Cerpen Ferry Irawan Kartasasmita: Tentang Dua Hati yang Tak Akan Bersatu
Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, yang aku tahu hanya kamu tak pernah berubah semenjak kita pertama kali bertemu. Kamu masih saja malu-malu menatapku dari kejauhan, dan aku melakukan hal yang sama, aku lebih pemalu lagi. Walaupun jika kamu tahu, keinginanku untuk berbincang dan bercanda denganmu, itu sungguh sudah menumpuk ingin termuntahkan.Aku mengetahui segalanya tentangmu, setidaknya sebagian besar tentang hidupmu aku sudah mengingatnya di luar kepala. Tentang makanan kesukaanmu, tentang hobi membacamu, tentang pelajaran yang kamu benci, bahkan alasan orang tuamu memberi nama yang indah untukmu. Aku ingin kita berbincang dan dikesempatan itu aku akan berlagak seperti seorang peramal yang mengetahui segala tentangmu, hingga kamu menjadi penasaran dan terus bertanya lagi dan lagi tentang dirimu yang aku ketahui.
Kamu pernah menegurku terlebih dahulu, aku yang bodoh ini hanya membalas teguranmu dengan senyuman, tanpa kata yang terucapkan. Entah seberapa besar keberanian yang kamu curahkan untuk menegurku dan harapan bahwa aku akan menyambut sapaan itu dengan hangat dan menjadi keakraban yang mulai bermula di sore itu.
Sayangnya, aku tak memiliki keberanian sepertimu. Hal refleks yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum, tenggorokanku seperti tercekat tak mampu mengeluarkan suara. Seminggu sejak sore itu kamu hanya menenduk ketika kita tak sengaja beradu pandang. Mungkin rasa malumu telah menghantam tengkukmu. Aku pun demikian, bagaimana perasaan suka yang begitu besar terhalang oleh dinding raksasa yaitu ketidak beranian. Tentu saja di akhir cerita hanyalah penyesalan yang kudapat.
***
Untuk pertama kalinya aku melihat seorang lawan jenis dengan penuh hasrat. Ketika aku menatapnya, inginku selalu menatapnya, tak perduli keadaan saat itu. Dunia seperti menyempit dan hanya menghasilkan ruang pandang mengarah padamu. Aku menyadari, kodratku yang hanya menunggu, menjadikan aku untuk sadar diri. Kutundukan kepalaku berharap bayangmu bisa tergambar di ujung sepatuku.
Selepas kuliah, di parkiran kampus, kamu asyik mengobrol dengan taman-temanmu, entah membicarkaan apa, sepak bola atau game online yang kalian mainkan. aku mendengar suaramu yang sedang tertawa, begitu renyah di telingaku, ringan seakan telingaku sedang memakan kripik kesukaan.
Kita memang tak saling kenal, aku pernah mencoba untuk menegurmu. Berharap kamu akan berbalik bertanya banyak tentangku, aku bahkan sudah menyiapkan jawaban yang paling misterius agar kamu terus bertanya tentangku, tapi reaksimu hanya tersenyum. Mengenai siapa namaku saja kamu belum tentu mengetahuinya. Aku kecewa, tapi aku tak pernah marah terhadap orang yang aku suka.
***
Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk menjadi penulis. Sebuah pekerjaan yang bagiku sangat susah. Setidaknya untuk menjadi penulis aku melakukan dua kegiatan, membaca dan menulis. Diriku yang dulu adalah seorang yang begitu malasnya, ketika ujian tiba, bahkan aku enggan untuk belajar, tentu saja berharap kepada kebaikan hati teman atau kemalasan dosen untuk membuat soal dan menjadikannya tugas untuk dikerjakan di rumah.
Sekarang aku sedikit demi sedikit membuang hal itu. Aku mulai menulis dan aku harus tetap terus membaca. Agar tulisanku tidak hanya bercerita tentang impianku dapat bersuara lantang terhadapmu. Tentu saja tulisan seperti itu tidak dapat menarik perhatianmu untuk membaca. Aku mencoba untuk menuliskan apa saja, dari esay, artikel, puisi, cerpen, bahkan novel yang tak lama lagi akan diterbitkan.
Aku menyadari kekuranganku yang tak memiliki keberanian untuk bersuara, maka dari itulah aku memutuskan untuk menulis. Sebagai pengganti sesuatu yang seharusnya aku sampaikan melalui mulut dan didengar oleh telingamu. Berharap matamu menjadi pengganti telinga tentang perasaanku yang telah lama tumbuh dan enggan untuk mati.
***
Sudah puluhan, bahkan menginjak ratusan novel yang telah aku baca. Mulai dari penulis amatir, hingga yang telah berhasil mendapatkan nobel. Dari sana aku menarik kesimpulan, segala hal tentang hidup begitu indah untuk dituliskan, bahkan tentang kisah tragis sekalipun.
Hal itulah yang memutuskan aku untuk berhenti membaca novel, membaca tulisan manapun yang bagiku hanyalah sebuah dongeng yang dibungkus dengan begitu indahnya. Karena sejatinya, apa yang tertulis tak sama dengan kenyataan hidup.
Aku yang lelah untuk menunggu, telah jatuh begitu dalam. Dan entah sampai kapan waktu menjawab harapanku terhadap dirinya. Sudah puluhan ribu lembar halaman aku menunggu kamu datang, ribuan lembar yang monoton dan begitu sangat membosankan. Tapi tetap saja, tak ada tanda-tanda kisah hidupku akan berakhir bahagia.
***
Akhirnya aku bertemu dengan dirimu kembali, ia masih saja tersenyum padaku tanpa berbicara. Apakah ia menjadi bisu ketika berhadapan denganku? Dan aku masih saja berharap ia akan menyapaku dan bertanya siapa namaku?
***
Aku bertemu dengan dirinya di taman kota, aku sedang menulis dengan laptop di pahaku. Ia bersama teman-temannya. Satu pertanyaan yang menghantuiku, sudahkah engkau membaca novelku yang kini menjadi best seller itu? Ketahuilah kisah itu tentang diriku yang bodoh, aku menuliskannya seindah mungkin walaupun pada kenyataannya kisah ini begitu memuakkan.
Setidaknya kamu harus tahu, Gita, yang menjadi pemeran wanita ditulisanku adalah kamu. Sama persis dengan namamu yang selalu saja terngiang di pikiranku.
Bandung, 7 Februari 2016
Sumber:
https://makhluklemah.wordpress.com/2016/04/27/cerpen-tentang-dua-hati-yang-tak-akan-bersatu/
0 komentar: