Esai Jamal T. Suryanata: Kerinduan dan Kesilaman: Mengurai Seikat Puisi Kalsum Belgis
Kalsum Belgis, sejauh yang saya ketahui, merupakan nama baru dalam jagat sastra Indonesia di Kalimantan Selatan (Kalsel). Dalam biografi singkatnya yang tertera di halaman akhir dan sampul belakang buku Mantra Rindu(2012) hanya disebutkan bahwa penyair kelahiran Martapura (21 Agustus 1978) ini menyelesaikan SMP dan SMA di kota Bandung, pernah mengikuti latihan tari dan teater di Teater mBlink Kuningan di bawah asuhan Aby Manyu, dan bergabung dengan BKS Kostrad yang dimotori oleh Lim Kampy.
Berdasarkan hasil pelacakan saya terhadap sejumlah referensi terkini, Kalsum Belgis agaknya baru memulai debut kepenyairannya pada akhir 2010. Bahkan, jika sekali lagi kita mengacu pada buku Mantra Rindu, itu pun hanya diwakili oleh dua puisinya dan benar-benar dalam arti di penghujung tahun. Hal ini selaras dengan catatan Tajuddin Noor Ganie dalam Antologi Biografi 599 Sastrawan Kalsel 1930-2011 (2011: 125) yang menyebutkan bahwa Kalsum Belgis (maaf, bukan Kalsum Belqis lho) baru mulai dikenal sebagai sastrawan Kalsel sejak tahun 2011. Selanjutnya, dalam buku Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan 1930-2011 (2014: 66-67), Tajuddin Noor Ganie memasukkan Kalsum Belgis sebagai salah satu dari 41 (42?) nama “Elite Sastrawan Kalsel Generasi Pewaris Zaman Reformasi 2010-2011”—namun, di samping datanya belum lengkap, sangat disayangkan pula bahwa buku Sejarah Lokal ini tampaknya juga kurang akurat, terutama dalam penulisan beberapa nama sastrawannya.
Merujuk kembali pada catatan Ganie (2011: 125), hal menarik dalam jejak langkah kepenyairan Kalsum Belgis karena dalam waktu yang relatif sangat singkat itu (baca: belum genap satu tahun) konon ia telah menerbitkan dua buah antologi puisi pribadi, masing-masing bertajuk Mantra Pertapa (2012) dan Mantra Rindu (2012). Selain itu, puisinya juga dimuat dalam buku antologi puisi bersama, Seloka Bisu Batu Benawa (2011). Namun, sampai di sini, tak ada informasi lain yang bisa saya dapatkan mengenai proses kreatif, publikasi karya, maupun karier kepenyairannya—bahkan, tak ada pula catatan lainnya yang merujuk pada aktivitas kepengarangannya selepas Januari 2012. Oleh karena itu, lantaran saya juga tak pernah menemukan keberadaan buku puisinya yang bertajuk Mantra Pertapa, maka sebagai titik tolak pembicaraan saya selanjutnya dalam tulisan singkat ini hanya mengacu pada sejumlah sajaknya yang terhimpun dalam buku Mantra Rindu (Banjarbaru: Mingguraya Press, 2012).
***
Sebagai gambaran awal, buku bertajuk Mantra Rindu yang cukup tebal ini (viii+132 halaman) memuat 115 puisi Kalsum (demikian saya sebut selanjutnya) yang ditulisnya dalam tahun 2010 dan 2011. Namun, kendati penyebutan tahun 2010 dan 2011 itu mengesankan bahwa sajak-sajaknya yang terhimpun di buku ini ditulis dalam rentang waktu sekitar dua tahunan, pada kenyataannya semua puisi yang rata-rata relatif panjang tersebut ditulis penyairnya hanya dalam kisaran lima bulanan (Desember 2010 s.d. April 2011). Bahkan, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, dua buah puisinya yang mewakili tahun 2010 tersebut ternyata ditulis pada 30 Desember 2010. Selebihnya, 113 puisi lainnya ditulis dalam tahun 2011 (persisnya antara Januari s.d. April 2011).
Jika kita rincikan per bulan (berdasarkan titimangsa penulisan yang tertera di bawah setiap puisinya), maka akan kita temukan data jumlah puisi yang berhasil ditulis Kalsum sepanjang lima bulanan tersebut sebagai berikut: Desember 2010 (2 puisi), Januari 2011 (6 puisi), Februari 2011 (24 puisi), Maret 2011 (44 puisi), dan April 2011 (39 puisi). Dengan demikian, sejauh yang saya ketahui, Kalsum tergolong penyair pemula yang sangat produktif berkarya bila dibandingkan dengan tingkat produktivitas sejumlah penyair Kalsel lainnya (terutama para penyair daerah yang seangkatan dengannya). Namun, sebagai konsekuensinya, satu hal yang sangat lumrah terjadi dalam dunia kepengarangan bahwa tingginya tingkat produktivitas seorang penulis seringkali tidak berimbang dengan kreativitas karya-karyanya. Atau, dengan kata lain, terjadi kontras antara kuantitas dengan kualitas.
Terlepas dari pertimbangan kuantitas-kualitasnya, sebagai sebuah antologi puisi yang memuat lebih dari seratus karya, sajak-sajak Kalsum yang terhimpun di buku ini memang menunjukkan faset tematis yang cukup beragam. Akan tetapi, jika kita telusuri lebih mendalam, seluruh puisi tersebut tampaknya dapat dipilah ke dalam tiga tema besar: (1) sajak-sajak bertema cinta-kasih, (2) sajak-sajak bertema kritik sosial, dan (3) sajak-sajak bertema kesadaran eksistensial. Dari ketiga tema besar tersebut, selaras dengan judul yang digunakan penyair untuk buku puisinya ini, persoalan cinta-kasih (dan kerinduan jelas merupakan bentuk implikasi psikologisnya yang paling nyata) agaknya merupakan pilihan tema yang paling dominan.
Mulai dari sajak “Bondan” yang dihadirkan sebagai puisi pembuka hingga puisi penutupnya dengan judul “Topeng Luka Berwarna Pekat”, di seluruh halaman buku ini memang nyaris dipenuhi dengan sajak-sajak cinta. Bahkan, untuk mengenali kehadiran tema tersebut, kiranya cukup hanya dengan membaca sekilas judul-judul puisi yang digunakan sang penyair. Hampir semua judul puisinya yang bertema cinta di buku ini menyaran pada romantisme kerinduan aku-lirik terhadap sosok yang jauh karena memang hanya hidup dan hadir dalam kenangan—seseorang yang hanya ada atau diandaikan ada dalam dunia silam.Setidaknya, kesan demikian dapat kita tangkap dalam sajak-sajak bertajuk “Bondan”, “Damai Hati”, “Pelangi Senja”, “Kopi Serbuk Cinta”, “Sepenggal Malam”, “Sisa Hujan”, “Sumpah”, “Bianglala”, “Mantra Sakti”, “Ladang Gandum”, “Nyanyian Bidadari”, “Miris Hati”, “Rindu”, “Basah”, “Memahat Langit”, “Gemalan Malam” (mungkin seharusnya “Gamelan Malam”), “Jejak Embun”, “Rongga Nadi”, “Mengutus Angin”, dan sederet puisi lainnya.
Baik yang terungkap secara eksplisit maupun implisit, berpuluh-puluh puisi Kalsum di sepanjang halaman buku ini jelas merepresentasikan aku-lirik yang terus terobsesi pada kesilamannya—entah kerinduan itu hanya ditujukan kepada sosok silam yang tunggal ataukah kepada sosok yang jamak (baca: bukan hanya tertuju pada persona kedua tunggal yang sama). Bahkan, dalam sederet sajaknya yang lain, romantisme kerinduan itu secara implisit mengesankan tragika cinta dalam wujud kasih tak sampai. Ada nada-nada penyesalan, kekesalan, kemarahan, kesendirian, kesepian, atau bahkan keputusasaan yang membaur dalam kerinduan dan harapan. Akan tetapi, kerinduan dan harapan itu tidak lebih dari mimpi yang kandas. Begitulah, kesan tersebut antara lain mewujud dalam sajak-sajak bertajuk “Lipatan Sutra Hati”, “Dalam Kelana Panjang”, “Hujan Menjeratku dalam Lingkar Waktu”, “Memetik Daun Surga”, “Dinding Langit”, “Melukis Malam”, “Kasidah Cinta”, “Sayap Cinta”, “Lukisan Lampau”, “Rumah Bunga”, dan “Ayat-ayat Malam”. Sekadar contoh yang cukup representatif, berikut saya kutipkan seutuhnya tiga bait puisinya yang bertajuk “Lukisan Lampau”.
apa yang aku pikirkan malam ini?
aku tak pernah tahu
yang kurasa cuma gumpalan rindu
teramat berat menyesakkan dada
kutanya angin dalam kesetiaan
hanya cemoohan bintang yang kudapati
ejekan menjijikkan di gesekan daun akasia
akan kesetiaanku yang tetap bertahan
pada cinta masa lalu
nafasku masih menghembuskan
kenangan itu
aku tak pernah peduli
pada kisah asmara hari ini
karna hatiku
penuh lukisan lampau
Kecuali sajak-sajak bertema cinta, sebagaimana telah saya singgung di atas, sejumlah sajak Kalsum lainnya juga mengangkat masalah nasib giris orang-orang kecil, kerusakan lingkungan, kesewenangan, dan ketidakadilan. Secara umum, sajak-sajak bertema semacam itu lazim digolongkan sebagai puisi kritik sosial. Sebagai salah satu konsekuensi genre puisi bercorak kritik sosial, gaya pengungkapannya memang cenderung lebih cair (lugas, gamblang) bila dibandingkan dengan sajak-sajak bertema cinta. Bahkan, beberapa di antaranya dikemas dalam bentuk prosa lirik atau puisi naratif. Sajak bertajuk “Cang Cimen”, misalnya, berkisah tentang ketulusan hati seorang bocah pedagang asongan yang memasukkan selembar uang ribuan ke kotak amal tanpa seorang pun tahu. Sementara, di pihak lain, orang-orang kaya menuliskan cek dengan nominal tinggi seraya memamerkan nama mereka di media sebagai para dermawan. Inilah bentuk kritik sosial yang dibungkus dalam cerita. Lalu, dengan pokok masalah dan sebagian dengan gaya pengungkapan yang berbeda, kritik sosial juga bisa kita temukan dalam sajak-sajak bertajuk “Warisan Moyangku”, “Sembilan Empat Puluh”, “Pesan”, “Merah Putih”, “Lubang Jantung”, “Lubang Hati Bumi”, “Doa Pemulung”, “Kertas Kosong”, dan “Jelantah”—sekadar menyebut beberapa saja di antaranya.
Kemudian, sebagaimana juga telah saya sebutkan sebelumnya, tema lain yang mewarnai sajak-sajak Kalsum di buku ini adalah kesadaran eksistensial. Sajak-sajak ini terutama berbicara tentang kematian sebagai realitas kemakhlukan manusia—oleh filsuf Karl Jaspers (1910-1969) dikatakan sebagai “situasi-batas” (Grenz-situationen) yang paling pasti. Namun, puisi bertema demikian memang sangat sedikit jumlahnya. Dua di antaranya masing-masing bertajuk “Batu Nisan” dan “Tarian Batu Nisan”. Tiga larik penutup sajak “Batu Nisan”, misalnya, sangat terasa kesadaran eksistensial sang aku-lirik: Hari ini kupahat batu kujadikan nisan/ Waktu itu akan datang padaku/ Pasti, tapi ini bukan nisanku.
***
Seperti yang juga sudah saya katakan di atas, sejauh yang dapat saya tangkap di buku Mantra Rindu ini, Kalsum tergolong penyair pemula yang sangat produktif berkarya. Hanya dalam rentang waktu tak lebih dari lima bulan ia sudah menelurkan 115 puisi, bahkan bisa jadi lebih dari itu jika memang benar ia pernah menerbitkan sebuah antologi puisi lainnya dengan judul Mantra Pertapa. Namun, sekali lagi, produktivitas (kuantitas) seringkali tidak berimbang dengan kreativitas (kualitas). Hal ini jelas terlihat dari seluruh sajaknya yang dimuat dalam buku ini. Bahkan, kecuali masih banyak yang bermasalah dalam struktur sastranya, beberapa di antaranya merupakan “puisi remeh-temeh” yang memberi kesan asal jadi saja. Sajak-sajak bertajuk “Geliat Sofa Merah”, “Perbincangan Malam”, “Jejak Embun”, dan “Pintu Pagi” agaknya cukup mewakili jenis puisi yang saya maksudkan. Keempat sajak ini jelas tidak memerlukan kontemplasi yang intens untuk menulisnya, pun tidak pula menuntut perenungan serius untuk memahami maknanya.
Sebagai penyair pemula, Kalsum tampaknya menganut pandangan “menulis puisi itu mudah”—serupa tapi tak sama dengan konsep kepengarangan Arswendo Atmowiloto yang menulis buku Mengarang Itu Gampang (1982). Sebab, menulis puisi itu baginya seakan hanya memotret peristiwa atau sekadar mengabadikan kesan selintas dari realitas keseharian yang dihadapinya. Dalam proses kreatifnya yang bersandar pada doktrin “menulis puisi itu mudah”, ketika membuka pintu rumah di pagi hari atau saat ia bermalas-malas duduk di sofa sudah cukup baginya untuk dijadikan ide dasar penulisan puisi. Lantaran mudahnya menulis puisi, pada akhirnya memang tidak sedikit karyanya yang menunjukkan masih lemahnya dalam penguasaanbahasa (linguistic competence). Dalam sejumlah puisinya, kita akan menemukan larik-larik puisi yang tata sintaksisnya cenderung amburadul dengan penggunaan banyak kosakata secara mubazir—jadi, kontras dengan sifat puisi itu sendiri yang menuntut sublimasi dan kepadatan dalam teknik pengungkapannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita cermati kutipan larik-larik pada bait pembuka sajaknya yang bertajuk “Kelopak Malam” di bawah ini.
Dan kuakui kebersamaan itu teramat indah hayati hanyut
dalam keratan canda tutur tawa tumpak di segelas kopi hangat
mengantar ke pintu pagi mekar senyum di kelopak malam
tersipu nyanyian rindu di sela taburan bintang
kala bisikan angin manja ucapkan bait sajak selamat malam
Sebagai pembaca, makna apa yang bisa kita petik dari larik-larik puisi dengan struktur linguistis semacam itu? Jika kita cermati dengan saksama, jelas bahwa hubungan semantis antarkata maupun antarlarik dalam sajak di atas tidak kohesif dan tidak pula koherensif. Dan, sebagai konsekuensi lain dari tingkat produktivitas yang terlampau tinggi adalah kecenderungan terjadinya pengulangan gagasan maupun diksi dan ungkapan yang sama dalam beberapa puisi. Sekadar contoh lagi, bandingkanlah beberapa larik pembuka sajaknya yang bertajuk “Bianglala” dan “Mengutus Angin” berikut ini.
Senjaku tak lagi sepi manakala kutemukan
bianglala elok di jiwamu
malam mengutus angin
menyanyikan kidung indah
raga mati hidup dan bangkit
menuntun ruh ke pintu pengharapan
(Sajak “Bianglala”)
senjaku tak lagi sepi
manakala kutemukan bianglala elok di jiwamu
malam mengutus angin menyanyikan kidung indah
rebah kita dalam kelambu malam
mendulang mimpi di ujung bantal bersulam melati
(Sajak “Mengutus Angin”)
Selain itu, tampaknya ada fenomena baru yang saya temukan dalam beberapa sajak Kalsum di buku ini, yaitu penggunaan awalan (prefiks) “ter-“ pada tempat yang kurang lazim dalam kaidah bahasa Indonesia. Misalnya, penggunaan kata bentukan terdapati (dalam sajak “Dawai Hati” dan “Langkah”), termiliki (“Sepenggal Malam” dan “Embun”), tertempuh (“Ingin Sendiri”), terpagut (“Sisa Hujan”), terjalani (“Langkah”, “Tembaga”, dan “Jalan Kematian”), tertemukan (“Embun”), dan terperhatikan (“Cibiran Laknat”).
Pertanyaannya sekarang, apakah gejala linguistis semacam ini merupakan suatu kesalahan? Secara morfologis mungkin tidak, tetapi penggunaannya jelas tidak produktif dalam konteks komunikasi sehari-hari. Lalu, apakah gejala ini merupakan trade mark perpuisian Kalsum? Agaknya juga tidak karena pada kenyataannya kata-kata bentukan semacam itu tidak produktif pula digunakan sang penyair dalam seluruh sajaknya di buku ini. Namun, bagaimanapun adanya, ternyata cukup menyenangkan juga bertamasya bersama sajak-sajak Kalsum di sepanjang halaman buku puisinya yang bertitel Mantra Rindu ini. []
Sumber:
Media Kalimantan, Minggu, 21 Agustus 2016
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10205196940762348&set=a.1133049545680.16708.1810544965&type=3&permPage=1
0 komentar: