Cerpen Hamberan Syahbana: Cintaku Masih Ada di Kamar Ini
Tak terasa sudah lima tahun istriku berpulang ke rahmatullah. Berarti sudah lima tahun juga aku menduda. Tapi rasanya bagiku itu baru beberapa bulan saja. Masih terang dalam ingatanku, selama sembilan tahun kami bercengkarama di kamar ini. Suka dan duka kami alami bersama, kini semua tinggal kenangan. .Sejak kepindahanku ke kota, aku malas, aku jarang pulang kampung. Hanya saja kedua anakku yang masih kecil-keil itu sering minta diantar. Maklum keduanya sejak bayi sudah lekat dengan acilnya, Nurlina mantan adik iparku itu. Seperti sekarang ini nih, ya aku mau saja mengikuti keinginan kedua anakku itu.
Dari jendela kamar ini jelas terlihat alkah keluarga yang ada di samping rumah. Di baris pertama di tengah itu adalah makam kedua mertuaku, dan di samping kanannya adalah makam istriku. Di sanalah almarhumah istriku berbaring selama ini, semoga Allah Yang Maha Pengampun mengampuni segala dosa-dosanya, dan memberi kelapangan di dalam kuburnya, amien.
Lama kupandangi makam-makam itu. Terbayang samar-samar di dalam benakku, besok atau lusa suatu hari kelak akupun pasti akan menyusulnya.
***
Sejak kecil aku sudah yatim piatu yang hidup dibina dan disekolahkan oleh yayasan. Aku keluar dari panti asuhan itu ketika aku diangkat menjadi PNS di desa ini. Di desa ini pula lima belas tahun yang lalu, aku menemukan pelabuhan hatiku yang pertama, juga aku berharap dia pula pelabuhan hatiku yang terakhir. Gadis itu adalah Nurlina, nama lengkapnya Nurlina Hairani, anak tetangga di desa tempatku bertugas. Selanjutnya kuminta seseorang melamar Nurlina untuk menjadi istriku.
Entah bagaimana itu bisa terjadi? Yang kulamar itu Nurlina, tetapi yang kunikahi adalah kakaknya. Mengapa aku harus kawin dengan dia? Mengapa tidak kawin dengan Nurlina? Berbulan bulan aku jadi bingung karenanya.
“Entahlah Bang? Itu bukan maunya Lina,” begitu kata Nurlina suatu ketika sebelum pernikahan itu. “Maunya Lina juga sama dengan maunya Abang.”
“Jelas-jelas lamaran itu untuk kamu. Yang kucintai itu adalah kamu, bukannya kakakmu. Aku menginginkanmu. Kenapa tiba-tiba berubah menjadi lamaran buat kakakmu?.
“Bang Burhan kan tahu sendiri? Bahwa kakak aku itu belum bersuami. Menurut tradisi di desa ini aku tidak boleh melangkah. Sayangnya suruhan Abang itu juga salah. Salah menyebut nama yang dilamar yaitu Marlina. Itu kan nama kakak aku? Mestinya kan Nurlina? Itu yang nama aku. Ya, jadinya kan begini ini.”
“Perlukah aku membatalkan pernikahan ini?”
“Jangan Bang. Apa kata orang nanti? Pembatalan nikah itu adalah aib keluarga. Lina rela Abang menikah dengan Kak Marlina. Lina ikhlas Bang,” katanya lirih.
Akhirnya aku sadar, barangkali inilah suratan takdir yang hharus aku jalani. Manusia bisa saja berencana dan berusaha, tetapi pada akhirnya kehendakNya jualah yang terjadi. Lagi pula kan tidak seharusnya aku membatalkan rencana pernikahan yang beritanya sudah tersebar ini? Akupun menyadari. Apa jadinya nanti jika aku batalkan pernikahan ini? Di sini tak ada yang boleh melecehkan martabat keluarga. Sudah menjadi rumor bahwa perkelahian dan pertumpahan darah adalah hal yang biasa. Hampir tiap orang punya gagaman. Kalau tidak keris ya pisau belati. Perkelahian dan pertumpahan darah bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Bahkan hanya persoalan sepele saja bisa memicu pertumpahan darah. Apalagi hal pembatalan pernikahan? Akhirnya dengan penuh pertimbangan kujalani saja apa adanya pernikahan ini.
Pada awalnya semua berjalan biasa-biasa saja. Tak ada yang berlebihan, kecuali satu hal. Bahwa aku kini dilayani bagaikan raja di rumah ini. Makanan tinggal makan dan pakaian tinggal pakai. Karena semuanya sudah disediakan. Kulihat Nurlina juga mencoba biasa-biasa saja, tak ada perubahan yang nampak kesat mata. Meskipun aku tahu, betapa menderitanya dia karena aku tidak kawin dengan dia tetapi dengan kakaknya. Demikian juga Marlina yang aku tahu, betapa menderitanya dia karena aku kawin dengan kakaknya. Demikian juga dengan Marlina yang berusaha melayaniku dengan baik. Meskipun dia merasa bahwa kami tidur seranjang bagaikan orang asing satu sama lain. Tapi dia tetap melayaniku layaknya seorang istri yang dicintai suaminya. Namun bagiku itu hanya formalitas belaka. Meskipun kecantikan wajahnya tak jauh beda dengan Nurlina. Tapi aku tak cinta dia. Yang kuinginkan adalah Nurlina. Yang kuidamkan adalah Nurlina.
Malam pertama yang biasa dinanti-nanti pegantin baru itu, bagiku hanyalah awal dari sebuah penghianatan. Tak mampu rasanya hati ini menghianati cintaku pada Nurlina. Bahkan berbulan-bulan kemudian kami hanya tidur seranjang, tak ada yang lain. Hanya tidur, itu saja. Naluri dan birahi pun tak terasa sedikitpun di dalam hatiku. Apalagi belaian kasih sayang yang mengebu-gebu layaknya pasangan pengantin baru, itu jauh sekali. Nah itulah yang kualami selama ini. Nampaknya wanita ini, istriku ini juga mengetahui bahwa aku tidak cinta dia.
Hampir satu tahun tidur seranjang bagaikan orang asing satu sama lain, barulah ada malam pertama itu. Kurasakan istriku di malam itu menggebu-gebu bagaikan mendapat anugerah mawaddah warrahmah. Sedangkan bagiku itu tak lebih hanyalah naluriah biologis alami belaka. Walaupun secara alami pula hal itu telah menjadi agenda rutin dalam sebuah rumah tangga
Suatu ketika aku merasakan ada yang aneh dalam diriku. Setelah bertahun hidup bersama, baru kali ini ada perasaan berdosa dalam diriku. Apakah aku harus begini selamanya? Ataukah harus kuterima apa adanya? Atau harus kuterima ia sebagai pasangan hidup yang sudah ditentukanNya? Tetapi haruskah cinta ini berpindah dari Nurlina kepada Marlina?
Begitu lama aku menimbang dan memperhatikan, lama kelamaan akhirnya aku menemukan sesuatu. Satu hal yang membuat aku mulai tertarik pada wanita yang sebenarnya istriku ini ialah, betapa sabar ia menghadapi keenggananku. Betapa sabar ia menghadapi berbagai masalah karena ketidak cocokan kami.
Aneh, belakangan ini aku mulai memperhatikannya. Ternyata istriku ini, ternyata wajahnya cantik juga. Anggun penampilannya dan halus budi pekertinya. Begitu tenang pembawaannya, senyumnya juga menawan, tutur katanya pun enak didengar. Semuanya itu menyejukkan hatiku. Diam-diam ternyata aku mulai tertarik, diam-diam aku mulai menerimanya sebagai pendamping hidupku, diam-diam pula aku mulai melupakan Nurlna.
Segalanya memang harus ada proses dan terjadi secara alami. Akupun mencoba mencintai istriku dan melupakan ikatan cintaku dengan Nurlina.
Beberapa hari ini terasa ada yang aneh. Kudengar berkali-kali ada bisikan sayup-sayup memanggil-manggil namaku. Sekarang bisikan itu datang lagi, kutengok-tengok kiri dan kanan, tak ada orang. Di rumah ini hanya ada kedua anakku, Sementara Nurlina sedang menghadiri majlis ta’lim di mesjid.
Suara itu terasa semakin kencang, kucari lagi suara itu, ternyata suara itu masuk dibawa angin lewat ventilasi Dan yang lebih aneh lagi, ternyata suara itu datang dari arah alkah keluarga yang ada di samping rumah itu.
“Bang.” Suara itu, ya suara itu suara yang sudah lama tidak kudengar lagi. Tetapi suara itu sungguh sangat kukenal. Itu kan suara Marlina almarhumah istriku itu? Aneh, bagaimana mungkin? Dia kan sudah meninggal lima tahun yang lalu?
“Mar, Mar, Marlina?” sapaku keheranan terbata-bata.
Masya Allah, wanita itu berdiri di hadapanku, wanita itu adalah Marlina. Dia benar-benar Marlina. Ya Marlina istriku itu. Masya Allah, wajahnya masih tetap secantik dulu. Senyumnya juga masih semanis dulu, dan manjanya juga masih yang dulu.
“Kau? Kau kah ini Marlina?,” tanyaku masih tidak percaya.
“Ya, Bang ini aku. Marlina Bang, Masa Abang lupa?” katanya sendu.
Kulihat Marlina diam, wajahnya sayu, sedih, iba, penuh harap. Tiba-tiba, di luar dugaan, meluncurlah kata-kata dari mulutnya suatu permintaan yang sungguh aneh.
“Bang, sebaiknya Abang kawin lagi?”
Bagai disambar petir di siang bolong, aku terkejut, aku heran, aku bingung, aku jadi serba salah. Aku jadi semakin bingung melihat wajahnya semakin lirih makin mengharap, kemudian ia tertunduk sedih. Kami sama-sama diam, tak ada suara, bicara hanya antara hati. Masing-masing tenggelam dalam gejolak batin membara.
“Bagaimana mungkin aku menghiantimu? Aku tidak akan kawin selamanya. Karena kau adalah istriku yang pertama dan sekaligus yang terakhir.”
“Tapi Abang harus kawin, Abang memerlukan seseorang untuk melayani dan mendampingi Abang dalam suka dan duka. Lagi pula kedua anak kita perlu seorang ibu yang menyayanginya. Marlina tidak marah kok. Kawin lagi ya Bang.”
“Ah, kau ini bagaimana? Masa aku disuruh kawin? Kawin dengan siapa? Kau pikir ada orang yang dapat mendampingiku sama baiknya dengan kamu? Apa ada wanita lain yang bisa menggantikanmu sebagai ibu buat anak kita?”
“Ya Abang tidak usah kuatir, aku yakin dia sama baiknya dengan aku, bahkan mungkin lebih. Baik sebagai istri setia, maupun sebagai ibu yang penyayang.”
“Ah kau ini aneh? Mana ada orang seperti itu?”
“Ada, Bang. Pasti ada.”
“Siapa?”
“Nurlina, Bang. Dia kan cinta pertama Abang. Kawini dia Bang?”
Aneh, benar-benar aneh. Baru kali ini kudengar istri yang minta suaminya kawin lagi. Dan yang lebih aneh lagi, aku disuruh kawin dengan adiknya sendiri.
“Bangun Bang, bangun Bang Burhan, Magrib Bang.” aku terkejut ada sesuatu yang aneh.
Tidak biasanya Marlina memanggilku dengan sebutan nama. Selama hidup berumah tangga, sekali pun dia tidak pernah memanggilku Bang Burhan. Dia hanya memangglku Abang atau Bang tanpa diringi dengan namaku. E ternyata ini bukan Marlina, tetapi Nurlina. Dia membangunkanku, ah ketiduran aku rupanya.
Sejak pertemuan di dalam mimpi itu, aku jadi serba salah. Nurlina memang pelabuhan cintaku yang pertama, tapi itu cinta lama yang sudah kulupakan. Mengapa Nurlina belum kawin juga? Apakah ia juga masih menyimpan cintanya? Tapi aku malu membicarakan apa yang diminta Marlina. Akankah kuturuti saja permintaan Marlina itu? Ataukah kupendam saja rapat-rapat di dalam hati?
Seminggu kemudian, barulah kubicarakan permintaan Marlina itu. Nurlina diam saja, tak ada jawaban. Aku jadi bingung sekaligus malu. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Kutunggu beberapa saat, dia tetap diam.
“Bagaimana?” tanyaku malu.
Tak ada jawaban, Nurlina hanya menatapku, lama sekali. Ah Nurlina, tatapan itulah dulu yang membuat aku jatuh cinta padamu. Kau masih secantik dulu. Jantungku berdebar-debar sama seperti dulu. Kami saling tatap, bicara hanya antara mata. Tak terlihat adanya tanda-tanda ia menerima, tetapi juga tak ada tanda-tanda ia menolak. Mungkinkah ini sesuatu yang baik?
“Bagaimana?” tanyaku lagi. Tiba-tiba saja di luar dugaan dia mengangguk.
“Alhamdulillaah, terima kasih Ya Allah,”
Langsung dadaku berdebar-debar, jantungku semakin kencang. Ah, cinta lama bersemi kembali. Kulihat kedua anakku itu asik nonton TV. Dari balik jendela kulihat alkah di samping rumah ini. Ada sepasang kupu-kupu indah beterbangan mesra di sela-sela puring, dan hilang entah di mana.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/hamberan-syahbana/nikmatilah-cerpen-ini-dalam-buku-kumcer-kau-yang-kuidamkan-hal-8-14/10150483974467442
0 komentar: