Cerpen Sandi Firly: Perempuan yang Menjadi Gila karena Sepotong Puisi (Bagian I)

02.38 Zian 0 Comments

TAK usah kamu tulis lagi puisi malam ini untuknya, sebab puisi kemarin yang kamu berikan telah membuatnya gila.

Perempuan yang menjadi gila karena puisimu itu berdiri di sisi jendela terbuka, tetap berharap kamu datang menjelma kunang-kunang.
Seekor kunang-kunang yang disangkanya kamu berhasil diperangkapnya ke dalam toples kaca, dan dia berucap, “Katakan, apa penawar kegilaanku karena puisimu ini?”
Entah bagaimana, perempuan itu seperti mendengar kunang-kunang yang disangkanya kamu itu berbisik, “Lepaskan aku, dan ikuti aku mencari sepotong puisi yang menjadi pasangan puisi yang telah membuatmu gila itu. Sepotong puisi yang hilang itulah penawarnya.”
Perempuan yang menjadi gila karena sepotong puisi itu melompat jendela dan mengikuti kunang-kunang yang dikiranya adalah kamu,  kaki telanjang dan ujung roknya basah oleh embun malam di rerumputan.

Ia tiba di tepi hutan kecil yang tak pernah dilihatnya di waktu siang ataupun malam-malam sebelumnya, berdiri tepat di selarik jalan tanah lurus membelah hutan kecil yang tak kelihatan ujungnya. “Berjalanlah,” bisik kunang-kunang kepada perempuan yang menjadi gila karena sepotong puisi itu.
Lama dipandangnya jalan panjang di tengah hutan di bawah cahaya bulan, yang keindahan dan misterinya hanya bisa ditandingi potongan puisi yang telah menjadikannya gila. Dan, mungkinkah di ujung jalan sana akan ditemukannya pasangan puisi yang hilang sebagai penawar kegilaannya? “Sekarang kamu berjalan sendiri, bulan yang akan menemanimu,” bisik kunang-kunang, lalu terbang menghilang.
Tak ada yang lebih cemas dari kamu ketika malam itu perempuan yang kamu cintai menghilang dari kamarnya, dan kamu menjadi sedih karena orang-orang telah menuduhmu menyembunyikannya hanya lantaran hatimu pernah dilukai perempuan yang menjadi gila setelah menerima sepotong puisimu itu.
Kamu ingat, sepotong puisi itu kamu berikan saat kalian bersama di tepi pantai pada suatu pagi yang ranum—namun seketika matahari seperti melesat dan tenggelam di lautan dan hari pun berubah malam ketika perempuan itu usai membacanya. Kamu terlambat meminta kembali puisi itu, dia telah berlari pergi meninggalkan pantai—dan hanya rambut panjangnya yang berkibar-kibar seperti lambaian salam perpisahan abadi yang selalu terkenang olehmu.
Sejak itu, kamu tak pernah lagi melihatnya berdiri menunggu matahari tenggelam di tepi pantai seperti biasanya. Orang-orang bilang dia telah menjadi gila dan mengurung diri di kamar—sampai akhirnya kabar itu datang, dia menghilang. Lalu, kamu pun mengingat saat puisi untuknya itu kamu tuliskan.
Puisi itu sederhana saja, kamu tulis di bawah cahaya lilin ketika listrik padam. Di luar hujan telah lama reda, menyisakan dingin di kamar lotengmu yang tak seberapa besar menghadap pantai. Bulan tampak rendah di ujung sana nyaris tercelup air, cahanya yang jatuh di permukaan laut begitu cemerlang keperak-perakan. Kamu pun sempat melihat seekor ikan terbang melintasi bulan, air yang jatuh dari ekornya berkilauan, dan kamu seolah mendengar gemericiknya sayup dibawa angin.
Samar matamu menangkap sosok perempuan itu menatap laut, berdiri di sisi agak gelap dari cahaya bulan. Kamu tak tahu, sejak kapan dia berada di situ. Di dinding, kamu lihat jarum pendek jam telah mendekati angka duabelas—sudah terlalu malam untuk seorang perempuan sendirian di luar sana, pikirmu. Terbersit keinginanmu untuk menghampiri. Tetapi, bukankah kamu sedang menuliskan puisi untuknya? Memilih mendatanginya, bisa berarti kamu harus merelakan kata-kata puitis yang bagai kupu-kupu sedang merubung benakmu beterbangan hilang.  Tepat di detik bimbang itu, dia berpaling, dan... pandangannya dilemparkan jauh ke arahmu.
Sebentar saja, kemudian dipalingkannya wajahnya. Dan kamu sungguh tidak tahu, apakah ia sedang menangis atau tidak. Tetapi kamu mengira ia sedang bersedih. Kamu seakan sempat melihat kilau airmatanya, tetapi mungkin juga tidak. Lalu, perlahan dia meninggalkan pantai yang sepi. Kamu mengikuti setiap jengkal langkahnya, dan membayangkan juga berjalan di sisinya. Kamu mungkin akan mengelus rambutnya yang dimainkan angin, atau menghapus airmatanya bila memang benar dia sedang menangis. Tiba-tiba, entah mengapa, kamu juga merasa begitu sedih walau tak tahu apa yang mungkin disedihkan perempuan itu. Kamu hanya tahu, perempuan itu... tentangnya kini sedang kamu tuliskan menjadi sebuah puisi—yang belum lagi selesai.
Beberapa lama kamu terus memikirkannya, dan kamu seperti masih merasakan kesedihannya meski kamu tak tahu apakah ia benar-benar bersedih. Hingga terang pagi yang pucat mulai tumpah di pantai, akhirnya selesai juga kamu tuliskan dua lembar puisi untuk perempuan itu. Di depan jendela terbuka, dengan embusan angin pagi yang sejuk, kamu pun tertidur. Dan nanti, ketika kamu terbangun, kamu tidak tahu bagaimana selembar kertas berisi puisimu di atas meja itu menghilang.
Kamu sudah tak ingat persis bagaimana isi puisi di kertas yang hilang itu. Sebab kamu menuliskannya antara sadar dan mengawang, antara tidur dan terjaga, tersihir dan terpesona kata-kata. Kamu tak mungkin bisa menuliskannya ulang. Takkan sama lagi. Bagaimana kertas berisi puisi itu hilang, masih misteri bagimu. Sebab di rumah tak ada sesiapa selain dirimu. Angin pantai meski kadang berembus kencang, tak mungkin menerbangkannya keluar jendela. Kamu pun tak menemukannya tergeletak di pasir di luar sana. Pasti telah terjadi sesuatu di saat kamu terlelap di atas meja di samping kertas itu. Akhirnya kamu hanya memiliki sepotong puisi untuk diberikan kepada perempuan, yang entah kenapa, justru menjadi gila setelah membacanya. Dan itu adalah misteri yang kedua.
Perempuan itu, kamu belum lama mengenalnya, namun kamu langsung jatuh cinta kali pertama melihatnya berdiri di tepi pantai. Bahkan waktu itu kamu hanya melihat punggungnya, sebuah siluet yang dalam benakmu bagai lukisan terindah. Kamu tidak tahu dari mana perempuan itu datang. Kamu juga baru pulang ke rumahmu di tepi pantai itu setelah sekian tahun kamu tinggalkan menjalani hidup sebagai penyair di kota seberang. Dan kali pertama kalian bicara, dia langsung memandangmu sinis. “Kalian para lelaki penyair, adalah orang-orang yang harus bertanggung jawab terhadap perempuan-perempuan yang kalian buat jatuh cinta kemudian terluka dengan tipuan-tipuan puisi yang kalian bumbui mantra.”
Kamu terkesima. Sepanjang riwayat kepenyairanmu, tak pernah kamu dengar perempuan mengatakan puisi adalah tipuan berbumbu mantra untuk menjerat mereka dan kemudian melukainya. Kamu merasa terhina, namun sudah terlanjur jatuh cinta. Itulah yang membuatmu menuliskan puisi untuknya. Memang, perempuan itu mungkin tidak sampai jatuh cinta, namun ia menjadi gila. Dan kini menghilang. Kamu pun disalahkan. Orang-orang mengepung rumahmu. “Keluarkan perempuan itu, atau kami bakar rumahmu!” teriak lelaki bermata merah, berahang sekokoh karang. Kamu lihat obor di genggaman orang-orang itu bergoyang-goyang seakan tidak sabar menjilat rumahmu.
Kamu tak punya pilihan. Tapi tak mungkin pula menjelaskan perihal puisi dan perempuan itu. Kamu mempersilakan dua tiga orang memeriksa rumahmu-- yang pasti tak akan menemukan perempuan yang mereka sangka kamu sembunyikan. Setelah orang-orang pergi, diam-diam kamu pun mencarinya sendiri di sepanjang tepian pantai malam itu. Namun kamu tak menyadari, bila ternyata ada yang selalu mengawasi setiap gerak-gerikmu, bahkan sejak pertama kamu melihat perempuan yang kini kamu cari berdiri di tepi pantai waktu itu.
Dia, yang mengawasimu saat menyusuri pantai mencari perempuan gila yang hilang, adalah seorang pemuda tanggung yang mengetahui rahasia tentang puisi dan perempuan itu. Bahkan hingga pagi tiba, dan hujan, dia tetap mengawasimu berdiri di balik pohon berlipat tangan di dada, dan wajah nyaris tenggelam di bawah topi hitam. Kamu tak akan pernah membayangkan apa yang bisa dia lakukan terhadapmu dalam satu kesempatan, bisa saja di pagi berhujan ini, di saat kamu tampak putus asa kelelahan, dan kedinginan. Kamu bagai puisi lusuh, menggigil, dan terancam dimusnahkan.
Tapi dia tetap berdiri di sana, memandangmu dalam hujan yang mengaburkan batas antara pantai dan lautan. Dia tak akan buru-buru melakukan sesuatu terhadapmu. Mungkin kamu akan dibiarkannya menderita lebih dulu karena telah kehilangan perempuan yang, walau telah gila, tetap kamu puja seperti puisi-puisi cinta seorang penyair tua. Dia memiliki banyak waktu, juga kesabaran, layaknya dirimu sebagai penyair saat menunggu kata-kata menjelma helai-helai sayap yang mengapungkanmu ke dunia di mana kebahagiaan adalah juga kesedihan yang tak terperi, tawa yang mengiriskan luka, dan rindu menciptakan jurang kesepian yang teramat dalam. Begitulah dia akan selalu mengawasimu, dalam tatapan waspada yang selalu mengancam.
Dengan jiwa yang letih dan tubuh kuyup, kamu kembali pulang. Usai mengeringkan badan, kamu naik ke loteng dan merebahkan diri di tempat tidurmu. Sebelum matamu benar-benar pejam, lelaki itu memanjat kamar lotengmu dan mengintip lewat jendela yang terbuka. Tak menunggu lama, kamu pun terlelap. Bagai kucing terlatih, hati-hati lelaki itu menyelinap masuk. Diamatinya mejamu, tergeletak di sana buku puisi cinta dari penyair tua, juga buku puisi dari penyair yang pemabuk. Selebihnya kertas-kertas putih penuh coretan rencana puisi.
Terlalu mudah bagi dia untuk menghabisimu waktu itu juga bila dia mau. Tapi tidak. Dia masih menunggu. Dia masih ingin melihat apa yang bisa kamu lakukan untuk menemukan kembali perempuan terkasihmu yang hilang dalam kegilaan. Lebih dari itu, dia ingin menikmati kesengsaraanmu yang dirajam rindu tak berkesudahan.
Tertidur sepanjang pagi, kamu terbangun ketika sebilah cahaya matahari dari jendela kaca atap loteng menusuk tajam matamu. Perih. Di luar terang, air laut berkilauan, pantai yang sepi tampak begitu panjang. Tak sengaja matamu tertuju ke atas meja, sebuah kertas yang diletakkan di atas dua buku kumpulan puisi tampak mencurigakan. Kamu mendekat, dan mendapati tulisan besar-besar: AKU TAHU PEREMPUAN YANG KAMU CARI..! Cepat saja kamu melongokkan kepala keluar jendela, berharap melihat seseorang di sana. Tidak ada. Pantai sepi, laut sepi. Tapi sebenarnya tidak seperti yang terlihat olehmu. Lelaki itu, di suatu tempat yang tak kauketahui terus mengawasimu, bahkan seakan bisa merasakan degup debar dadamu ketika mendapati tulisan itu.

***

Perempuan yang menjadi gila karena sepotong puisi, yang menghilang malam itu, mendapati dirinya berada di sebuah ruangan kosong dengan dinding-dinding kaca. Tak tahu apa yang telah terjadi, dia berjalan mendekati dinding-dinding kaca itu. Sebuah pemandangan menakjubkan terhampar di depan matanya. Lautan yang begitu luas dan garis pantai yang dilukis lidah ombak, juga sebuah rumah loteng di bawah sana tampak sangat jelas. Tahulah perempuan itu bila dia berada di ketinggian bukit. Dan dia mendadak cemas ketika satu-satunya pintu ruangan itu tak bisa dibuka. Terkunci. Aku disekap? tanyanya mulai panik.
Digedor-gedornya pintu, sambil berteriak, namun suara-suara itu hanya menggema di dalam ruangan putih polos yang cukup luas untuk sebuah tempat tidur kecil dan satu meja di sisinya. Cahaya sepenuhnya berasal dari luar, juga pantulan laut yang terlihat dari kaca-kaca terang. Hanya tercium bau asbes dan cat-- sepertinya bangunan yang berdiri di atas bukit ini baru selesai dikerjakan. Kembali dia ke sisi kaca, dan berharap seseorang di bawah sana melihatnya. Ia mengira bangunan ini berada dekat tubir bukit, yang terlihat hanya sosok-sosok kecil di pantai yang jauh. Dirabanya dinding kaca yang tebal, dan ketidakmungkinan menghancurkannya. Dalam keputusasaan, ia merasakan haus dan lapar yang sangat. Bertepatan itu, terdengar suara di pintu; Klik...!
Secepat yang dia bisa, perempuan itu melesat menuju pintu yang perlahan terbuka. Seketika ia terperangah. Di depannya berdiri seorang berpakaian hitam-hitam, dan bertopeng yang hanya terlihat matanya saja bagai perampok bank di film-film yang pernah ditontonnya. Ia menerjang. Sosok bertopeng tetap bergeming. Bagaimanapun takkan bisa ia menjangkaunya. Pintu itu berlapis jeruji besi, yang tak sedikit pun bergerak ketika diguncangnya. "Siapa kau...! Keluarkan aku!" teriak perempuan itu. Sosok bertopeng hanya tertawa. Setelah meletakkan kotak makanan dan air mineral di depan jeruji pintu sejangkauan perempuan di dalam ruangan, sosok itu lantas pergi. "Lepaskan aku...! Keluarkan aku...!" jerit perempuan itu ketika suara tawa sosok bertopeng terus menjauh. Hilang.
Ia mencoba mengingat-ingat bagaimana bisa berada di ruangan itu. Namun terakhir yang diingatnya hanyalah ketika ia berdiri di depan bingkai jendela kamarnya suatu malam. Setelah itu, ia melihat seekor kunang-kunang dan sebuah jalan. Lalu tak tahu lagi apa yang terjadi. Dan sekarang perempuan itu mendapati dirinya di sebuah ruangan yang sepertinya memang disiapkan untuk penyekapan. Lalu, siapa sosok bertopeng itu? Ia seperti mengenal posturnya, namun asing dengan tawanya. Tapi mengapa aku dikurung? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu benaknya. Ia mulai mengaitkan kejadian ini dengan lelaki yang memberikan sepotong puisi kepadanya pada suatu pagi di pantai. Sepotong puisi yang membuat hidupnya yang semula seperti kapal berlayar tenang setelah hujan deras, tiba-tiba dihantam badai gelombang, hingga akhirnya hancur berkeping-keping di laut dalam. Mungkinkah lelaki bertopeng itu adalah lelaki yang memberinya puisi?
Senja berwarna jingga terlihat begitu menakjubkan. Laut menjadi cermin yang memantulkan wajah langit. Menciptakan gradasi warna yang takkan pernah bisa dilukiskan secara lebih sempurna. Perempuan itu menatap dari ruangan penuh kaca di ketinggian bukit, dengan hati yang kosong. Jauh di bawah sana, dilihatnya lelaki yang memberinya puisi berdiri di tepi pantai memandang laut dengan matahari seperti telur bebek ceplok. Berdiri tepat di tempat saat lelaki itu dulu memberinya puisi. Saat itulah ia meyakini, lelaki itu tidak ada hubungannya dengan penyekapan dirinya saat ini. Lalu siapa? Setelah diperiksanya lagi setiap kenangan dan orang-orang yang pernah dikenalnya, hanya satu yang paling mungkin melakukan itu, dia...-- tiba-tiba didengarnya suara dari arah pintu; “Mila...”
Bergegas ia mendekati pintu.
“Mila? Namaku Mila?” tanyanya kepada anak muda yang duduk di luar pintu yang dipisahkan jeruji di hadapannya. “Dan kamu... Aku tahu siapa kamu!” Ia seketika menjadi sangat marah. Namun ia lupa mengingat siapa nama lelaki itu. Ia juga menjadi sadar, ternyata tak ada satu nama pun yang bisa diingatnya. Nama dirinya sendiri yang baru disebutkan, terasa asing. Hanya peristiwa-peristiwa saja yang berlintasan di kepalanya, ia tahu orang-orang itu, tetapi tak bisa mengingat nama mereka. Dan pasti, ia tahu betul apa yang pernah dilakukan lelaki muda ini kepada dirinya.
Lelaki muda itu tertawa melihat kebingungan di wajah Mila. Dengan gerakan pelan, lebih terkesan anggun, ia merapikan rambut licinnya dengan tangan, dan mengelus wajahnya yang bersih. Senyumnya lebih mirip seringai serigala.
Mila menatap tajam penuh kebencian, seakan ingin menikam ke jantung lelaki muda di depannya. Andai tak ada jeruji penghalang, ia akan menerkam dan mencakar wajah yang seakan tak berdosa itu. Wajah manis seorang lelaki, yang bahkan bibirnya merah delima. Ia boleh lupa nama lelaki tengik itu, namun ia tidak akan membiarkan ingatannya tentang kebusukan hati sosok yang sangat dikenalnya ini turut menguap. Tak akan! Betapa ia ingin merobek-robek mulut yang terus tersenyum licik itu.
“Selamat datang di istanaku, Mila,” lelaki muda itu merentangkan kedua tangannya, lalu melipatnya kembali ke dada. Kakinya disilangkan, dan duduk nyaman di kursi busa yang tebal berlapis kulit macan tutul. ”Untuk beberapa waktu, kamu nikmati saja ruangan ini. Bukankah pemandangan senjanya begitu indah dari atas sini? Nikmatilah semua keindahan itu, sebelum nanti kamu takkan bisa melihatnya lagi untuk selamanya. Selamanya.”
Mila bergidik, seakan ia sedang berhadapan dengan seekor ular.
“Lepaskan aku!” teriak Mila. Tangannya mencengkeram jeruji-jeruji besi seukuran kelingkingnya yang membatasi dirinya dari dunia luar. “Tidak ada keindahan yang lebih berharga dari sebuah kebebasan. Terkutuklah dengan istanamu ini!”
Lelaki muda berwajah putih pucat mengembangkan senyum dengan menarik kedua ujung bibirnya. Alisnya yang tebal dan rapi terangkat seolah berkata, “Aku tak peduli.”
Mila menarik dahak dari kerongkongan, lantas menyemprotkannya ke wajah itu. Dahak kuning kental tepat mengenai kelopak mata sebelah kanan, dan seketika membuat wajah putih pucat itu merah padam. Dengan gerakan cepat lelaki muda itu merapat ke jeruji dan mencengkeram kedua tangan Mila. Tak menduga mendapat reaksi seperti itu, Mila terkesiap. Gentar. Ditatapnya dengan kengerian mata yang membelalak dan merah yang seakan hendak menelannya bulat-bulat.
”Mampus, kamu!” sembur bibir merah delima itu. Disekanya dahak dengan sapu tangan yang diambil dari saku belakang celananya. ”Tapi, tidak...tidak...,” ucapnya pelan, melepaskan cengkeraman, dan melangkah mundur perlahan. Kemudian menarik napas dalam-dalam dan seolah tak terjadi apa-apa. Lalu merapat lagi, ”Kamu tinggal saja dulu di kamar ini, sambil kamu perhatikan kekasih penyairmu di pantai sana. Sampai nanti kamu saksikan bagaimana kekasih penyairmu itu menemui ajalnya!” kata-kata itu diucapkan setengah berbisik, penuh tekanan, disertai seringai memuakkan.
Mila tiba-tiba merasakan desiran angin dingin mengelus belakang lehernya. Sebuah kengerian mulai membayang di depan matanya.
Dengan gerakan tenang, cenderung anggun, lelaki muda itu beranjak dari kursinya. Mila seolah melihat sosok tak terduga, bagai jiwa yang tersesat dalam belantara dipenuhi hewan-hewan buas. Dulu, kali pertama bertemu, Mila mengenalnya sebagai lelaki muda tampan yang rapi dan bersih. Berbicara lembut, tak terbayang akan keluar kata-kata busuk dari mulutnya, bahkan terhadap seekor kucing yang telah mencuri ikannya sekalipun.
Mila mengingat-ingat bagaimana ia kali pertama bertemu lelaki muda itu, di suatu sore di pantai yang kini bisa dipandangnya secara leluasa dari ketinggian ruangan yang mengurungnya saat ini. Mila tengah duduk membaca sebuah buku puisi di bawah kerindangan pohon ketapang, ketika lelaki berwajah manis itu menghampirinya dengan dua es krim di tangannya.
“Saya tidak mungkin memakan kedua es krim ini sekaligus. Maukah kamu mengambilnya satu?” tawarnya ramah, dan senyum menawan.
Tak ada alasan bagi Mila untuk menolak. Lelaki muda berperawakan sedang berkulit terang itu terlalu berlebihan bila dicurigai memiliki niat jahat terhadap dirinya, setidaknya saat itu. Dan es krim, wanita mana yang tahan godaannya. Begitulah awal perkenalannya dengan lelaki, yang entah kenapa, kini namanya telah menguap begitu saja bagai jejak di pantai terhapus ombak. Tak sehuruf pun tertinggal di kepalanya.
(BERSAMBUNG)

Sumber:
https://web.facebook.com/notes/sandi-firly/perempuan-yang-menjadi-gila-karena-sepotong-puisi/1444655888898598

0 komentar: