Cerpen Hamberan Syahbana: Mak Racun
Perempuan paruh baya itu lari pontang-panting di sela-sela rumah dan pepohonan menyelamatkan diri dari amukan berpuluh-puluh orang-orang beringas mengejar dan mengepungnya. Riuh rendah teriakan orang kalap dan deru kendaraan bagai raungan serigala memburu buruannya makin mencekam dengan hujan guntur halilintar saling kejar saling sambar.Rasanya tidak mungkin perempuan itu bisa lolos dari orang-orang kalap itu? Dengan sisa tenaganya ia mencoba menyelematkan diri.Sebenarnya ia ingin cepat-cepat tiba di Kantor Polisi. Tetapi tiba-tiba ia terpelesat di tanah becek bekas hujan pagi tadi. Dalam keadaan terpojok itu berpuluh tendangan tinju tonjokan dan pukulan bertubi-tubi menghakimi dirinya.
“Stop! Cukup, cukup! Sudah. Jangan dipukul lagi,” cegah salah seorang yang baru datang.
“Hei apa-apaan kau ini?! Memangnya kamu ini siapa? Datang-datang mau jadi pahlawan kesiangan. Memangnya perempuan ini apamu? Keluargamu?” tanya sang pemimpin dari orang-orang kalap itu.
“Aku bukan siapa-siapa dia. Aku cuma orang lewat. Aku tak tega melihat ibu ini dihakimi secara masal. Masa perempuan tak berdaya ini digebuki ramai-ramai. Apa kamu nggak punya rasa kasian? Lihatnih, mukanya bengkak kepalanya bocor darah bercucuran.” kata yang baru datangitu.
“Hei jangan ikut campur! Dia juga nggak punya rasa kasian sama kami. Dia ini Mak Racun! Orang yang sudah meracuni keluarga kami-kami ini,” jelas sang pemimpin. “Ayo kawan-kawan kita pukul lagi!” kata yang lain.
Orang yang baru datang itu terkejut tak mampu menahan kegananasan orang-orang itu. Dilihatnya perempuan yang disebut Mak Racun itu terduduk di tanah becek sambil menahan sakit. Tiba-tiba sang pemimpin dan orang-orang kalap itu mulai mengganas lagi. Kali ini lebih sadis lagi. Untunglah pada saat itu terdengar “Dar dir dor” bunyi tembakan patroli polisi yang diberitahu Ketua RT setempat.
“Jangan bergerak!” terdengar suara keras polisi-polisiitu dari arah sana.
Polisi itu datang tepat pada waktunya dan kecelakaan yang lebih parah bisa cepat diatasi. Sementara para penganiaya itu cepat berlarian menyelamatkan diri, lelaki yang baru datang tadi cepat memegang tubuh Mak Racun yang sempoyongan dan langsung pingsan dalam dekapannya. Nasib sial sang pemimpin dan beberapa temannya langsung tertangkap tangan ketika sedang menganiaya wanita paruh baya itu. Untungnya orang yang baru datang itu sedang mendelap melindungi perempuan itu. jadi ia tidak ikut ditangkap polisi.
”Lho kenapa saya yang ditangkap Pak? Saya tidak bersalah. Saya hanya membela diriPak. Dia itu Mak Racun yang sudah meracuni saudara saya sampai mati Pak,” katasang pemimpin itu membela diri.
”Sudah diam! Nanti kamu jelaskan di kantor polisi saja,” kata salah seorang polisi itu.
Polisi-polisi itu memperhatikan perempuan yang dalam dekapan orang yang baru datang itu. Setelah berpikir sejenak, ia mendekati lelaki itu. ”Kamu keluaganya ya?” Tanyanya polisi itu.
”Bukan Pak. Saya kebetulan lewat ketika perempuan ini dikeroyok masa Pak.”
”Kamu bawa mobil?”
”Iya Pak. Tuh ada di tepi jalan itu Pak.”
”Baguslah kalau begitu. Cepat bawa ia ke rumah sakit.”
”IyaPak. Bantu saya membawanya ke mobil saya Pak.”
”Bripda Hasan, kamu bantu, ikuti dan urus dia di rumah sakit.”
”Siap Pak.”
”Bawa orang-orang ini ke kantor Polisi,” perintah komandan patroli itu.
”Siap Pak,” jawab polisi-polisi bawahannya itu serentak.
Polisi-polisi itupun membantu mengangkat perempuan yang pingsan itu dan membawanya ke dalam mobil. Mobil itu segera berjalan menuju ke rumah sakit. Dan orang-orang yang diborgol itu pun dibawa ke kantor polisi Sektor Kecamatan.
***
Sesampainya di rumah sakit, perempuan korban pengeroyokan itu diterima dan diproses oleh Dokter tunggu di Instalasi Gawat Darurat selanjutnya dibawa dengan kereta dorong ke Ruang Rawat Inap. Dalam ketidaksadarannya perempuan itu bermimpi terbayang kembali samar-samar dalam mimpinya. Kejadian-kejadian yang baru dialaminya akhir-akhir ini terulang kembali bagaikan tayangan TV.
Aneh, sejak kemaren pagi warung makannya itu sepi. Bayangkan lontong dan nasi kuningdengan potongan lauknya yang besar enak dan lezat itu, malah tak ada seorangpun yang menyentuhnya. Ini sungguh aneh, benar-benar aneh. Tidak biasanya seperti ini. Dan puncaknya adalah pada pagi ini.
Tiba-tiba saja dari jauh terdengar teriakan memanggil-manggil namanya dengan panggilan Mak Racun. Mereka itu langsung menuju warung Maksiah. Mengejar dan mengejar Maksiah. Sampai akhirnya ia jadi bulan-bulanan dikejar-kejar ditarik-tarik ditonjok-tonjok ke sana dan ke sini. Dipukul ditinju dan ditendang. Semua itu jelas terasa baginya akhirnya iapun sadar dari pingsannya.
***
Beberapa hari kemudian Maksiah yang disebut Mak Racun itu sudah sehat. Dan ia diperbolehkan dokter pulang ke rumahnya. Sedangkan para pengeroyoknya itu juga diperbolehkan pulang. Tentu saja itu setelah Maksiah tidak akan menuntut dan memperkarakan orang-orang yang menganiayanya itu. Tetapi meskipun demikian, meski telah jelasbahwa kematian orang-orang itu bukan karena racun tetapi memang akibat dari penyakit paru kronis yang dideritanya. Orang-orang di lingkungan sekitarnya itu tetap saja menganggap kematian itu karena termakan racun di warungnya. Orang-orang itu sudah terlanjur meyakini bahwa Maksiah ini memang memelihara racun.
”Orang itu memang menyimpan dan memelihara racun, makanya namanya dari Maksiah jadi Mak Racun. Dia itu telah meracuni kakak saya sampai meninggal. Padahal sebelumnya kakak saya hanya merasa gatal-gatal sedikit di tenggorokannya.Sepulangnya dari warung Mak Racun itu kakak saya langsung muntah-muntah. Ya muntah darah gitu. Darahnya banyak sekali sampai berember-ember. Nah besoknya kakak saya itu meninggal. Itu kan jelas! Kakak saya itu termakan racun di warung itu kan? Bukan itu saja. Ada yang termakan racun langsung muntah darah diwarung itu. Darah itu muncrat ke piring nasi. Bahkan darahnya berhamburan sampai di atas meja. Dan orang itu langsung meninggal di warung itu juga. Mak Racun itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa-bisa orang sekampung mati kenaracun semua,” kata ibu-ibu itu.
”Ssst! Ini rahasia lho. Jangan bilang-bilangya. Konon kabarnya sebelum tinggal di sini ia sudah dua kali menjanda. Dan kedua suaminya itu juga mati terkena tacun,” bisik ibu yang sejak tadi diam-diam saja. ”Tega sekali ya sampai suaminya sendiri juga diracun.”
”Nggk gitu-gitu juga. Kata orang, racun itu kalau tidak dilepas pada waktunya, ia akan memangsa keluarganya sendiri. Bisa anaknya bisa suaminya atau keluarganya yang tinggal satu rumah,” jelas ibu yang lain lagi.
***
Itulah nasib yang dialami Maksiah. Seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ia terpaksa memulai usaha hidupnya dari awal lagi. Semoga klarifikasi polisi itu dapat merubah pandangan masyarakat terhadap dirinya. Sejak saat itu semua orang di kampung itu diam-diam menyebut namanya bukan Maksiah lagi, terapi Maksiah Racun danakhirnya hanya Mak Racun saja. Akhirnya sampai juga nama gelaran yang tak sedap itu ke telinganya. Rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Kalau sajadia kurang sabar barangkali sudah lama ia bunuh diri atau lumpuh terserang strok.
Kini warung makannya benar-benar tak bisa buka lagi. Ia tak bisa berjualan lontong dan nasi kuning lagi. Bahkan tak ada lagi yang mau bertamu ke rumahnya, takut terminum racun. Dan ketika menyambut giliran arisan Yasinan, banyak yang tidak berani datang. Yang datang pun hanya berani minum setengah gelas, makan hanya setengah piring. Yang setengahnya sengaja disisakan. Mengapa? Kata orang-orang racun itu tak mau dimakan, racun itu terus menjauh karena tidak mau membahayakan manusia.
Keji benar mereka menuduhnya sebagai pemelihara racun, Mak Racun. Cepat sekali tersebar berita fitnah itu. Lalu apa pula hubungannya antara memelihara racun dengan pemilikan harta? Ternyata katanya orang-orang, orang yang mati terkena racun itu rezekinya berpindah kepada pemilik racun. Astagfirullaahul Azhim. Pemikiran macam apa itu? Orang yang sudah meninggal itu justru rezekinya sudah habis. Memang dulunya ia pernah mencari pegangan syarat penglaris, bukan mencari racun! Ia mencari penglaris dengan mendatangi beberapa orang pintar. Ia juga mendatangi orang-orang alim. Minta berkah agar nasi dagangannnya disuka banyak orang. Memangnya tidak boleh mencari penglaris? Orang lain juga banyak yang mencari pegangan. Bahkan ada yang sampai ngaji ilmu sesat demi kekayaan. Kalau dia kan hanya minta supaya dagangannya laris. Itu saja. Masa dituduh mencari racun dan memelihara racun segala.
***
Setelah mempertimbangkan masak-masak, Maksiah pun memutuskan membuka usaha baru di kampung lain yang jauh. Karena kalau masih di tempat sekarang, pasti tak ada yang mau makan di warungnya. Setelah survey sana survey sini akhirnya dia menemukan lokasi baru yang siap pakai. Sebuah rumah kecil bekas warung yang ditinggalkan penyewanya. Rumah itu memang berada di bantaransungai. Tetapi rumah itu cukup besih dan strategis. Selain itu tempatnya jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan sangat jauh di luar kabupaten. Tentu tak ada orang yang mengenalnya.
***
Mulailah ia menjalankan usahanya di tempat yang baru itu dan cara yang baru juga. Yaitu tanpa menggunakan pegangan penglaris. Meski tanpa penglaris ternyata warung ini tetap ramai dan banyak pengunjungnya. Karena di samping rasanya yang enak dan lezat harganya pun terjangkau masyarakat sekitar yang rata-rata buruh berpenghasilan rendah.
Di samping rasanya yang enak dan lezat, senyum Maksiah yang manis dan ramah itumampu memikat hati pelanggannya. Maksiah pun nampak ceria kembali percaya diri seperti dulu lagi. Hanya dalam waktu beberapa minggu saja warung Maksiah ini menjadi satu-satunya warung nasi yang mampu menyedot pelanggan lebih banyak dari warung-warung lainnya di kota itu. Kini pelanggannya bukan hanya buruh dan tukang ojek saja, tetapi juga banyak pelanggan berseragam dari berbagai kantor dan institusi di kota itu. Seperti biasa warungnya ini sebelum jam sepuluh semuanya sudah habis.
Nampaknya Maksiah dasar nasibnya kurang beruntung. Dia kena musibah lagi, dia mendapat ujian yang lebih berat lagi dariNya. Lagi-lagi ada yang muntah darah di warungnya. Lagi-lagi ada yang memfinahnya. Lagi-lagi dia difitnah menaruh racun di makanan yang dijualnya. Tetapi Memang Maksiah hatinya bersih. Sedikit pun tak ada rasa benci di hatinya. Karena dia tahu bahwa orang-orang itu hanya terhasut fitnah. Dia menyadari bahwa orang-orang itu tak tahu bahwa sebenarnya serdikit pun tak ada racun di makanan itu.
Hari ini kembali lagi ia gelasak-gelusuk menyelamatkan diri. Ia berlari sekuat tenaga masuk gang keluar gang menyelinap di sela-sela rumah. Berpuluh-puluh orang kalap kasar dan sangar itu mengejar mengepungnya dari berbagai arah. Ada yang berlari ada yang berkendaraan mengejarnya dan terus mengepungnya. Ia harus tiba di kantor polisi secepatnya. Itulah tujuannya, tak ada lagi tempat palingaman yang harus dituju
Kantor polisi itu ada di seberang jalan. Ia cepat-cepat menyeberang tanpa memperdulikan ada mobil truk besar yang sedang melintas di sana. Tiba-tiba saja gedubrak!! Terdengar suara sangat keras Ia menabrak mobil itu. Meskipun tubuhnya terpental jauh beberapa meter ia tak merasa apa-apa. Malah larinya semakin ringan semakin kencang terus berlari ke kantor polisi itu. Aneh dia setibanya di kantor polisi tak seorang polisi pun yang menoleh ke padanya. Polisi-polisi itu malah cepat berlari ke jalan raya.
Di sana tegeletak seorang perempuan paruh baya korban tabrak lari sebuah truk yang langsung kabur menghilang secepatnya. Diam-diam maksiah memperhatikan korban tabrak lari itu. “Astagfirullah, itukan aku?”
Banjarmasin, April 2013
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamberan-syahbana/menikmati-cerpen-dunia-maya-mak-racun-karya-hamberan-syahbana/10151998423777442
0 komentar: