Cerpen Hamberan Syahbana: Manusia Sungai
Setiap kali memandang sungai ini, aku teringat masa-masa indah yang telah kita lalui bersama. Masih segar dalam ingatanku, dua puluh lima tahunyang lalu, orangtuaku memberikan kelotok ini sebagai hadiah perkawinan kita. Beliau juga membekali sembako dan bahan keperluan sehari-hari. Orangtuamu melengkapi isinya dengan bahan-bahan lainnya.“Cempaka, ingat baik-baik pesanku, mulai sekarang kita tidak serumah lagi,” begitu kata ibumu. “Jadilah istri yang baik taat suami, rajin mengerjakan perintah agama. Segala sesuatunya harus kamu rundingkan dengan suamimu. Jika terjadi sesuatu, kamu cepat-cepat pulang. Kalau perlu sesuatu bisa titip pesan lewat kelotok yang mau pulang” begitu lanjut beliau.
“Nak Madi, mulai hari ini Cempaka bukan lagi tanggung jawab kami, dia sudah menjadi jadi tanggung jawab kamu sebagai suaminya,” begitu kata ibumu.
Tanggung jawab itu aku terima dengan senang hati. Mulai hari itu aku benar-benar merasa sebagai seorang lelaki mandiri yang bertanggung jawab penuh atas dirimu. Setelah selesai upacara selamatan seperlunya, lalu doa restu orang tua, dengan bismillah kita memulai hidup baru sebagai keluarga mandiri yang siap menyisir sungai menggilir pasar mecari rezeki, baik untuk keperluan sehari-hari maupun keperluan di hari nanti.
Hidup terapung di sungai memang sangat menyenangkan, sangat praktis. Mau mandi atau mencuci, air sungai berlimpah sudah tersedia. Mau memasak? Kau tinggal cuci beras, ikannya bisa ikan asin, atau ikan segar hasil pancingan, bisa juga telur dadar atau telur mata sapi. Penghasilan untuk keperluan hidup, kita dapatkan dari hasil berjualan sehari-hari. Kalau habis, beli lagi ke Pasar Lima di Banjarmasin, atau di kelotok besar sales yang biasa mengkanvas berbagai barang dagangan.
Sebagai pengantin baru, kita berbulan madu memadu kasih menyusuri sungai ini. Menyisir kampung menggilir pasar, menjual berbagai barang dagangan. Dari sembako sampai barang keperluan lainnya.Tak ubahnya seperti mini market terapung, segala macam keperluan ada di sini. Kelotok ini selain sebagai sarana usaha perniagaan juga berfungsi rangkap sebagai rumah tinggal kita.
“Rahmadi, nanti kalau anakmu berusia enam tahun, dia harus sekolah, kan?”tanya ibumu.
“Ya, Bu,” jawab kita bersama.
“Nanti titipkan saja anakmu itu di sini,”begitu usul ibumu. “Dia tinggal di sini bersama neneknya, sekalian dia sekolah di sini saja.” lanjut ibumu pula.
Demikianlah usul ibumu, ketika mengetahui bahwa kandunganmu itu sudah berusia lima bulan. Pada saat kita pulang kampung beberapa hari menjelang hari raya puasa. Rasanya baru satu dua minggu kita meninggalkan kampung halaman, padahal sudah bertahun-tahun mengadu nasib menyisir sungai menggilir pasar. Pada saat semua keluargaberkumpul kembali, alangkah bahagianya riang gembira tumpah ruah ditengah-tengah keluarga.
Meskipun sepanjang tahun kita selalu berada di sungai, tetapi anak kita tetap harus bersekolah seperti anak orang lain. Aku tidak ingin anak kita sama seperti kita mengais nasib di sungai ini.
“Bang, maunya Abang nantinya anak kita mau jadi apa?” begitu tanyamu suatu hari sambil menyusui anak kita.
“Ya, jadi apa saja,” jawabku. “Asal jangan jadi manusia sungai seperti kita.”
“Lho, memangnya kita ini manusia yang tidak baik?” tanyamu keheranan.
“Bukan begitu maksudnya,” cepat-cepat aku menyanggahmu.”Tetapi ia harus lebih baik dari hidup kita. Dia tidak boleh menjalankan kelotok ini, tetapi harus menjalankan mobil di jalan yang mulus. Dia tidak boleh berpakaian kumal dan lusuh seadanya seperti aku ayahnya ini,tetapi ia harus memakai pakaian bermerek, kalau perlu ia juga harus pakai dasi. Kita telah sepakat, pokoknya masa depan anak kita ini harus lebih baik dari hidup kita. Makanya kita harus gigih lagi mengusahakan biaya pendidikannya.”
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kita sudah melanglang buana di sungai ini selama dua puluh tahun lebih. Tetapi tiba-tiba kau pergi menghadap ilahi. Hidupku kini berjalan sendiri, tanpa dirimu sebagai mitra belahan hati, tak ada lagi tempat berbagi suka dan duka. Sedangkan Syamsudin anak kita yang semata wayang itu pun kini asik dengan kuliahnya, aku tidak akan membawanya menyisir nasib di sungai.
Meski kau kini sudah tiada, kecintaanku kepada sungai tak akan pernah berubah. Aku mencintai sungai ini apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dengan segala romantika dan dinamikanya. Tak perduli sampah dan limbah apapun yang berserakan di dalamnya, aku tetap rindu. Kekurangan apapun yang dikatakan orang tentang sungai ini, tidak akan mengurangi kecintaanku kepadanya. Aku mencitai sungai ini sama dalamnya dengan cintaku kepadamu.
Inilah sungai kita yang airnya berwarna coklat susu, di mana orang tua kita telah menghabiskan seluruh hidupnya bergantung pada sungai ini. Bukan cuma orangtua kita, tetapi seluruh keluarga kita turun-temurun menggunakan sungai ini sebagai jalur perniagaan. Ada yang membawa barang pecah belah dan berbagai jenis gerabah, hasil kayu olahan bahan bangunan rumah, hasil tanaman seperti labu dan semangka, bahkan bibit anakan palawija siaptanam, dan lain-lain barang jualan. Saat ini aku jadi teringat, kitapun sama seperti mereka hidup sebagai orang sungai.
Sejak kematianmu dua minggu yang lalu, kelotok kita ini tidak jalan, kelotok itu kini bertambat di batang rumah kita. Rumah kecil di tepi sungai yang dulu kita beli ketika anak kita ingin kuliah di Banjarmasin. Lihatlah, kelotok itu semakin ngambek minta dijalankan.
Tapi bagaimana caranya? Kelotok ini harus dijalankan minimal oleh dua orang, satu memegang kemudi di depan, dan satunya lagi menjaga mesin. Aku tidak akan meminta anak kita menemani menjalankan kelotok ini, tidak akan dan tak akan pernah.
Kini Syamsudin sudah beranjak dewasa, wisudanya baru saja dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Aku duduk di deretan para orangtua, gembira bercampur sedih, mengingat kau tidak ada disisiku. Anak kita jadi sarjana! Jadi sarjana! Satu langkah perjuangan kita sudah berhasil Wah betapa bahagia punya anak yang sudah jadi sarjana. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah yang telah mengabukan harapan kami. Tentunya kau di sana kuharap juga dapat merasakan kebahagiaan ini.
Belakangan ini kelotok ini beristirahat panjang, semakin hari dagangannya pun semakin berkurang, lama-lama tentu akan habis dipakai sendiri. Ingin rasanya aku kembali ke sungai. Diam-diam kurasakan ada rindu di sungaiini, aku ingin sekali kembali menyusuri sungai bersama kenangan yang kita alami dulu. Sekalian aku ingin memperkenalkan kepada mereka di sepanjang tepian sungai, ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin ”Hei semua yang tingal di tepian sungai, lihatlah, inilah Syamsudin anakku kini sudah jadi sarjana!”
Akhir-akhir ini sering kulihat Syamsudin menjalankan kelotok ini bersama teman-temannya, sepertinya mereka merencanakan sesuatu. Apa ya? Apakah dia juga ingin menjadi manusia sungai seperti kita? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Belakangan ini dadaku sering berdebar-debar, diiringi rasa nyeri di dada kiriku, bahkan sering diiringi rasa sesak nafas.
“Din, Kuliahmu kan sudah selesai? Kapan melamar pekerjaan?” tanyaku.
“Buat apa melamar pekerjaan? Udin mau buka usaha wisata sungai, dan kelotok ini mau Udin jadikan kelotok wisata. Proposalnya sudah diterima dan dananya siap cair. Udin bisa membawa wisatawan menyusuri sungai ini. Atau menapak-tilasi perjalanan sungai sejarah berdirinya kerajaan Banjar. Pokoknya banyak hal yang bisa dipaket dengan keberadaan sungai ini.”
Betapa aku terkejut bagai disambar petir di tengah hari, yang sangat tidak kita inginkan akhirnya terjadi juga. Udin anak kita ingin menjadi manusia sungai. Dada ini berdebar bercampur nyeri, nafasku pun semakin sesak. Sementara suara Syamsudin terdengar semakin menjauh dan akhirnya menghilang tidak terdengar lagi. Lalu berubah menjadi suara orang-orang membaca Surah Ya Sin. Aneh, nafasku tidak sesak lagi. Kudengar ada yang membisikan sesuatu di telingaku, pelan-pelan kuikuti, tiba-tiba terasa yang yang begitu ringan perlahan keluar dari ubun-ubunku.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamberan-syahbana/cerpen-lawas/10152540724347442
0 komentar: