Cerpen Hamberan Syahbana: Alhamdulillah, Terima Kasih Ya Allah
Tak terasa sudah empat kali lebaran kakakku Nurhani pulang ke rahmatullah. Berarti sudah empat tahun pula suaminya menduda.Dan sudah hampir empat tahun juga Bang Iyus membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil pindah ke ibukota Kabupaten. Tapi rasanya baru beberapa bulan saja.Masih terang dalam ingatanku, selama sepuluh tahun mereka hidup bahagia dirumah ini, sampai akhirnya ajal jua yang memisahkan mereka. Semuanya kini hanya tinggal kenangan.Masih lekat dalam ingatanku ketika kakakku itu meninggal empat tahun yang lalu. Di sisi makam itu dibangun semacam pondok, untuk penjaga kubur selama tiga hari tiga malam. Karena diyakini bahwa setelah orang-orang itu meninggalkan kubur sejauh tiga langkah barulah dilaksanakan prosesi tanya jawab di alam barzah. Untuk itu kami meminta kesediaan Haji Abdullah, Haji Ruslan dan Haji Shaleh tiga orang ulama terkemuka di kampung kami untuk menjaga kubur. Memang begitulah tradisi yang berlaku di kampungku. Tak perduli orang berada ataupun tidak mampu semuanya sama. Semacam ada kewajiban tak tetulis dengan maksud untuk membantu si mayit. Bahkan tak perduli sampai utang sana utang sini asalkan dapat melaksanakan menjaga kubur. Bagi orang kaya mungkin sampai tujuhhari tujuh malam bahkan sampai satu bulan. Semua aktivitas penjaga kubur makan,tidur maupun sholat dan tadarus Alquran semuanya dilakukan di pondok tersebut.Tentunya minum dan makan pagi, siang, malam dan tengah malam beserta keperluan lainnya juga disediakan oleh pihak keluarga. Untuk memudahkan semua itu biasanya setiap keluarga memiliki alkah keluarga disamping rumah atau di belakang bahkan ada yang di halaman. Selain itu ada kepercayaan masyarakat bahwa kelak mereka akan dibangkitkan bersama dan bersama-sama pula menuju padang mahsyar. Allahu ‘alam.
Ketiga ulama itu pun maklum bahwa tugas mereka masing-masing adalah mengkhatamkan Alquran 30 juz dalam tiga hari tiga malam. Maksudnya adalah untuk menolong si mayit. Dengan senantiasa mendengarkan ayat-ayat Alquran semoga dapat membantu meringankan memudahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan di alam qubur. Tentu saja pahala membaca Alquran tersebut dihadiahkan kepada almarhumah kakakku itu. Pada hari ketiga ba’da sholat shubuh barulah dibongkar pondok disamping kubur itu dilanjutkan dengan selamatan kecil dengan mengundang tetangga sekitar. Kepada penjaga kubur itu tentulah diberikan amplop terima kasih dari keluarga yang meninggal.
***
Sepeninggal Kak Nurhani, tak lama kemudian Bang Iyus pindah ke kota bersama kedua anaknya itu. Karena tidak baik kami hidup serumah tanpa ikatan nikah. Meski aku bisa menjaga batas di antara kami berdua, tetap saja kami tidak boleh tinggal satu atap. Apa kata orang nanti? Ujung-ujungnya pastilah akan timbul fitnah yang sangat menyakitkan. Tinggallah aku sendiri di rumah tua peninggalan orang tuaku ini. Sebuah rumah tua ditengah-tengah kebun kelapa
Kini barulah aku merasa betapa sepi hidup sendiri. Tak ada siapapun di rumah ini. Hari-harikupun terasa begitu panjang. Meski berbagai aktifitas kulakukan tetap saja aku merasa sepi. Untuk mengisi hari-hariku. Setiap pagi aku merawat dan membersihkan kebun kelapa, tepatnya hutan kelapa di sekeling rumah, sambil memeriksa barangkali saja buah-buah kelapa itu sudah waktunya untuk dipetik. Atau sambil mengumpulkan pelepah nyiur yang jatuh dan menjemurnya. Barangkali ada tetangga yang memerlukannya buat kayu api. Sekali-sekali ada juga hiburan segar melihat sekumpulan kera yang berloncatan di pohon kelapa. Selain itu aku juga tentu pergi ke sawah membawa upahan buat membersihkan sawah atau menanam padi dan pada waktunya nanti tentu akan memanennya. Dari hasil sawah dan kebun kelapa itu cukup untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Pada sore hari aku mengikuti majelis ta’lim. Semua aktivitas harian itu dapat menghibur sepiku. Tentu saja sekali- sekali aku juga kontek lewat HP dengan beberapa teman sekelas di SMA dulu dan juga teman sekampung yang tinggal jauh di sana. Sekali-sekali kedua keponakanku itu menelpon bahwa mereka mau bermalam. Dengan Bang Iyus? Oh tidak. aku tak berani telpon-telponan dengan Bang Iyus. Aku takut, meski sebenarnya aku mau, mau sekali. Itulah yang dapat menghiburku selama ini. Tetapi saat malam hari, sungguh betapa sepi hidup ini. Walaupun di rumah ini ada antena TV parabola tetap saja malam hari terasa sepi. Untungnya, terkadang kedua keponakanku itu bernalam di rumah.
Walaupun Bang Iyus tinggal di kota, tetapi kedua anaknya itu hampir tiap bulan datang dan bermalam di sini. Karena kampung ini juga hanya sekitar 8 kilometer dari kota. Hal itu menambah kedekatan mereka denganku. Sejujurnya aku juga sangat sayang kepada keduanya. Tapi belakangan ini mereka jarang datang, barangkali mereka sudah merasa kerasan tinggal di kota. Atau barangkali juga sudah mulai melupakanku.
Dari jendela kamar ini jelas terlihat alkah keluarga yang ada di samping rumah. Di baris pertama di tengah itu adalah makam kedua orangtuaku, dan di samping kanannya adalah makam Kak Nurhani. Di sanalah ia berbaring selama ini, semoga Allah Yang Maha Pengampun mengampuni segala dosa-dosanya, dan memberi kelapangan di alam kuburnya, amien. Besok atau lusa suatu hari kelak akupun pasti akan menyusulnya.
***
Ketika pertama kali aku bertemu dengan lelaki kota itu, aku sudah mulai tertarik padanya. Awalnya biasa saja, kami berkenalan, lalu berteman, lalu suka samasuka, akhirnya pacaran. Dia adalah lelaki pertama yang berlabuh di pelabuhan hatiku, aku berharap dia pula yang terakhir. Lelaki itu adalah Hadrani Yusi, PNS yang baru diangkat. Aku biasa memanggilnya Abang Iyus, sedangkan Kak Nurhani biasanya memanggilnya Bang Yusi.
Tiba-tiba saja dia meminta orang suruhannya untuk melamarku menjadi istrinya. Ah betapa senangnya hatiku. Saat itu hatiku jadi semakin berbunga-bunga. Aku pun jadi kelepak-kelepak kegirangan. Sayangnya masih ada kakakku yang belum kawin. Menurut adat di kampungku aku tidak boleh melangkah mendahului kakakku. Ya gitu deh, ia kawin dengan Kak Nurhani.
“Entahlah Bang? Itu bukan maunya Hani,” begitu kataku ketika di rumah itu hanya ada kami berdua. “Maunya Hani juga sama dengan maunya Abang.”
“Jelas-jelas lamaran itu untuk kamu. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi lamaran buat kakak kamu?”
“Bang Iyus kan tahu sendiri? Bahwa kakak aku itu belum kawin, dan aku tidak boleh melangkah. Sayangnya suruhan Abang itu juga salah menyebut nama yang dilamar yaitu Nurhani. Itu kan nama kakak aku? Mestinya kan Hanisah? Itu yang nama aku. Ya, jadinya kan begini ini?”
Kami berduapun tertunduk layu, ya apa boleh buat. Mau bagaimana lagi? Ada juga dulunya aku ingin membatalkannya. Wah itu lebih buruk lagi. Pembatalan sebuah perkawinan adalah aib besar bagi sebuah keluarga. Apalagi masyarakat di kampung kami terkenal bertemperamen keras dengan harga diri yang begitu tinggi. Ujung-ujungnya tentulah akan berakhir dengan pertumpahan darah. Astagfirullahul azhim, itu tidak boleh terjadi! Akhirnya ya aku terima saja kenyataan bahwa Bang Iyus bukan jodohku. Aku rela, aku ikhlas Bang Iyus jadi suami kakak aku.
Taklama kemudian dilaksanakan pernikahan mereka berdua. Aku masih ingat, karena kedua orang tua kami sudah lama meninggal maka yang menjadi wali dalam pernikahan itu adalah Julak Bardi kakak kandung ayahku. Meskipun aku sudah merelakannya tetapi tetap saja hati ini begitu pedih perih bagai disayat sembilu. Dan yang lebih pedih lagi adalah ketika sampai pada acara khusus yaitu prosesi ucapan permintaan kakakku yang minta dikawinkan dengan Bang Iyus. Dan permintaan ini harus terdengar jelas diucapkan di depan Penghulu. Alangkah bahagianya aku jika aku yang menjalani prosesi itu. Dengan sisa kekuatan yang ada kutetapkan hatiku sekali lagi, aku harus menerima kenyataan ini.
Perkawinan itu tetap dilaksanakan dengan meriah. Kuingat pula saat itu betapa gagahnya Bang Iyus dalam Pakaian Pangantin adat Banjar berwarna kuning diantar oleh Rombongan Kesenian daerah Kuda Gipang Carita. Dan lebih meriah lagi ketika kedua mempelai itu, Bang Iyus dan Kak Nurhani dinaikan ke atas bahu kedua Pausungan yang biasa bertugas mengusung mempelai di atas pundaknya. Begitu cantiknya Kak Nurhani dan begitu juga Bang Iyus begitu gagah dan tampan. Mereka berdua seakan-akan benar-benar sedang menari begitu anggun dan memukau. Sebenarnya mereka tidak menari, mereka hanya duduk diam di atas bahu masing-masing pengusungnya. Kedua Pengusung itulah yang bergerak sambil menari-nari diikuti bunyi irama gamelan yang mengiringi tarian Kuda Gipang itu.
Hari perkwinan itu juga dimeriahkan dengan acara Bakuntau atau pencak silat yang berlangsung begitu meriah. Inilah hiburan yang sangat dinanti-nanti. Hampir semua orang merapat mengelilingi arena bakuntau tersebut. Dan akupun ada di antara penonton lainnya. Acara bakuntau ini dimulai dengan pendahuluan pemberitahuan dari protokol bahwa acara hiburan itu akan menampilkan pesilat undangan pilihan dari beberapa Perguruan Silat yang ada di Kalimantan Selatan.
Mulailah ditiup serunai yang menghasilkan bunyi melengking tinggi diiringi dengan bunyi tetabuhan gendang dan gong yang mengiringi acara bakuntau. Bunyi lengkingan tiupan serunai itu rasanya turut membesarkan semangat para pesilatnya. Mulailah satu persatu setiap perguruan menampilkan pesilatnya dengan membawakan bunga atau kakambangan berupa jurus-jurus andalan perguruan masing-masing. Tidak terkecuali guru-gurunya pun ikut membawakan bunga. Maka riuh rendahlah sorak-sorai tepuk tangan para penonton menambah meriahnya acara bakuntau dan menambah semangat bagi para pesilatnya. Berikutnya dilanjutkan dengan acara bapukul adu ketangkasan sepasang pesilat dengan jurus-jurus andalan masing-masing. Bakuntau ini diakhiri acara tampilnya para pendekar dan guru-guru kuntau dengan andalan pamungkas yang dibalas dengan tangkisan dan anti patikaman dari masing-masing perguruan.
Meskipun betapa pedihnya hati ini aku tetap berusaha tampil ceria, seakan tidak terjadi apa-apa antara aku dan Bang Iyus. Meski tubuhku begitu lelah dan letih, aku tetap berusaha mengikuti dengan seksama acara demi acara dan hiburan demi hiburan yang diselenggarakan. Demikian pula dengan malam harinya, masih ada satu prosesi lagi, yaitu khatam Alquran. Meskipun ini adalah acaranya kaum perempuan, tetapi justru ini adalah acara terpenting yang tak boleh ketinggalan dalam setiap perkawinan.
Malam itu Kak Nurhani dikelilingi oleh beberapa ibu-ibu yang ikut menamatkan Kak Nurhani. Termasuk juga Ustazah Mahfuzah yang tak asing lagi di kampung kami. Ustazah inilah yang mengatur prosesi batamat tersebut. Terbayang juga olehku pada saat ini, ”mengapa bukan aku yang duduk di situ?”. Ah hatiku yang dikoyak-koyak sepi.
Astagfirullah, mengapa aku jadi begini? Bukankah semuanya sudah aku relakan Bang Iyus menjadi suami Kak Nurhani? Bukankah sudah aku ikhlaskan kak Nurhani menjadi istri Bang Iyus? Aku tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Biarlah semua itu menjadi kenangan masa lalu. Semua pikiran yang bukan-bukan itu harus aku buang jauh-jauh. Aku harus kuat, aku harus tegar menghadapi semua ini. Biarlah Kak Nurhami yang mendapat kebahagiaan itu. Biarlah Kak Nurhani yang mendapatkan Bang Iyus. Semoga mereka hidup berbahagia, sakinah mawaddah warrahmah. Bukankah cinta tak selamanya harus memiliki? Semangaat!!!
***
Pada awalnya nampak biasa saja karena selama tiga hari rumah kami ramai dengan sanak keluarga dekat. Maklum kami hanya berdua kakak beradik saja. Setelah tiga hari berlalu, barulah terasa begitu risih dan semua terasa serba salah. Meski demikian aku berusaha berbuat sebisa mungkin nampak biasa-biasa saja, seakan tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Bang Iyus.
Setelah berjalan berminggu-minggu dan berbulan-bulan, barulah aku melihat mereka dapat menerima kenyataan bahwa mereka sudah menjadi suami istri. Diam-diam kuperhatikan Bang Iyus sudah bisa menerima Kak Nurhani sebagai pendamping hidupnya, dan nampaknya mereka juga sangat bahagia. Terima kasih ya Allah, kau telah membahagiakan mereka.
***
Belakangan ini ada yang terasa berbeda. Hariini malah lebih aneh lagi, ada sesuatu yang menendang-nendang di hatiku. Kudengar seakan ada yang memanggil-manggil namaku. Kutengok-tengok kiri dan kanan, tak ada orang. Kini suara itu malah terasa semakin kencang. Kucari lagi dari arah mana suara itu, tidak ada siapa-siapa. Ei ternyata suara itu masuk dibawa angin lewat ventilasi. Dan aku lebih heran lagi, suara itu datang dari arah alkah keluarga yang ada di samping rumah.
“Hani, Hanisah.” Suara itu, ya suara itu sudah lama tidak kudengar lagi. Tetapi suara itu sungguh sangat kukenal. Itu kan suara Kak Nurhani? Nurhani almarhumah kakakku? Aneh, bagaimana mungkin? Dia kan sudah meninggal empat tahun yang lalu?
“Kak? Kak Nurhani?” sapaku keheranan terbata-bata..
Masya Allah, wanita itu berdiri di hadapanku,wanita itu adalah Nurhani. Dia benar-benar Nurhani kakakku. Wajahnya masih secantik dulu, senyumnya masih semanis dulu, dan kedewasaannya juga masih yang dulu.
“Kakak? Kau kah ini Kak Nurhani?” tanyaku masih tidak percaya.
“Ya, Hani ini aku. Nurhani, masa kamu lupa?” tanyanya sendu.
Kulihat Kak Nurhani diam, wajahnya sayu, sedih, iba, penuh harap.Tiba-tiba, di luar dugaan, meluncurlah kata-kata dari mulutnya suatu permintaan yang sungguh aneh.
“Dik,sebaiknya kamu kawin sama Bang Yusi ya?”
Bagai disambar petir di siang bolong, aku terkejut, aku heran, aku bingung, aku jadi serba salah. Aku jadi semakin bingung melihat wajahnya semakin lirih makin penuh harap, kemudian ia tertunduk sedih. Kami sama-sama diam, tak ada suara, bicara hanya antara hati. Masing-masing tenggelam dalam gejolak batin membara. Kakakku biasa memanggil namanya Bang Yusi, sedangkan aku biasa menyebutnya Bang Iyus.
“Bagaimana mungkin aku menghianati Kakak? Aku sudah merelakan, aku ikhlas Bang Iyus buat Kakak.”
“Tapi Abang Yusi harus kawin kan? Dia memerlukan seseorang untuk melayani dan mendampinginya.Lagi pula kedua keponakanmu itu perlu seorang ibu yang menyayanginya. Kakak tidak marah kok, kawin sama Bang Yusi ya Dik Hani.”
“Ah, Kak Nurhani ini bagaimana? Masa aku disuruh kawin sama Bang Iyus. Nggak lucu ah.”
“Kamu nggak usah kuatir, aku yakin dia bisa jadi suami yang baik. Lagi pula dia itukan cinta pertama kamu? Kawini dia ya?”
Aneh, benar-benar aneh. Tak biasanya ia berkata-kata seperti ini. Dan aku juga baru kali ini aku mendengar seorang kakak menyuruh adiknya kawin dengan mantan suaminya sendiri.
“Bangun Cil, bangun Acil Hani,Magrib Cil.” aku terkejut ada sesuatu yang aneh.
Tidak biasanya Kak Nurhani memanggilku dengan panggilan Acil Hani. E ternyata ini bukan Kak Nurhani, tetapi keponakanku yang beberapa hari ini dititipkan Bang Iyus selama ia mengukuti pelatihan di Banjarmasin. Kedua keponakanku inilah rupanya yang membangunkanku. Ah ketiduran aku rupanya. Aku cepat-cepat bangun siap-siap sholat magrib.
***
Sejak pertemuan dengan kakakku di dalam mimpi itu, aku jadi serba salah. Bang Iyus memang lelaki yang pernah berlabuh di hatiku. Dia memang cintaku yang pertama, tapi itu cinta lama yang sudah kulupakan. Tapi mengapa pula sudah empat tahun Bang Iyus belum kawin-kawin juga? Apakah ia masih menyimpan cintanya
padaku? Tapi aku malu membicarakan permintaan Kak Nurhani. Aku kan wanita? Masa aku yang minta dikawini? Apakah kan kuturuti saja permintaan Kak Nurhani? Ataukah kupendam saja rapat-rapat di dalam hati?
Beberapa hari ini Bang Iyus sudah selesai mengikuti penataran, tetapi baru hari ini ia datang menjemput kedua anaknya. Secara tak sengaja sempat kuperhatikan ternyata ada yang berubah. Sepertinya dia sudah menjadi orang lain. Aneh? Padahal selama belasan tahun belakangan ia adalah seorang kakak ipar yang baik, bahkan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Tetapi kini nampaknya dia mencoba jaga jarak. Ada apa ini? Apakah Bang Iyus sudah menemukan wanita lain di pelatihan itu? Apakah ia akan menikahi wanita itu sebagai pengganti Kak Nurhani? Sebagai seorang lelaki yang agak lama menduda, tentu sangat wajar kalau ia kawin lagi? Ah, ada apa ini dengan hatiku? Cemburu? Ya benar, diam-diam aku merasa cemburu dengan wanita itu. Seperti apakah wanita itu? Apakah wanita itu lebih muda usianya dariku? Ah, mengapa pula aku harus cemburu? Bukankah Bang Iyus bebas memilih siapa saja yang ia mau? Astagfirullah, mengapa aku sejauh itu berpikiran dan berprasangka buruk?
Belakangan ini diantara kami seakan-akan ada jurang pemisah yang dalam.Bicara hanya seperlunya. Tak terdengar lagi kata wajar yang dulunya begitu akrab di telingaku. Dan akupun tak pernah lagi terlalu dekat dengannya. Sekali-sekali terpikir juga olehku menepati permintaan kakakku itu. Tapiaku tak bisa. Sebenarnya apa sih sulitnya menjadi istri Bang Iyus? Apalagi selama ini hatiku selalu tertutup buat lelaki lain. Lagi pula tak ada satu pun lelaki yang serius berkenan di hati. Bukankah selama ini Bang Iyus juga masih hidup menduda? Bukankah Bang Iyus itu cinta pertama aku? Dan akupun kan masih berstatus jomblo?
***
“Tak ada salahnya kamu menepati permintaan almarhumah itu,” demikian saran ustadzah Mahfuzah yang biasa tempatku curhat. “Lagi pula tak baik kalian berdua lama-lama hidup menyendiri, kadang-kadang juga berada dalam satu atap tanpa nikah. Ingat iblis selalu berada di antara kalian berdua.”
“Tapi Hani nggak bisa bu. Hani sudah terlanjur menjadi adik ipar yang baik. Apa kata orang nanti jika Hani kawin dengan Bang Iyus. Jangan-jangan nantinya dikira kami ada main sejak Kak Nurhani masih hidup.”
“Itu dulu, sekarang kan situasinya lain? Aku sarankan sebaiknya kau terima saja.”
“Tapi Bu?”
“Inikan darurat? Ya… memang memerlukan proses, biarkan proses itu mengalir seperti air. Insya Allah kalian akan menjadi keluarga sakinah mawaddah warrahmah.”
“Mulailah dengan menghilangkan kesan bahwa ia adalah kakak iparmu. Ingatlah bahwa lelaki itu hanyalah mantan kakak ipar. Di dalam agama maupun menurut adat, kita juga diperbolehkan kawin dengan bekas ipar menggantikan kakak yang sudah meninggal. Dengan kata lain lelaki itu bukan muhrimmu. Cobalahkamu banyak-banyak mengingat nostalgiamu dulu.”
“Aku nggak bisa bu, aku sudah melupalan semuanya itu Bu.”
“Ah masa? Kata orang cinta pertama itu kan tak pernah pudar dari ingatan?
”Ah Bu Hajjah Ustazah ini ada-ada saja. Hani jadi malu, Bu,” jawabku malu.
”Cobalah sholat Istiharah, minta petunjuk-Nya mana jalan yang terbaik.”
“Ya Bu, akan Hani coba.”
“Ya gitu dong. Selanjutnya mulailah mengingat bahwa ia hanya sebagai lelaki.”
***
Beberapa hari berlakangan ini aku mencoba mengikuti saran ustadzhah Mahfuzah. Diam-diam kuperhatikan lelaki ini, dia memang tanpan juga memesona. Memang Bang Iyus inilah lelaki idamanku. Dalam usia mendekati empat puluhan Bang Iyus masih kelihatan menarik. Wajah tampan menawan, bodinya juga oke. Astagfirullah, Ya Allah ya Robi. Mengapa aku begitu jauh berangan-angan?
Kini sudah sebulan berlalu, kedua keponakanku itu kembali bermalam di rumah ini. Dan ternyata Bang Iyus juga ikut bermalam. Pagi ini sengaja kucoba sarapan pagi bersama Bang Iyus dalam satu meja. Sedangkan kedua keponakanku itu kubiarkan mereka sarapan pagi sambil menonton film kartun kesukaan mereka. Diam-diam kulihat ada sesuatu yang lain dari biasanya. Sesekali dia melirik ke arahku, dan cepat berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Sesekali kami bertemu pandang. Ah aku malu, tiba-tiba aku merasa ada perasaan yang lain dalam hatiku. Inilah kali pertama aku merasa perasaan itu setelah sekian lama tak merasakannya.
“Enak nasi gorengnya, saya sangat menyukainya,” kata Bang Iyus memecah kesunyian.
“O gitu ya?” tanyaku sambil melemparkan senyumku yang telah lama kusimpan. Pelan-pelan tapi pasti kami pun mulai akrab seperti biasanya.
“Bang Iyus mau nambah lagi?” tanyaku mulai mesra lagi.
Entah dari mana datangnya keberanianku berkata semesra itu? Ah kacau, aku jadi ketahuan karenannya. Aku malu.
“O ya? Iya dong aku mau nambah lagi, tapi….rasanya kok seperti ini ya?” tanyanya.
Nampaknya Bang Iyus mulai sadar, bahwa nasi goreng kali ini lebih asin dari biasanya. Kata orang kalau rasanya asin seperti ini. Itu tandanya yang masak mau … Ah aku malu jadinya.
Lagi-lagi aku tersenyum malu-malu kucing. Entah dari mana datangnya ide dan inisiatifku ini? Tetapi aku suka bahwa Bang Iyus pasti sudah dapat menangkap pesan dan maknanya. Cepat-cepat aku menambahkan nasi ke piring Bang Iyus, tetapi pada saat yang sama dia juga begitu. Tapi aneh, tangan Bang Iyus ini malah memegang tanganku. Astagfirullah! Aku terkejut, aku terkesima. Dadaku berdebardan terus semakin berdebar-debar. Tapi kali ini aku suka. Kami beradu pandang agak lama. Tanpa suara, tanpa kata-kata, bicara hanya antara mata. Tiba-tiba aku sadar, aku terkejut, aku cepat-cepat menunduk. Alhamdulillah, hm malu aku jadinya.
Sebulan kemudian entah disengaja atau tidak, Bang Iyus lagi-lagi ikut bermalam di rumah ini. Sore harinya barulah akan kubicarakan permintaan Kak Nurhani itu. Ternyata Bang Iyus yang bicara lebih dulu. Aneh, rupanya Kak Nurhani juga menemui Bang Iyus di dalam mimpinya. Aku jadi bingung sekaligus malu. Mau ditaruh di mana muka ini?
“Bagaimana?” tanya Bang Iyus malu-malu.
Aku tak menjawab. Bang Iyus menatapku, lama sekali. Ah Bang Iyus masih menawan seperti dulu. Jantungku berdebar-debar sama seperti pandangan pertama dulu. Kami saling tatap, bicara hanya antara hati. Aku malu mengiyakannya.
“Bagaimana?” tanyanya sekali lagi penuh harap.
Aku bingung seketika. Bagaimana caranya aku harus menjawab pertanyaan itu? Aku malu tetapi sebenarnya aku mau. Ah malu-malu tapi mau. Tetapi tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya kekuatan itu. Sekali lagi kupandangi pandangan Bang Iyus yang berubah manjadi tatapan penuh harap. Ah tatapan matanya itulah yang
dulu membuat aku kelepak-kelepak tak berkutik. Aku jadi tak berdaya. Tak ada pilihan lain selain mengangguk tanda setuju. Lalu akupun pelan-pelan mengangguk langsung tertunduk malu.
“Alhamdulillaah, terima kasih Ya Allah,” sempat terlihat olehku mulut Bang Iyus komat kamit membacakan sesuatu.
Langsung dadaku berdebar-debar, jantungku semakin kencang. Ah, cinta lama bersemi kembali. Kulihat kedua keponakanku itu bersiap-siap pergi ke langgar. Sementara dari jauh di luar sana terdengar sayup-sayup bunyi sirene dan selanjutnya terdengar dari mesjid suara azan magrib memanggil-manggil. Terima kasih ya Allah? Alhamdulillah.
Banjarmasin, April 2013
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamberan-syahbana/menikmati-cerpen-dunia-maya-hamberan-syahbana-alhamdulillahterima-kasih-ya-allah/10151822939432442
0 komentar: