Cerpen Asep Fauzi: Rumah-rumah yang Meninggalkan Kota

01.45 Zian 0 Comments

“Kalian tanyakan saja kepada diri kalian yang selama ini pongah. Telinga kalian begitu sibuk dijejali oleh serba-serbi dunia ini. Kalian seakan lupa, bahwa kalian bukanlah penduduk asli bumi ini, asal kalian adalah syurga. Kalian tinggal di bumi ini hanya untuk mengikuti ujian, lalu segera kembali….”*

***


Ujaran itu terurai-panjang lebar dari rumah yang paling megah di kota ini, ia bergelar agung. Suara laki-laki sangat nyaring keluar dari rumah tersebut dan menggetarkan setiap gendang telinga yang mendengarnya.
Rumah itu pula yang beberapa hari ini seakan mengajak rumah-rumah yang lain untuk menjauhi permukiman warga kota ini. Dan setiap didekati, rumah itu dengan rumah-rumah yang ukurannya di bawah ukuran rumah agung itu, terus bergerak menjauhi kota. Rumah-rumah itu tak akan berhenti, apabila orang-orang tidak menghentikan langkah kaki mereka yang berniat mendekatinya.
Dikendalikan oleh rasa penasaran, sekelompok anak muda bahkan pernah nekad mendekati dan berusaha mengejar rumah-rumah itu dengan motor mereka, tetapi semakin beringas pula rumah-rumah itu menjauhi kota. Rumah-rumah itu menjauhi kota dengan cara menyebar; ada yang ke arah hutan, gunung, bahkan lautan.
Tentu saja masyarakat kota ini menjadi gempar. Rumah-rumah yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun, bahkan belasan tahun dengan berbagai cara, terutama rumah agung dan para petugas rumah itu setiap harinya melawan terik dengan menadahkan kotak-kotak di depan rumah itu sembari melantunkan do’a-do’a, pujian dan nyanyian.
Belum lagi kotak-kotak yang minta diisi ketika hari raya setiap minggunya dan kotak-kotak yang disebar di warung-warung dan toko. Semua itu demi rumah yang megah dan nyaman, tapi kini rumah-rumah itu seperti merajuk.
Secara spontan, pemerintah, terutama yang berwewenang mengatasi permasalahan ini turun tangan, yang mereka hadapi adalah benda, bukan manusia, tapi juga bergerak, dan karenanya telah merusak apa-apa yang telah dilewati oleh rumah-rumah itu; tiang-tiang listrik, permukiman warga, jalan, jembatan, taman kota, dan apa saja yang telah dilewati oleh rumah-rumah itu. Sehingga banyak tempat di kota ini mengalami kerusakan.
Pertemuan besar pun digelar oleh pemerintah dan para ahli di kota ini, di antaranya berbagai tokoh dan pengurus rumah-rumah itu, termasuk pengamat fenomena alam dan perwakilan keamanan.
Tentu saja pertemuan ini lebih heboh jika dibandingkan dengan penyelenggaraan rapat penentuan hari yang setiap tahunnya diselenggarakan dengan metode melihat bulan dari berbagai daerah di kota ini.
Mereka melakukan pertemuan secara tertutup membahas fenomena ini, rumah-rumah yang meninggalkan kota. Mereka mengkaji dari berbagai sudut pandang.
“Ini adalah teguran keras dari-Nya! Mungkin, karena selama ini kita hanya berusaha membangunnya saja dengan semegah-megahnya. Akan tetapi rumah-rumah itu hanya ramai dikunjungi saat pengurus rumah mengadakan wejangan yang pembicaranya didatangkan dari ibukota atau artis, atau memperingati hari-hari besar saja, ” kata seorang tokoh.
Sementara peserta pertemuan yang lain berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh anggota pertemuan tadi.
“Tapi, rumah kami selalu ramai setiap lima waktu.” kata seorang pengurus rumah agung.
“Ramai mana dengan taman kota yang dibangun oleh pemerintah, tepat di samping rumah agung? Tidak hanya muda-mudi, juga yang tua, yang selama ini mengaku salah satu memiliki rumah-rumah itu. Sejak matahari beranjak pulang, sudah menempatkan diri di tempat itu berpasang-pasangan atau berkelompok, menikah atau yang belum menikah, menikmati senja hingga larut malam yang diramu dengan makanan dan minuman dan rokok arab.
Padahal selama mereka beradu tawa di tempat itu, panggilan-Nya terdengar jelas dari rumah yang berada di samping mereka bercengkraman itu,” kata tokoh lain dari organisasi kemasyarakatan mencoba memberikan pendapat dengan suara yang bergetar, seakan banyak hal yang selama ini ia pendam. Sementara yang mengklaim masjid selalu ramai kini menundukkan kepalanya. Perwakilan dari pemerintah yang mendengar hal itu juga bungkam.
“Untuk di rumah kecil di lingkungan gang kami, memang hanya kami fungsikan saat senja merapat saja. Saat matahari bertandang, tidak. Kami sibuk bekerja. Tapi … saya tetap menghadap-Nya di tempat kerja.” Petugas salah satu rumah kecil ikut mengungkapkan keadaannya.
“Maaf, saudara-saudara. Di sini saya harap kita membicarakan permasalahan ini lebih ke arah solusinya. Bukan membahas hal-hal yang malah memperkeruh keadaan dan meningkatkan ketegangan.”
Mendengar perkataan pimpinan pertemuan itu, beberapa anggota pertemuan melongos. Mereka fikir itulah penyebabnya, baru nanti ke arah solusi.
“Bagaimana kalau kita ajak rumah-rumah itu, terutama rumah agung untuk berdialog?” Tiba-tiba tokoh berjenggot agak panjang dan bergamis hitam itu memberikan pendapatnya
“Emm … maksud saya, sejak rumah-rumah itu menjauhi kota ini, rumah agung itukan dapat mengeluarkan suara laki-laki dari dalamnya. Kenapa kita tidak mencoba bicara dengan rumah-rumah itu dan bernegosiasi? Agar rumah-rumah itu mau kembali ke posisi awal mereka,” lanjutnya.
Yang lain saling bertatapan dan tersenyum mendengarnya. Hal yang tidak mungkin, fikir mereka. Tapi, mereka juga tak memiliki ide lain dengan permasalahan aneh bin ajaib ini.
Ruangan pertemuan itu bisu.
“Baik, saya setuju. Apa salahnya kita coba?” ujar pimpinan pertemuan, kemudian.
“Kita akan atur pertemuannya,” lanjutnya lagi. Semua peserta pertemuan mengangguk-angguk, tak tahu juga apa yang bisa mereka utarakan.
Pertemuan pun berakhir, para wartawan dari berbagai media nasional maupun swasta, bahkan internasional telah memadati halaman gedung tempat pertemuan itu. Mereka tentu saja berburu kabar apa yang akan dilakukan para ahli di kota ini untuk menyelesaikan permasaalahn aneh ini.

***

Rumah-rumah itu sama sekali tidak ingin dikunjungi, bahkan didekati sedikit saja, semakin bergeser meninggalkan kota. Rumah-rumah itu seakan mogok menerima tamu-Nya yang memang biasanya tak pernah banyak.
Kini warga yang merasa memiliki rumah-rumah itu juga semakin panik dibuatnya, bukan lantaran mereka menyesal selama ini tidak meramaikan rumah-rumah mereka itu setiap waktunya. Tapi juga mereka lebih takut, apa yang selanjutnya akan terjadi setelah rumah-rumah itu secara tidak masuk akal bergerak meninggalkan kota.
“Mungkin sebentar lagi kiamat, ih saya belum bisa membayangkan. Rasanya saya belum siap mati!” kata seorang wanita.
“Mengapa Dia tidak memberikan peringatan terlebih dahulu kepada kita semua? Padahal saya setiap minggunya selalu memberikan bantuan dana untuk pembangun rumah itu. Belum lagi semen dan keramik juga saya sering. ” timpal seorang laki-laki.
“Tapi, minimal lima waktu masuk rumah itu pernah tidak? Ah, toh semua akan masuk syurga. Hanya berproses lebih dulu yang katanya di dalam neraka.”
Seorang yang lainnya ikut berkomentar dengan santainya atau mungkin dia juga putus asa.

***

Para ahli telah siap berdialog dengan rumah agung-rumah paling besar yang dapat mengeluarkan suara laki-laki itu. Mereka berdiri sekitar dua ratus meter dari rumah agung itu yang kini posisinya telah berada di bibir pantai. Seorang ahli berpeci hitam sebagai perwakilan memegang pengeras suara yang tentu saja diarahkan ke arah rumah agung.
Perwakilan ahli itu mengucapkan salam.
Semua senyap, warga kota semuanya tumpah, mengekor dan menyemut, berdesakan dengan para wartawan di belakang rombongan para ahli dan pemerintah yang mencoba berdialog dengan salah satu rumah itu.
Tentu saja mereka ingin menyaksikan langsung dialog yang sebenarnya tidak masuk akal akan berhasil itu. Meskipun memang benar, bahwa setiap telinga warga kota ini sebelumnya memang telah mendengar dengan jelas saat rumah agung itu seakan berbicara dengan suara laki-laki.
Perwakilan ahli itu kembali mengucapkan salam.
“Siapa pun yang ada di dalam rumah itu. Atau bahkan Dia telah memberikan kepadamu hai Rumah Agung untuk dapat berkomunikasi dan bergerak sejauh ini. Tolong jawab salam saya!” lanjutnya.
Tidak ada jawaban.
Perwakilan ahli itu kembali mengulang salamnya.
Tiba-tiba diikuti oleh rombongan ahli dan pemerintahan yang lain. Beberapa warga ikut mengucapkan salam, sebagian warga mulai ikut menyalami rumah itu juga, dan kini semuanya mengucapkan salam kepada rumah itu. Kota ini penuh dengan gema salam, setiap mulut mengucapkannya.
Tiba-tiba terdengar jawaban salam dari rumah agung itu.
Semua yang hadir tercekat. Raut wajah mereka berubah. Kini berganti yang diucapkan oleh mulut-mulut warga kota, menggema ucapan syukur.
“Wahai manusia! Saat ini, kalian berbondong-bondong untuk kembali kepada-Nya dan merayu kami dengan dasar kecemasan yang mulai menggerogoti hati kalian, bukan? Kalian tentu pernah juga membaca kisah yang kondisinya sama persis dengan kalian saat ini di dalam Kitab Suci?
Selama ini, kalian bukannya sibuk membersihkan diri untuk menyiapkan bekal berpulang, malah saling membakar hati akan coraknya warna. Dengan gampangnya disulap menjadi kelompok-kelompok domba liar yang dengan mudah dapat diadu. Begitu mudah memberi tanda hitam kepada saudara sendiri dan merasa telah memiliki cahaya paling berkilau.”  
Semua yang hadir menangis, ada yang mulai menyadari, tapi ada juga yang karena rasa takut mati dan masuk ke dalam neraka semakin mengakar dan nyata di benak mereka.
Tiba-tiba rumah-rumah itu bergetar keras seperti terkena gempa. Warga kota pun riuh. Dan diawali dengan rumah agung, seketika itu juga melesat, secepat kilat menuju ke arah langit. Raib. Disusul oleh rumah-rumah lain yang ukurannya lebih kecil, terangkat dengan cepat ke arah langit. hilang ditelan langit yang seketika itu juga menghitam.
Semua warga kota takjub, masing-masing dada mereka naik turun, air wajah mereka memerah dan menghangat. Mereka menangis-histeris. Tersungkur, mengucapkan rasa penyesalan dan do’a.
Alhasil, kota itu kini kehilangan rumah-rumah yang katanya adalah kebanggan bagi mereka. Kota ini menjadi mati oleh kumandang-Nya. Meskipun tentu saja masih banyak yang tidak perduli. Hidup tetap harus berlanjut, sebelum memang kenyataan itu datang. Karena beberapa bulan setelah kejadian itu, tidak ada bencana atau penyakit apa pun yang terjadi di kota ini.
Setelah kota kembali dinormalkan oleh pemerintah, dibantu oleh warga, kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat pergerakan rumah-rumah yang meninggalkan kota itu telah selesai diperbaiki, terutama listrik, perumahan warga dan jalan.
Pemerintah dan para ahli kota juga kembali mencanangkan pembangun rumah-rumah yang baru dengan niat dan program yang akan meramaikan di setiap waktu rumah-rumah itu nantinya.
Ah, hitam putih di dunia memang selalu berjalan berdampingan. Gemerlap kota yang legit tetap saja kembali dipuja oleh sebagian orang di tempat-tempat yang dipenuhi kenikmatan dan gelak tawa di kota ini. Mereka pikir, semuanya toh akan mati dan mereka tidak sendirian. Mereka begitu meng-entengkan firman-Nya. Warga kota ini belum juga tersadar, bahwa setiap per sekian detik, bumi menjadi semakin legam.

*Ungkapan Aid al Qarni

Kotabaru, 06-16 September 2015

Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 3 Januari 2016

0 komentar: