Cerpen Asep Fauzi: Ziarah Debu

01.37 Zian 0 Comments

Debu-debu beterbangan, lalu hinggap di setiap rongga dan guratan permukiman, saat kau memasuki desa ini lagi. Warna desa seakan sengaja dilukis oleh bulir-bulir tanah cokelat kehitam-hitaman; rumah-rumah yang beratap seng dan daun rumbiya, pepohonan dan rerumputan menjelma corak kecokelatan yang legam.
Sejauh mata memandang, yang terlihat olehmu hanya kekusaman. Hawa yang gerah karena tak banyak lagi hutan yang melindungi desa ini dari pancaran sang surya secara langsung. Dan jika hujan tiba, jalanan di desa ini akan berubah bak kubangan kerbau, karena tanpa aspal. Hanya tanah yang menjadi lumpur.
Lebih parah dari sebelumnya, saat pertama kali desa ini kau tinggalkan untuk menyandang gelar mahasiswa. Empat tahun kuliah dan memasuki dunia kerja hingga tahun kedua. Meskipun kau tetap sadar, bahwa ini tanah kelahiranmu, masa kecil dan remajamu.
Tidak tersisa lagi jejakmu di sini, selain tapak-tapak masa lalu. Rumah satu-satunya peninggalan orang tuamu, telah kau jual untuk biaya merantau dan kuliah beberapa tahun yang lalu.
Desa ini kini senyap.

Dari pelabuhan, kau menuju ke rumah Mulyadi, teman karibmu sejak kecil. Hanya rumah dia yang paling dekat dengan pelabuhan. Sedangkan Amat, Rahman, Syairi, Anang, Riah, Ipit, Sitah, teman masa sekolahmu dulu, jika kau memaksa ingin menatap kembali wajah-wajah ceria masa lalu itu, kau harus menempuh jarak berkilo-kilo meter menuju rumah mereka, memasuki perkebunan kelapa sawit dan karet yang luasnya beratus-ratus hektar.
Dari mulut Mulyadi juga kau tahu, bahwa setelah desa ini ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan tambang batubara, teman-temanmu itu menggantungkan hidup mereka di perusahaan-perusahan kelapa sawit dan tinggal di barak-barak yang terletak di dalam perkebunan tempat mereka bekerja. Kau tersenyum cuka mendengarnya.
Tapi kau bersyukur, saat tiba di sini Mulyadi tengah berada di rumah. Jika kau kurang mujur, mungkin saat ini ia tengah berada di ladang bersama istri dan kedua anaknya. Setidaknya kau bisa bernostalgia bersamanya.
Kau menolak saat Mulyadi menawarkan diri menemanimu untuk mengunjungi makam ibumu. Ibumu disemayamkan di dekat masjid desa. Kau pikir, tak perlu tukang ojek untuk menuju pemakaman itu, karena hanya berjarak enam ratus meter, setidaknya kau akan lebih meresapi desa ini lagi dengan langkah kakimu, menyiumi setiap aroma sudut tanah kelahiran, meski sengaknya sungguh tak lagi sama dengan beberapa tahun yang lalu.
Sesampainya di pemakaman yang pagarnya juga terlumuri oleh debu, kau membersihkan rerumputan yang juga menjelma cokelat kehitam-hitaman yang menutupi makam ibumu itu setelah bertahun-tahun lamanya tak pernah kau tengok.
“Ipul datang, Ma!” katamu, setelah gundukan pusara itu dapat terjangkau oleh bola matamu.
Kau pegangi nisannya yang terbuat dari kayu ulin itu, tulisannya sudah tidak dapat terbaca lagi. Melihat gundukan yang mekipun tidak sempurna lagi bentuknya itu, kau seakan melihat wajah dan senyum mendiang ibumu yang amat kau rindukan selama bertahun-tahun lamanya.
Tubuhmu bergetar, napasmu seketika itu juga sesak. Kau menunduk. Dadamu naik turun dan tangismu pun berantakan.
“Maafkan Ipul, Ma!” katamu lagi. Tangan kananmu semakin kuat mencengkram nisan itu.
“Ya Allah, lapangkah kuburannya, muliakan arwahnya….”
Kau sesegukan dalam khidmat doamu. Lalu ingatanmu terbang ke masa-masa itu, bak debu-debu desa ini yang tak pernah habis bertebaran, terseok-seok oleh angin kemarau.

***

“Jangan! Kau harus tetap sekolah yang tinggi!”
Waktu itu, kau lihat wajah ibumu begitu geram saat mendengar keinginanmu untuk bekerja di perusahaan batubara yang telah menjamur di sekitaran desamu.
Kau tak ragu sedikitpun saat mengatakan keinginanmu untuk melepas selamanya seragam putih abu-abu yang baru menginjak di tahun kedua waktu itu. Berganti dengan seragam penambang; helem warna orange, celana jeans dan sepatu safety. Meskipun pekerjaan untuk lulusan sekolah menengah pertama jelas tak terlalu ringan, yang pasti saat itu menurut pengetahuanmu ada beberapa temanmu yang berhasil masuk dengan bantuan kepala desa.
“Ipul tak mungkin hanya melihat Mama bekerja sendiri seperti ini berjualan sayur. Ipul ingin membantu Mama. Andai saja Abah,….” Kau hentikan ucapanmu saat kau tangkap gurat keterkejutan di mata ibumu.
Jika kau tak melihat air kesedihan bergelantungan di wajah ibumu itu, jelas kau akan mengatakan bahwa; andai ayahmu tak pernah gelap mata meninggalkanmu dan ibumu demi seorang wanita lain setelah sebelumnya menjual tanah dan kebun kepada perusahaan-perusahaan tambang dan membawa semua harta-benda yang ada di rumah kalian.
Andai saja ayahmu tidak mudah menghapus kenangan masa-masa saat kalian berburu kancil di hutan belakang rumah dan menyantapnya bersama ibumu dengan gelak tawa.
Andai kau bukan anak tunggal yang setidaknya akan lebih meramaikan hati ibumu saat semuanya telah berubah tanpa ayahmu. Andai ibumu mau mengabarkan keadaan kalian kepada kakek dan nenekmu di Hulu Sungai. Mungkin, keluarga kakek-nenekmu akan mengutuk dan mencari ayahmu. Andai…ah. kau menyerah.
“Ini sudah kewajiban Mama sebagai orang tua. Berjanjilah, berjanjilah kepada Mama untuk tetap sekolah! Jangan sampai anakmu-cucu-cucuku kelak hanya mewarisi jiwa perantau tanpa sekolah! Apalagi kau anak Mama satu-satunya. Dan, berjanjilah untuk tetap mengakui Abahmu sebagai orang tuamu, bagaimanapun kecewanya dirimu kepadanya, Nak!”
Kau tak mampu lagi berkata-kata.

***

Menginjak kelas tiga, ibumu semakin membuatmu resah. Ibumu memutuskan untuk berhenti berjualan sayur yang dibeli dari para petani sekitar, karena para petani sebagian besar beralih pekerjaan menuju tambang-tambang batubara. Tapi bukan itu yang membuatmu menggelengkan kepala dan tidak terima.
“Kau sebentar lagi lulus. Kuliah perlu biaya. Itu nah anak pambakal(1)  habis berjuta-juta daftarnya saja, belum lagi SPP-nya. Jadi, biarlah Mama seperti orang desa lainnya, bekerja manual(2).”
“Tapi Ma, manual itu berbahaya. Lagipula kuliah itu tidak harus langsung setelah lulus sekolah. Jadi, biarlah nanti setelah lulus, Ipul kerja dulu mencari biayanya.”
Tapi lagi-lagi wanita itu tak mampu kau rayu. Selepas subuh, ibumu dengan pekerja-pekerja lain, yang sebagian besar adalah laki-laki, sudah siap menuju area pertambangan, diangkut truk-truk milik tuan tambang. Masing-masing mereka membawa karung, palu besar, linggis dan pemecah batu lainnya. Dan saat gelap sudah akan mendekap desa, mereka baru kembali.
Memang saat itu, desamu semakin ramai. Sejak beberapa tahun terakhir itu, beberapa perusahan tambang yang namanya sudah sangat besar, perusahan kecil, menambang secara individu, bahkan juga tambang-tambang ilegal membuat desamu dipenuhi karyawan-karyawan yang menyewa rumah di desa tempatmu tinggal.
Mereka berasal dari hampir semua daerah di Indonesia yang tidak menyia-nyiakan harta karun di Pulau Kalimantan ini. Kau awalnya takjub dengan perubahan tersebut, tapi kau maklum, setelah kau tahu dari gurumu bahwa di kabupaten Kotabaru, termasuk di desa Geronggang, tempat tinggalmu ini adalah salah satu wilayah pertambangan batubara terbesar di Kalimantan Selatan, bahkan di Indonesia. Kau juga sering melihat kapal-kapal tongkang yang mengangkut batu hitam itu yang kata orang akan dibawa dan dijual ke negara Jepang, China, Thailand, bahkan Malaysia. Dan India adalah negara terbesar pengimpor batubara asal desamu ini. 

***

Ibumu terlihat lebih kurus sejak bercengkrama dengan batu hitam itu. Kau jelas paham, bagaimana kerasnya pekerjaan yang dilakukan ibumu. Kau mendengar cerita dari teman-temanmu dan dari orang-orang tua di desamu betapa kerasnya bekerja manual.
Setelah lahan tambang dikeruk oleh alat berat yang disewa oleh tuan tambang, maka sisa-sisa kerukan itulah yang menjadi bagian pekerjaan para pekerja manual. Mereka yang akan memasukan bongkahan-bongkahan batubara itu ke dalam karung.
Bongkahan-bongkahan besar batubara yang tidak sempurna terlumat oleh alat berat itulah yang harus ditaklukkan oleh para pekerja dengan bantuan linggis, palu besar dan apa saja agar batu itu dapat dimasukan ke dalam karung, dan bisa segera diangkut oleh truk-truk dan dijual ke perusahaan besar yang ada di dekat desa itu juga.
Tapi gaji yang didapatkan oleh ibumu, membuatnya semangat untuk terus bekerja. Setiap malam ibumu selalu membicarakan rencana kuliahmu. Meskipun setiap hari minggu dan hari libur lainnya, kau berhasil memaksa ibumu ikut bekerja di lahan pertambangan yang membuatmu tak sanggup melihat wajah ibumu saat berada di antara sorotan terik, gundukan besar tanah dan tebing-tebing curam pertambangan itu.
Tapi, semuanya berubah. Dunia seakan terbalik, terutama hatimu yang tercabik-cabik saat suatu siang yang memanggang. Baru saja kau menikmati makan siangmu dengan lauk oseng mandai(3) sepulang sekolah.
Sebuah truk yang berdebu dengan tergesa-gesa berhenti di depan rumahmu. Lalu orang-orang yang kau kenali sebagai teman-teman kerja ibumu itu berloncatan dari dalamnya dan tergopoh-gopoh mengangkat sebatang tubuh yang sangat kau kenali.
Iya, ibumu.
Menurut mereka, ibumu terpeleset hingga terjatuh ke dalam liang galian batubara saat naik untuk beristirahat membuka bekal makan siangnya. Dan kenyataan yang tidak dapat kau tolak, sosok ibumu siang itu teronggok dengan penuh darah teradon oleh debu pekat kehitam-hitaman. Dia beristirahat untuk selamanya.
“Mamaaa!”
Kau peluk dan ciumi jasadnya. Air liurmu yang menyatu dengan debu kecokelatan yang membalut tubuhnya tak kau pedulikan lagi, tangismu memekak siang itu. Tangis yang juga mengisayaratkan siapa lagi setelah ini yang akan kau tatap dan peluk di dunia ini.

***

“Saipul!”
Lamunanmu seketika itu juga pecah. Hatimu bergetar mendengar suara panggilan itu. Suara yang bertahun-tahun telah meninggalkan bekas berjuta sabitan di dalam hatimu.
Suara yang sebenarnya tetap engkau rindukan bertahun-tahun lamanya. Meskipun suara itu terdengar ragu-ragu. Kau tak percaya, mungkinkah kau benar-benar mendengar kembali suaranya?
Matamu kalap. Dengan air yang masih berlelehan, kau temukan sosok laki-laki jangkung berpeci, tengah berdiri di luar pagar pemakaman itu dengan ransel butut yang disandangnya. Matamu terbelalak. Tentu saja kau masih mengenalnya, meski sekarang ia terlihat lebih ceking.
Iya, kau benar. Itu ayahmu, Saipul!

Kotabaru, 30 September 2015

Keterangan:
1) Kepala Desa dalam bahasa Banjar
2) Menambang dengan cara dan alat tradisional
3) Kulit buah cimpedak yang diawetkan dengan air garam


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 20 Desember 2015

0 komentar: