Cerpen Asep Fauzi: Yang Merindukan Air Mata

05.49 Zian 0 Comments

Kau memang telah lama tidak menemukan air mata itu. Air mata yang pada akhirnya adalah semata-mata hanya untuk si pemilik air mata itu sendiri, bukan untuk dirimu. Kau hanya bertugas mencatatnya dengan penuh sukacita dan gemuruh takbir saat menemukan keindahan dari air mata itu.
Kau selalu memohonkan untuk si pemilik air mata itu kepada Tuanmu agar dia diberikan jalan yang mudah, selebar-lebarnya menuju sebuah negeri akhir yang di dalamnya mengalir sungai-sungai susu dan madu yang legit dan lezatnya tiada tara. Itu telah tertulis di dalam kitab yang diturunkan kepada kekasih-Nya.
Namun, telah berpuluh-puluh tahun lamanya juga kau tak pernah lagi berhasil menemukan jenis air mata itu. Meskipun sebenarnya, yang menjadi tugasmu bukan hanya mencatat air mata itu. Hanya saja, kau begitu prihatin bahkan bersedih hati, karena begitu banyak manusia yang telah melupakan peringatan-peringatan Tuanmu yang membuat air mata itu seakan menjadi punah dari muka bumi dan kini air mata itu sangat kau rindukan. Sunggguh, kau teramat merindukan setiap tetes dan alirannya yang menyungai di sela-sela wajah dan kalbu manusia yang telah bersaksi akan Tuanmu dan kekasih-Nya.
Air mata yang kau rindukan ialah jenis air mata yang bening di atas bening, air mata yang jika dilihat dari asal-muasalnya adalah yang berasal dari hati yang bersih, hasil dari tangisan untuk masa depan yang paling depan dalam hidup ini, atau minimal menangisi kekeliruan yang telah diperbuat mereka kepada Tuanmu. Oh, rindu akan air mata itu seakan menggerogotimu.

***


Tuanmu begitu memuji kerinduanmu akan air mata itu. Selepas subuh, kau telusuri Pasar Kemakmuran. Berdasarkan petunjuk Tuanmu, pagi ini akan ada air mata di tempat itu. Seorang wanita akan menumpahkan air matanya. Meskipun Tuanmu tidak dengan rinci memfirmankan kepadamu prihal jenis air mata yang akan tumpah itu.
Saat memasuki tempat jual beli itu, suasananya sudah sangat ramai dan agak sesak. Udara masih menggigil. Warna gelap di langit masih tersisa. Pedagang sayur-mayur, hingga daun pisang dan rempah-rempah, tumpah ruah menjadi satu, yang datang dari berbagai sudut kota. Kau lihat, hanya beberapa wajah yang sebelumnya bersujud kepada Tuanmu di rumah-Nya dan di rumah mereka masing-masing.
Para calon pembeli juga mulai membludak, semakin menambah ramai saja pasar terbesar di kota kecil ini. Para pedagang ada yang tengah sibuk menata dagangannya, ada juga penjual yang kau lihat sudah sangat renta sedang melayani seorang ibu yang begitu alot menawar sesisir Pisang Kepok kepadanya.
Para pedagang sayur keliling juga sudah mulai menata dagangan mereka di atas sepeda motor mereka yang akan diecer kepada calon pembeli mereka di lingkungan perumahan ibu-ibu yang agak jauh dari lokasi pasar.
Di sudut sebelah utara, kesibukan yang sama juga terjadi, hanya saja di sana adalah lokasi pedagang daging, ayam, dan ikan. Penjual wanita berperawakan agak gemuk berkerudung jenis kaos biru tua, tengah melayani seorang kakek. Setelah menanyai si kakek apakah ayam yang dibelinya mau dipotong-potong, si kakek mengangguk. Ibu-ibu itu lantas dengan cekatan langsung menjadikan ayam jenis ras itu menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam plastik hitam.
Di sudut yang lain juga kau lihat, para penjual ikan tengah menyusun ikan-ikan yang baru saja diangkat dari perahu nelayan. Dan mereka mulai menawar-nawarkannya kepada calon pembeli yang berlalu lalang. Tak jarang juga berteriak-teriak tentang kualitas ikan, terjangkaunya harga ikan, dan sumpah-sumpah lainnya, demi menarik minat beli pengunjung pasar itu.

***

Matahari sudah mulai memamerkan semburat cahayanya melewati sela-sela Bukit Sebatung Pulau Laut ini. Namun, kau belum juga melihat tanda-tanda akan ada air mata yang telah difirmankan oleh Tuanmu di pasar pagi itu.
Aktivitas pasar sudah mulai melonggar. Pembeli yang sudah merasa cukup dengan belanjaannya telah banyak yang memutar haluan untuk kembali ke rumah. Begitu juga dengan pedagang sayur keliling, mereka sudah mulai bergerak menuju lokasi perumahan ibu-ibu yang telah menjadi langganan sayur mereka.
Dan suara gaduh menyadarkan tanda tanyamu. Suara itu berasal dari arah utara. Ya, wanita gempal bernama Acil Anti, ternyata yang hari ini air matanya akan kau catat sebagai bagian dari pekerjaan pokokmu kepada Tuanmu sejak kau diciptakan.
“Ya ampun, apa dosaku? Uang itu buat sekolah si bungsu.” Anti meraung-raung, duduk sembari menggerak-gerakkan kakinya yang dia selonjorkan di depan meja dagangannya. Dia tidak perduli meski tanah yang didudukinya becek, amis, dan bacin. Dia sungguh syok dan tidak menyangka tas tempat menyimpan uang beserta isinya lenyap. Beberapa pedagang yang lain berusaha menenangkannya dan menyampaikan rasa simpati mereka. Sedangkan yang lain dan orang-orang yang kebetulan tengah berbelanja di dekatnya sangat antusias ingin melihat siapa gerangan korban maling sepagi ini dan menyemuti tangisan wanita malang itu. Tidak lama kemudian pasar itu kedatangan beberapa polisi.
Sejak kejadian itu, dari mulut ke mulut warga pasar dan pengunjungnya, topik yang dibahas adalah tentang penjual ayam potong itu, yang uangnya raib dalam tas sebanyak tujuh juta, hasil penjualan ayam potong sejak kemarin lusa yang belum sempat ia simpan di rumah.
Kau mengendus. Ini bukan air mata yang kau rindu dan idam-idamkan. Ini hanya air mata yang fana. Dengan penuh kekecewaan, kau pun akhirnya meninggalkan pasar itu, yang masih dipenuhi oleh desas-desus para pedagang yang masih terheran-heran, biasanya maling di pasar itu selalu kedapatan dan bonyok tertangkap oleh warganya lalu diseret ke kantor polisi. Mereka pikir, malingnya kali ini cukup sakti.
“Tidakkah ada hari ini air mata yang menetes karenamu, Tuanku?” desismu.

***

Kau kembali mencari air mata yang teramat kau rindukan yang keluar dari makhluk yang katanya saat mereka dengan benar memosisikan dirinya, akan lebih sempurna daripada dirimu. Sudut-sudut kota yang bising kau telusuri. Kini kau sungkan jika harus bertanya lagi kepada Tuanmu tentang apa yang kau rindukan itu. Sehingga kau kepakkan saja sayap lembutmu dan menajamkan penglihatan dan pendengaranmu dari atas kota yang berada di tengah-tengah lautan itu.
Tak perlu waktu lama untuk mengitari kota kecil itu. Saat kau berada di atas lokasi pantai, kau mencium bau air mata. Kau meluweskan sayapmu dan perlahan turun. Suasana pantai siang ini agak sepi karena bukan hari libur. Hanya ada beberapa orang yang tengah menjejaki bibir-bibirnya, menikmati deburan dan buihnya yang digiring gelombang dari tengah lautan, ada yang sekadar duduk-duduk saja, dan hanya ada satu dua warung yang terlihat dibuka oleh pemiliknya. Tarian daun pohon-pohon bakau yang merajai keelokan dari pantai itu.
Dan benar saja, saat kau menyentuh pasir lembut Pantai Sarang Tiung itu, kau lihat di salah satu bagiannya, seorang perempuan muda tengah berdiri dengan bertelanjang kaki. Wajahnya sayu, rambutnya bebas dijilati oleh buasnya angin laut, dan lihat matanya, sembab dan memerah. Sepertinya ia telah menangis sekian jam yang lalu. Kau mendekatinya, kini kau hanya berjarak beberapa langkah saja dengan perempuan yang terlihat kacau itu.
“Aku sudah mengorbankan segalanya untuknya, Tuhan. Tapi kenapa ia tega menduakan kesucian cintaku?” kata perempuan itu sembari air matanya meleleh dengan deras, seolah menantang gulungan ombak. Sedangkan kau, serta merta mengucap istigfar, sudah tahu bahwa jenis air mata perempuan ini tidak akan ada gunanya dengan kerinduan yang tengah kau rasakan saat ini. Namun, sembari berpikir untuk mencari kembali air mata yang kau rindukan, kau habiskan saja adegan perempuan di tepi pantai ini.
“Bahkan aku telah menyerahkan kesucianku kepadanya, Tuhan! Bagaimana jika aku hamil, Tuhan? Orangtuaku tentu akan mengusir bahkan membunuhku!” jerit perempuan itu. Kata-katanya seakan ditertawakan ombak dan karang di lautan. Kau tersenyum kecut.
“Lihat, Tuan! Bahkan dia menelurkan air matanya karena takut kepada orangtuanya, bukan takut kepada-Mu sebagai zat yang menciptakan dirinya dan yang telah melarang perbuatan kotor semacam itu.” Kau malah yang menangis, hai, yang merindukan air mata.
“Tidakkah ada saat ini manusia yang menangis karenamu, Tuan? Menangis karena telah lalai tidak menghadap-Mu, mungkin. Atau menangis karena telah banyak berbuat kezaliman dan kerusakan di muka bumi ini?”
Lalu kau meninggalkan perempuan itu sendiri. Perlahan, sayapmu menyapu pasir putih pantai itu. Kau hanya ingin berjalan, masih ada harapan dalam dirimu. Harapan menemukan dan mencatat manusia-manusia yang mengeluarkan air mata keimanan di sisa-sisa kehidupan mereka, di akhir zaman ini. Kehidupan yang hanya Tuanmulah yang tahu kapan akan diakhirinya.

Kotabaru, 29-31 Mei 2016


Sumber:
Radar Banjarmasin, Minggu, 05 Juni 2016

0 komentar: