Cerpen Aliman Syahrani: Asli Warik Banua
SUASANA hutan Manggaringsai sore itu terlihat ramai, para warik sedang mengadakan kongres. Hampir semua penghuni hutan bermarga warik hadir dalam kongres tersebut.“Baiklah saudara-saudara sekalian,” sebuah suara lantang terdengar membelah kesunyian hutan, suara Orang Hutan tampaknya. “Sebelum saya memulai acara kongres kita kali ini, terlebih dahulu saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebar-besarnya atas kehadiran saudara-saudara sekalian. Saya juga ingin menyampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada kalian semua dan kepada siapapun yang merasa belum terhormat.” Orang Hutan berhenti sebentar untuk mencari posisi yang paling ideal di dahan pohon jingah yang didudukinya sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sebagai pihak pengundang pada kongres kali ini, saya ingin mengajak kalian semua para warik untuk membicarakan seputar pemilihan kepala hutan yang sebentar lagi akan dilaksanakan serentak termasuk di hutan Manggaringsai ini. Hal ini saya anggap sangat penting demi kelangsungan hidup kita semua di hutan ini,” kata Orang Hutan lagi menjelaskan maksud kongres mereka hari itu.
Para warik yang hadir dengan serius mendengarkan kata sambutan dari Orang Hutan, suasana tampak hening.
“Kelangsungan hidup? Apa maksud saudara dengan perkataan itu?” Tiba-tiba Warik Banar mancalungap dari cabang pohon lurus sambil menyembunyikan setandan buah pisang ke balik punggungnya.
“Hei! Siapa itu tadi yang bicara?” kata Orang Hutan bertanya sambil matanya mencari-cari sumber suara.
“Saya, Warik Banar,” sahut Warik Banar sambil baribai ke dahan pohon jingah dan duduk di dahan paling atas.
“Oh, Anda rupanya,” kata Orang Hutan dengan gaya seorang politisi kawakan. “Baiklah, saya kira saya memang perlu menjelaskan tentang kelangsungan hidup yang saya maksudkan itu. Begini saudara-saudara, menjelang pemilihan kepala hutan kali ini, saya mensinyalir adanya gejala perpecahan di antara kita sesama warga warik di hutan Manggaringsai ini. Saya melihat kalian mulai terpecah-belah gara-gara mengusung calon kepala hutan yang kalian dukung masing-masing. Di sisi lain, kalian juga mulai saling menjatuhkan dengan menyebarkan propaganda primordial dan bahkan kampanye hitam. Saya tidak menghendaki hal itu terus berlangsung. Saya harap kita semua tetap hidup rukun dan damai, siapapun yang kita dukung dan terpilih nantinya, khususnya kedamaian di antara kita sesama warik di hutan Manggaringsai ini berdasarkan asas kebersamaan.”
“Bah! Ide jahanam macam apa ini, tidak mungkin!” ujar Warik Banar setengah histeris. “Apakah itu artinya saya harus membagi-bagikan setiap buah dan umbi-umbian yang kumiliki kepada warik-warik pemalas tapi rakus dan jahanam yang hadir di sini? Tidak! Ini benar-benar ide jahanam gila, ini tak boleh terjadi!” rutuk Warik Banar lagi dengan wajah memerah karena marah.
“Tenangkan diri Anda, Kawan,” Bangkui mulai angkat suara. “Siapa yang Anda maksudkan pemalas dan rakus itu tadi? Saya? Engkau Warik pamalar yang loba dan tamak, aku sama sekali tidak kepingin pada buah-buahan dan umbi-umbian yang kau miliki itu. Engkau boleh terus menumpuk buah dan umbi-umbian hasil curianmu itu sampai mampus. Tapi jangan sok aksi di hadapanku. Aku punya kekuatan, punya pengaruh, punya orang-orang militan yang tinggal kuperintahkan untuk melaksanakan apapun yang kumau. Buah-buahan dan umbi-umbian hasil curianmu itu bagiku tak ubahnya seperti setumpuk tai kucing busuk!”
“Hei, hei, hei, Warik Tampan,” potong Warik Banar menenangkan Bangkui dengan nada ironi. “Jangan dulu Anda emosi. Saya tadi cuma mau memperingatkan kalau di forum ini jangan sampai kita mengambil keputusan yang merugikan orang lain.”
“O, jadi Anda mau berlagak bersih?” sergah Bangkui masih dengan nada marah. Kini ia naik satu dahan mendekati Warik Banar. “Kesiangan kau Warik Banar! Sudah berapa banyak gunung dan lembah milik warga Banua yang kebunnya kau rampas buah dan umbinya? Berapa likur sawah yang kau cuntan padinya untuk memenuhi kantong di lehermu itu? Apakah engkau sangka perbuatanmu itu luhur? Lalu kau banggakan jangan sampai merugikan orang lain? Kau sendiri adalah pencuri murahan, perusak lahan pertanian warga yang paling licik. Tak ada warik yang selicik dan seculas engkau di dunia perwarikan ini. Kaulah satu-satunya!”
“Jahanam kau Bangkui! Kau benar-benar tidak tahu diri. Apakah kau juga mau berlagak bersih dari segala percikan dosa? Tidakkah kau sadari sudah berapa banyak hutan dan gunung yang kau keruk dan kuasai? Kau pengaruhi penghuninya dengan kekuasaan dan pengaruhmu yang busuk itu, kau intimidasi mereka dengan taring-taringmu yang jahanam itu. Apakah yang seperti itu kau anggap luhur, bermartabat? Kelakuanmu tak ubahnya seperti kelakuan lahung jahanam!”
“Stop! Ini sudah keterlaluan,” tiba-tiba seekor Uwa Uwa betina bangkit dari duduknya di dahan pulantan. Setelah membuang biji buah palipisan yang baru dilumunya, Uwa Uwa menudingkan telunjuknya ke arah Warik Banar sambil berkata, “Kau menyinggung perasaanku. Tidak perlu kau menyindir seperti sikap seorang perempuan, karena yang lahung itu adalah aku, bukan Bangkui. Tidakkah kau tahu, sebelum ini aku termasuk speseis warik yang suka malahung. Banyak warik-warik jantan di Banua ini yang telah mendapatkan pelayanan memuaskan dariku, dan merekalah yang selama ini memberiku makanan dan semua keperluanku. Itu demi kesenangan mereka juga, bukankah itu sudah kau maklumi Warik Banar! Sebab itu tak perlu kau bangkitkan amarahku dengan sindiranmu yang lacur dan lanji itu!”
“Ha, ha, ha…” Tiba-tiba terdengar sepasang suara tawa dari pohon katapi suntul yang ada di samping pohon jingah tempat forum kongres itu berlangsung. Semua mata memandang ke arah datangnya sepasang suara tawa yang sama sekali tidak merdu itu. Ternyata di sana bergelayutan sepasang Kukang yang sedang berpelukan dengan sangat erat. “Itu betul, betul sekali apa yang dikatakan oleh Uwa Uwa. Sekarang juga ia masih menjadi lahung. Untuk apa hal itu harus diperdebatkan di sini? Ini forum diskusi yang alamiah, eh ilmiah maksudku.” Si Kukang tertawa lagi sebelum melanjutkan kata-katanya. “Dan kau juga Warik Banar, jangan menyinggung perasaanku. Yang lacur dan lanji di hutan ini hanya aku, kami berdua. Tidakkah kau lihat selama ini aku selalu memeluk pasangaku ini ke mana pun kami pergi. Jadi jelas sekali kata-katamu tadi sengaja kau ucapkan untuk memojokkan diriku. Walaupun aku lacur dan lanji, aku masih punya harga diri, tahu? Aku tetap setia dengan satu pasangan di sepanjang hidupku, tidak pernah gonta-ganti seperti warik-warik lainnya. Aku tidak terima dengan tuduhanmu itu Warik Banar, kau harus tarik kata-katamu itu, atau aku akan bertindak mengadukan hal ini kepada pihak yang berwajib!”
“Terserah, kamu mau apa Kukang jahanam!?” tantang Warik Banar garang.
“Tahi palat! ” Tiba-tiba Uwa Uwa kembali bangkit dari dahan pulantan yang diduduknya. “Diam-diam kau punya nyali menuduhku tetap malahung, Kukang! Untuk apa kau mencampuri urusanku. Aku punya hak otonom mengatur rumah tanggaku. Aku menjadi lahung demi nafsuku sendiri yang selalu minta dipuaskan. Dan kau adalah warik yang lanji, tak tahu malu, sok setia dengan satu pasangan, meskipun untuk itu engkau sanggup mempertontonkan kelanjianmu dengan memeluk pasanganmu di tengah orang banyak di sepanjang hidupmu. Kau juga telah menyebabkan dosa berantai di kalangan manusia lantaran minyak di tubuhmu mereka jadikan guna-guna, pilet pemikat di antara lawan jenis manusia. Kelanjianmu telah menyesatkan tidak hanya bagi dirimu tapi juga makhluk lain. Sekarang nikmatilah popularitasmu dengan kemesraan palsu dan dusta itu supaya engkau puas. Bukankah kemesraan palsumu itu yang menjadikanmu terkenal dengan kelanjianmu selama ini?”
“E, e, e, dasar lahung! Sudah begitu jeleknya watakmu masih saja kau sempatkan mengumpatku. Dasar bedebah kau ini!” sahut Kukang geram menahan amarah.
“Sabar Saudara-Saudara,” tiba-tiba Bakantan angkat bicara. “Seperti tadi sudah dikatakan Mas Bro Orang Hutan, maksud kongres ini adalah bagaimana kita tetap hidup rukun dan damai dalam suasana pemilihan kepala hutan kali ini berdasarkan asas kebersamaan.”
“Jahanam, lagi-lagi kebersamaan,” gerutu Warik Banar masih tidak terima.
“Nah, itulah,” kata Bakantan menyela. “Lebih baik jangan dulu kalian berdebat. Dengarkan dulu penjelasan Mas Bro Orang Hutan baik-baik, jangan sampai kita salah paham karena hanya menerima informasi yang setengah-setengah. Karena kesalahpahaman bisa merusak hubungan harmonis yang sudah kita bina selama ini. Bukankan tujuan Banua kita adalah agar warganya hidup baiman, bauntung dan batuah bukan?”
“Cih! Lagaknya seperti makhluk yang paling bijaksana,” suara Hirangan tiba-tiba membingkas sambil baribai dari pohon tandui memasuki forum kongres. !Hirangan kemudian bergelayutan di dahan jingah sambil mencibirkan bibirnya ke arah Bakantan. “Apa yang kau ketahui tentang kebersamaan, tentang baiman, bauntung dan batuah? Bah! Dasar warik hidung bengkak, mau berlagak pahlawan perdamaian rupanya.”
“Ah, tentu saja tidak, Sobat,” sahut Bakantan dengan tenang. “Aku cuma ingin mengingatkan kalian, semua warik yang hadir di sini.”
“Mengingatkan? Cuhai! Apa kau kira warik-warik yang hadir di sini semuanya bungul, mangalilu, atau kau anggap mereka itu tidak berguna? Ataukah kau menganggap mereka berotak batu seperti otakmu?” Hirangan nampaknya memeram bara dendam tersendiri kepada Bakantan.
Suasana tegang seketika, tetapi tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa disusul uar harum menyengat dari rumpun pandan di pokok pohon limpasu. Ternyata yang bersuara itu adalah Musang Pandan yang juga turut nyelonong masuk ke dalam forum kongres.
“Luar biasa, sungguh menarik! Sungguh menarik ceramahmu itu Bakantan. Tapi bagiku sama sekali tidak menarik. Yang menarik hatiku adalah sandiwaramu sebagai pelaku kebijaksanaan, padahal kau sama sekali tidak bermoral!”
Ucapan Musang Pandan segera menyulut Bakantan untuk mengambil sikap. Ia pun memalingkan wajahnya dan berkata, “Hei, kau ikut-ikutan hadir dan bicara tanpa fakta hai penjual iman! Kau tidak diundang dalam kongres ini, karena kau bukanlah speseis asli warga warik di hutan Manggaringsai ini. Lagi pula, baumu yang harum itu jangan kau gunakan untuk membuat kekeruhan denganku di sini. Karena kewibawaan dan keharuman tubuh yang kau miliki itu hanya pulasan belaka. Kemarin kutahu, engkau kehabisan parfum, lalu aku mendengar ada pedagang Arab yang kehilangan parfum merek luar negeri yang ia jual di tokonya. Kini aku yakin, yang menguar di tubuhmu itu pastilah parfum yang kau cuntan di toko Arab kemarin. Dasar Musang Pandan gila hormat, maunya dilihat gagah dan relegius saja! Munafik! Sekarang aku mau tanya, sudah berapa banyak majlis pengajian, pemuka spiritual dan anak yatim di dunia perwarikan ini yang kau politisasi? Pulang saja kau ke negeri asalmu di seberang laut sana, jangan ikut-ikutan di wilayah yang bukan speseismu ini!”
“Diam kau Bakantan bahlul!” bentak Musang Pandan murka. “Ini sudah melampaui batas penghinaan, ini rasis. Sudah berani kau mencampuri urusanku, urusan pribadiku, rumah tangga dan haluan politikku. Anda mau sok bersih? Apakah engkau lupa bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini engkau sudah memborong sejumlah partai, eh jukung maksudku, dua di antaranya bahkan jukung rumpung yang tak memenuhi syarat. Kau rampas jukung-jukung itu sehingga sejumlah tokoh warik yang juga ingin ikut ambil bagian dalam pemilihan kepala hutan dengan menggunakan jukung-jukung itu hanya tinggal gigit jari. Lalu kau propagandakan dirimu sebagai warik asli Banua, kau bangga-banggakan dirimu sebagai primadona dan maskot Banua, hingga kau merasa sebagai makhluk yang paling baiman, bauntung dan batuah di antara para warik di Banua ini. Padahal patungmu yang kini dijadikan maskot kota itu saja banyak dihujat orang di media sosial, dikatakan hanya menghambur-hamburkan uang warga bahkan sebagai bentuk berhala. Jadi, kini kukatakan saja bahwa aku tidak terima dengan propagandamu yang rasis itu, hal itu jelas-jelas telah mencederai keberadaanku yang meskipun bukan speseis warik di hutan ini namun aku lahir dan besar di hutan ini, yang tentunya mempunyai hak-hak politik yang sama pula sebagaimana warga warik lainnya.” Musang Pandan berhenti sebentar untuk sekadar menarik napas. Sebelum ada komentar dari Bakantan atau wakrik lainnya ia kembali berkhotbah, “Bakantan, kamu adalah perampas jukung pengecut, perampok hak-hak warga perwarikan yang bedebah. Di akherat nanti kamu pasti akan menerima hukuman yang sangat berat. Nanti lehermu akan dipelintir ke belakang dan lidahmu akan ditarik hingga terjulur ke luar. Kau pun tidak akan lagi mampu mengucapkan kata-kata, ‘tolong saya, tolong saya.’ Lalu hari pun kiamat, hukumanmu akan dilipattambahgandakan. Hidungmu yang seperti tampurikak masak itu akan dikait dan digantung di dahan pohon balangkasuwa, sementara itu api neraka akan membakar pantatmu!”
“Ha ha ha... benar sekali apa yang dikatakan Musang Pandan.” Hirangan yang tadi terpotong pembicaraannya kembali angkat suara. “Bakantan, aksi borong jukungmu itu semakin menunjukkan sikap kepengecutanmu. Demikian pula dengan jargon ‘Nyata Asli Warik Banua’ kebanggaanmu itu, sebenarnya hanya upayamu untuk meracuni semua warga warik di hutan ini. Sementara itu kau bersama orang-orang kepercayaanmu tertawa terbahak-bahak melihat keluguan dan kebodohan warga warik di hutan ini.”
“O, o, o, kalian bersekongkol rupanya,” suara Bakantan beradu dengan emosi kemarahannya yang menggelegak. “Apa peduliku! Hujatan kalian itu hanyalah kedengkian murahan sebagai refleksi dari ketidakmampuan kalian sendiri melakukan seperti apa yang kuperbuat. Aku tahu, kalianpun akan melakukan hal yang sama jika hal itu memungkinkan bagi kalian. Tapi apa mau dikata, kalian tidak mampu menandingi kekuasaanku, lebih-lebih kekayaan yang kumiliki. Jadi sekarang, kembalilah ke speseis asalmu hai Musang Pandan gila hormat, kau tidak akan mampu bersaing di hutan ini. Dan kau juga Hirangan munafik, segeralah kau tobat politik sebagaimana janjimu sebelum ini. Apa perlu menunggu aku menyebarkan rekaman pengakuan palsumu itu ke tengah publik? Hirangan, Hirangan... tak usahlah kau perturutkan syahwat politikmu yang membuncah itu, bertobatlah kau sekarang juga. Kalian berdua sebaiknya pulang saja dari forum kongres ini, renungkanlah untuk mundur dari ajang pemilihan kepala hutan kali ini, karena harus kalian sadari bahwa kalian saat ini adalah politisi kere yang hanya mengandalkan wibawa spriritual basi dan kejayaan nostalgik yang sebenarnya sudah roboh dan tak akan laku di hutan ini, ha ha ha...”
“Tajam sekali mulutmu Bakantan!” Hirangan marah besar karena merasa ditelanjangi di forum kongres tersebut. Hirangan baribai ke satu dahan lagi mendekati posisi Bakantan, bersiap untuk menyergap.
“Akan lebih tajam kalau taring ini yang mengerkah tubuhmu!” Tantang Bakantan sambil memperlihatkan kedua taringnya yang runcing mengilat.
“Buktikan, apakah tajam taringmu akan sanggup menggores kulitku!” Hirangan memasang kuda-kuda sempurna dan kokoh, dalam satu lompatan dahsyat ia bersiap menerkam.
“Diam!”
Sebuah suara tibat-tiba mengguntur bagai membelah lebatnya hutan Manggaringsai, menghentikan pertengkaran Bakantar dan Hirangan, padahal posisi keduanya sudah bersiap untuk saling menyerang. Suara itu adalah milik Orang Hutan yang dari tadi mendengarkan perdebatan itu dari pangkal dahan pohon jingah. Sambil berteriak seperti itu Orang Hutan menghempaskan kedua tangannya ke dahan pohon jingah yang ujungnya digelayuti oleh beberapa ekor warik. Dahan itu runtuh seketika dengan bunyi “raaak guuui” menghempas tanah. Sementara warik-warik yang duduk atau bergelayutan di ujungnya terhumbalang ke dalam sungai yang mengalir di bawahnya.
Setelah para warik yang terjatuh ke sungai itu kembali naik ke pohon jingah, Orang Hutan melanjutkan kata-katanya, “Cukup sudah perdebatan sial yang tak ada gunanya ini!” rutuk Orang Hutan dengan sinar mata berapi-api. “Aku mengundang kalian semua dalam kongres ini bukan untuk membicarakan persoalan-persoalan goblok yang tidak akan membuahkan apa-apa seperti yang kalian lakukan ini. Inilah yang sudah kusinyalir sejak awal, kalian mulai terpecah belah gara-gara rencana pemilihan kepala hutan di Banua ini.”
“Semua gara-gara jukung,” sebuah suara menyela disusul kemunculan seekor Lutung dari rimbunan pohon mingkudu. “Makanya jangan mengandalkan jumlah jukung yang terbatas itu untuk kalian tumpangi. Harusnya kalian sadari sejak awal, jika kalian memang tidak bisa berenang maka lihatlah apa yang kulakukan. Jauh sebelum ini aku sudah belajar berenang sendiri agar tidak bergantung kepada jukung-jukung brengsek itu. Ha ha ha..., dasar kalian semua para penumpang jukung kampungan!”
Belakangan diketahui, Si Lutung rupanya turut maju dalam pemilihan kepala hutan Manggaringsai kali ini melalui jalur independen.
“Diam kau juga Lutung!” bentak Orang Hutan sambil mengepalkan tinjunya. “Aku tahu kalian semua sok bersih, mau cuci tangan dari perbuatan jahil yang pernah kalian lakukan selama ini. Pendeknya, kalian semua jahat. Kalian semua penipu!”
“Tapi aku tidak,” protes Lutung merasa tidak terima karena disamakan dengan warik-warik yang lain.
“Apa? Kamu tidak jahat?” tuding Orang Hutan mencibir. “Lutung, Lutung, semua orang tahu kalau strategimu tidak menggunakan jukung itu hanya sebagai muslihat agar kau dikira asli dukungan warga warik di hutan Manggaringsai ini. Selebihnya, kau bisa mengalihkan biaya mahar melamar jukung itu untuk membeli suara warga warik di hutan Manggaringsai ini. Semua orang tahu itu Lutung, jadi tak usahlah kau bangga-banggakan strategi murahanmu itu.”
“Itu kan rahasia pribadi saya, bahkan strategi politik saya, seharusnya Tuan Orang Hutan tidak mengumumkannya di sini,” protes Lutung lagi dengan wajah tersipu karena malu.
“Ya, pribadi busuk! Strategi licik!” Seketika mata Orang Hutan berputar memindai sekeliling dan terhenti pada sesosok tubuh mungil, tubuh Warik Bamban. “Kau juga Warik Bamban, apa saja kerjamu sepanjang hari mengerati buah-buahan milik orang. Kau juga tidak bersih Warik Bamban!”
Warik Bamban diam saja karena memaklumi kebenaran kata-kata Orang Hutan.
“Warik Angui, kau juga!”
“Ya, Tuan Orang Hutan, ada apa dengan saya?” jawab Warik Angui agak terkejut. Ia langsung berdiri dan berkacak pinggang.
“Kau juga jahat,” tuding Orang Hutan. “Tidak perlu engkau bersikap angkuh kepadaku. Atau perlukah aku menggunduli bulu di tubuhmu yang lebat itu, lalu kujelaskan setiap kejahatan apa saja yang pernah kau lakukan?”
Semua diam, Warik Angui kecut hatinya. Lalu dengan wajah jengkel ia duduk kembali. Warik-warik yang lain berdebar-debar hatinya menunggu kata-kata berikutnya dari Orang Hutan. Semuanya pucat, takut segala kejahatan yang selama ini mereka perbuat terbongkar.
“Tidak ada yang bersih di sini,” kara Orang Hutan lagi memecah ketegangan. “Aku pun tak pernah mengaku bersih, semua kita yang hadir di sini kotor, jahat dan jelek! Coba sekarang angkat muka kalian semua dan hadapkan kepadaku, siapa yang merasa dirinya bersih? Siapa yang mengaku paling baiman, bauntung dan batuah?”
Semua warik terdiam sambil berpandangan satu sama lain. Ketegangan kembali membingkas, sunyi menyergap, tak ada yang berkutik, tak ada yang berbisik. Hari sudah senja, gelap mulai luruh mematuki daun jingah. Bulan agaknya tidak hadir malam itu. Kegelapan mulai menghunus ke segenap warangka alam. Ketegangan itu mulai terlerai ketika Orang Hutan kembali berbicara dengan nada rendah.
“Aku mengundang kalian di sini bukan untuk berdebat. Bukan untuk saling menuduh atau saling menyalahkan. Kita semua hidup di hutan kita sendiri. Meskipun kalian hidup bebas alami di hutan ini, tetapi kalian semua masih perlu diatur supaya jangan sewenang-wenang dalam bertindak. Sebagai yang dituakan di hutan ini, sekarang akulah yang akan membuat peraturan itu, supaya semua kita para warik di hutan ini tahu hak dan kewajiban masing-masing. Siapa yang melanggar peraturan itu nantinya, ia akan dikuhukum dengan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Nah, sebelum peraturan ini kubacakan, silakan kalau ada dari kalian yang mau protes atau mungkin membantah atas apa yang sudah kuusahakan ini. Tunjukkan kepadaku keberanian dan kesaktian kalian!”
Ketegangan kembali membingkas dari celah-celah malam. Semua warik menekuk wajah dalam diam. Tak ada yang berani bersuara. Hening seketika menikam sepi. Suasana demikian sunyi namun diliputi ketegangan.
“Kalau Tuan Orang Hutan bermaksud membuat peraturan yang bertujuan untuk mengatur kami, itu memang beralasan sekali. Menurut saya itu ide yang sangat bijaksana. Saya sangat setuju dan saya yakin semua yang hadir di sini juga pasti setuju. Toh mereka diam saja, diam kan artinya setuju?” ujar warik Banar yang tiba-tiba berubah menjadi sedikit menjilat.
Semua yang hadir tiba-tiba beseru serentak, “Setujuuu!”
“Kalau begitu baiklah. Sekarang dengarkan baik-baik oleh kalian peraturan yang telah kubuat ini.”
Orang Hutan kemudian membacakan seluruh poin peraturan yang telah ia buat. Semua warik mendengarkan dengan penuh perhatian, tak ada yang protes, taka ada yang berani membantah.
Setelah peraturan disepakati bersama, kongres pun selesai. Satu demi satu para warik meninggalkan forum pertemuan. Begitu bubar, para warik segera melesap dalam kegelapan. Tinggallah kesunyian terpacak dalam gelap. Angin yang berkelahi dengan dingin luruh menyentuh daun jingah. Angin malam hutan Manggaringsai yang lembut, namun beku dan membacok tulang. []
Kandangan, 23 Nopember 2015
Sumber:
https://www.facebook.com/aliman.syahrani/posts/10210651177869211
0 komentar: