Cerpen Ferry Irawan Kartasasmita: Kisah Duka Petani Miskin
Menjadi petani adalah pahlawan bagi manusia lainnya. Dia menghidupkan kehidupan yang sebelumnya tiada, dengan penuh kesabaran ia menunggu, dan dengan penuh senyuman ia menuai. Tetapi tetap saja, nasib petani tak pernah lebih tinggi dari para pekerja kantoran.Tak perduli pergi pagi dan pulang ketika matahari ingin tenggelam. Merelakan kulit yang terpanggang oleh matahari, sedangkan hasil panen yang didapat selalu saja diakali oleh tengkulak. Berlaga seperti malaikat, menampakan raut wajah penuh kesedihan bahwa harga gabah sedang hancur akhir-akhir ini. Dan kami, yang bodoh ini hanya mampu percaya, karena negeri ini lahir dari kejujuran rakyat yang sama-sama ingin merdeka.
Belum lagi sebagai petani miskin yang tak memiliki tanah untuk hidup. Hidup di antara belas kasihan dan kenyataan pahit hidup sebagai budak yang bekerja keras tanpa mendapatkan hasil yang sesuai atas keringat yang keluar.
Tuan tanah yang memiliki lahan berhektar-hektar luasnya, sejauh mata memandang masih belum bertemu ujungnya. Disanalah tempat kami, para petani miskin, mengiba. Mengadahkan tangan, menjual tenaga kepada para manusia yang menjadi sombong seakan telah memiliki seisi dunia.
“Susahnya hidup di negeri ini, tak ada bedanya kita merdeka dan dijajah. Kita masih tak bisa hidup layak. Hidungku masih dicocok seperti kerbau, dijalankan sekehendak hati seperti budak belian,” selalu ingat kata kawanku tersebut, ia mengeluhkan hidup yang tak berubah ketika negeri ini telah merdeka.
Waktu itu aku menjawab menenangkan kegelisahannya. “Sabar aja, toh. Setidaknya kita diperintah oleh saudara kita sendiri, pada manusia yang memiliki kulit dan warna rambut yang sama.”
“Merdeka bukan seperti ini, perintah yang memaksa atau suruhan yang mau tak mau harus kita ikuti, itulah sejatinya penjajahan. Tak perduli yang berucap itu adalah saudara sekandung sekalipun.”
Aku menghela napas panjang, benar mungkin adanya. Aku juga tak tahan hidup berkalang penderitaan yang tak berkesudahan. Nasib petani miskin yang tak memiliki kuasa bahkan pada sepetak bumi yang dipijaknya.
***
Tak lama dari itu, hadir sosok pemuda yang memberikan secercah cahaya bagi kami yang putus asa. Ia begitu muda, tetapi wajahnya memancarkan kecerdasan. Ketika ia berbicara, alam semesta ikut terenyuh, kami begitu khidmat mendengarkan. Sebuah harapan yang hadir dari pemikiran manusia yang perduli akan petani miskin. Kami memiliki pahlawan yang akan kami junjung saat itu juga, kami ikuti titahnya dan kami doakan untuk keselamatannya.
Selepas pemuda itu pergi, kami mulai membentuk suatu pergerakan. Perkumpulan atas dasar kesamaan nasib, petani miskin yang tak memiliki apa-apa selain tenaga yang dimiliki tubuh ini. Itu pun akan berkurang sedikit demi sedikit dimakan oleh usia.
Penantian petani miskin ini tak terbilang waktu lamanya. Dari satu pemilihan umum, ke pemilihan umum selanjutnya. Kami tak putus harapan, karena itulah satu-satunya harapan yang kami miliki, yang senantiasa kami pupuk dan siangi dari tanaman liar peganggu. Harapan itu kami anggap sebagai ladang kesejahteraan kami, walupun itu hanyalah ilusi, tetapi itu menghidupkan.
Hingga akhirnya kabar menyejukan itu datang lewat undang-undang yang disahkan. Kami tak tahu pasti apa isinya, bagi para petani yang buta huruf tak bersekolah ini. Bahasa undang-undang bagaikan bahasa langit, tak tersentuh bagi kami yang hanya mengerti siklus hidup cacing dan bekicot.
Undang-undang itu dinamakan UU bagi hasil dan agraria dasar. Sejak pemerintah mampu ikut campur akan periuk penghidupan petani miskin. Kami seakan dilindungi oleh malaikat dari penindasan tuan tanah yang gila harta. Gerakan kami saat itu semakin kokoh, banyak petani miskin yang ikut bergabung dan bersama-sama menggarap ladang penghidupan. Pemuda pemberani itu pun karir politiknya semakin melangit.
Sehingga atas jasanya dan janji yang telah ditepatinya—walaupun terbilang lama waktunya. Kami siap menjadi pendukung, menjadi semut serdadu untuk membawa pemuda itu kemana ia hendak melangkah. Entah ke arah benar maupun ke arah neraka. Petani yangtak tahu arah politik negeri saat ini, karena tak mampu membaca koran. Hanya percaya dan hati yang tulus yang bisa kami berikan.
Kehidupan petani miskin ini pun tak berubah seperti berada di sisi atas roda pedati. Kami kerap bersinggungan dengan petani lain yang bersebrangan pemikiran oleh kami. Saat itu, kami benar-benar tak mengetahui letak kebenaran sejati. Mungkin kebodohan begitu dekat letaknya pada kesengsaraan.
***
Hingga puncaknya, beberapa tahun kemudian. Kami para petani miskin dikejar seperti babi hutan, hama pengganggu pertanian. Ditangkap, disiksa, dan dibantai pada suatu kesalahan yang tak kami ketahui asal usulnya. Petani miskin ini ketakutan, tak mampu melawan senapan, bedil dan parang kampung yang begitu kesetanan untuk memusnahkan koloni para petani miskin nan bodoh.
Kami lari pontang-panting ke hutan, meninggalkan keluarga, harta yang tak seberapa dan harga diri sebagai manusia. Sebagian besar dari kami tentunya tertangkap oleh operasi besar di segala penjuru langit, sebagian lagi mati kelaparan dan mungkin dimakan oleh binatang buas.
Dan yang bernasib beruntung—bisa dibilang pula tersial—mampu hidup hingga sekarang. Menjadi saksi sejarah akan kesalahan masa lalu yang tak pernah kami mengerti dari mana, kenapa dan bagaimana bisa terjadi.
Aku berdiri di sini, melihat negeri ini tumbuh dan berkembang bersama tawa, senyum, darah dan jeritan manusia-manusia terdahulu dan sekarang nasib petani tak berubah banyak. Ia tetap menjadi golongan yang memberikan kehidupan tetapi selalu tak diperdulikan oleh orang besar.
Nasibnya seperti harga gabah yang selalu jatuh akibat impor beras dari negara lain. Sedangkan harapan orang besar di gedung yang tinggi itu tetap sama, ingin swasembada tanpa melihat kenyataan pahit yang diterima petani miskin, jaman demi jaman.
Sumber:
https://makhluklemah.wordpress.com/2016/06/29/cerpen-kisah-duka-petani-miskin/
0 komentar: