Cerpen Rezy D Riswandy: Hujan di Isola
"Jika satu bulan lamanya kau tak melihat hujan, maka jika suatu saat aku sudah tak bisa bertahan dengan ini semua lalu pergi, itu berarti ruh ku merindukan mu, jadi kenanglah genggaman tangan ku di Isola sambil melihat lagit malam".***
Bandung, Maret 2008
"Naik bis Damri aja ya, kalo dipaksain naik bis AC entar disana jajan nya gak bisa puas lagi"
"Makanya aku bilang juga apa! kita pake mobil ku aja"
"Kan ini aku yang ngajak, lagian buat apa kalo jalannya pake mobil kamu, sama aja dong kunjungan kali ini kamu yang teraktir, memang laki-laki apa aku kalo sampe cewe yang neraktir"
"Ya udah, naik bis AC aja, disana mau jajan apa juga"
"Yaudah! kalo cemberut mending ngak jadi sama sekali aja Zhe"
"Iya-iya-iya cungkring, nih aku senyum nih, repot banget dah ah!"
"Hahaha dasar anak manja!"
Turun distasiun Hall dari arah terminal Leuwi Panjang kemudian menuju Ledeng tepatnya di kawasan sebuah Universitas yang namanya terlalu samar untuk disebutkan, kami akhirnya menapakan kaki kami untuk ke dua kalinya ke sebuah bangunan unik yang biasa di sebut Isola, sebuah gedung tua peninggalan Belanda dizaman kolonial. Sepanjang perjalanan memasuki kawasan Universitas itu dihiasi taman yang teduhnya sudah sampai ke hati ini.
Mengapa kami menyukai tempat ini karena dari puncak bangunan ini semua terlihat begitu menakjubkan, hamparan hijau dan desa dibawah akan memukau siapapun, yang lebih membuat kami berdecak kagum ketika kami menundukan kepala kebawah, pemandangan dok kapal dikelilingi riak air seperti membuat kami seolah berada disebuah kapal pesiar yang selalu kami impikan. Sungguh arsitektur yang indah.
Kami kemudian duduk dibangku yang berada dipinggir kolam besar, lalu hujan yang begitu lembut turun tepat di pukul 5:05 PM. Menggusur kami untuk berteduh dibawah pepohonan ditaman.
"Kau tau mungkin akan sulit untuk selanjutnya seperti ini"
"Aku tau, soal papi kan?"
"Iya, meski mami setuju saja, tapi kau tau kan betapa idealisnya papi"
"Soal keturunan nya kelak yang tak boleh tercampur dengan pribumi kan?"
"Iya, tapi aku tak bisa mendustai hati juga sih, kalau cowok cungkring pendek yang lumayan manis kaya kamu mengisi hampir seluruh bagian disini" ucapnya seraya menunjuk kearah dada.
"hahaha"
"Jika satu bulan lamanya kau tak melihat hujan, maka jika aku sudah tak bisa bertahan dengan ini semua lalu pergi, itu berarti ruh ku merindukan mu, jadi kenanglah genggaman tangan ku di Isola sambil melihat lagit malam".
"Hahaha ada-ada aja dasar cina gila"
"Biar, weee, eh aku bawa kamera ayo poto-poto"
"Ogah, sini aku aja yang motoin"
Hujan lembut itu sudah cukup lama pergi, dan sebelum senja terlalu jingga, kami turun dan kembali ke Jatinangor. Dimana nasi goreng ikan asin dengan suiran ayam dan segelas coklat hangat sudah menanti disaat kami pulang.
***
Bandung Akhir Maret, 2009
Karena jatuh cinta itu biasa saja, ketika mereka ramai memperbincangkan seorang calon suami dengan pendidikan ekonomi di Belanda dan sempat mengikuti kelas mandarin langsung dari Hongkong, kau hanya tersenyum geli pada ku, dan hal itu entah kenapa sedikit menenangkan tanpa bisa ku jelaskan apa alasannya. Kau mengajak ku keluar untuk menghindari perbinacangan tersebut. Taman Dewi Sartika menyambut manyar yang bersiur disore terik, lalu hujan lembut sekali lagi menggusur kita untuk berteduh sejenak,
"Ini seperti di Isola" ucap mu lembut
"Kalau begitu anggap saja kita sedang berjalan ditaman Isola"
Kemudian kita memilih berteduh di babancong (rumah peristirahatan dalam bahasa sunda), pada sebuah sisinya kita lihat sepasang kekasih yang saling berpelukan. Aku tau hal itu menyentuh sisi melankolis kita, tetapi karena jatuh cinta itu biasa saja, tangan kecil ku kemudian hanya menggenggam tangan mu dengan erat. Karena untuk kita ini cinta yang begitu sederhana yang hanya melibatkan hati kita, tanpa terbesit sedikitpun untuk menghadirkan nafsu hewan tak terkontrol di hubungan ini.
Seperti apa rasanya jatuh cinta kembali adalah rindu yang mengebu-gebu dalam bisunya buku. Sebelum kepulangan ku yang ternyata merupakan pertemuan terakhir kita, kau berikan sebuah buku bersampul hitam dengan dominasi warna hijau diseputaran hitam.
"Aku yakin ini akan kau baca berulang kali" ucap mu lembut. Aku membacanya tiga kali, setelah 'berita' di akhir Januari itu kuterima, aku menyimpannya rapi, meletakannya ditumpukan terbawah dari beberapa buku yang ku punya.
Ada satu hal yang selalu ku pertanyakan, mengapa seorang etnis tionghoa dengan marga yang baik harus jatuh cinta pada pribumi cungkring? Jawabannya kini telah sirna bersama abu kremasi didalam sebuah guci hijau lumut berbahan batu giok dengan dikelilingi dupa didepannya, dan foto hitam putih mu dibingkai anggun dengan wajah tersenyum bahagia disana. Tetapi, setidaknya aku tau mengapa kita melakukan semua itu dan jawaban yang sangat pasti untuk dapat diucapkan adalah semua karena cinta sederhana kita.
***
Banjarmasin, Pertengahan Juni 2011
Hampir sebulan hujan tak juga nampak, malam ini aku membawa tiga kaleng bir murah dan duduk ditepi sungai, menghirup aroma kehidupan yang sesungguhnya. Tiba-tiba seorang gadis Chines berusia sekitar 16 tahun yang tengah asik menikmati deras angin sungai bersama kekasihnya yang seorang pribumi menyeruakan kenangan itu, untuk dia yang tersenyum di surga, malam ini untuk hujan di Isola. Tiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttttttttttttttttttttttt...
Sumber:
http://www.kompasiana.com/reizy/hujan-di-isola_55011f12a333111d725128e7
0 komentar: