Cerpen Gusti Solihin Hasan: Kawan-Kawan Sederhana
Tujuh tahun yang lalu. Hanya di ujung sana dilindungi rumpunan-rumpunan bambu sebuah rumah baru berdiri, rumah tembok berkaca, atap genteng. Sungguh ganjil rumah tembok semacam ini di sudut yang begitu sepi dan terpencil, dan tidak laras dengan keadaan sekitarnya. Rumah-rumah desa beratas ijuk dan lalang yang tebal, lumbung-lumbung padi gemuk-gemuk juga beratap ijuk, balai latihan gong, warung kopi sedikit diperbesar dari dulu di tepi lorong yang sempit, pintu gerbang pura penuh ukiran dan patung-patung, sanggah-sanggah dengan atapnya muncul di atas tembok pura penuh lumut dan sana-sini batu merahnya rontok. Sebuah meru tinggi bertumpang sembilan, balai sajen, rumpun-rumpun bambu, pohon beringin tua, semak-semak, sungguh ganjil dan tidak laras.- Rumah siapa itu –
- Saya pak –
O, menantu Pak Guru (Nama Kasta), orang yang disegani dan mungkin terkaya.
- Bagus, jawabku. Aku tahu tidak mengatakan yang sebenarnya: lebih baik dia
membuat rumah tembok bergaya Bali meskipun pakai atap genteng juga, seperti yang pernah aku lihat di Denpasar, dan bagus. Tapi aku adalah tamu dan tidak ingin mengecewakan dia, yang bangga sekali akan rumah barunya. Tapi setelah kami dekati aku jadi kasian padanya. Ruangan dalamnya agak kotor seperti biasanya rumah-rumah Bali di desa. Prabot-prabot tani itu dan alat-alat penangkap belut janggal kelihatannya bersandar dan berselewiran di dinding ruang tamu. Dari jendela kaca itu aku melihat sebuah lemari kuno besar, pintunya sebelah sedikit terbuka, bagian bawahnya diisi dengan kelapa yang sudah dikuliti dan di atasnya barang-barang pecah-belah.
- Mriki pak –
Pak Guru menyilahkan aku ke rumahnya. Dulu aku juga tidur di rumah dia. Meskipun
beberapa kawan mengajak aku tidur di rumahnya saja, tapi malam ini aku pilih rumah Pak Guru juga. Bukan memilih tempat, tapi ingin membungahkan dia yang telah menganggap aku seperti keluarganya sendiri.
Segera ruangan depan rumah ini penuh dengan kawan-kawan. Banyak di antaranya aku lupa namanya. Memang agak sukar mengingatkan nama-nama Bali yang sederhana tapi aneh-aneh bunyinya itu: Nyoman Rabig, Made Rubeg, Luh Rawit, Ktut Reneng, Gung Gumbreg, Ida Bagus Nyana dan sebagainya itu.
Mereka adalah kawan-kawan baik dan aku ingat benar orang-orangnya, raut mukanya, tampan-tampan dan simpatik.
Itu Wayan Gadung datang, penari terbaik di desa itu bersama gadis-gadis penari lainnya. Tapi mereka sudah lebih besar sekarang dan montok-montok, sudah gadis-gadis remaja. Satu persatu mengasih tangan padaku, seperti dulu mereka lakukan juga ketika aku kembali tengah malam buta dari perjalanan sesat yang menggemparkan desa kecil ini. Ya, aku masih ingat betul, siapa-siapa orangnya yang mencari aku ke laut dan menemukanku. Dan Wayan Radu..............
- Mana Wayan Radu! seruku. Anak yang kupanggil segera merangkulku dari belakang dengan tertawa berteriak: Saya pak, ini saya! Dia masih tetap gemuk dan lucu dan dia inilah yang sering menemaniku kemana-mana.
Saya betul-betul kehabisan ketawaku, otot-otot di pelipis dan di pipiku jadi tegang dan terasa sakit. Kangen bertahun-tahun ini biar pupus.
Aku dijamu makanan Bali, buah-buahan, kuwe-kuwe dan minuman. Kami makan-minum bersama-sama, bercerita banyak, dan ketawa yang lepas. Beberapa kawan main suling dan rebab. Ini adalah kebiasaan mereka tiap malam. Sebenarnya aku cape dan mengantuk, tapi selalu saja ada kawan-kawan datang, salaman lagi, ngomong dan tanya-tanya lagi, ketawa-ketawa lagi. Begitu sampai tamu yang terakhir pamitan. Sudah jam satu malam.
Sekarang sepi sendirian. Tidak terasa malam yang ditaburi ketawa yang padat tadi lenyap. Satu-satu tinggal ngiang-ngiang dalam telinga dan mengendap. Pak Guru sudah lama mendengkur di kamar sebelah. Sebentar terdengar kecap-kecap mulutnya atau giginya yang beradu seperti orang menggaruk-garuk dinding.
Di luar gelepar angin melalui atap lalang dan berderai di dedaunan menyapu-nyapu malam. Tapi dalam kamar ini terasa panas dan lembab. Aku rebahkan badanku yang cape di atas bale-bale yang keras dan bantal yang kaku. Bau yang dulu juga. Bau yang kukenal sejak lama: kecut, anyir, amis, entah apa lagi raginya yang tepat. Tapi aku sudah menjadi biasa dan sebentar sudah tak terasa mengganggu. Hanya bale-bale yang atos ini memang menyakitkan pinggang. Ah, hanya satu malam saja. Besok toh aku sudah balik ke Denpasar karena pekerjaanku. Dulu juga aku pernah tidur beginian bersama-sama beberapa kawan pelukis di rumahnya ibu Ktut Reneng di Kedaton Denpasar. Dan itu terjadi berbulan-bulan, enak saja, sudah menjadi biasa. Ya, tujuh tahun yang lalu itulah kami mulai melukis di Bali bersama enam orang kawan-kawan pelukis. Aku dapat uang dari hasil lukisanku yang laku di exposisi G.. di Taman Siswa Jakarta. Tiga ratus rupiah NICA. Kami lalu melukis di Denpasar, Sanur, Ubud, Kintamani dan Denpasar kembali. Kawan-kawan pada pulang, karena selain uangnya habis, juga surat jalan sudah habis waktunya. Hanya empat bulan. Kecuali aku yang merasa tak cukup waktu dengan empat bulan hanya untuk bisa mengenal Bali, mengajukan permohonan pada pemerintah NICA supaya diperpanjang waktuku sampai bertahun-tahun. Tapi hanya dapat tambahan tiga bulan, jadi semua tujuh bulan. Mulai hari itu aku mengembara sendirian melalui lorong-lorong di desa-desa menskets atau melukis. Banyak malam aku habiskan dengan menonton latihan menari di Banjar Lebah, di Sanur atau tari janger di Kedaton. Demikian aku banyak berkenalan dengan para penari dan penggamel. Mula-mula hanya berkenalan saja, tapi lama-lama aku tertarik pada mereka dan menanyakan bagaimana caranya mereka menghidupkan seni tari di desanya, bagaimana dengan kehidupan para penari dan penggamelnya, dengan perkumpulan-perkumpulan kesenian lainnya. Aku kagum juga dengan usaha-usaha mereka membangun desanya dengan perkumpulan-perkumpulan yang bermacam-macam itu. Dan hasilnya baik sekali. Tapi sedihnya juga orang-orang sederhana ini telah dipermainkan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari mereka. Untuk menanggap gong selama dua jam main di salah satu hotel untuk turis umpamanya, yang mestinya dapat sekian ratus rupiah, hanya dapat separohnya saja. Separohnya masuk kantong orang lain. Dan untuk pelukis, mereka dapat bahan-bahan dari orang lain, lalu menjual lukisannya pada orang itu dengan harga murah yang menjualnya kembali dengan harga yang lipat ganda. Kasihan mereka. Timbullah niatan di hatiku untuk membantu kawan-kawan ini dengan sedapatku, mengumpulkan mereka di suatu tempat, merundingkan dan memberitahukan akan keadaan mereka sebenarnya dan menganjurkan mereka membentuk perkumpulan gabungan dari segala gong yang ada di Denpasar. Usaha ini telah dikerjakan dan terbentuklah sebuah perkumpulan gabungan gong yang diberi nama Cinta Manik. Perkumpulan ini jadi meluas sampai anggotanya juga dari gong-gong dari Tabanan. Orang-orang tidak bisa mempermainkan merek lagi dan segalanya diurus oleh perkumpulan. Baru-baru ini perkumpulannya melawat ke Jawa dan main di berbagai kota: di Jakarta, Bogor, Bandung dan Cirebon juga di Jogya. Sebagian anggotanya ada yang ikut rombongan kesenian ke luar negeri, Kolombo, Singapura dan Peking.
Sikuku terasa sakit. Memang kalau tidur di bale-bale atos ini permulaannya badan seluruhnya terasa seperti diremet-remet, apalagi kalau tidur miring. Tapi ya, hanya satu malam ini, besok malam tidur di Denpasar.
Angin malam menyusup melalui celah-celah jendela yang renggang dan terasa dinginnya di kaki. Aku lipat kakiku, membungkuk dan menyurup ke dalam sarung seperti keong menyembunyikan dirinya, seperti ini kulakukan biasanya juga tujuh tahun yang lalu, juga di bale-bale ini. Ai, ketemu lagi dengan bale-bale! Kuraba pinggirnya yang kukuh dari kayu jati tebal. Masih seperti dulu. Selalu aku berpegang pada tepinya yang kukuh ini apabila akan membalikkan badanku. Dialah yang pertama menampung badanku dan memberikan kehormatan padaku untuk merebahkan badanku di atasnya. Dan dialah yang banyak mendengarkan keluhan-keluhan nafasku dan menerima pengaduan-pengaduan dari debaran jantungku dengan murah hati. Dan mengapa aku sampai begitu jauh berjalan sampai berkenalan dengan bale-bale ini. Dan lemari tua ini. Dan kamar yang baik ini. Tapi itu memang karena keinginanku. Seleraku untuk mengetahui sebanyaknya apa yang menarik perhatianku seperti Bali ini, yang selama ini merenggut dan membuka nyalang mataku. Bali yang begitu bagus dengan keseniannya dan orang-orangnya yang ramah, baik hati, sangat sederhana, jujur, tapi juga miskin. Miskin dalam benda, kebutuhan dan persoalan yang begitu sedikit. Buta dan tertutup akan dunia sekitarnya, hampir-hampir seperti museum dari makhluk yang bernyawa dan berkebudayaan, ditonton oleh orang luar; dengan perlengkapan yang hampir-hampir tak layak untuk manusia, ya sungguh tak layak. Tapi toh orang-orang pandai bisa bertepuk dada tentang Bali hanya untuk satu sudut, sudut keseniannya saja. Dan kalau kita lihat bagaimana pendidikannya, pembangunannya.
Ya, tentu bersabar juga. Tentu akan membangun juga dan mendasari pembangunan itu dengan kebudayaan dan kesenian yang begitu asli dan tinggi: arsitekturnya, seni hiasnya, ukirnya, patung dan lukis, gamelan dan tari dan lainnya. Apabila tidak, maka Bali hanya akan tinggal kenang-kenangan masa silam saja, reruntuhan dan puing-puing saja yang mengingatkan kita akan peninggalan-peninggalan kejayaan nenek-moyang yang pernah tinggi dan dibanggakan, dan puas kalau para turis sudah mengangguk-anggukkan atau menggeleng-gelengkan kepalanya. Jangan, jangan sampai begitu. Pemerintah harus membangun tapi dengan bijaksana bersama-sama rakyatnya memperhatikan akan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan mereka.
Apakah orang-orang bijaksana itu juga memikirkan ini seperti juga aku memikirkannya? Barangkali tidak pernah. Tapi barangkali juga sudah, malah sudah masuk dalam rencana, hanya menunggu waktu, waktu yang baik. Tapi kapan.......?
Tanganku tak terasa menampar-nampar dinding. Bayangannya yang hitam menggeletar karena lampu minyak sawit yang kecil ditiup angin ikut menampar-nampar tapi kemudian lemah jatuh pelan-pelan dan terkulai.
Lolong anjing dekat pura mengejutkanku. Mula-mula keras meninggi kemudian pelan dan dalam, panjang dan tersedu-sedu. Anjing-anjing lainnya datang membantu dengan tingkah yang sama tapi nadanya berlainan. Koor yang aneh dan sumbang, ditujukan ke langit, ngeri dan menyayat-nyayat, mula-mula khidmat kemudian kacau pecah berkeping-keping, tinggal lengking-lengking kecil, jarang-jarang dan tercecer di sudut-sudut malam.
Aku tarik sarungku sampai ke pundak, menyusupkan muka ke bantal. Tadi sebenarnya aku sudah mengantuk, tapi sekarang keningku terasa panas. Barangkali darah-tinggiku kumat lagi. Biasanya memang begitu kalau aku melupakan istirahat, kebanyakan kerja, sembrono makan. Soalnya sedikit sekali: hidup yang beres dan ketenangan. Sebenarnya aku kemari ini hanya ingin menemui kawan-kawan baik ini saja toh. Biar rindu selama ini dipuaskan.
Bau amis dan lembab bantal ini menyesakkan nafasku. Aku menelentang lagi, merenggangkan kaki dengan tangan di bawah kepala. Bayangan kasau dari bambu yang berbentuk payung itu menggelepar-gelepar seperti sarang labah-labah. Seperti mau mengurung aku. Tapi, ah, tidak, itu hanya bayang-bayang saja. Kalau siang dia manis sekali. Batang-batang bambu yang dipernis kekuning-kuningan diikat ruas-ruasnya dengan rotan yang dicat merah, dengan balok-balok pendukungnya diukir dan digambari dengan warna-warna merah muda, kuning dan biru muda. Bagus sekali. Biasanya kalau dulu aku mau tidur siang sejenak aku menikmati keindahan yang sederhana ini lalu tertidur dengan warna-warna di mata. Konon kabarnya rumah ini umurnya sudah tua sekali, tapi toh hiasan dalamnya masih seperti baru. Apalagi hanya tujuh tahun ini, hampir-hampir tidak membawa perubahan apa-apa. Juga jendela berjerajak kayu ini, masih seperti dulu. Ya, dari jerajak jendela ini dulu tangan-tangan pada beruluran memberi salam padaku ketika pulang dari perjalanan sial itu. Tapi, ya, bukan sial, malah membawa kenangan baik, kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Kenangan yang syahdu, yang dalam, yang indah. Lucu juga di tengah-tengah kawan-kawan sederhana ini. Apa yang tidak mungkin terjadi di kota, bisa terjadi, seperti cerita dalam buku-buku saja. Tapi memang sungguh-sungguh terjadi begitu. Aku juga sama-sekali tidak menduga, tidak mengira.
Tidak mengira juga akan sampai ke desa yang terpencil ini. Memang ini akibat keinginan-keinginanku yang begitu besar dan serakah.
Dulu di Denpasar aku punya kawan-kawan penari dan penggamel, yang memang sengaja aku kumpulkan untuk tiga kali seminggu mengikuti semacam kursus mengenai kesenian, maksudku agar mereka mengetahui juga sedikit-sedikit akan dunia luar, punya perbandingan-perbandingan lalu mengenal dirinya sendiri. Mereka ini semuanya bisa membaca dan menulis dan bisa berbahasa Indonesia meskipun tidak lancar.
Aku hanya ngomong saja, menerangkan tentang kesenian kehidupan para seniman-seniman di Jawa dan seniman-seniman besar di Eropah lalu kehabisan bahan dan mendongeng melantur saja seenaknya. Mereka memang suka bertanya, dan selalu diulang-ulang. Mereka datang dari tempat yang jauh-jauh kadang berpuluh kilometer jalan kaki, melalui sawah-sawah. Aku jadi terharu atas kesungguhan mereka. Kadang-kadang pagi-pagi sudah ada di rumah, membantu aku, membawakan kotak cat atau apa saja kalau melukis di luar, padahal kursus diadakan sore hari.
Setelah berlangsung kira-kira satu setengah bulan, aku benar-benar kehabisan bahan. Buku-buku tidak ada dan dongeng-dongeng itu aku akhiri saja. Salah seorang pengikut yang tertua paling setia dan bersungguh-sungguh, mendekatiku dan berkata,
- Pak Jawa –
Aku memang selalu dipanggil Pak Jawa. Mereka tahu namaku tapi rupanya memang agak sukar menyebutnya dan karena aku datang dari Jawa mereka sebutkan saja aku Pak Jawa.
- Barangkali ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Tapi saya merasa berhutang budi sama Pak Jawa. Saya tidak bisa membalasnya. Barangkali Dewa bisa membalaskan budi yang baik. Tapi kalau Pak Jawa tidak begitu repot, tidak keberatan, nah, saya persilahkan bapak datang ke desa saya di Tabanan. Di sana saya punya gong dan saya sendiri melatih, saya sendiri memimpin. Barangkali ada baik untuk bahan-bahan bapak, ya. Saya tahu sekali bapak pinter kesenian tari biar tidak menari. Jadi bapak biar kasi kretik.......apa namanya itu, kalau tariannya atau agem-nya sama menggamelnya tidak baik, tidak alus. Tapi kalau baik biar bapak puji supaya dia lebih giat –
- Jauh dari sini –
- Hanya empat puluh kilometer naik bis, lalu sedikit jalan kaki. Ongkos-ongkos sudah bapak jangan pikir. Saya semua yang tanggung –
Ini kebetulan aku pikir. Kesempatan baik ini jangan dilalaikan, meski aku hanya punya uang dua perak NICA waktu itu.
- Baik, dan kapan kita berangkat –
- Dua hari lagi pak, saya tulis surat dulu biar disambut dengan meriah, ya –
Lucu juga. Ini lakon Petruk Jadi Raja, aku pikir.
Kubalikkan badanku ke kiri. Di dinding ada samar-samar bekas coretanku dulu, gambar gadis Bali, cantik. Masih utuh gambarnya, meskipun samar-samar aku masih dapat mengikuti garis-garisnya. Coretan fantasi saja di waktu iseng. Tapi tepat, sederhana bentuknya seperti juga orangnya, sederhana ramah dan baik hati. Memang di mana-mana aku disambut dengan ramah, ketawa yang tidak dibuat-buat, selalu mengelilingiku dengan gerak-geriknya yang tidak malu-malu dan bebas. Ya, aku dimanjakan berlebih-lebihan. Mereka menerimaku dengan gembira. Dari jauh mereka sudah datang menyambutku seperti mengelu-elukan kedatangan seorang menteri. Kakiku dicucikan dari lumpur bekas jalan kaki melalui sawah sejauh tujuh kilo.
Aku dan Pak Nyoman Ridet, guru menari, guru gamel, komponis itu yang membawaku ke desa ini, didudukkan di atas bale-bale yang lebar dan tinggi, dijamu makanan Bali yang sudah biasa aku rasai.
Malam itu Pak Nyoman mau memperlihatkan hasil pimpinannya, gong-nya, kepadaku. Aku dan Pak Nyoman didudukkan di atas korsi. Klian, Pak Guru dan lainnya di atas bangku. Di belakang kami penuh penonton penduduk desa itu sendiri.
Pak Nyoman memberi isyarat, dan mulai dengan serempak dan gemuruh, merenggut-renggutku. Belum bermain dua menit, tiba-tiba Pak Nyoman berteriak: - Stop ! Stop !! –
Seluruh bunyi berhenti tiba-tiba, seperti api disiram air. Sunyi dan tegang. Aku sendiri juga kaget. Aku lihat Pak Nyoman matanya berkilat-kilat.
- Bagaimana ini! – katanya keras dalam bahasa Bali.
- Baru beberapa bulan ditinggalkan sudah jelek mainnya. Kenapa begitu kacau dan gugup. Baru main di muka Pak Jawa sudah gugup, belum lagi main di muka Bung Karno. Bagaimana saja jadinya –
Suaranya lantang dan keras.
Salahnya Pak Nyoman. Kenapa dia tadi memuji-muji aku dalam pidatonya sebelum gong dimulai: - Saudara-saudara. Titiang perkenalkan, Pak Jawa, pelukis ulung, pinter dalam segala kesenian, paham seni tari, paham seni gamelan. Titiang ini gurumu, tapi masih belajar sama Pak Jawa –
Nah, reklame jual obat. Akibatnya mereka kagum dan gugup.
- Sudah! Lupakan Pak Jawa, - sambungnya lagi – Anggap Pak Jawa tidak hadir. Anggap Titiang saja yang hadir. Coba main lagi! –
Semua tangan bergerak, memperbaiki duduk masing-masing, menekuni gamelannya dengan badan tegak dan sungguh-sungguh, kemudian ........byarrr !!! Gamelan gong berdesir bergema di desa yang sepi itu. Bunyinya yang dahsyat tapi bening itu menyusupi tulang-tulangku, segala persendianku. Seakan aku ikut bersama mereka, ikut menahan nafas, ikut membakar, ikut mengalir kadang-kadang menurun dengan derasnya, kadang berputar pelan-pelan dan mengasyikkan.
Seorang gadis penari kecil Wayan Gadung tampil pelan-pelan ke tengah lingkaran dengan malu-malu dan menundukkan kepala. Tapi tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, dan kerlingnya, dan tangannya, jari-jarinya......, ah, aku tidak melihat lagi seorang gadis kecil, tapi seorang bidadari atau dewa yang turun ke bumi. Perkasa betul dia. Seluruh tarian itu dikuasainya.
Begitulah nomor demi nomor berjalan dengan lancar dan mengagumkan. Selesai tarian, Pak Nyoman menyuruh aku berpidato sebentar menyatakan pendapatku. Kukatakan bahwa aku kagum akan mereka. Belum pernah aku menyaksikan pertunjukkan sebagus itu. Aku nyatakan kekaguman dan kepuasanku. Juga kepada Pak Nyoman sebagai guru yang bijaksana. Pak Nyoman ketawa girang. Dia menaruh tangannya di pundakku dan berjalan berdempetan waktu kami pulang ke rumah aku menginap ini.
Seperti sore tadi itulah mereka mengerumuniku dan di beranda rumah ini juga. Menghujaniku dengan berbagai pertanyaan, kadang-kadang menggelikan tapi juga kasian: ada katak di Jawa pak, ada belut pak. Ada kelapa pak, ada pura, ada sawah, ada babi.
Waktu itu jam sebelas malam. Salah seorang di antara mereka menjawilku dari belakang.
- Pak, memperkenalkan. Saya Klian, Kepala Kampung. Saya dengar Pak Jawa pelukis ulung, guru kesenian. Kami semua merasa bangga bapak sudi datang di sini dan maaf seadanya serba sederhana ini. Selain itu kami ingin memajukan permohonan, kalau bapak tidak keberatan, kami ingin dapat kenang-kenangan dari bapak. Perkumpulan gong kami sudah lama ingin membuat tenda. Dulu kami pernah liat di Singaraja. Apakah bapak bisa membuatkan untuk gong kami.-
Ini dia langkah yang mujur, pikirku. Aku hanya punya uang dua rupiah NICA. Barangkali aku di sini bisa dapat uang cukup untuk bekalku nanti. Biasanya membuat dekor begini pukulannya banyak apalagi kalau diborongkan.
- Tentu bisa, jawabku. Berapa biji dan berapa besarnya –
Mereka berunding sebentar, mencoret-coret dengan jari di meja. Lalu pikir-pikir.
- Satu biji pak, ukurannya dua meter –
Dua meter! Kasian pikirku. Itu bukan dekor. Itu gambar biasa. Lalu kuterangkan arti dekor dan fungsinya untuk tarian dan lakon. Dan kugambarkan berapa besar dekor ketoprak atau wayang wong di Jawa. Kubawa-bawa pula dekor ballet.
- Untuk tarian saudara paling sedikit empat setengah kali tiga meter sudah cukup, kataku. Dan berapa tarian saudara punya –
- Empat tarian pak –
- Nah, bikin empat biji ukuran empat setengah kali tiga meter –
Mereka berunding lagi, mencoret-coret lagi di meja, berpikir dengan sungguh-sungguh. Menunjuk-nunjuk dengan tangannya pada balok-balok sepanjang emper. Mengulang-ulangnya beberapa kali. Lalu menghela-hela nafas.
- Tidak bisa pak, katanya lembut. Uang kas gong kami tidak cukup. Sekarang belum musim manyi, belum lagi ongkos bapak –
Sayang. Keinginannya begitu sungguh-sungguh. Tiba-tiba aku dapat pikiran. Aku mau menunjukkan pada mereka dekor sebenarnya dan ingin melihat mereka berbahagia, bisa menari di depan dekor.
- Begini saja. Uang yang ada dibelikan saja kain dan cat. Tentang saya jangan dipikir. Asal saja saya dijamin selama membikin tenda itu. Bagaimana? –
Mereka berunding lagi sebentar, lalu mata semua memandang kepadaku.
- Setuju pak –
Demikianlah sebulan lebih aku membikin dekor itu. Geli juga kalau mengingatkan pengalaman-pengalaman yang lucu selama itu. Empat warung kopi yang ada di desa itu semuanya tidak mau menerima uang bayaranku kalau aku jajan di warungnya. Akhirnya aku malu sendiri dan malas untuk jajan. Sekali pernah kupaksakan membayarnya, dengan menaruhkan uang itu di ujung meja dan pergi cepat-cepat. Gadis warung itu diam saja. Sebentar sesudah sampai di rumah, Pak Guru menghampiriku dan memasukkan semacam benda keras dan gemerincing ke dalam sakuku dan berbisik: - Jangan bayar lagi –
Ketika aku menonton wayang kulit atau arja atau angklung di desa lain yang jauh, selalu Pak Guru menutupkan ke dalam tanganku uang ketip banyak sekali. Untuk minum kopi, katanya.
Pengawalku sepasukan dan selalu setia mengikutiku sampai pagi. Kerap kali aku dibawa ke gadis-gadis cantik yang berjualan sepanjang jalan sekitar perayaan itu. Hanya untuk ngobrol, mengganggunya, memujinya atau merayunya: bunga yang di telinga itu saya minta, ya? Gadis itu selalu tersenyum kemalu-maluan.
Kalau aku memasuki warung kopi di desa lain dan biasanya di sana banyak pemuda-pemuda yang sedang berkelakar, aku lalu diperkenalkan sebagai orang Jawa. Serentak pemuda-pemuda itu berhenti berbicara dan memandangiku. Selama aku di warung kopi itu tidak satu yang angkat bicara, kecuali kalau kutanya. Mereka memang selalu merasa rendah dengan orang-orang Jawa. Barangkali pengaruh dari cerita-cerita jaman Majapahit.
Ketika aku sedang melukis dekor, mereka selalu mengerumuniku dan duduk dengan diam-diam dan takzim. Kalau aku sedang diam sambil memandangi dekor, memikirkan dan menimbang-nimbang di mana warna-warna yang belum harmonis, komposisinya yang belum kompak, selalu aku diganggu dengan tawaran-tawaran: minum kopinya, pak, makan pisangnya, pak, kuwenya, pak. Dan benar-benar aku kesal.
Suatu pagi aku sedang menyelesaikan dekor yang penghabisan, melukiskan sebuah pintu gerbang pura, pohon beringin, Gunung Batur serta danaunya. Mereka berbisik-bisik dari tadi rame sekali. Tiba-tiba seorang mengajukan permintaan.
- Pak, kawan-kawan minta bapak bikinkan burung belibis mandi di danau itu –
Mati aku. Bagaimana aku bisa melukiskan belibis mandi di danau, sedang pohon-pohon cemara yang berjejer di pinggir danau itu saja kecil-kecil sebesar jari. Tapi itu khas berpikirnya orang-orang Bali dalam lukisannya. Komposisinya jadi bersusun-susun ke atas sampai benda yang paling jauh: Ada sawah, seekor katak sedang melompat. Ular mengejar katak, gadis terkejut, takut sama ular, si pemuda angkat tangan mau lempar ular dengan batu. Di sekeliling pura banyak pohon cempaka, di tanah bunganya berserakan. Di dahannya ada burung gagak lagi makan tokek. Di ujung tangkai sana ada sarang burung, anak kecil naik pohon mau ambil sarang, induknya beterbangan berkeliling ketakutan paruhnya dibuka lebar-lebar. Di bawah pohon kambing-kambing ditambat, si gembala memegang suling melihat ke adiknya yang sedang naik pohon. Di atas tanduk kerbau sedang berkubang bertengger burung jalak, jalak-jalak lainnya berebut belalang di tanah. Seekor burung kuntul lagi makan kepiting dekat kubangan. Kepiting lainnya menjepit leher kuntul itu hingga kesakitan dan kuntul lainnya kaget terbang ketakutan sambil menoleh, dan seterusnya. Begitu cerita lukisannya bersambung-sambung tak putus-putus sering rame sekali dan padat. Hanya dibatasi lebar doek saja. Tapi itu memang khas Bali.
Tidak enak kalau aku tidak meluluskannya. Lama juga aku memikirkan bagaimana caranya supaya burung belibis bisa masuk di dekor itu. Akhirnya dapat juga jalan. Aku lukiskan pancuran dan rawa di sebelah pintu gerbang dan di rawa itu seekor burung belibis sedang mandi. Bukan main senangnya mereka. Seluruh kampung berbisik dari mulut ke mulut dan semuanya datang melihat.
Geli juga aku memikirkannya.
Kokok ayam berderai mewarnai malam.
Pak Guru menggumam. Rupanya dia mengigau. Aku menelentang lagi dan terasa sakit seperti kesemutan. Ah, sebenarnya aku ingin istirahat dari jalan jauh ini. Seluruh badanku terasa penat, tapi tak mau tidur-tidur juga. Kepalaku menjadi panas. Malam tambah beku, tapi kenapa pikiran meloncer dan meleleh-leleh juga. Barangkali karena aku banyak ketawa sore tadi, banyak ngomong, kebanyakan makan dan campur apa saja. Perutku terasa panas. Barangkali dengan membuka jendela itu angin dingin bisa menyejukkan kepalaku dan mudahan bisa tidur.
Jendela kungangakan. Memang angin sejuk masuk dan udara nyaman sekali. Di luar gelap, hanya lampu lentera yang biasanya dipakai untuk mencari belut malam-malam dan digantung di rumah gedung berkaca itu menerangi sepetak kecil halaman rumah. Lalu daun-daun pohon jeruk hitam bergerak-gerak ditiup angin dan melentur ke tanah karena buahnya yang sarat. Selain itu bayangan hitam saja. Di mana-mana bayangan hitam.
Aku tiduran lagi. Sekarang menghadap ke jendela. Angin basah memukul mukaku. Tidurlah, tidurlah badan yang penat. Besok ada kerja di Denpasar, semoga bisa istirahat. Kupejamkan mataku pelan-pelan seperti orang mau tidur. Nafas kutarik dalam-dalam dan mengaturnya seperti orang sedang tidur. Kulemaskan seluruh anggota badanku biar lepas segalanya. Senyap, senyap, nafas, dengkur, gedebar jantung, kokok ayam, tangis bayi, nyanyi cacing, nyari cacing, ah busyet! Jendela itu lagi berkereot ditiup angin dan tertutup sebelah. Kapan toh tertidur ini. Kapan.........
Aku menelentang lagi memandangi jendela dengan mata lesu setengah tertutup. Jendela itu dulu juga pernah kubukakan saja semalam-malaman supaya kawan-kawan bisa melihat aku sudah pulang dengan selamat dan tertidur. Tapi aku tak tahan hati dan selalu pergi ke jendela dengan air mata bergenang dan satu persatu bersalaman dengan mereka, laki perempuan yang datang berbondong-bondong dari pantai dari mana-mana. Mereka mencariku kemana-mana di malam yang buta itu masing-masing membawa obor atau senter. Gerombol-gerombol dari empat lima orang, semua, semua penduduk Bongan kecuali yang tua-tua. Sungguh aku tidak mengira.
Dan siapa................?!
Suara itu semakin mendekat, melayap bersama angin melalui pepohonan, mengusap dan menyejukkan kening benar. Pasti itu Made Rawig, pikirku. Dia pemain suling yang dikagumi. Aku kenal benar iramanya yang halus tersedu-sedu. Pasti dia Made Rawig.
Sebentar terdengar kaki orang berjalan didekat jendela, dan ..........
-Kenapa jendelanya tidak ditutup?! –
Aku terduduk dan betul-betul dia Made Rawig.
-Selamat malam, pak. Kenapa jendelanya tidak di tutup, ulangnya. Nanti masuk angin –
-Biar dingin, sahutku pelan. Made mau ke mana –
-Cari belut di sawah, pak –
-Jam berapa sekarang –
-Jam setengah empat –
-Jam setengah empat! ......... sama siapa –
-Sama adik saya, itu dia! –
Seorang anak laki-laki umur 16 tahun membawa lampu suar dan alat-alat penangkap belut di bahunya dan sebuah keranjang.
- Sudah bangun, pak! Mari ikut cari belut –
- Sebenarnya saya ingin, tapi cape sekali – sahutku lesu.
- Ya, selamat tidur lagi, pak. Nanti jendelanya saya tutupkan –
Bunyi suling berdesir lagi, mengalun tertegun-tegun tapi pasti, mengusap kening, mengusap dinihari, mengusap dada yang kering ini.
Sayup-sayup ..........................
Sayup-sayup ..........................
Keterangan:
Titiang : saya.
Manyi : musim panen.
Sumber:
Majalah Budaya, Yogyakarta, No.2, Th.VI, Februari 1957
https://web.facebook.com/notes/masyarakat-sastra-kalimantan-selatan/cerpen-gusti-solihin-hasan/313721688692660
Profil Penulis:
Gusti Solihin Hasan dilahirkan di Kampung Sungai Jingah, Banjarmasin, 7 Juni 1925. Pendidikannya MULO (Banjarmasin) dan Cinedrama Institut Jakarta (1948). Dikenal sebagai pelukis kaliber internasional, padahal ia juga menulis puisi, cerpen dan esai sastra (sejak 1950-an). Karyanya dimuat di Majalah Sastra (Jakarta), Majalah Budaya (Yogyakarta, 1957) dan Majalah Bandarmasih (Banjarmasin). Di zaman Belanda dan Jepang, ia sering keluar-masuk penjara, karena aktivitasnya di Ikatan Pejuang Kalimantan (IPK) Yogyakarta. Tahun 1953, ia bekerja di Kantor Jawatan Kebudayaan Kanwil P & K Yogyakarta, dan Jawatan Kebudayaan Kanwil P & K Kalsel di Banjarmasin (1954-1955). Tahun 1956, ia kembali ke Yogyakarta. Sejak itu, ia lebih menekuni profesinya sebagai pelukis, sering mengikuti pameran. Lukisannya dipamerkan di RRC, Brazil (bersama Affandi), India, Belanda, Perancis, Singapura dan Malaysia. Tahun 1960, ia hijrah ke Denpasar (Bali), hingga akhir hayatnya. Atas prakarsa PWI Kalsel dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 7 Januari 1993 kerangka jenazahnya dipindahkan dari Denpasar, ke Taman Makam Bahagia, di Kota Banjarbaru.
0 komentar: