Cerpen Kayla Untara: Di Ni'ih

16.27 Zian 0 Comments

Rumah itu sepi. Seakan tak berpenghuni ketika aku dan juga dua rekan memasuki halaman. Begitu kami berada di depan pintu dan mengetuk pelan, terdengar bunyi langkah tapak kaki, barulah terasa ada kehidupan di dalam.
“Siapa di luar?”
“Aku, Rus!” sahut Artani.
Pintu terbuka sedikit, semuat mata untuk mengintip. “Oh. Rupanya kau, Artani. Masuklah,” ajak tuan rumah sambil menyempurnakan pintu terbuka.
Aku, Artani dan rekan Sulai melangkah masuk, duduk bersila di ruang tamu rumah Rusli.
“Ada apa senja-senja begini kalian datang padaku?”
“Ada pesan khusus dari Letnan Kolonel Zakaria untuk Tuan Hassan Basry,” aku menjawab. Wajah Rusli kulihat seketika berubah lebih serius.
“Pesan? Khusus?”
“Ya, Rus. Tadi malam Hamdi bertandang ke markas kita. Ia membawa pesan khusus dari Letnan Kolonel Zakaria untuk Tuan Hassan Basry.”

Rusli menatap tajam dari ujung kepala hingga kaki seakan ingin menelanjangiku. Wajar jika sikapnya seperti itu. Maksudku, sikapnya yang curiga dan waspada. Memang aku sudah lama tinggal di Jawa, menempuh pendidikan lanjutan di sana. Dan baru semalam aku bisa kembali ke Kandangan. Itupun mesti kulewati berminggu-minggu di tengah lautan karena blokade tentara NICA yang begitu ketat.
“Ini kau, Hamdi?” tanya Rusli kemudian padaku.
“Kau tak mengenalku, Rus?” aku balik bertanya.
“Hamdi?! Ha! Maafkan, aku tadi sempat tak mengenalmu. Kau jauh berubah, Di.”
Aku mengangkat bahu. Kemudian tersenyum dan menyalaminya.
“Apa kabar, Di? Sudah lama sekali rupanya.”
“Terlalu lama, Rus.”
“Jadi, ada apa ini? Pesan khusus apa yang kau maksud tadi, Di?”
“Apakah kau sudah mendengar bahwa akibat dari Perjanjian Linggarjati, membuat banua kita, Kalimantan, terbuang dari peta Republik Indonesia?”
“Terbuang? Apa maksudmu dengan terbuang?” tanya Rusli heran.
“Pulau ini tak diakui bagian dari NKRI. Dan secara otomatis perjanjian itu telah membuat ALRI Divisi IV di Tuban dibubarkan,” sahutku kembali.
“Dibubarkan?” gumam Rusli sambil mengalihkan pandang entah ke mana. Nampak alis dan keningnya mengerut. “Lantas?” tanyanya kembali.
“Sesaat sebelum kesatuan ALRI digabung ke Mobiele Brigade ALRI, Letkol Zakaria memindahkan Komando Markas ALRI Divisi IV ke Kalimatan dan menunjuk Tuan Hassan Basry sebagai panglimanya dengan pangkat Letnan Kolonel.”
“Jadi kesatuan kita tetap ada?”
“Begitulah.”
“Tetapi, itu berarti ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan lepas dari induknya di Jawa karena di sana telah dibubarkan…,” kalimat Rusli tertahan. Ada semacam nada kecewa dalam kalimatnya dan seperti ada yang hendak disampaikannya, tetapi dia hanya terdiam. Tak melanjutkan ucapannya.
“Aku ditugasi untuk menyampaikan langsung hal itu kepada Tuan Hassan Basry. Komando dan kebijakan yang berhubungan dengan ALRI Divisi IV kini sepenuhnya ada dipundak beliau,” ujarku lagi.
“Bukankah itu agak terlambat?” potong Sulai.
Sejurus pandanganku teralih ke arah Sulai yang duduk di sudut ruangan. “Terlambat bagaimana, Sul?”
“Batalyon A ALRI Divisi IV telah porak poranda. Kini muncul organisasi pergerakan baru bernama SOPIK yang dipegang oleh orang-orang yang tak dikenal,” jawabnya.
Seketika Rusli tertawa kecil begitu mendengar jawaban Sulai. “Rupanya siasat ini tak hanya berhasil mengelabui NICA, tapi juga kau, Sulai!’ kata Rusli kemudian.
“Siasat? Siasat bagaimana maksudmu, Andika?” Sulai heran. Akupun menunggu jawaban atas keheranannya.
“SOPIK hanyalah peralihan nama dari Divisi IV ALRI,” sahut Rusli sambil menyalakan rokoknya. “Itu merupakan strategi dari Hassan Basry sendiri. Pertama, menyikapi syarat Hammy, pimpinan batalyon Hisbullah yang bersedia bergabung asal Batalyon A ALRI Divisi IV meningkatkan statusnya menjadi sebuah divisi. Menurut Hammy, sebuah batalyon tak mungkin bergabung ke batalyon lain. Permintaan itu disetujui oleh Hassan Basry. Kedua, menyikapi Perjanjian Renville yang secara moral mengikat Batalyon A ALRI Divisi IV pada diktum tentang gencatan senjata disaat tekanan NICA Belanda semakin kuat. Maka dari itulah Balayon A ALRI Divisi IV dibekukan sementara. Nah, sambil menunggu keputusan dari induk di Jawa, ia mengusulkan nama SOPIK sebagai divisi dari gabungan dua batalyon itu. Kemudian Hassan Basry juga menginstruksikan agar semua pimpinan SOPIK memakai nama samaran, untuk mengelabui pihak NICA. Dan juga kau,” jelas Rusli sambil berseloroh pada Sulai. Kemudian tawa kecilnya kembali hadir.
Sulai yang paling muda di antara kami terlihat bingung sendiri. Ia salah seorang remaja, kemenakan dari balian Loksado, yang menggabungkan diri dalam pergerakan. Setidaknya guyonan kecil seperti ini perlu, pikirku, sesekali dilakukan untuk mengendurkan urat-urat syaraf kami. Kami pun ikut tersenyum.
“Artinya, dengan adanya pesan dan mandat dari Letkol Madun ini, komando, wewenang serta kebijakan sepenuhnya diserahkan kepada Tuan Hassan Basry,” Artani mengembalikan pokok pembicaraan.
“Ya!” sahutku.
“Bermakna SOPIK sudah tidak diperlukan lagi,” sambung Rusli.
“Jika begitu, keberadaan ALRI Divisi IV di sini sedang berada dalam posisi dilematis. Maksudku, di satu sisi kita dianggap Belanda sebagai ekstrimis, sementara pihak pemerintah Republik tidak pula menganggap sebagai bagian dari kesatuan resmi angkatan perang RI,” kata Artani lagi.
“Aku meyakini Hassan Basry dan para pimpinan lainnya akan menemukan solusi untuk itu,” sahut Rusli optimis. “Jadi, kapan kau akan bertemu Hassan Basry, Di?” sambungnya bertanya padaku.
“Secepatnya. Kuharap kau mau mengantarku,” pintaku.

***

Pertempuran demi pertempuran berkecamuk di beberapa tempat. Terutama di pinggiran kota Kandangan dan juga di kota-kota lainnya. Panyanggulan-panyangulan, penyerangan terhadap pos-pos Belanda dan tangsi militer mereka, pembersihan antek-antek Belanda, membuat Belanda dilanda kecemasan berkepanjangan. Sejak komando resmi dipegang oleh Hassan Basry, ALRI Divisi IV kembali menunjukan taringnya.
“Bagaimana sikap kita, Tuan Hassan Basry?” tanyaku suatu kali ketika kami mengetahui bahwa di Banjarmasin, Residen A.G. Delman membuat pernyataan atas peristiwa-peristiwa perjuangan yang dilakukan ALRI Divisi IV. Sebuah pernyataan yang kami maknai sebagai tantangan terbuka.
“Buat selebaran yang berisi ultimatum. Kita jawab tantangan mereka!” perintah Tuan Hassan Basry.
Maka selebaran itu segera kami buat dan sebarkan. Isi ultimatum itu adalah:

“Kepada kaum militer dan polisi Belanda yang berkebangsaan Indonesia, supaya menetapkan/menegaskan pendiriannya ikut Belanda atau memihak Republik. Kepada pegawai sipil supaya tegas-tegas memihak Republik dan mengayomi rakyat. Kepada segenap lapisan di Kalimantan Selatan supaya bersiap-siap dengan disiplin yang tinggi melaksanakan/menyambut kemerdekaan, sesuai Proklamasi 17 Agustus 1945.”

Mendapatkan jawaban seperti itu dari pihak ALRI Divisi IV, Belanda jadi kalap. Operasi-operasi militer gencar dilaksanakan. Penangkapan-penangkapan juga lebih sering mereka lakukan. Zafry Zamzam dan kawan-kawan yang merupakan pimpinan majalah Republik, kami dengar juga diringkus dan menjadi penghuni bilik penjara. Seakan tak mau kecolongan, bahkan yang jelas-jelas tidak terlibat dengan pergerakan, jika mereka duga sebagai bagian dari kelompok Hassan Basry, mereka seret pula ke penjara. Sebagian malah kami dengar mendapat perlakuan kasar dan semena-mena.

***

Siang agak terik di desa Seribu Daya ketika aku, pasukan tempur ALRI Divisi IV dan juga seluruh pimpinan ALRI Divisi IV menghadiri pertemuan. Seluruh anggota ALRI Divisi IV sepakat membentuk ‘Panitia Tujuh’ yang sedianya akan merumuskan pembentukan daerah militer. Adapun mandat Panitia Tujuh itu sendiri dipegang oleh Aberani Sulaiman sebagai ketua sedang anggotanya sendiri terdiri dari kepala staf ALRI Divisi IV lainnya, yaitu Gusti Aman, P. Arya, Hasnan Basuki, Daeng Lajida, Haji Damanhuri dan Daeng Gidul Tololio. Pertemuan dihadiri pula oleh Tuan Hassan Basry sendiri selaku komandan utama pasukan.
Aku dan juga pasukan tempur pimpinan Ibnu Hajar berada di luar rumah yang jadi wadah pertemuan. Berjaga-jaga seandainya terjadi serbuan NICA Belanda.
“Menurutmu, apa strategi yang akan diterapkan para pimpinan?” ucap Artani padaku sambil mengusap laras karabennya.
“Entahlah, tetapi kurasa beliau-beliau itu akan membuat satu pilot project yang bertumpu pada resimen II,” sahutku.
“Maksudmu?”
“Jika memang taktik itu dipakai, maka perjuangan kita akan mengadopsi konsep Perang Wilayah sebagaimana yang dikembangkan oleh Tentara Republik di Jawa,” sambungku lagi.
Belum selesai pertemuan itu dilaksanakan, tiba-tiba ada seorang anggota Pasukan Riwas membawa kabar bahwasanya Belanda sedang melakukan serangan dari tiga jurusan. Serta merta musyawarah sementara dihentikan. Mengingat pentingnya tujuan dari pertemuan, maka Tuan Hassan Basry memerintahkan untuk bersembunyi dengan cara berpencar menjadi beberapa kelompok demi menghindari kontak senjata serta mengecoh NICA seandainya mereka melakukan melakukan pengejaran dan menetapkan Pagat Batu sebagai titik koordinasi selanjutnya.
Adapun penduduk Durian Rabung diungsikan ke tempat aman, sementara Ibnu Hajar dan anggotanya ditugaskan untuk menahan serbuan Belanda untuk juga nantinya secara bertahap meninggalkan Durian Rabung.
Begitu keadaan dirasa aman, kami berkumpul lagi di simpang tiga Pagat Batu. Pasukan kemudian dibagi tiga kelompok lagi. Aku dan Artani ikut Tuan Hassan Basry dan rombongan menuju Ni’ih, sebuah kampung di hulu sungai Amandit, di lembah pegunungan Meratus. Aberani Sulaiman dan rombongan mengarah ke Telaga Langsat melalui Kalinduku. Sedang rombongan Gusti Aman juga menuju Telaga Langsat namun mengambil jalan melalui Mandapai. Sementara Daeng Lajida dan pasukannya diinstruksikan untuk melakukan serangan balasan ke tangsi militer di Kandangan.
Sebelum berpisah, Tuan Hassan Basry mengamanatkan agar segala sesuatu yang telah diputuskan dalam rapat di Durian Rabung untuk ditindaklanjuti. Jika telah selesai agar dibawa ke Ni’ih untuk mendapatkan keputusan akhir.

***

Tanduk-tanduk senja mulai terlihat di bentangan langit. Sedang anak-anak kabut bermula melayap pelan di tempat persembunyian kami, desa Ni’ih. Aku dan sebagian rekan pasukan yang mengawal Tuan Hassan Basry sedang duduk-duduk di tepian sungai. Ada yang sibuk membersihkan badan sedang aku sendiri bermaksud mengambil air wudhu. Yang lain berada di palataran rumah gubuk milik Jalau di mana Tuan Hassan Basry berada.
“Apakah kau rasa perjuangan ini akan mencapai puncaknya, Di?” tanya Artani.
Kusempurnakan wudhuku sebelum menjawab pertanyaan Artani. “Semoga, Tan. Kita semua berharap seperti itu.”
“Lantas? Apa yang akan terjadi setelah itu?”
“Hmmm…,” kutatap lekat wajah Artani, “apakah ada di antara kita yang mampu meramal masa depan, Tan?” jawabku bukan dengan maksud bertanya. Kemudian aku tersenyum. Artani menyadari pertanyaan konyolnya. Dia tertawa kecil.
“Dan kau? Jika memang perjuangan ini berakhir, apa yang akan kau lakukan, Di?”
“Kau sendiri?” tanyaku balik.
Artani kembali tertawa. “Mungkin aku akan menikah, Di.”
“Siapa yang tidak, Tan?” sahutku kembali.
“Mirna maksudmu?”
Kami berdua tertawa. Menertawakan jalan nasib dan kehidupan kami yang memaksa harus menahan diri untuk meminang seorang gadis. Tawa getir yang disahut ricik-ricik air di sela batu-batu. Percakapan yang diselingi tawa kami terputus oleh kemunculan Gusti Aman, P. Arya dan juga Hasnan Basuki.
“Apa kabar, Dingsanak!” sapa Gusti aman padaku.
“Baik. Kalian?” sahutku balik bertanya.
“Lumayan…,” jawabnya. “Kalian pergilah dulu, aku hendak cuci muka sebentar,” sambungnya pada P. Arya dan Hasnan. Mereka berdua mengangguk lantas langsung menuju ke rumah Jalau yang ditempati Tuan Hassan Basry. Sementara Gusti Aman sendiri berjalan ke arah bibir sungai.
“Bagaimana hasilnya, Dingsanak?” tanya Artani.
“Maksudmu hasil pertemuan?” sahut Gusti Aman yang berjongkok sambil mengambil air dengan kedua telapak tangannya.
“Ya.”
Dilapnya wajah dengan lengan baju sebelum menjawab. “Kami rapat hampir sepanjang malam. Hasilnya, susunan pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan akan dicetuskan melalui sebuah proklamasi. Kami bersepakat proklamasi itu harus dicetuskan segera.”
Angin malam mulai menyisih. Membisik pada dedaunan dan batu-batu. Suluh-suluh mulai dinyalakan, memarak cahaya menyambut selimut pekat. Adzan magrib lamat-lamat terdengar dikumandangkan dari arah rumah Jalau. Mendengar itu, kami bergegas menuju asal suara.

***

Pagi sekali. Butir-butir embun di rerumputan karancilangan memantul cahaya. Dengan tegap, kami diperintahkan berbaris rapi di halaman rumah Jalau. Tak lama keluar Tuan Hassan Basry di dampingi oleh P. Arya, Gusti Aman dan Hasnan.
“Rekan seperjuangan sekalian, hari ini, tanggal 17 Mei 1949, kita telah berhasil menyusun Pemerintahan Darurat RI di Kalimantan yang kita beri nama Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan,” kata Hassan Basry lantang. “Selain menegaskan keberadaan kita, pemerintahan ini merupakan wujud nyata dari usaha tandingan untuk mengimbangi dan sekaligus kelak mengakhiri kekuasaan Pemerintah Belanda di banua kita. Maka dari itu, kita mesti menegaskannya melalui sebuah proklamasi.”
Hassan Basry memberi isyarat kepada P. Arya yang dijawabnya dengan mengeluarkan selembar kertas kemudian menyodorkannya ke tangan Hassan Basry. Sekilas kulihat tulisan di kertas itu diketik dengan tinta berwarna merah. Suara berat Hassan Basry pun perlahan mengumandang.
“Proklamasi. Merdeka! Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, memaklumkan berdirinya Pemerintahan Gubernur Tentara dari ALRI melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia, untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan.
Tetap Merdeka!
Kandangan, 17 Mei IV Rep.
Atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan,
Gubernur Tentara,
Hassan Basry.“

“Merdeka!” pekik Gusti Aman.
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” yel-yel bergemuruh menampar langit pagi menyambut proklamasi itu kemudian berlabuh pada embun-embun sisa dini hari. Pekikan merdeka seakan tak menemukan muara. Kegembiraan kami meluap. Kami saling merangkul. Airmata luruh. Menyatu dalam keharuan.
Dingsanak barataan,” seru P. Arya. “Perjuangan kita masih panjang. Ini hanya langkah awal memasuki episode baru. Jangan sampai lengah. Tetap waspada dan siapkan mental. Sejak hari ini, mari kita tanamkan tekad yang lebih kuat untuk mencapai titik akhir perjalanan juang kita. Kabarkan hal ini kepada seluruh penduduk. Merdeka!”
Kembali sahutan serentak menggema. “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”
Piluntang waktu terasa berputar pelan sekali. Sepanjang hari kami menyiapkan lanting-lanting paring karena esok pagi akan kembali ke Durian Rabung. Melintasi riam dan batu sungai Amandit. Hanya seorang rekan sibuk mengetik, memperbanyak teks proklamasi untuk disebarkan.
“Begitu sampai di Durian Rabung, aku akan menuju ke Kandangan, Tan,” ucapku.
“Kau mau ke mana?” tanya Artani.
“Ada yang hendak kutemui. Selain itu aku akan membawa beberapa lembar salinan teks proklamasi pula. Apa kau ikut denganku?” ajakku.
“Kita lihat nanti sajalah,” sahutnya sambil meneruskan mengikat rangkaian batang bambu.
Gedesau riak air sungai Amandit memecah di sela batu-batu, seakan melarungkan mantra di hulu banyu.


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 16 April 2017

0 komentar: