Esai Jamal T. Suryanata: Dari Rahim Laut dan Hutan: Menikmati Serangkum Puisi Jhon FS. Pane

07.33 Zian 0 Comments

sepanjang tepian sunyi - kumpulan puisi jhon fs. pane

Sebuah puisi merupakan bentuk kristalisasi pengalaman batin seorang penyair. Setiap puisi merupakan representasi pemikiran, perasaan, juga harapan-harapan sang penyair mengenai objek tertentu. Puisi merupakan emanasi pergulatan jiwa, pancaran dunia batin seorang penyair, fakta-fakta yang terkatakan dari sekian banyak fakta (baca: pengalaman personal) yang tak terkatakan. Sebuah puisi, dengan diksi-diksi dan metafor-metafor yang didedahkannya, merupakan cara unik seorang penyair untuk mengungkapkan dirinya, pun sebagai media komunikasinya dengan alam dan seluruh realitas kehidupan di luar dirinya.
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa sejatinya makna sejati sebuah puisi sepenuhnya menjadi milik para penyairnya. Tak ada orang lain yang lebih tahu tentang makna terdalam sebuah puisi ketimbang para penciptanya sendiri. Oleh karena itu, ketika kita (sebagai pembaca) mencoba memahami makna sebuah puisi, sesungguhnya kita hanya mampu meraba-raba dalam dunia kemungkinan—dunia dalam kata (world in word)—yang mereka ciptakan. Beragam pendekatan teoretis yang kita gunakan tidak lebih dari sekadar “tongkat si buta” yang akan menuntun intuisi dan imajinasi kita untuk sampai pada tingkat pemahaman tertentu. Kendati demikian, dalam banyak kasus, bisa jadi seorang pembaca-kritis (critical reader) justru tampak lebih arif dalam memahami dan menafsirkan makna sebuah puisi dibanding dengan para penyairnya sendiri—tentu saja, dalam konteks ini, memang tak ada jaminan bagi kita untuk menemukan kata sepakat dengan sang penyair.

Jika kita pahami, pernyataan tersebut tentunya bukan sesuatu yang luar biasa, juga bukan hal yang mustahil terjadi. Sebab, bagaimanapun liarnya kreativitas seorang penyair, ia tetaplah seseorang yang hidup dan dihidupi lingkungan terdekatnya. Sejauh-jauhnya pengembaraan imajiner seorang penyair, ia juga tak bisa mengelak dari realitas kesehariannya. Atas dasar itulah, sebagaimana mewujud dalam diksi-diksi dan metafor-metafor yang digunakannya, sesungguhnya tak ada puisi yang benar-benar asing dari kehidupan pribadi sang penyair. Penyair yang hidup kesehariannya dekat dengan dunia laut dan hutan tentu akan punya kecenderungan untuk menyerap dan memanfaatkan dunia laut dan hutan itu sebagai diksi maupun metafor sajak-sajaknya. Setidaknya, demikianlah kesan selintas saya ketika membaca sajak-sajak Jhon FS. Pane yang terhimpun dalam buku puisi perdananya ini, Sepanjang Tepian Sunyi (Banjarmasin: Tahura Media, 2016).

***

Jhon FS. Pane (selanjutnya saya sebut Jhon saja), penyair berbakat kelahiran Kotabaru (16 Juni 1975) ini,konon (menurut biografi singkatnya) sudah mulai belajar menulis puisi sejak ia masih duduk di bangku SMA. Namun, melihat titimangsa penulisan seperti yang tertera di bawah sajak-sajaknya dalam buku ini, debut kepenyairannya agaknya baru dimulai sejak awal tahun 2000-an yang lalu. Sejak itu, kendati agak tersendat-sendat, ia terus menulis dan mengalami perkembangan seiring perjalanan waktu yang dilaluinya. Hingga kini, kecuali telah dimuat dalam beberapa antologi puisi bersama, sejumlah sajaknya juga pernah dipublikasikan di SKH Banjarmasin Post, SKH Radar Banjarmasin, dan majalah sastra Horison(Jakarta).
Buku bertajuk Sepanjang Tepian Sunyi ini memuat 95 puisi yang ditulis penyairnya selama hampir 17 tahun (2000-2016). Akan tetapi, berdasarkan titimangsa penulisannya pula (tentu saja jika sang penyair memang jujur dan objektif menuliskannya), selama rentang waktu tersebut agaknya hanya empat tahun di antaranya yang merupakan masa-masa produktifnya berkarya. Secara kronologis, keempat tahun tersebut mencakup (dengan jumlah puisinya masing-masing): 2006 (15 puisi), 2007 (13 puisi), 2009 (10 puisi), dan 2015 (16 puisi). Selebihnya, pada tahun-tahun yang lain, Jhon paling banyak hanya menghasilkan 6 puisi. Bahkan, tiga tahun di antaranya (2001, 2002, 2004) ia hanya mampu menulis 1 puisi dalam setahun—dengan asumsi bahwa sajak “Dalam Sepotong Kaca” (bertitimangsa 1999-2002) diselesaikan pada tahun yang disebut terakhir, sebagaimana halnya sajak-sajak bertajuk “Akhirnya” (1999-2000), “Kepergian” (2006/2015), dan “Kisah Sebatang Pohon” (2007-2015). Dengan kata lain, terlepas dari kemungkinan masih ada sejumlah sajaknya yang tidak dimuat dalam antologi ini, Jhon termasuk penyair muda yang tidak produktif dalam berkarya.
Kalau kita bandingkan dengan kebanyakan penyair muda lainnya, masa-masa produktif mereka berkarya pada umumnya justru terjadi di awal-awal masa kepenyairannya masing-masing. Akan tetapi, ketidakproduktifan Jhon di masa-masa awal kepenyairannya bisa jadi menunjukkan bahwa ia bukanlah tipe penyair yang terburu nafsu untuk mendapatkan sebutan gagah sebagai penyair debutan yang sangat produktif. Sebab, kenyataan seringkali mengungkapkan bahwa penyair-penyair muda yang sangat produktif berkarya tidak jarang hanya mampu menghasilkan karya-karya bercorak “puisi sablon” (sekarang bisa juga disebut digital printing poetry), kalau bukan tersandung pada epigonisme atau bahkan plagiarisme. Namun, dalam hal ini, sudah pasti hanya si penyairlah yang paling tahu kondisi yang sebenarnya: apakah ketidakproduktifannya itu memang dilantarankan oleh faktor yang saya sebutkan tadi ataukah karena alasan lainnya?
Terlepas dari persoalan di atas, secara umum sajak-sajak Jhon dalam buku ini tergolong jenis puisi liris (lirical poetry) yang tidak terlampau sulit untuk dipahami. Diksi-diksi dan metafor-metafor yang digunakannya relatif bersahaja, mudah dikenali, juga tak ada kecenderungan untuk sekadar bercanggih-canggih kata. Namun, saya percaya, puisi yang baik bukanlah puisi yang terlalu gelap dan tidak pula terlampau terang. Puisi yang baik justru berada di antara gelap dan terang. Puisi yang terlalu gelap seringkali gagal dalam menjalin komunikasi dengan pembacanya, sebaiknya puisi yang terlampau terang tidak lebih dari genre prosa yang ditulis menyerupai bentuk puisi (konvensional). Berdasarkan kriteria ini, sajak-sajak Jhon di buku ini agaknya cukup memenuhi syarat untuk disebut “puisi yang baik” itu. Sekadar contoh untuk kesan kesahajaan yang saya maksudkan, mari kita cermati beberapa larik pada bait pembuka sajak “Senja di Siring Laut” dan bait penutup sajak “Perempuan yang Menunggu di Tepian Sunyi”-nya berikut ini.

kubiarkan hatiku bermuara di sini
bernaung jauh dari amuk gelombang
dan berayun pada kepolosan makna hari-hari
ketika bayangmu tersembur seperti ribuan debur
ketika riak canda mengelupas senja
di siring laut
….
di sungai ini telah melintas ribuan perahu
tak bersisa satu yang kau lambai singgah walau sekedar
menambat gelisah
apa yang kau cari sendiri di tepian sunyi
jika bayang-bayang senja hilang menyimpan kisahusang
seperti kisah kita yang tergambar di rumah-rumah kayu
telah terserak rapuh di sepanjang tepian

Kecuali dicirikan oleh kesahajaan dalam pilihan kata dan motif perlambangannya, sebagai penyair yang lahir dan besar di Bumi Saijaan (Kotabaru) dengan laut dan pantai sebagai realitas hidup kesehariannya, beragam diksi dan metafor-metafor yang digunakan Jhon dalam sajak-sajaknya pada umumnya juga tidak beranjak jauh dari dunia kelautan tersebut. Paling tidak, jika ia tidak sedang berbicara tentang dunia kelautan itu sendiri, diksi-diksi dan metafor-metafor kelautan itu akan muncul sebagai latar suasana untuk mengungkapkan berbagai berita pikiran dengan keragaman subject-matter-nya. Oleh karena itu, bukan suatu kebetulan kalau dalam banyak sajak Jhon dalam buku ini sangat dominan diwarnai kosakata khas kelautan semisal angin, arus, badai, bandar, buih, camar, debur, gelombang, gemuruh, ikan, kapal, karang, kerang, laut, layar, muara, ombak, pantai, pasang, pasir, pelabuhan, perahu, pulau, riak, sampan, dan siring laut yang menjadi salah satu ikon wisata daerahnya.
Diksi-diksi khas kelautan itu menyebar dalam lebih dari separo puisi Jhon yang terhimpun di buku ini, antara lain dalam sajak-sajak bertajuk “Di Kedalaman Laut”, “Kecuali”, “Isyarat Mata”, “Mata Risau Sebuah Bandar”, “Seperti Kemarin”, “Penyeberangan Tarjun-Stagen”, “Arti Sesungguhnya”, “Matahari”, “Tarian Sunyi”, “Pelabuhan Purba”, “Ada yang Terlupakan”, “Tanah Kenangan”, “Betapa Aku Mencintaimu”, “Senja yang Sunyi”, “Puisi Batu”, “Lagu Sepanjang Musim”, “Membaca Jejak”, atau “Sebelum Riak Menjadi Ombak”—sekadar menyebutkan beberapa contoh. Pemanfaatan beragam diksi dan metafor-metafor semisal itu dalam banyak puisinya merupakan indikasi kuat bahwa realitas kehidupan sang penyair memang dekat dengan dunia laut. Sebagai satu contoh lagi yang cukup representatif mengungkapkan dunia laut sebagai sumber inspirasi perpuisiannya, berikut saya kutipkan bait terakhir puisi bertajuk “Kembali pada Jalan Gelombang”.

ingatlah kita adalah anak-anak laut yang terlahir
dari rahim gelombang
yang memasang peta dan arah pelayaran pada garis
bintangdan cuaca
menepuk dada di langit malam saat bulan merah jadi
sandaran
ayo kibarkan lembar layar melaju kita melabuh kasih
meraih riuh dan mereguk segala gemuruh ombak
lihat pulau-pulau di depan menggoda untuk kita raih
angin jahat pun pergi berlalu karena semata cemburu
kepada laut yang tak pernah surut mencintai pantai
dan ikan-ikan

Di luar konteks berita pikiran yang didedahkannya, tampak sekali bahwa sajak tersebut sarat dengan diksi-diksi dan metafor-metafor kelautan—bahkan, hal itu sudah dapat kita tangkap secara eksplisit dari judulnya. Jadi, sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa sejauh-jauhnya pengembaraan imajinasi dan seliar-liarnya kreativitas seorang penyair, ia tetaplah seseorang yang hidup dan dihidupi lingkungan terdekatnya. Seorang penyair yang hidupnya senantiasa dibelai angin laut dan ditimang gelombang tak akan bisa mengelak dari realitas kesehariannya. Begitulah, beragam diksi dan metafor-metafor khas kelautan semacam itu pula yang telah dimanfaatkan dengan baik oleh kebanyakan penyair asal Pulau Garam (Madura), sebagaimana tampak dalam karya-karya Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman, M. Faizi, Mahwi Air Tawar, atau Sofyan RH. Zaid—kendati dengan pilihan tema yang berbeda.
Selain dunia laut, satu lagi lingkungan terdekat yang juga kerap mengilhami Jhon dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya ialah hutan—realitas alam yang tersebar di seluruh gugusan pulau Kalimantan, termasuk di daerah Kotabaru. Dalam konteks ini, diksi hutan (belantara) sebagai suatu superordinat tentu saja memiliki sederet kohiponim yang dapat menjadi penanda ikonisnya. Oleh karena itu, seperti halnya laut dengan segala keniscayaannya, hiponimi hutanpun bisa saja direpresentasikan sang penyair hanya dengan menghadirkan bentuk-bentuk penyertanya semisal belukar, pohon, kayu, dahan, ranting, tangkai, daun, pucuk, bunga, serbuk, atau putik. Namun, baik diksi-diksi yang berbau laut maupun yang beraroma hutan, keduanya bisa sejajar oleh kehadiran kata-kata unifikatif yang secara semantis memang sangat berdekatan: cuaca, musim, panas, dingin, gigil, gerah, sunyi, sepi, senyap, basah, kering, ranggas, tanah, lumpur, debu, gunung, bukit, pulau, darat, batu, kerikil, pasir, sungai, atau mata air yang banyak digunakan dalam sajak-sajaknya. Kecenderungan demikian antara lain dapat kita temukan pula dalam sejumlah sajak Jhon yang telah saya sebutkan di atas, di samping juga muncul dalam beberapa sajak lainnya.
Lebih dari itu, diksi-diksi dan metafor-metafor dari dunia laut dan hutan itu seringkali hadir sebagai bentuk pengingkaran perspektifnya terhadap kota dengan segala peranti ikonisnya. Jika satu ketika dalam sejumlah sajaknya sang penyair bercerita tentang tragika hutan, dalam beberapa sajaknya yang lain ia justru mengungkapkan hirup-pikuk kota dengan segala keruhnya. Jadi, dalam kaitan ini, kehadiran sajak-sajak semisal “Potret Kota”, “Lagu tentang Kota”, “Dalam Sepotong Kaca”, “Kecuali”, “Isyarat Mata”, “Sebuah Perjalanan”, “Basa-basi”, “Siang di Sebuah Stasiun”, “Lewat Simpang Empat”, dan “Suatu Malam di Meja Makan Pak Presiden” jelas dimaksudkan sebagai kontras sosiokultural dari sajak-sajaknya yang bertajuk “Di Kedalaman Laut”, “Mata Risau Sebuah Bandar”, “Kembali pada Jalan Gelombang”, “Warisan Sederhana”, “Resah Belantara”, “Nyanyian dari Ladang”, “Sebelum Riak Menjadi Ombak”, “Ada yang Membakar”, “Di Sini Dulu Ada Sebuah Hutan”, atau “Suara dari Kalimantan”—sekadar menyebut beberapa contoh pula.
Berdasarkan uraian di atas, fenomena perpuisian Jhon yang cukup menonjol di buku ini bahwa hampir semua sajaknya terlahir dari rahim laut dan hutan. Akan tetapi, kecuali beberapa sajaknya yang berbicara tentang penyambutan atas kelahiran anak, secara umum estetika perpuisiannya tampil sebagai representasi “sajak berwajah keruh”—maka, bayangkanlah seseorang yang sedang menatap tajam ke arah suatu objek dengan kulit jidat berkerut dan berlipat-lipat. Kekeruhan wajah perpuisian Jhon itu terutama dilantarankan oleh kegelisahan, keprihatinan, dan kecemasan personalnya terhadap kondisi alam dan peradaban yang semakin rusak. Sajak-sajaknya merupakan manifestasi kegelisahan intelektual, kritik sosiokultural, dan sekaligus sebagai bentuk perlawanan diam-diam terhadap rezim kekuasaan yang secara masif telah menciptakan lingkungan yang sakit. Bentuk-bentuk pengucapan sastrawi semacam inilah yang pada paro kedua dekade 80-an dulu lazim disebut “sastra-terlibat-dalam” atau “sastra kontekstual”.
Kemudian, kalaulah ada satu lagi ciri lain estetika perpuisian Jhon—sejauh yang dapat saya tangkap dari sajak-sajaknya dalam antologi ini—hal itu hanya terletak pada gaya pengungkapannya yang bercorak dialogis. Hampir semua sajaknya di buku ini selalu bermain dengan pronomina persona pertama dan kedua tunggal dalam jarak komunikasi yang sangat dekat: aku-kau. Keduanya seakan terlibat dalam suasana berdepan-depan, tetapi sesungguhnya hanya bersifat monologis. Untuk lebih jelasnya, baik dalam konteks kekeruhan maupun kedialogisannya, kedua fenomena ini agaknya cukup terwakili dengan mengutipkan larik-larik sajaknya yang bertajuk “Arti Sesungguhnya” dan “Kabar dari Tanah Perjanjian” di bawah ini (masing-masing dikutip dari bait pertamanya).

kusapa kau dari hari yang sepi, begitu jauh
lebih selengkung jarak di titik terujung
sedang merangkai matahari dan senja
sambil menunggu malam-malam jatuh berlabuh
di matamu tumbuh ranggas berduri
….
berulang kali sudah kau kabarkan tentang rumahmu
yang hancur berkeping, tak tersisa pintu dan kamar
kecuali puing yang masih terbakar
dan bau yang menyesak sepanjang tarikan nafas

Hanya saja, kalau pronomina persona pertama “aku” secara jelas menunjuk pada “aku-lirik” (yang mungkin juga berari “aku-biografis-penyair”) sebagai komunikator, pronomina persona kedua “kau” (termasuk bentuk klitika “-mu”) tampaknya tidak memiliki rujukan yang tunggal karena makna yang ditunjuknya memang sangat bias—dapat berarti siapa saja yang sedang menjadi lawan bicara (komunikan) sang aku-lirik. Ia bisa berarti kawan, kekasih, istri, anak, ayah, ibu, camat, bupati, gubernur, presiden, dan sosok orang-seorang lainnya. Bahkan, antara “kau/-mu” yang insani dengan “kau/-mu” yang Ilahi juga tidak memiliki penanda indeksikal yang jelas. Dengan demikian, makna acuan pronomina persona kedua “kau” dan “-mu” dalam sajak-sajak Jhon di buku ini bersifat tentatif dan sangat kontekstual sehingga tidak mudah bagi kita untuk memasuki ruang ketakrifannya. Namun, satu hal yang pasti bahwa “aku-lirik” dalam hampir semua sajaknya di buku ini tampaknya merupakan manifestasi suara batin sang penyair yang senantiasa merasa terkungkung dalam kesunyian eksistensialnya.

***

Membicarakan sebuah buku puisi yang di dalamnya memuat hampir seratus karya (95 puisi), apalagi ditulis dalam rentang waktu yang relatif lama (2000-2016), tentu saja bukanlah kerja kreatif yang sederhana. Oleh karena itu, esai sesingkat ini jelas tak cukup mampu menampung seluruh gagasan dan pemikiran-kritis yang ingin saya kemukakan. Akan tetapi, sejauh hasil pembacaan saya, sajak-sajak Jhon dalam kumpulan perdananya ini tentu saja bukanlah karya yang sempurna. Setidaknya, di dalam sejumlah sajaknya masih tampak jejak-jejak estetis perpuisian penyair tertentu yang mungkin dikaguminya.
Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa Jhon sejauh ini tampaknya belum maksimal dalam melakukan eksplorasi linguistis sehingga banyak pilihan kata dan ungkapan yang digunakannya cenderung hanya sebagai pengulangan dari bahasa penyair yang dikaguminya itu. Lalu, dalam konteks perpuisiannya sendiri, Jhon juga terlampau sering mengulang-ulang penggunaan diksi dan metafor tertentu. Sajak-sajaknya dominan dihiasi dengan kata-kata semisal “malam”, “waktu”, “sunyi”, atau “sepi” (dengan bentuk-bentuk derivatifnya)—kalau dihitung-hitung, kata “malam” saja mungkin digunakan lebih dari seratus kali sehingga diksi tersebut seakan sebuah klise yang hampir selalu hadir dalam kebanyakan sajaknya. Kendati hal ini bukanlah suatu kesalahan, tetapi seorang penyair kreatif umumnya tidak menyukai bentuk-bentuk pengulangan dalam aspek mana pun. Dalam kaitan ini, Jhon agaknya perlu terus mengembangkan diri dan melakukan penjelajahan estetis guna memberikan sentuhan-sentuhan yang lebih segar dalam sajak-sajaknya yang masih bersemayam di rahim kreativitasnya.
Hal lain yang masih perlu mendapat perhatian serius dalam sajak-sajak Jhon di buku ini terutama menyangkut teknik penulisan kata ulang (reduplikasi) yang seringkali dilakukannya secara tidak konsisten. Dalam kebanyakan puisinya, kata ulang itu ditulis secara konvensional (baca: mengikuti kaidah penulisan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan), yaitu dengan menggunakan garis penghubung (misal: batu-batu, doa-doa, kapal-kapal, rongga-rongga, sawah-sawah). Namun, pada beberapa puisinya yang lain, penulisan kata ulang itu dilakukan secara inkonvensional (baca: tidak mengikuti kaidah penulisan yang standar) karena dituliskan tanpa garis penghubung (misal: bayangbayang, habishabis, kamarkamar, katakata, malammalam, memantulmantul, orangorang, sampahsampah). Penulisan semacam ini antara lain dapat kita temukan dalam sajak-sajak bertajuk “Lewat Koridor Angin”, “Tarian Sunyi”, “Betapa Aku Mencintaimu”, “Lumpur Air Mata”, dan “Di Ujung Mata Luka”. Gejala inkonsistensi penulisan demikian bahkan bukan hanya kita temukan dalam puisi yang berbeda, melainkan juga dalam satu puisi.
Pertanyaan kita sekarang, dengan dua model penulisan kata ulang tersebut, apa sebenarnya yang diinginkan sang penyair? Adakah ia ingin menunjukkan penekanan makna atau efek estetis tertentu ataukah—tanpa alasan yang jelas—gejala semacam ini sekadar bentuk pengekorannya terhadap tradisi perpuisian penyair lain pula? Namun, apa pun alasannya, setiap bentuk pengekoran tentulah bermakna tidak kreatif.
Dalam konteks ini, persoalannya memang harus kita kembalikan kepada sang penyair. Sebab, sekali lagi, tak ada orang lain yang lebih tahu atau lebih memahami makna dan seluruh rahasia estetis di balik penciptaan sajak-sajaknya ketimbang penyairnya sendiri. Pembacaan kita, pelacakan hermeneutik yang kita lakukan, pada hakikatnya tak lebih dari sebentuk keniscayaan. Sebagai pembaca, kita hanya bisa meraba-raba dan atau menduga-duga belaka, sungguhpun dengan menerapkan beragam metode penafsiran yang dipandang paling canggih.
Begitulah, persis sebagaimana yang dikatakan Jhon sendiri dalam larik-larik pembuka sajaknya yang bertajuk “Isyarat Mata” ini: selalu saja ada tersisa tanda tanya/ di ujung jalan-jalan lurus/ yang menepikan arah angin ke titik kecemasan/ pun waktu tak lebih dari sebuah hitungan. Namun, bagaimanapun adanya, saya sangat menikmati seluruh sajak Jhon yang terhimpun dalam antologi Sepanjang Tepian Sunyi ini. Dan, saya percaya, sajak-sajak terbaiknya akan segera menyusul setelah lahirnya buku puisi perdananya ini. []


Sumber:
Media Kalimantan edisi 20-21 September 2016
https://www.facebook.com/djamalts/posts/10205385497276143

0 komentar: