Cerpen Asep Fauzi: Rumah yang Membusuk
Angin laut khas bulan Juni menguliti tubuhku. Cahaya rembulan malam ini nyaris sempurna, sehingga setiap sudut mampu dengan jelas terjangkau oleh kedua bola mataku.Entah bagaimana awalnya, aku sudah berada di atas panggung yang baru saja tadi sore selesai dibangun oleh warga desa Rampa ini. Aku duduk di panggung yang dibangun di atas laut yang letaknya beberapa ratus meter dari permukiman.
Panggung inilah yang besok akan kugunakan untuk memimpin Selamatan Leut, sebuah upacara adat tahunan bagi kami, warga nelayan suku Bajau-Kotabaru, sebagai ungkapan rasa tahu diri atas berlimpahnya tangkapan hasil laut.
Hamparan air asin ini memang sudah menjadi rumah bagi kami, bukan sekadar tempat singgah untuk mencangkuli rezeki-Nya, tapi inilah napas dan hidup kami.
Di salah satu sisi panggung, telah dirikan pula sebuah tongkat seukuran pergelangan tanganku, panjangnya sekitar 12 meter, ditancapkan ke dasar laut, terbuat dari bambu kuning yang mendadak ditebang tadi pagi.
Panggung ini tidak begitu luas. Hanya cukup untuk aku duduk merapalkan bacaan-bacaan keselamatan, menata pesawupiseang(1) dan aneka kue tradisional lainnya, juga untuk duduk beberapa pemuda yang akan membantuku membagikan air dan memandikan warga, khususnya anak-anak dengan air laut di sekitaran tongkat bambu.
Besok setelah bambu itu kupegang dan rapali dengan bacaan-bacaan, air laut di sekitarnya akan teras tawar.
Jelas besok warga Rampa, baik yang bersuku Bajau, Bugis, Banjar maupun pendatang lainnya akan berebut minta dimandikan. Mereka rela berdesakkan mendekati panggung ini memakai perahu-perahu mereka untuk sekadar mendapatkan berkahnya.
***
Tak selang beberapa lama, ketika aku mulai hanyut dininaboboi oleh lamunan. Aku melihat sosokmu, emma(2). Kau telah duduk di sebelah kanan panggung. Kausapu lekat laut di hadapanmu, kautatap hamparan rumah bagi suku kita sejak beratus-ratus tahun yang lalu ini.
“Emma!”
Engkau hanya diam, bahkan sekedar menengok ke arah suara panggilanku pun tidak. Padahal sudah lama kita tak berbincang, kan, emma? Aku rindu nasihat-nasihatmu. Setiap purnama sekali, kau memang selalu datang menyambangiku dengan berbagai cara, tapi mengapa kali ini kedatanganmu tanpa simpulan senyum, emma?
Kau mengenakan pakaian kebesaran ketua adat Bajau: baju lengan panjang berwarna kuning tua, celana hitam sebetis, lengkap dengan penutup kepala hitam yang diikat bagian belakangnya, merajai seluruh helai rambutmu yang sudah hampir sempurna memutih.
“Emma!”
Kau masih membatu.
Tidakkah kau tahu, betapa saat-saat seperti ini adalah hal yang selalu kurindukan, emma? Dekapan tubuh ceking dan petuah-petuahmu. Apakah anak lelakimu ini telah melupakan sesuatu untuk sesembahan esok? Tolong katakanlah sesuatu kepadaku, emma!
Emma, samar-samar kulihat ada air yang merangkak turun dari sudut kiri matamu. Kau menangis? Pemandangan yang sejak kecil, tak pernah kulihat terjadi kepadamu, emma.
Aku mengenalmu sebagai sosok yang kuat, emma. Kokoh seperti karang yang sudah terlampau akrab bagi kita. Tidak dapat dipisahkan dengan laut kita. Karang yang tegar, meskipun entah sampai kapan ombak laut berhenti menghempas-hempaskan gulungan mereka ke tubuhnya.
“Emma!”
Kulihat air itu semakin deras. Kau sesekali terisak. Ingin sekali aku menghampirimu, memeluk dan menciumi tanganmu, memohon ampun atas apa yang membuatmu menangis di pertemuan kita malam ini. Tetapi tubuhku tiba-tiba saja liat, tenaga usia tiga puluhan ini tak mampu berbuat banyak.
Akhirnya, aku pun tak dapat menahan air mataku yang mulai jatuh berkejaran dengan air matamu. Dadaku terasa penuh. Sesak, emma.
Selama ini, aku merasa tak pernah mengabaikan semua pesanmu, emma. Baik pesan sebelum atau sesudah kau mangkat. Apalagi nasihat-nasihatmu tetang laut-rumah kita.
Anak lelaki harus mahir mencangkuli lautan, Lellah. Menjinakkan buasnya ombak dan badai. Jika kau sudah berhasil melakukannya, laut adalah rumah bagimu, bagi kita. Laut adalah hidup dan harga diri kita, Lellah.
Pesan itu tetap mengakar di dalam hati dan fikiranku, emma. Aku ingat betul, kau mengucapkannya saat nelayan-nelayan yang lain mulai mendaftarkan anak-anak mereka sekolah. Dan aku tidak keberatan kau melarangku, karena kau lebih menginginkan aku untuk ikut bersamamu mengarungi lautan, menaklukkannya.
Meskipun seiring berjalannya waktu, setelah aku dewasa dan menikah, kau tidak pernah melarang cucu-cucumu untuk mengecap bangku sekolah yang waktu itu sudah semakin gencar dibicarakan orang-orang kampung, terutama kepala desa.
“Apa yang membuatmu menangis? Katakan kepadaku, Emma!”
Emma, kau masih saja menelan sendiri suaramu.
“Emma…, kumohon!” lirihku.
Kali ini kau mengalah, kausuguhkan sepenuhnya wajahmu kepadaku. Pahatan wajah yang sejak lima tahun yang lalu telah meninggalkanku, menantu, cucu-cucumu, dan masyarakat desa ini. Wajahmu masih sama emma, dengan sorot mata tegas, meruncing mata pancing.
Air matamu terus saja berjatuhan. Aku melihatnya seumpama paku-paku panjang berkarat, menghujam relung hatiku.
“Rumah kita, Lellah,” ucapmu berat.
Aku berusaha menangkap pecahan pita suaramu yang nyaris tak menyentuh pendengaranku, kalah oleh gulungan ombak yang berbenturan. Bulan Juni hingga Agustus memang bulan-bulan yang menantang bagi para nelayan. Karena ombak jauh lebih sangar dan menggunung dikendalikan oleh angin tenggara.
“Rumah kita sudah tidak suci lagi. Lihat rumah kita telah membusuk, Lellah!”
Kau mengarahkan telunjuk kananmu ke hamparan rumah kita. Bola mataku seketika mengekori arah jari tanganmu itu. Kini tubuhku sudah dapat kugerakkan kembali.
Kulihat laut di hadapanku menjadi hitam-pekat, jelas ini bukan lantaran malam. Aku hafal betul bagaimana lautku, rumah kita.
Penasaran denga apa yang kulihat, bersusah payah kuraih airnya dengan telapak tangan kananku. Ya, laut ini benar-benar telah menghitam, busuknya tajam melumat penciumanku.
Sejauh mata memandang, laut yang telah berubah legam itu tiba-tiba dipenuhi oleh aneka kaleng, sepatu butut, pelastik, botol, dan benda-benda yang tak kutahu namanya. Tumpang tindih, berbaur dengan cumi, ikan pari, udang dan hewan-hewan laut lainnnya dari ukuran kecil hingga besar yang mengambang. Mati. Bau busuk seketika semakin beringas berjejalan memasuki indera penciumanku.
“Rumah kita telah membusuk, Lellah.”
Seruanmu kali ini semakin keras, merobek-robek gendang telingaku.
“Jaga… Jagalah rumah kita. Jagalah anak cucumu, Lellah! Jagaaa….!” serumu.
Aku memicingkan mata, kututup kedua telingaku. Aku tercekat, terbangun dari tidurku malam ini.
***
Ingatanku seketika berlompatan ke potongan-potongan lidahmu di purnama sebelumnya. Kucoba menghubung-hubungkannya.
Seingatku, begini pesanmu sebelumnya: Lellah. Kini, orang-orang di gedung-gedung megah sana. Bahkan orang-orang yang mengaku memahami laut kita, membangga-banggakan laut sebagai rumah mereka, yang tentu saja sangat menikmati sajian rumah kita, mereka sudah lama ditidurkan oleh waktu. Mereka belum juga terbangun, bahwa lewat jari-jari mereka jualah, hamparan air asin, rumah kita ini sudah kian terluka. Meradang dan membusuk.
Kotabaru, 08 Februari s.d. 28 Juni 2015
Keterangan:
1) Kue tradisional suku Bajau, terbuat dari adonan tepung dan pisang
2) Ayah dalam Bahasa Bajau
Sumber:
Banjarmasin Post, Minggu, 12 Juli 2015
0 komentar: