ke mobil. Sempat terjadi pembicaraan antara keduanya, tetapi akhirnya mereka kembali masuk ke mobil tanpa sempat melihat saya lebih dekat. Lalu mobil itu pun berlalu, seiring juga kemudian pandangan saya mengabur, lalu semuanya hilang…”
“Oh, jadi kau pingsan? Tidak mati?” tanya Goroba agak mengejek.
“Perkiraan saya waktu itu mati. Dan mungkin memang saya seharusnya mati setelah ditabrak dan digilas ban mobil itu,” jawab anjing putih.
“Baiklah.., lalu bagaimana kau akhirnya hidup lagi?” ujar Goroba, agak penasaran juga.
“Tepat pada subuh, saya tahu waktu itu subuh karena saya mendengar adzan subuh, mata saya terbuka. Saya masih tergeletak di jalanan sunyi itu. Saya merasakan hidung dan mulut saya berdarah, perut saya terasa hancur, dan dubur saya juga mengeluarkan darah. Tapi saya hidup. Saya mencoba bangkit. Dan saya ternyata bisa berdiri. Tertatih-tatih saya ke tepi tembok perumahan elite itu. Kemudian saya tertidur, atau mungkin juga kembali pingsan. Saya kembali terbangun setelah agak terang, ketika seorang perempuan datang membawakan semangkuk susu dan beberapa potong ayam goreng. Saya yakin perempuan itu adalah perempuan yang di mobil menabrak saya. Tenaga saya pulih usai minum semangkuk susu dan beberapa potong daging. Lalu saya pergi, dan tak pernah kembali lagi ke perumahan elite itu. Belakangan saya agak menyesali, karena tak sempat berterima kasih kepada perempuan itu. Mungkin nanti saya akan menemuinya…”
“Menemuinya di mana? Orang sudah pada mati semua, Asu," cetus Goroba.
“Ya nantilah, di surga,” ucap anjing putih santai.
“Yakin kau perempuan itu masuk surga?” ketus Goroba.
“Yakin. Bukankah ada cerita tentang perempuan pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing?” sahut anjing putih pasti.
Goroba terdiam sejenak. “Oke. Terus, kau juga yakin akan masuk surga? Memangnya ada anjing di surga?” cecar Goroba lagi.
Wajah anjing putih berubah sedih. “Saya tidak tahu apakah ada anjing nanti di surga, Tuan Goroba. ..” ucapnya pelan.
Goroba tersenyum puas. Akhirnya ia berhasil membuat anjing putih tak berkutik.
“Sebentar, Tuan Goroba,” ucap anjing putih, agak mengejutkan.
“Heh, kenapa?” Goroba curiga anjing putih punya jawaban lagi.
“Tuan tahu Ashabul Kahfi, cerita tentang tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama tiga ratus sembilan tahun?”
“Hmm.., ya, kenapa?”
“Bukankah ada seekor anjing bersama mereka?”
“Hmm.. agak lupa.”
“Anjing itu namanya Qithmir, dan ia dijamin menjadi penghuni surga bersama tujuh pemuda itu.”
Sialan! Goroba mengutuk dalam hati, tak terima dipermalukan oleh seekor anjing. “Aku heran. Dari mana kau mendapatkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu? Juga, bukankah kau baru saja bisa bicara bahasa manusia?” sungutnya.
“Tuan Goroba…,” ucap anjing putih seolah bijak. “Setiap hal yang terlihat dan terdengar mustahil pada diriku, semua itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab, kemustahilan terbesar yang terjadi, bahwa aku bisa bicara, membuat apapun kemustahilan yang menyusul berikutnya menjadi mungkin.”
“Hmm… aku sepertinya benar-benar harus mencurigai memang ada roh manusia yang merasuki dalam tubuh anjimu itu, Asu,” kata Goroba, lalu turun dari kursinya. Berjalan mondar-mandir di depan anjing putih yang masih duduk di meja kasir. “Coba katakan, siapakah kau sebenarnya?” seru Goroba, yang kali lebih menusuk ke dalam jiwa tubuh anjing putih. Tatapannya menghunjam.
Anjing putih dengan mata yang sendu balas menatap Goroba. “Tuan..,” ujarnya pelan. “Sebelum kita membahas apakah memang ada roh yang merasuki tubuh anjingku ini, atau Tuan mengira yang sedang bicara sekarang adalah roh seseorang, apakah Tuan tidak mau mendengar cerita tentang kematianku yang kedua?”
Goroba mengacak-acak rambutnya dengan ekspresi geretan. Satu sisi ia selalu dibikin kesal dengan cerita anjing putih, sisi lain ia dibuat penasaran. Harus diakuinya, cerita anjing putih ini seringkali mengejutkan dan menantang pikirannya. Ia pun terdorong untuk mendengarkan seluruhnya, agar lebih tahu siapa sesungguhnya anjing putih beruntung dan sekaliguskan menjengkelkan ini.
“Tuntaskanlah.... Tuntaskan ceritamu, Asu,” kata Goroba kembali duduk di kursi kulit empuk beroda. Lalu membakar sebatang rokok.
“Ya, saya tahu Tuan pasti penasaran juga, hehe…,” sahut Asu, yang lagi-lagi harus menelan senyumnya sebelum semakin membuat Goroba kesal. “Kematian kedua yang saya alami belum lama lalu. Mungkin hampir satu tahun lewat. Saya ditembak.”
“Mampus!” ceplos Goroba spontan.
“Harusnya saya memang mampus,” sambut anjing putih. “Malam itu saya melintasi padang sunyi di rerimbunan semak pinggir sungai dekat sebuah jembatan. Saya berpapasan dengan dua lelaki. Satu memanggul karung goni, satunya lagi menenteng sesuatu yang agak panjang entah apa, saya tidak terlalu memperhatikan. Lalu saya turun ke sungai untuk minum. Saat sedang minum itulah saya mendengar suara tembakan bertepatan kemudian saya menjerit, dan sesuatu menembus paha kaki kanan belakang. Saya terjengkang ke sungai. Sempat saya lihat dua lelaki itu berlari turun ke sungai, dan seseorang kembali membidikkan senapan panjang namun tidak jadi menembak karena saya keburu hanyut. Saya pun merasa telah mati. Entah berapa lama, saya seperti terbangun begitu saja dari tidur, dan telah berada di tepi sungai tersangkut sebuah ranting pohon yang menjulur. Susah payah saya ke tepi. Untungnya peluru itu menembus paha saya. Andai bersarang, mungkin itu benar-benar menjadi malam penghabisan saya. Itulah mengapa saya agak terpincang berjalan, Tuan. Oya, bila badan saya kerempeng begini, itu bukan lantaran saya jarang makan, tetapi agaknya akibat peristiwa tabrakan yang harusnya merenggut nyawa dan menjadi kematian pertama saya. Mungkin susunan usus dan sistem pencernaan dalam tubuh saya sudah tidak beres, sehingga saya tidak akan pernah bisa menjadi sedikit lebih berisi.”
Lagi-lagi Goroba menarik napas. Sedikitpun ia tidak merasa kasihan apalagi simpatik mendengar cerita anjing putih. “Mengapa kau tidak benaran mati saja ya…” gumamnya.
“Jawabnya, karena kita ditakdirkan untuk bertemu saat ini, Tuan,” sahut anjing putih. “Jelas saya adalah anjing terpilih oleh Tuhan untuk menemani Tuan Goroba. Peristiwa-peristiwa naas yang saya alami itu hanya menjadi tanda kalau saya memang dipersiapkan. Barangkali rusaknya organ dalam tubuh saya membuat wabah yang masuk menjadi tidak berarti. Dan kaki saya yang pincang membuat anjing-anjing lainnya tak mau berteman, lebih-lebih yang betina tidak mau mendekat dan berhubungan intim dengan saya.”
“Atau…,” sela Goroba cepat, “ada satu hal yang sangat buruk yang pernah kau lakukan selama hidup, yang itu kemudian membuat kau dibiarkan hidup sekarang ini sebagai sebuah hukuman.”
“Bila begitu klaim Tuan, maka kiranya Tuan pun mungkin pernah melakukan hal yang sangat buruk selama Tuan hidup,” timpal anjing putih.
Mata Goroba langsung menjurus tajam.
“Aku sudah tak tahan lagi!” Goroba turun dari kursinya. Kembali ia mondar-mandir di hadapan anjing putih. “Sekarang, sebaiknya kau katakan siapa kau sebenarnya. Ya, kau yang berada di dalam tubuh anjing ini,” tuding Goroba. Berdiri tepat di hadapan anjing putih.
Seperti selalu, mata anjing putih yang membulat sendu seolah menatap kasihan kepada Goroba.
“Bukankah sudah saya ceritakan bagaimana saya bisa bicara, Tuan Goroba…,” kata anjing putih pelan, mendongak ke wajah Goroba.
“Kau naik ke puncak gedung malam-malam, lalu memprotes Tuhan, melolong-lolong, lantas tiba-tiba saja bisa bicara, dan kata pertama yang kau ucapkan adalah ‘Tuhaaannnn’… Itu maksudmu?” cerocos Goroba. “Omong kosong! Kau.. kau…, cepat keluarlah dari tubuh anjing ini!” seru Goroba, tangannya terus menuding, tubuhnya bergerak gelisah.
“Saya tidak mengerti, Tuan,” sahut anjing putih. “Saya memang anjing. Buat apa saya berdusta. Di negeri ini sekarang hanya ada kita berdua, tidak ada artinya saya berbohong kepada Tuan.”
Goroba kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi. Ia tak tahu dengan cara apa lagi mengetahui apakah anjing putih ini dirasuki roh ataukah memang bisa bicara seperti yang diceritakannya. Lama Goroba terpekur di kursi, dengan tangan kanan menopang jidatnya.
“Tuan mengantuk, atau pusing?” tanya anjing putih.
“Hmm…” Goroba mengangkat wajah. “Kukira malam ini cukup pembicaraan kita,” katanya agak lemah.
“Tapi, Tuan…”
“Apalagi?”
“Bagaimana kalau seandainya ada roh yang merasuki tubuh saya?”
“Hah!” seru Goroba. “Kau kan sudah bilang tidak ada roh yang merasukimu, kalau kau memang anjing. Kau mau mempermainkanku?” Goroba yang semula sudah tenang, mulai terpancing lagi.
“Ini cuma seandainya saja, Tuan…,” ucap anjing putih hati-hati agar Goroba tidak benar-benar jadi marah.
“Iya, lalu?” Goroba mencoba mencari tahu ke mana arah perkataan anjing putih.
“Saya ingin yang merasuki itu adalah selebritis, syukur-syukur lagi bila pemimpin negeri ini,” ucap anjing putih malu-malu.
“Hei!” sentak Goroba. “Jangan sembarangan kau, Asu! Andai kau dirasuki salah satu dari mereka, tentu aku sudah mengenalnya dari nada dan warna suaramu. Dan andaipun kau memang dirasuki, walau kau tidak mengakui, kuyakin itu adalah roh seorang lelaki yang sepanjang hidupnya menderita, tidak pernah bahagia!” sembur Goroba.
Anjing putih tertunduk. “Sepanjang hidup, saya memang tidak pernah bahagia, Tuan Goroba,” ucapnya pelan.
“Pantas!” seru Goroba senang.
“Ya, setidaknya hingga sebelum bertemu Tuan sekarang ini,” kata anjing putih. ” Sekarang saya merasa bahagia telah bertemu dengan Tuan, seorang yang menjadi bagian dari penguasa negeri ini, yang begitu kuat dan berkuasa. Tidak pernah terbayangkan saya akhirnya bisa berbicara dengan Tuan, begitu dekat, dan hanya ada kita berdua, sementara yang lainnya mati. Tak disangsikan lagi, pasti ada sesuatu mengapa hanya kita berdua yang hidup. Menurut Tuan, apakah rencana Tuhan atas semua ini?”
Goroba kembali menghela napas. Ia benar-benar merasa letih meladeni pembicaraan anjing putih. “Cukup sudah, Asu. Tidurlah. Jangan sampai aku berpikir memotong lehermu agar menghentikan omonganmu yang sok filosofis itu.”
“Ba..baik, Tuan.” Cepat anjing putih melompat dari meja kasir. Kemudian membawa keranjang bayi dengan giginya, sebagai tempat tidurnya.
Goroba memandang anjing putih yang terpincang-pincang menuju ke ujung lorong swalayan. Ada banyak pikiran berkelebat di benaknya tentang anjing putih itu.
Tidak lama, sudah terdengar suara dengkur anjing putih. Keras dan tak beraturan. Sekali waktu seperti suara guruh, terkadang siutan angin. Goroba yang masih duduk di kursi menikmati kopi dan rokoknya sesekali tersentak kaget. Namun bukan itu yang membuatnya menyumpah. Melainkan bagaimana anjing putih itu bisa begitu cepat tertidur pulas, seolah sama sekali tidak mencemaskan bagaimana hidup mereka. Sementara dirinya sudah sekian malam tak bisa lebih cepat tidur lantaran kepalanya tidak pernah berhenti memikirkan tentang masa depan dan negerinya.
Ia bukannya tidak pernah mengusahakan bagaimana bisa meninggalkan negerinya ini, setidaknya untuk sementara waktu. Jauh sebelumnya ia sudah mengontak sejumlah negara tetangga, namun tidak satu pun yang bisa memberikan bantuan atau menerima dirinya.
Bahkan, satu negara sahabat yang selama ini cukup banyak terlibat proyek pembangunan di dalam negeri dan tenaga kerja, juga menutup pintu. Seolah kebaikan-kebaikan yang pernah diberikannya dalam urusan bisnis tidak berarti apa-apa.
Alasan semua negara itu sama; dirinya dikhawatirkan akan membawa celaka bagi negeri itu apabila menerima dirinya.
Bukan tanpa alasan. Bagaimana semua penduduk di negerinya mati, sementara hanya dirinya sendiri yang hidup. Atau setidaknya bersama seekor anjing putih yang baru bertemu sore tadi.
Yang lebih menyakitkan hati Goroba, ia dicurigai sebagai Pasien 0 (nol) wabah yang kini membunuh seluruh penduduk di negerinya, dan menjalari sejumlah negara luar—yang kini seluruhnya sudah pulih. Begitulah berita yang dilihatnya di televisi luar negeri dua hari lalu. Ingin sekali ia protes. Bagaimanapun menurutnya, dunia sudah tahu, asal mula wabah itu tidak berasal dari negerinya. Malah negerinya termasuk belakangan yang kemudian terserang wabah itu. Lalu, bagaimana ia bisa disebut sebagai Pasien 0? Walaupun memang ia pernah berkali-kali ke negeri yang semula disebut sebagai asal wabah itu, untuk urusan proyek.
Goroba juga disebut-sebut berita luar negeri itu sebagai “New Mary”.
Mary Mallon (1869-1938), sosok yang pernah menggemparkan dan menjadi sangat penting dalam dunia kedokteran pada tahun 1900-an. Mary merupakan orang pertama di AS yang diidentifikasi sebagai seorang sehat (healthy carrier) pembawa kuman tifus. Orang yang tanpa gejala, tampak sehat, namun tubuhnya membawa kuman.
Penasaran, Goroba pun mencari informasi lebih lanjut tentang Mary di internet. Ia mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang perempuan pembawa wabah tifus yang dijuluki Typhoid Mary itu, yang kini hampir disamakan dengan dirinya.
Mary, wanita asal Irlandia itu, berimigrasi ke New York tahun 1884. Bekerja sebagai juru masak. Tahun 1900 Mary bekerja menjadi koki di Mamaroneck New York, dan kurang dari dua minggu penghuni rumah yang dilayani langsung sakit tifus. Di Manhattan dia bekerja di sebuah rumah tangga, dan anggota keluarga itu kemudian menderita demam dan diare. Dia bekerja lagi di tempat seorang pengacara, dan tujuh dari delapan anggota keluarga pengacara itu menderita tifus. Tahun 1906 dia bekerja di Long Island. Dalam dua minggu enam dari sebelas anggota keluarga yang dilayaninya, juga masuk rumah sakit karena tifus.
Di mana pun Mary hinggap, di sana ia membawa wabah dan menulari orang-orang, bahkan membawa kematian. Diperkirakan ribuan orang tertular olehnya.
Sebagai healthy carrier, Mary adalah orang sehat yang pernah menderita demam tifoid namun bakteri penyebab tifoid itu tetap hidup tanpa menyebabkan dirinya sakit. Sementara, ia terus mengeluarkan bakteri dari kotoran dan urinenya.
Mary sempat dikarantina pada tahun 1907, dan dibebaskan tiga tahun kemudian. Lantas dikarantina lagi pada 27 Maret 1915 karena dianggap kembali menyebarkan demam tifoid.
Sampai akhirnya ia dikarantina seumur hidup di sebuah pulau. North Brother Island. Pada 1932, Mary menderita stroke dan tidak dapat berjalan. Selama enam tahun dia dirawat di "Rumah Sakit Riverside" pulau itu hingga akhirnya wafat.
Mary diduga dilahirkan dengan kuman tifus karena ibunya menderita demam tifoid ketika mengandung dirinya. Dan rupanya "bayi Mary" dapat bertahan hidup, lahir, lalu kemudian membawa kuman itu di dalam tubuh sepanjang hidupnya.
“Tapi aku bukan Maryyyy…..!” teriak Goroba ketika ia usai membaca cerita tentang Mary saat itu.
Goroba merasa dunia telah memperlakukan dirinya tidak adil. Ia seakan seorang yang seluruh cairan dan darah dalam dirinya mengandung bakteri. Juga peluhnya. Bahkan setiap kelembaban yang keluar dari pori-pori dan ujung rambutnya.
Bila tadi di televisi kemudian dikabarkan ada sejumlah negara ingin menghancurkan negerinya karena dianggap sebagai sarang wabah, ia menjadi paham. itu tidak lain berarti juga upaya untuk memusnahkan dirinya.
Goroba terus berpikir. Sementara itu, dengkur anjing putih telah berubah bagai suara terompet sebuah kapal besar yang mau sandar namun tak sampai-sampai di dermaga—yang lama-lama menjadi teror baru, menggedor-gedor gendang telinga Goroba.
Asu sialan! Rutuk Goroba sambil beranjak menuju tempat tidurnya.

***

Lama Goroba baru bisa memejamkan mata di tenda tidurnya. Anjing putih di pojok dalam seperti semula terus mendengkur, seakan ada sebuah peluit tersangkut di tenggorokannya. Selebihnya keheningan. Lebih-lebih di luar mal, jalanan lengang dan suram. Kota mati.
Lewat tengah malam, lampu-lampu meredup, kedap-kedip, lalu satu per satu padam.
Goroba yang belum lama tertidur terbangun. Matanya terganggu ketika sebagian lampu di dalam mal berkedap-kedip. Begitu juga anjing putih yang langsung mendatangi Goroba.
“Ada apa ini, Tuan?” tanya anjing putih kepada Goroba yang telah keluar dari tenda.
“Listrik akan padam,” jawab Goroba.
“Lalu, bagaimana?” Anjing putih gelisah.
“Bila listrik padam, mesin genset mal otomatis akan nyala.”
Bertepatan itu, listrik padam. Sekian detik kembali menyala.
“Syukurlah,” ucap anjing putih agak tenang.
“Tapi ini hanya sementara,” kata Goroba. Diliriknya jam di pergelangan tangan, menunjukkan pukul dua dinihari. “Sekarang kita lanjutkan tidur. Besok kita pikirkan kembali,” ucap Goroba.
Anjing putih kembali ke tempatnya. Sebentar kemudian terdengar lagi dengkur kerasnya.
Goroba tidak bisa langsung tertidur. Ia tidak menduga bila listrik di kota ini lebih cepat kehabisan daya dari perkiraannya. Listrik memang menjadi salah satu yang terus diupayakan Goroba terus menyala, setidaknya di ibu kota tempat ia tinggal. Saat memasuki pertengahan pandemi yang sudah memakan hampir setengah warga kota, Goroba mendatangi pembangkit listrik yang memasok sebagian besar listrik di kota. Ia memastikan listrik akan terus menyala meski pada akhirnya seluruh warga kota mati, termasuk juga pekerja di pembangkit listrik. Ketika itu, dengan melakukan sedikit rekayasa kerja mesin, dipastikan mesin tetap akan beroperasi meski sudah tidak ada lagi pengawasan dan tenaga manusia yang menjalankannya. Dengan melakukan perhitungan stok BBM, batubara, dan kerja mesin, menurut perkiraan Goroba, listrik masih akan menyala setidaknya selama 15 hari setelah seluruh penghuni kota tak ada lagi yang bernyawa. Lewat dari waktu itu, semuanya akan mati, dan kotanya menjadi gelap gulita. Ternyata, listrik lumpuh pada hari ke-12.
Menjaga listrik terus menyala, termasuk juga akses intenet, Goroba berharap dirinya tetap bisa melakukan kontak dengan dunia luar. Dan itu sudah dilakukannya. Hasilnya, semua negara luar tak ada sedikit pun yang mau memberikan hati. Seolah, ia sengaaja dibiarkan hidup lalu mati sendiri. Sekarang, dengan lumpuhnya mesin pembangkit listrik kota, maka sempurnalah sudah usahanya. Semuanya kini kembali tergantung kepada dirinya sendiri.
Tidak ada pilihan bagi Goroba, ia harus mempersiapkan diri menjalani hari-hari ke depan tanpa listrik, dan akses apapun yang dapat menghubungkannya ke dunia luar. Juga sudah tak ada lagi televisi, yang selama ini penting baginya memantau perkembangan dunia luar bagaimana mereka memutuskan yang mesti dilakukan terhadap negerinya yang kini tanpa penghuni, atau yang hanya ditinggali oleh dirinya bersama seekor anjing putih.
Jauh hari Goroba sudah mengumpulkan semua baterai, senter dan lampu bertenaga baterai di swalayan. Juga lilin, pemantik api, dan apapun yang dianggapnya penting digunakan untuk mengatasi kegelapan. Mesin genset di mal diperkirakannya hanya mampu bertahan satu hari satu malam menyalurkan listrik. Setelah itu juga akan kehabisan bahan bakar.
Terbayang dalam benak Goroba, ia akan hidup di tengah kota yang menjelma seperti hutan. Dan ia sendirian berjuang bertahan. Atau, mungkinkah bila harus keluar dari kotanya, dari negerinya, menuju ke kehidupan manusia lainnya di belahan kota dan negeri lain?

BERSAMBUNG

Sumber:
Status Facebook Sandi Firly
https://web.facebook.com/sandi.firly

0 komentar: