Cerpen Asep Fauzi: Menghitung Suara
“Nomor tujuh…nomor tujuh…nomor tujuh lagi. Lagi, nomor tujuh….”Sudah sebulan terakhir ini ibumu menghitung suara, menirukan suara Para Petugas Penghitungan Suara. Dia akan betah berlama-lama berdiri di depan jendela kamar tidurnya, menatap kosong ke arah jalan sambil terus berhitung.
Tidak ada hal lain lagi saat ini yang dilakukannya selain menghitung suara. Tubuh ibumu juga kian layu disekap kesedihannya yang teramat mendalam, ditambah selera makannya yang seakan dia usir. Coba saja kau lihat matanya! Terlihat sangat lelah.
“Mama sedang menghitung suara untuk Abah-mu. Supaya sidin menang, senang dan tenang di atas sana!” itu jawaban ibumu dengan mata berbinar-binar, saat kau tidak tahan lagi dengan pemandangan itu dan mencoba menyadarkannya untuk kesekian kalinya. Setelah itu, biasanya dia akan kembali sayu dan menangis hebat di pelukanmu. Hatimu tentu saja sudah terbiasa teriris dengan adegan semacam itu. Sampai kapan semua ini, ya, Tuhan? Jerit hatimu.
Sebenarnya, kau sudah pernah menyampaikan perihal keadaan ibumu itu kepada paman dan bibi-bibimu, tapi mereka hanya membisu. Bahkan hanya sekadar menjenguk ibumu saja mereka tidak pernah menampakkan batang hidungnya ke rumah kalian.
Begitu juga dengan orang-orang yang dulu mengaku tim sukses dan loyal kepada mendiang ayahmu. Kemudian kau juga baru tahu bahwa harta ayahmu telah ludes untuk biaya pencalonannya. Meskipun masih beruntung, rumah satu-satunya tempat kau dan ibumu saat ini berteduh tidak termasuk ke dalam daftar harta yang digunakan ayahmu untuk biaya kampanye. Andai saja itu terjadi, ah, kau belum punya opsi mengajak ibumu untuk tinggal di mana.
Itu juga yang membuatmu kini semakin giat bekerja sebagai waitter di Halte Food,yang sudah kau jalani sejak awal kuliah yang memang memilih untuk membiayai pendidikanmu sendiri. Tapi kini tentu saja dengan niat yang bertambah, ya, juga untuk membawa ibumu ke rumah sakit dan demi menopang hidup kalian berdua.
Suasana rumahmu juga jelas tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Meskipun kau tidak pernah menyukainya dan selalu mencoba menghilang dari rumah, tapi setidaknya tidak sebegitu menyedihkannya seperti ini. Tidak ada lagi hiruk-pikuk pertemuan tim sukses. Tidak ada lagi kesibukan-kesibukan lainnya semenjak kekalahan itu tempo hari, apalagi sejak ayahmu berpulang.
Iya, ayahmu meninggal dunia karena terkena serangan jantung dan stroke setelah hasil rapat pleno penyelenggara pemilihan kepala daerah menyatakan, bahwa ia kembali harus menelan kekalahan di pemilihan tahun ini.
Gedung Paris Barantai pukul satu dini hari itu riuh, bukan hanya karena teriakan kemenangan tim sukses dan para pendukung pasangan calon nomor tiga yang berhasil unggul dalam pemerolehan suara dari dua puluh satu jumlah kecamatan di kabupaten ini. Tetapi, karena ayahmu seketika itu juga terjatuh dari kursinya sembari memegang posisi jantungnya.
Pamanmu, Fahrin, dan orang-orang partai segera membawa ayahmu ke rumah sakit. Cerita itu tentu saja kau dapatkan juga dari mereka. Kau dan ibumu menemui ayahmu setelah ia terbaring di rumah sakit dengan posisi bibirnya yang tertarik sempurna ke salah satu sisinya.
Besoknya, cerita itu menjadi headline di semua surat kabar di Kalimantan Selatan. Lalu, makin heboh saat ayahmu meninggal dunia. Media-media sosial juga tak kalah kalap menggembor-gemborkannya. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang seakan-akan merasa perihatin dengan apa yang telah menimpa ayahmu setelah beberapa kali berupaya untuk menjadi orang nomor satu di kabupaten ini namun kembali gatot. Dan tidak sedikit pula yang menertawakan dan memampus-mampuskan nasib na’as ayahmu itu.
Semenjak lulus SMA, kau memang selalu menolak keras dan tidak pernah menunjukkan seleramu sedikit pun terhadap dunia politik seperti ayah dan keluarga-keluargamu. Padahal waktu itu, mendiang ayahmu sangat menginginkan sekali agar kau kuliah dan bergelut di perkuliahan jurusan pemerintahan atau sosial politik, tapi kau tetap memilih kuliah sastra.
“Agar suatu saat nanti, kau bisa melanjutkan jejak Abah-mu ini, Rudi. Hidup ini tidak akan bisa lepas dari yang namanya politik. Hidup ini sebenarnya kita berpandai-pandaian berpolitik. Apalagi di negara kita ini. Dengan berpolitik, kau akan mendapatkan segalanya; banyak relasi, nama yang melambung, jabatan, dan tentu saja uang. Dengan itu semua, maka hidupmu akan sejahtera dan berkelas, Rud.”
“Tapi pian sudah menjadi anggota dewan dan pengusaha, Abah. Apakah itu belum cukup? Dan juga, aku pikir sebuah jabatan seharusnya tak segemerlap itu, Bah!”
“Awalnya Abah juga tidak pernah terpikir untuk berusaha mencapai jabatan Bupati. Tetapi, semenjak Abah memiliki jabatan dan berkecimpung di dalamnya, entah mengapa Abah belum puas jika belum menjadi orang nomor satu di kota kabupaten ini, Nak. Saat ini, fungsi jabatan itu nomor kesekian.”
“Lantas setelah nanti Abah terpilih menjadi Bupati, ke depannya Abah akan mencalonkan diri lagi menjadi Gubernur, lalu apa lagi, DPR RI?”
“Hahaha…. Nah itu, kau cerdas! Kalau memang Abah punya banyak peluang, kenapa tidak, Rud?” begitu katanya, menjawab pertanyaanmu yang sebenarnya sebuah pernyataan untuk menyindirnya.
Itu kali terakhir kau berbincang serius dengan mendiang ayahmu tentang politik. Setelahnya, kau malas dan selalu menghindarinya. Kau pikir, cara pandang kalian tentang dunia politik terlalu berjarak dari kata sejalan. Dan mengenai cara pandang ayahmu, sungguh kau tak pernah habis pikir.
Dan tahun ini untuk ketiga kalinya, ayahmu mencalonkan diri kembali. Sekali lagi, kau tetap tidak habis pikir dan tidak pernah perduli dengan rencana-rencana besar yang ayahmu rencanakan ke depannya.
Lain halnya dengan paman-paman dan bibi-bibimu, mereka selalu begitu gencar menjadi tim sukses bagi ayahmu; mulai dari pengumpulan KTP pendukung sebagai salah satu syarat pencalonan, pengonsepan kampanye, strategi pemenangan suara, dan banyak lagi yang tak pernah kau pedulikan sepenting apapun itu.
Pernah suatu ketika, kau bercita-cita untuk meninggalkan kota kecil ini dan menetap di sebuah negeri yang kau idam-idamkan. Entah itu di mana! Iya, di sana kau berharap tidak akan lagi menemui masyarakat yang katanya sangat merindukan sosok seorang pemimpin yang merakyat, jujur, adil, dan amanah seperti yang telah dicontohkan di dalam kitab suci. Namun, setiap jadwal diadakannya pemilihan pemimpin, mereka malah mengharapkan adanya serangan fajar. Bahkan ada saja yang keukeuh tidak mau memilih para calon tersebut, jika tidak ada uangnya. Sehingga mau tak mau, hal itu membuat para calon pemimpin berlomba-lomba menebar banyak uang, minimal janji-janji yang pada akhirnya kebanyakan berakhir menjadi palsu dan membusuk. Karena setelah dilantik, kebanyakan dari mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar mendapatkan kembali modal yang telah terpakai, atau lebih parah lagi untuk melunasi hutang-hutang yang mereka pinjam untuk biaya pencalonan tersebut.
“Eh, besaran juga 2MX memberi, tiga ratus ribu satu orang. Wah, tuh, keluarga Pak RT sekeluargaan dapat hampir empat juta dari semua calon!” beber ibu penjual gorengan menyebar berita kepada bapak-bapak penarik becak yang tengah ngopi di warungnya.
“Kalau tidak ada uangnya, lebih baik jualan saja atau tidur sekalian, bikin tahi mata di rumah. Tidak usah memilih! Toh, selama ini, siapa saja yang naik, tidak ada perubahan apa-apa juga buat wong cilik seperti kita!”
“Ahaha…bujurtu, Paman ai. Kada jadi baras jua mun kadeda duitnya ni!”
“Kalau tidak, lebih enak ngeloni istri di rumah, ya, Paman! Haha.” Ramai celotehan para penjual ikan dan sayur saat suatu ketika kau lewat di Pasar Baharu.
Bahkan menurut temanmu yang berada di salah satu kecamatan, bahwa saat pagi, di hari pemilihan beberapa jam lagi akan dilaksanakan, ketika para calon pemilih tengah menunggu para panitia penyelenggara memulai proses pemilihan, masih ada saja tim sukses dari salah satu calon kepala daerah yang menawarkan uang dan mendatanya. Yang mau memilih calon tersebut dan menuliskan namanya di kertas itu, ia akan dapat uang dua ratus ribu.
Ah, tradisi yang telah mendarah daging di negeri ini, kutukmu. Tapi buru-buru kau tepis impian konyol tentang harapan yang sepertinya tidak mungkin itu. Saat ini, masih ada ibumu yang sangat memerlukanmu. Setidaknya masih banyak hal baik yang bisa kau perbuat untuknya.
“Nomor tujuh…nomor tujuh…nomor tujuh lagi. Lagi, nomor tujuh….”
Dengan lelahan air mata yang tak mampu lagi dibendung, kau ikuti saja apa yang diucapkan oleh ibumu itu. Setidaknya saat ini, itu yang dapat kau lakukan untuk menyenangkan hatinya, meskipun untuk sementara dan jelas tidak mampu menyembuhkannya. Karena kali ini, dia juga memaksamu untuk ikut menghitung suara bersamanya. Ya, kalian bersama-sama menghitung suara.
Kotabaru, 16-17 Agustus 2016
Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu 21 Agustus 2016
0 komentar: